Ada yang tahu nggak itu vilanya siapa? Adakah kenangan masa lalu Fabian di vila itu?
Berbeda dengan pasangan yang sedang menghabiskan waktu berdua di dalam vila, saat ini seorang pria dengan iris abu-abu menatap jengah sebuah foto diterima dari mantan rival.“Kurang ajar, Fabian!” teriak suara bariton itu.Bukan hanya berteriak tetapi satu tangan terkepal dan memukul meja dengan kuat. Napas pria itu memburu menjadikan tubuhnya gerah dan sesak. Ia menghapus gambar dua sejoli berlatar air danau biru kehijauan lalu menaruh kasar ponsel hingga membentur sisi laptop.Pria itu menghubungi asisten pribadi sambil melonggarkan dasi pada lehernya. “Pandu, ke ruanganku sekarang!”Berselang lima menit, asiten pribadi dengan gaji fantastis itu telah berdiri di hadapan Bos Cwell Grup. Pandu memang dapat diandalkan dalam segala pekerjaan.“Buat janji dengan dokter kandungan!” titah pria itu.“Sekarang, Pak?” tanya Pandu, entah mengapa melontarkan pertanyaan yang mampu membuat sepasang iris ke
“Sayang?” panggil Dewa sembari mengetuk pintu.Sudah satu jam lewat sepuluh menit pria jangkung berparas rupawan berdiri di depan pintu bercat cokelat tua. Berulang kali ia mengetuk dan memohon agar Rosalyn memaafkanya. Nahas, tidak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Dewa tidak menyerah, ia melakukan panggilan suara dan video, tetapi hasilnya nol besar.“Memangnya apa salahku?” keluh bibir sensual.Setengah jam berlalu, sepasang tungkai pria itu berayun menuju dapur lalu menenggak minuman dingin. Sambil menghela napas panjang, iris kelabu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru sudut vila. Sepi, dingin dan suram seperti ucapan Anna.Hal ini karena Rosalyn berdiam diri dalam kamar, kedua buah hati dititipkan kepada Arjuna dan Claudya. Tentu saja, dengan tujuan agar Dewa bebas menikmati momen romantis di sini. Ternyata, menjadi karma karena mengusik Fabian beserta istri.Kala berteman sepi dan kecewa, telepon genggam dalam saku celana pendek bergetar. Seketika perasaan pria itu membu
Dalam sekejap Dewa merebut nampan dari tangan Pandu. Enggan berdebat, pria berjambang tipis itu langsung duduk manis dan menyantap makan siangnya. Ada perasaan senang sekaligus cemas membalut dada. Senang karena Rosalyn masih perhatian, dan cemas sebab menolak makanan sederhana itu. “Terima kasih, Sayang.” Bibir Dewa melengkung indah menunjukkan ketulusan, dan Rosalyn hanya mengangguk sebagai balasan. Ia menggeser duduknya lantas menepuk sisi sofa yang kosong, lalu berujar, “Duduklah di sini, temani aku.” “Anak-anak menunggguku,” kata Rosalyn, lantas berlalu dari hadapan Dewa. Pandu pun mengekor di belakang wanita itu karena merinding merasakan aura menyeramkan muncul dari wajah bosnya. Kaki langit berubah gelap ditaburi kelap-kelip bintang. Semua orang bertukar tawa, Tuan Jack mengumandangkan lelucon yang membuat suasana malam penuh warna. Selain itu mereka berpasangan, duduk saling berdekatan bersama pujaan hati. Namun tidak dengan Dewa, posisinya saat ini cukup jauh dari Rosalyn
Pukul sepuluh pagi, Dewa kembali ke vila. Ia mengendap-endap seperti pencuri, melepas alas kaki dan memperhatikan sekitar ruangan. Tidak ada Rosalyn di sini, bahkan embusan napas wanita itu saja tak terdengar. “Di mana dia?” monolog pria itu. Gegas Dewa menuju kamar. Lagi, pembaringan ini sepi dan rapi, juga dingin. Seakan pemiliknya tidak pernah menginjakkan kaki di ruangan ini. Sepasang iris kelabu mengedar pada pintu kamar mandi. Tertutup, hanya kesunyian yang menghiasi. Pria bertubuh tinggi tegap itu memutuskan menghubungi Pandu. Ia duduk di tepi ranjang, dan netranya menangkap sehelai kertas biru menempel di atas nakas. [Aku beli camilan ke minimarket, bersama Arimbi dan Anna. Kamu tidak perlu khawatir.] Meskipun mendapat petunjuk yang menenangkan tetapi relung hati pria itu tetap cemas. Dewa teringat kala Rosalyn meninggalkan surat gugatan cerai di atas nakas. Kenangan itu teramat pedih dan ngilu, terbawa sampai sekarang. Semula Dewa ingin membasuh tubuh. Namun, mencari R
