Pukul sepuluh pagi, Dewa kembali ke vila. Ia mengendap-endap seperti pencuri, melepas alas kaki dan memperhatikan sekitar ruangan. Tidak ada Rosalyn di sini, bahkan embusan napas wanita itu saja tak terdengar. “Di mana dia?” monolog pria itu. Gegas Dewa menuju kamar. Lagi, pembaringan ini sepi dan rapi, juga dingin. Seakan pemiliknya tidak pernah menginjakkan kaki di ruangan ini. Sepasang iris kelabu mengedar pada pintu kamar mandi. Tertutup, hanya kesunyian yang menghiasi. Pria bertubuh tinggi tegap itu memutuskan menghubungi Pandu. Ia duduk di tepi ranjang, dan netranya menangkap sehelai kertas biru menempel di atas nakas. [Aku beli camilan ke minimarket, bersama Arimbi dan Anna. Kamu tidak perlu khawatir.] Meskipun mendapat petunjuk yang menenangkan tetapi relung hati pria itu tetap cemas. Dewa teringat kala Rosalyn meninggalkan surat gugatan cerai di atas nakas. Kenangan itu teramat pedih dan ngilu, terbawa sampai sekarang. Semula Dewa ingin membasuh tubuh. Namun, mencari R
“Rosalyn ….” Anna hendak membantu ibu hamil itu berdiri, tetapi urung. Bahkan mendadak Rosalyn mendengar langkah kaki Anna menjauh dan embusan napas temannya itu menghilang. Ke mana? Ya, Rosalyn langsung mengangkat pandangan, dan melihat ke sekeliling. Tempat ini menjadi sepi, entah pergi ke mana Anna dan Pandu. Bukankah keduanya ada di sini? Tidak memusingkan mencari Anna atau Pandu, ia tetap berpikiran positif bahwa keduanya meminta bantuan lagi pada tim SAR. Sambil melihat kea rah parkiran mobil, Rosalyn berusaha berdiri tetapi rasa lemas pada tungkai membuatnya limbung. Tiba-tiba saja sepasang tangan kekar menopang bobot tubuh ibu hamil itu, kehangatan pun menjalar ke sekujur tubuh dan relung hati. Rasa ini bukanlah hal asing, ia sangat mengenalnya. Wanita itu memutar kepala 60 derajat. “Dewa?” lirih bibir merah merona. Seketika kelopak mata berbulu lentik bergetar dihiasi kristal bening yang siap memban
Paska peristiwa menegangkan di Danau Brienz, malam ini Rosalyn tidak melepaskan pelukan sedetik pun dari pinggang kekar sang suami. Keduanya duduk dan bersandar di kepala ranjang. Bahkan Rosalyn melarang Dewa mengambil ponsel di atas meja. Wanita hamil itu sangat posesif menjaga suaminya.“Ah … sekarang aku tahu dari mana sifat menggemaskan Arimbi.” Dewa mengulum senyum dan mengusak puncak rambut Rosalyn.“Ya, karena aku ibunya. Tentu saja mirip denganku. Sama seperti Brahma, dia itu Antakadewa kemasan sachet,” ucap bibir merah muda membuat Dewa menyemburkan tawa hingga perut sixpacknya terasa sakit. Jemari tangan kanan pria itu mencubit lembut bibir tipis sehingga mengerucut ke depan. Tiba-tiba Dewa menjadi penasaran tentang masa-masa kehamilan bocah kembar. Ia mengurai pelukan dari Rosalyn, meraih ujung rambut panjang yang harum lalu menggulungnya sambil menatap penuh cinta pada sang istri.“Sayang, aku mau tanya."Kelopak ma
Tanpa terasa keluarga Caldwell dan Arnold telah menghabiskan waktu selama lima hari di Iseltwald, Interlaken. Senja ini semuanya memutuskan kembali ke Kota Zurich. Mereka tiba di hunian masing-masing pukul lima sore.Rosalyn kelelahan dan memilih berbaring di dalam kamar. Sebelum istirahat, ia memeriksa ponsel karena sudah seminggu ini aplikasi berbalas chat sepi. Tidak ada informasi apa pun dari Lily. Satu sisi ia bersyukur, tetapi merasa khawatir.Sementara di ruang kerja, Dewa sedang melakukan meeting bersama Lily dan Fabian. Dua pria itu menuntut penjelasan dari orang kepercayaan Rosalyn.“Bagaimana bisa penjualan Bma bulan ini mengalami penurunan?” desak Dewa sambil menatap penuh tanya pada asisten pribadi sang istri.Wajah Lily tampak gugup diperhatikan dua orang pria berperngaruh dalam hidup atasannya. Gadis itu menjawab, “Sebenarnya itu … Pak—”“Apa ini semua berkaitan dengan Kevin? Kenapa dia jarang masuk kantor?” geram Dewa lagi.Lily menggeleng ragu, lalu Fabian menimpali,
