Suara Shilom menarik perhatian Avanthe untuk mengangkat wajah. Dia merasa ada harapan, segera bergegas mendekati Shilom. Pertanyaan wanita itu, apakah dia baik – baik saja atau tidak. Sudah Avanthe pastikan jawabannya berada di ungkapan kedua.
Dia tidak baik – baik saja saat Hores mengurungnya seperti tawanan. Tidak ada kesalahan. Kai hanya berusaha membantu, tetapi pria itu telah memborong kebodohan untuk membiarkan ego merampas beberapa hal, yang seharusnya tetap membuat hubungan mereka masuk ke dalam pengaturan damai. Bukan malah meninggalkan Avanthe di sini, terkunci, menghadapi serentetan penolakan besar dalam dirinya. “Bisakah kau bukakan pintu ini untukku, Shilom?” Hanya itu yang bisa Avanthe katakan sebagaimana dia begitu ingin keluar. Berulang kali terus menekan ganggang pintu, berharap setidaknya Shilom menyimpan anak kunci untuk mempersilakannya melangkah pergi. “Aku tidak bisa, Ava. TuanSetelah satu malam, kegelisahan Avanthe tidak pernah hilang. Sesekali dia akan berusaha membuka pintu—lagi. Tidak ada hasil. Bahkan sedikit petunjuk tentang kapan Hores akan membiarkannya kembali menghirup udara segar berakhir seperti sesuatu yang mustahil. Avanthe hampir putus asa terkurung di dalam kamar, sendirian. Pria itu juga tidak pernah muncul lewat alasan apa pun, seolah ingin rasa sakitnya terperangkap makin jauh, hingga Hope juga tidak pernah dibiarkan sekali saja, mengeluarkan ocehan di depan pintu kamar. Avanthe menduga bahwa Hores tidak pernah ingin Hope berada di sekitarnya. Ingin benar – benar menyiksa, dan sungguh, pria itu telah berhasil melakukan hal tersebut. Dia seperti menghadapi dunia yang hancur. Tidak berdaya, tidak berguna, sementara yang tersisa hanya dinding kamar yang begitu kosong tak bernyawa. Menyedihkan. Hores seolah lupa memberinya makan. Sesuatu yang pria itu pikir adalah hukuman, atau barangkali memang tak berniat menemuinya, teta
Sambil menunggu jawaban pasti dari Kai. Avanthe sengaja menyembunyikan ponsel ke bawah ranjang. Dia akan berpura – pura, tak ingin menarik tingkat curiga Hores menjadi berlebihan, yang justru menyebabkan pria itu mengambil seluler genggaman miliknya. Sudah cukup Hores menahan segala sesuatu, pria itu akan secara sungguhan menjadikan Avanthe seperti manusia purba dan tawanan paling tidak waras setelah sisa akal sehat hampir terenggut hilang. Dia memilih menjatuhkan tubuh ... tidur menyamping menghadap dinding setelah beberapa saat Adriana pergi. Tidak ada yang bisa dilakukan, selain menikmati, atau berharap bisa berdamai dengan keheningan di sini. Avanthe perlahan mencoba untuk tidur, sekadar menahan rasa lapar dan keharusan mencegah rembesan air merembes di matanya saat merasa telah mengambil keputusan paling jahat, membiarkan janin dalam kandungannya membutuhkan sesuatu sebagai asupan, tetapi dia masih membiarkan ego terus melarang. Hores mungkin akan
Di benak Avanthe terus mengumamkan suatu pernyataan. Makhluk seperti Hores pasti menyesali keputusan untuk melenyapkan Laticia sekadar membelanya. Pria itu tak benar – benar melakukan perlindungan atas nama cinta, dan kemungkinan besar hanya suatu tujuan supaya segala sesuatu yang pernah dilakukan dapat kembali dipecaya. Namun, itu adalah hal paling mustahil setelah hari ini, kemarin, dan mungkin di waktu yang akan datang. Avanthe duduk terpaku di pinggir ranjang. Dia tidak melakukan apa – apa setelah Hores meninggalkannya sendirian di kamar, sempat mengunci pintu, kemudian, di sini, Adriana muncul membawa beberapa perangkat untuk membersihkan sisa pecahan piring yang melayang jatuh dan berhamburan. Tidak ada minat mengawasi apa pun yang sedang wanita itu lakukan. Avanthe membiarkan iris matanya menatap lurus – lurus ke luar jendela. Tempat di mana kehijauan, alam asri, yang terkumpul menjadi satu keindahan di kejauhan. Di sana, kebebasan begitu liar
Avanthe berada di balkon kamar, mengulurkan sebelah lengan ke udara sekadar mengambil drone yang terbang—diam—begitu dekat di hadapannya. Benda yang dikendalikan Kai dari jarak cukup jauh, tetapi pria itu masih bisa mengantisipasi kapan harus berhenti. Di sini, ketika tangan Avanthe sudah memisahkan dua jenis barang yang diikat di kaki drone, dan memasukkan ke saku celana, lalu dia membiarkan Kai membawa benda terbang tersebut menghilang. Samar – samar pandangan Avanthe menjadi titik hitam. Drone sudah bergerak cukup jauh, dia perlu kembali masuk ke dalam kamar, menutup pintu balkon, hingga bersikap seolah tidak pernah terjadi apa pun. Sambil melirik ke sekitar. Avanthe mengeluarkan kecoak hidup dari plastik, ya, hidup, untuk kemudian berjalan secara perlahan ke kamar mandi, melempar asal ke atas lantai yang lembab. Ini bagian dari rencana, hal yang telah dipikirkan matang – matang. Avanthe akan menunggu Adriana datang membawa sarapan, sementara itu,
