Rencana untuk menunggu mereka sampai di rumah membuat Avanthe tidak bisa menahan diri lebih lama. Selama dalam perjalanan menuju pulang, dia terus mengamati wajah Hores yang begitu tenang, seolah tidak ada satu pun hal yang telah pria itu lakukan. Cukup dengan membiarkan mata gelapnya menatap lurus – lurus ke depan, sementara Carlo sedang menyetir, mengingat Hores datang ke bar diantar oleh Nicky.
“Hores.”Ragu – ragu akhirnya Avanthe memanggil nama pria itu. Wajah Hores langsung berpaling dengan ekspresi ganjil saat sedang menatapnya. Hal yang membuat Avanthe buru – buru melanjutkan sisa kalimat yang menggantung di ujung tenggorokan.“Apa yang kau lakukan kepada Laticia tidak terlalu berlebihan?”“Apanya yang berlebihan?”Setidaknya bicara bersama Hores memang akan menguras energi. Avanthe menahan napas sesaat, lalu mengembuskan secara perlahan. Perlukah Hores diberitahu apa yang sudah pria itu lakukan di bar tadi, sebelum mereka sepakat pulang bersama, adalah“Jadi, bagaimana hari pertamu setelah kembali bekerja?” Pertanyaan Shilom di pagi hari membuat Avanthe menunggu jeda beberapa saat. Dia tersenyum tipis sambil mengumpulkan sisa suapan terakhir ke dalam sendok untuk didekatkan di depan mulut mungil Hope. Si bayi menggeleng berulang kali persis seperti menolak. Mungkin sudah begitu kenyang sehingga Avanthe meletakkan mangkok plastik ke atas meja, sementara tangannya mulai membuka ikatan tali baby bip di leher Hope. “Aku senang dengan pekerjaanku. Sangat menyenangkan.” Dia menjawab diliputi kegiatan mengurus Hope. Hati – hati mengusap mulut mungil si kecil dengan tissue basah. Sesaat Avanthe ingin beranjak bangkit sekadar mencuci perlengkapan makan, tetapi Shilom segera menahannya. “Biar aku saja, Ava.” Bahkan wanita itu sudah merenggut sesuatu di tangannya, yang seketika memberi Avanthe perasaan tidak nyaman. “Tidak apa – apa?” tanyanya nyaris begitu ragu. Shilom b
“Apa yang kau lakukan di sini?” Suara berat dan dalam Hores sarat nada dingin membekukan. Penting mengetahui tujuan dari senyum yang menyeringai masam, tetapi juga terlihat menyimpan beberapa hal terselubung di sana. Keretakan di mata wanita itu kemarin malam seolah hilang tak bersisa, tergantikan oleh Laticia yang baru ... penuh keangkuhan. “Aku di sini untuk meminta tanggung jawab-mu.” Ntah tanggung jawab seperti apa yang wanita itu maksud. Avanthe mendeteksi ekspresi wajah Hores berubah gelap dan serius, bahkan memperhatikan Laticia begitu lamat. Ada sesuatu di antara mereka. Barangkali itulah yang nyaris tidak pernah Avanthe pikirkan. “Tanggung jawab apa?” Dia masih mengamati setiap percakapan antara Hores maupun Laticia yang segera melangkah lebih dekat. Sudut bibir wanita itu berkedut getir. Sekelebat muncul kilatan sinis saat mata Laticia mendelik ke arah Avanthe, kemudian tangan wanita itu mulai menyentuh dada liat Hores. Menyapukan dengan begitu tentatif seakan – aka
Hope baru saja tertidur lelap, yang Avanthe posisikan begitu nyaman di keranjang bayi. Dia mengusap lembut puncak kepala putri kecilnya, bersiap untuk meninggalkan kamar dengan harapan Shilom akan membutuhkan bantuan di dapur, tetapi alih – alih bayangan wanita itu muncul, Avanthe justru mendapati Laticia sudah berdiri angkuh di ambang pintu diliputi tangan saling mendekap di depan dada.Napas Avanthe secara murni berembus panjang. Dia sedang tidak ingin berurusan bersama Laticia atau semacam drama panjang yang ingin wanita itu berikan. Cukup terhadap kesalahan Hores, yang sungguh – sungguh akan membuat hubungan mereka kembali renggang, tidak lagi, Avanthe tidak ingin apa pun lagi.“Apa yang membuatmu tertarik datang ke sini?” Dia bertanya sarat nada defensif. Biar Laticia mengerti tentang sebuah aturan untuk tidak berusaha berjalan terlalu jauh. Mereka tidak memiliki keterikatan mutlak, selain terjebak di antara satu pria. Lagi pula, Avanthe tidak pernah berniat melakukan h
Nyatanya Laticia tahu bahwa Hores akan muncul, menjulang tinggi di depan pintu kamar, hingga memberi Avanthe rasa takut. Terakhir kali, pria itu melakukan pembelaan terhadap Laticia. Sekarang wanita yang sama; mungkin akan memutarbalikkan fakta, barangkali ... Hores pun akan percaya. Lambat sekali Avanthe berusaha bangun, tetapi dia tidak ingin mengatakan apa – apa sekadar melakukan pembelaan. Sudah menduga siapa yang akan dipersalah, terutama Laticia mengaku sedang mengandung anak pria itu, yang tidak pernah diberitahukan kejujuran. Avanthe takut akan terjadi sesuatu kepada kandungannya. Rasa sakit setelah kali pertama jatuh mungkin sedikit dapat dikendalikan. Dia hanya ingin memastikan langsung, menemui Shilom, dan yang paling penting ... tidak ingin dijadikan kambing hitam. Sudah cukup rasanya menghadapi tingkah berlebihan Laticia. Biarkan wanita itu berjaung keras mendapat perhatian Hores saat secara tiba – tiba sentuhan di lengan Avanthe membuatny