[Terima kasih cincinnya, Dewa. Ngomong-ngomong, kapan kamu menceraikan dia?] Jantung Rosalyn seketika merosot setelah membaca pesan di ponsel sang suami, dari seseorang wanita yang sudah jadi duri dalam pernikahannya. Dadanya semakin sakit seperti tertusuk ribuan jarum ketika melihat foto profil wanita itu. Di foto itu terlihat sang wanita sedang memamerkan cincin berlian yang melingkar elok di jari manis. "Jadi, cincin itu untuknya?" Rosalyn mungkin terlalu polos. Semula, ia pikir Dewa mengingat hari ulang tahunnya dan telah menyiapkan sebuah kado berupa cincin berlian. Namun, kini ia tahu ... Cincin itu untuk wanita kedua suaminya. Rosalyn meremas ponsel milik suaminya. Bibirnya melengkungkan senyum nelangsa. Mata almondnya memandang nanar sertifikat cincin yang ia temukan diantara tumpukan pakaian. “Apa yang kamu lakukan?” Tiba-tiba suara dingin seorang pria menusuk gendang telinga Rosalyn dan membuyarkan lamunan. “Ada pesan di ponselmu," tutur Rosalyn lemah, dengan suara
“Cerai katamu?!” ucap Dewa. Seketika pria itu langsung memutar tubuh menghadap Rosalyn dan memancarkan aura dingin yang menyelimuti kamar. “Apa yang harus dipertahankan, Dewa?" Rosalyn menahan sesak dalam dada. Ia mengepalkan tangan dengan kuat hingga kuku cantik menusuk telapaknya. "Kamu tidak mencintaiku. Kamu juga tidak menginginkan anak di pernikahan ini." Pria itu berjalan mendekati Rosalyn, lalu duduk di tepi ranjang. Jemari lentik Dewa menyapu halus kulit lengan seputih susu istrinya. Meskipun lembut, tidak ada kehangatan pada sentuhan itu. Rosalyn merinding dibuatnya. Ia tahu sentuhan ini pertanda suaminya sedang marah besar bukan sebuah ungkapan kasih sayang. Satu sudut bibir Dewa terangkat. Ia berkata, “Sepertinya kamu mulai gila, Rosalyn.” Sepersekian detik, Rosalyn terkesiap. Bukankah seharusnya Dewa senang atas permintaan cerai ini? Lagipula, mungkin pernyataan Dewa ada benarnya. Dia mungkin sudah gila. Orang waras mana yang akan terus mengejar cinta suami hasil da
"Kamu ... Fabian?!" Rosalyn nyaris tidak percaya melihat sosok pria yang dulu begitu dekat dengannya, kini muncul di hadapannya setelah sekian lama tak berjumpa. Fabian tersenyum lebar. “Kebetulan sekali kita bertemu. Bagaimana kabarmu?” Wajah tampan pria itu tampak menyejukkan di bawah sinar matahari musim semi. “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” Rosalyn tersenyum hangat, sejenak melupakan rasa lelahnya. Fabian menyahut dengan suara lembut, “Secara fisik aku sehat.” Sesaat kemudian Rosalyn merasakan Fabian memperhatikannya. Ia tahu pria itu sedang menunjukkan ketertarikan dan kekaguman yang tidak berubah sedari dulu. Tiba-tiba Fabian mengeluarkan kartu nama dan memberikannya kepada Rosalyn. Membuat wanita itu mengerutkan alis serta bertanya, “Ini untuk apa?” “Aku tahu kamu sangat berbakat. Kebetulan perusahaan kami sedang mencari seorang arsitek andal.” Sorot mata Fabian terlihat tulus ketika mengucapkannya. Pria itu menambahkan, “Datanglah besok, kami mengadakan wawacar
Sementara Rosalyn telah menghilang dari pandangannya, Dewa justru kini sedang dirundung perasaan aneh. Pria itu langsung mengajak sang kekasih meninggalkan kafe tersebut. "Ayo pulang, Vinsensia. Kamu harus beristirahat." Vinsensia mengangguk pelan. "Kamu tidak ingin menemui istrimu dulu?" Gadis itu menyeringai tipis, karena upayanya sebentar lagi membuahkan hasil. Namun, Dewa hanya terdiam, memasang wajah dingin dengan tatapan menghujam ke arah Rosalyn menghilang. “Biasanya sikap perempuan berubah karena memiliki pria idaman lain.” Wajah Vinsensia tampak seperti berpikir, tetapi kemudian berubah menjadi sedikit berempati. “Aku pikir, Rosalyn bisa menjadi istri yang baik.” Dewa menggeram sembari mengepalkan tangan. Kalimat yang diutarakan Vinsensia saat ini sungguh cocok dengan perubahan istrinya yang drastis kemarin. Melihat ekspresi marah Dewa, Vinsensia semakin menjadi-jadi merendahkan Rosalyn. “Seandainya itu benar, citramu bisa rusak andai kata media mengetahuinya. Menurutku