“Sialan!”Hores mengumpat keras persis di halaman belakang rumah, menghadap pintu yang mencegah keputusannya untuk mengejar. Avanthe telah berani melakukan tindakan melarikan diri. Ingin menguji sejauh mana dia bisa lebih sabar, yang sebenarnya tidak sama sekali. Hores tidak pernah memiliki sedikitpun tentang hal itu. Tidak. Hanya kebetulan Hope terduga lebih rewel, menggeliat, sehingga dia berjalan ke dapur, berniat menitipkan si bayi sebentar kepada Shilom.Pada awalnya memang seperti itu. Hores sedikit berniat pergi ke kamar utama, menyusul Avanthe supaya mereka bisa berdamai, dan meminta agar wanita itu mau membujuk, tentunya tidak akan ada penolakan mengenai apa pun yang melibatkan Hope. Celakalah, keberanian Avanthe justru telah mengubah sedikit, setidaknya sesuatu yang telah Hores putuskan untuk lebih baik. Melarikan diri bersama pria tak diinginkan ....Hores berdecih sinis. Lewat langkah lebar memutuskan sekadar kembali ke dapur. Nicky di sana sudah me
“Sialan kau, Ava!” Hores mengumpat setelah menemukan ponsel di bawah ranjang. Kamar sudah hampir tak berupa, tetapi dia masih harus mengetahui percakapan di antara serentetan pesan di sana. Pelbagai rencana yang dibuat, dilakukan dengan mulus, dan akhirnya berhasil untuk melarikan diri, seperti memasak Hores ke dalam kemarahan lebih terjal. “Pelacur sialan!” Dia mengumpat lagi, lebih kasar sembari membanting ponsel di tangan hingga hancur secara sepesifik, menjadi beberapa keping dengan layar tidak layak diampuni. Luapan emosi harus ditanggung, dan satu – satunya yang paling diinginkan membayarnya adalah Avanthe. Rahang Hores bergemelatuk saat membayangkan kembali keputusan melarikan diri darinya. “Akan kubuat kau menyesali keputusan yang kau ambil, Ava. Percayalah.” Jemari tangan Hores mengetat keras. Sorot mata yang menyala – nyala tidak akan berhenti sampai kemudian langkah kaki seseorang datang secara terburu. “Tuan, ka
“Kau sudah mendapatkanku, Hores. Mengapa tidak melepaskan Kai. Biarkan dia pergi.”Tanah bebatuan terkadang menjadi guncangan di tengah perjalanan. Avanthe menatap lurus ke penjuru hutan. Kekhawatiran mengenai Kai tidak pernah habis. Sisa bawahan Hores masih memburu, mengejar pria itu sesuai perintah dari sang majikan. Dia tak bisa membayangkan tindakan Hores yang paling mendasar dan cara pria itu yang telah memenangkan taruhan. Tidak. Tentunya akan begitu banyak rasa sakit, andai Kai, tak dapat berbuat apa pun terhadap usaha meninggalkan tempat bersemak, atau setidaknya pria itu dapat bersembunyi hingga orang – orang yang mengintainya hilang dari peradaban.Tidak ada respons apa pun. Wajah Avanthe berpaling untuk mengetahui seperti apa kemungkinan terbaik yang bisa dia terima dari kebutuhan bernegosiasi. Celakalah, wajah Hores terlalu suram untuk diajak kompromi. Ini akan menjadi keputusan terburuk, jika Avanthe masih ingin mencobanya. Dia tidak tahu sejauh mana Hores akan
“Kau yakin akan menitipkannya kepadaku?” Masih ada pelbagai perasaan ragu, tetapi Avanthe tidak pernah memiliki pilihan setelah untuk pertama kali melahirkan gadis kecil yang cantik, kemudian menyerahkannya kepada satu orang begitu dekat. Kingston. Hanya saudara sepupu-nya yang bisa Avanthe percayakan supaya dia bisa memastikan keadaan selalu dalam kendali. Kelahiran bayi mungil ini akan menjadi masalah besar bagi dua kerajaan yang bertentangan. Avanthe tidak ingin mengambil risiko yang terlalu riskan. Dia menatap wajah merah dan bulat—seluruh tubuh bayi-nya nyaris dibungkus dalam balutan kain sutra lembut. Sekarang, dengan perasaan hampir tak dapat ditembus, Avanthe harus memindahkan bayi dalam dekapan tangannya ke lengan Kingston. Pria itu, bagaimanapun harus berakhir siap. Lamat sekali Avanthe mengamati wajah mungil si bayi yang diliputi mata memejam. Dia tersenyum tipis, nyaris menyerupai getir ketika memutuskan untuk mencium aroma putri kecilnya. Ini yang terbaik. Akan sela