[Terima kasih cincinnya, Dewa. Ngomong-ngomong, kapan kamu menceraikan dia?] Jantung Rosalyn seketika merosot setelah membaca pesan di ponsel sang suami, dari seseorang wanita yang sudah jadi duri dalam pernikahannya. Dadanya semakin sakit seperti tertusuk ribuan jarum ketika melihat foto profil wanita itu. Di foto itu terlihat sang wanita sedang memamerkan cincin berlian yang melingkar elok di jari manis. "Jadi, cincin itu untuknya?" Rosalyn mungkin terlalu polos. Semula, ia pikir Dewa mengingat hari ulang tahunnya dan telah menyiapkan sebuah kado berupa cincin berlian. Namun, kini ia tahu ... Cincin itu untuk wanita kedua suaminya. Rosalyn meremas ponsel milik suaminya. Bibirnya melengkungkan senyum nelangsa. Mata almondnya memandang nanar sertifikat cincin yang ia temukan diantara tumpukan pakaian. “Apa yang kamu lakukan?” Tiba-tiba suara dingin seorang pria menusuk gendang telinga Rosalyn dan membuyarkan lamunan. “Ada pesan di ponselmu," tutur Rosalyn lemah, dengan suara
“Cerai katamu?!” ucap Dewa. Seketika pria itu langsung memutar tubuh menghadap Rosalyn dan memancarkan aura dingin yang menyelimuti kamar. “Apa yang harus dipertahankan, Dewa?" Rosalyn menahan sesak dalam dada. Ia mengepalkan tangan dengan kuat hingga kuku cantik menusuk telapaknya. "Kamu tidak mencintaiku. Kamu juga tidak menginginkan anak di pernikahan ini." Pria itu berjalan mendekati Rosalyn, lalu duduk di tepi ranjang. Jemari lentik Dewa menyapu halus kulit lengan seputih susu istrinya. Meskipun lembut, tidak ada kehangatan pada sentuhan itu. Rosalyn merinding dibuatnya. Ia tahu sentuhan ini pertanda suaminya sedang marah besar bukan sebuah ungkapan kasih sayang. Satu sudut bibir Dewa terangkat. Ia berkata, “Sepertinya kamu mulai gila, Rosalyn.” Sepersekian detik, Rosalyn terkesiap. Bukankah seharusnya Dewa senang atas permintaan cerai ini? Lagipula, mungkin pernyataan Dewa ada benarnya. Dia mungkin sudah gila. Orang waras mana yang akan terus mengejar cinta suami hasil da
"Kamu ... Fabian?!" Rosalyn nyaris tidak percaya melihat sosok pria yang dulu begitu dekat dengannya, kini muncul di hadapannya setelah sekian lama tak berjumpa. Fabian tersenyum lebar. “Kebetulan sekali kita bertemu. Bagaimana kabarmu?” Wajah tampan pria itu tampak menyejukkan di bawah sinar matahari musim semi. “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” Rosalyn tersenyum hangat, sejenak melupakan rasa lelahnya. Fabian menyahut dengan suara lembut, “Secara fisik aku sehat.” Sesaat kemudian Rosalyn merasakan Fabian memperhatikannya. Ia tahu pria itu sedang menunjukkan ketertarikan dan kekaguman yang tidak berubah sedari dulu. Tiba-tiba Fabian mengeluarkan kartu nama dan memberikannya kepada Rosalyn. Membuat wanita itu mengerutkan alis serta bertanya, “Ini untuk apa?” “Aku tahu kamu sangat berbakat. Kebetulan perusahaan kami sedang mencari seorang arsitek andal.” Sorot mata Fabian terlihat tulus ketika mengucapkannya. Pria itu menambahkan, “Datanglah besok, kami mengadakan wawacar
Sementara Rosalyn telah menghilang dari pandangannya, Dewa justru kini sedang dirundung perasaan aneh. Pria itu langsung mengajak sang kekasih meninggalkan kafe tersebut. "Ayo pulang, Vinsensia. Kamu harus beristirahat." Vinsensia mengangguk pelan. "Kamu tidak ingin menemui istrimu dulu?" Gadis itu menyeringai tipis, karena upayanya sebentar lagi membuahkan hasil. Namun, Dewa hanya terdiam, memasang wajah dingin dengan tatapan menghujam ke arah Rosalyn menghilang. “Biasanya sikap perempuan berubah karena memiliki pria idaman lain.” Wajah Vinsensia tampak seperti berpikir, tetapi kemudian berubah menjadi sedikit berempati. “Aku pikir, Rosalyn bisa menjadi istri yang baik.” Dewa menggeram sembari mengepalkan tangan. Kalimat yang diutarakan Vinsensia saat ini sungguh cocok dengan perubahan istrinya yang drastis kemarin. Melihat ekspresi marah Dewa, Vinsensia semakin menjadi-jadi merendahkan Rosalyn. “Seandainya itu benar, citramu bisa rusak andai kata media mengetahuinya. Menurutku