Avanthe berniat ingin mengakhiri langkahnya di dapur, tetapi dia sama sekali tak mengira Hores akan dengan cepat menyusul. Begitu dekat, seperti seekor anjing kelaparan.“Apa yang kau lakukan, Hores? Aku tidak nyaman terus kau ikuti terus – terusan begini?”Setengah enggan, Avanthe segera memastikan dia bertanya sambil berbalik badan, menatap Hores dengan wajah menengadah tinggi – tinggi saat pria itu menjulang kokoh, tak tersentuh.“Memastikan kau baik – baik saja.”Pernyataan Hores nyaris membuat Avanthe tak percaya. Dia mengerjap untuk mengenyahkan sisa – sisa gema dari suara berat dan dalam itu di puncak kepalanya. “Aku baik – baik saja.”Sambil menambahkan lambat, ada keinginan di benak Avanthe untuk menghindari kontak mata, memalingkan wajah. Akan tetapi, malah Hores mengambil dagunya supaya saling menatap.“Aku melihatmu sangat gelisah. Ada apa?”Sekali lagi, ntahlah, Avanthe merasa ganjil terhadap perubahan Hores yang ekstrim, seolah benaknya
Selama beberapa waktu di sini, Avanthe merasa cukup lega memikirkan Hores tidak akan menyusulnya. Pria itu disibukkan pelbagai hal dan memang ... sempat setuju pada permintaan yang telah Avanthe ajukan, bahwa jika pria itu akan datang hanya dengan tujuan sungguhan, bukan sengaja membuat huru – hara di sekitar bar dan mengusik pekerjaan apa pun yang Avanthe kerjakan. Rasanya menyenangkan ketika menyelesaikan segala sesuatu tanpa ketakutan di balik bahu. Avanthe tersenyum tipis, berpamitan pergi setelah menyerahkan pesanan ke meja tamu yang diberitahukan kepadanya. Pemikiran mengenai pria itu baru saja terlintas. Sekarang sulur – sulur Avanthe mendapati gestur tertentu dari Aleson, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan, dan itu menarik perhatian Avanthe supaya berjalan lebih dekat. “Ada apa?” Dia bertanya saat iris mata Aleson mengendar di setiap sudut bar. Tangan pria itu masih sibuk bekerja, tetapi tingkat kewaspadaan seperti telah mening
Avanthe memejam putus asa saat sentuhan yang begitu dingin seperti benar – benar memulai sebuah ukiran di wajahnya. Rasa sakit itu tidak lebih buruk dari apa yang pernah dia lalui selama ini. Laticia hanya mencoba menggertak, Avanthe tahu. Dia tidak akan memohon ampun, tak peduli jika pada akhirnya tetap terluka dan darah perlahan—mungkin—menetes di sana. “Ternyata kau cukup tangguh. Mengapa tidak menjerit saja? Biarkan aku merasa puas atas semua rasa sakit yang dialami.” “Kau mencari sakit-mu sendiri, bukan aku yang menyebabkannya. Tidak semua hal akan berakhir seperti keinginanmu. Kau tidak bisa menyalahkan orang lain atas segala sesuatu yang harusnya kau tanggung sendiri. Jika Hores tidak bisa mencintaimu, artinya kau perlu bertanya kepadanya mengapa. Apakah ada yang salah dalam dirimu, atau cintanya yang dulu memang tidak pernah berubah.” “Kau ingin menolak sejauh apa pun, Hores tetap mengenalku lebih dulu, tapi itu tidak bisa kau jadikan alasan unt
Bahu Avanthe menegang oleh sebuah jeritan dahsyat. Laticia sedang memohon ampun, tetapi dia hanya bisa berusaha keras memberanikan diri mengetahui apa yang sedang Hores kerjakan. Pria itu ... telah membiarkan tubuh Laticia telentang di atas ranjang. Sementara, dengan posisi duduk di atas tubuh yang tergoler tak berdaya, Hores disergap kebutuhan menyayat wajah Laticia dalam – dalam. Darah telah berjatuhan, seketika memberi Avanthe perasaan tidak nyaman. Dia merasa mual, segera membekap bibir erat dengan ketakutan menjalar di bahunya. “Hentikan, Roarke. Ini sangat menyakitkan.” Suara Laticia terdengar getir, tetapi Avanthe tidak bisa melakukan apa pun, memilih tidak melihat sisanya, hal – hal yang sangat mengerikan dan segala sesuatu di sana. “Saat kau lakukan ini kepadanya. Apa menurutmu itu tidak sakit?” “Sampai suaramu habis pun. Aku tidak akan memberimu ampun.” Hores sesadis itu, begitu bebas membiarkan suara Laticia menggelegar ke seluruh ruangan, seolah tak peduli ap