Hope baru saja tertidur lelap, yang Avanthe posisikan begitu nyaman di keranjang bayi. Dia mengusap lembut puncak kepala putri kecilnya, bersiap untuk meninggalkan kamar dengan harapan Shilom akan membutuhkan bantuan di dapur, tetapi alih – alih bayangan wanita itu muncul, Avanthe justru mendapati Laticia sudah berdiri angkuh di ambang pintu diliputi tangan saling mendekap di depan dada.
Napas Avanthe secara murni berembus panjang. Dia sedang tidak ingin berurusan bersama Laticia atau semacam drama panjang yang ingin wanita itu berikan. Cukup terhadap kesalahan Hores, yang sungguh – sungguh akan membuat hubungan mereka kembali renggang, tidak lagi, Avanthe tidak ingin apa pun lagi.“Apa yang membuatmu tertarik datang ke sini?” Dia bertanya sarat nada defensif. Biar Laticia mengerti tentang sebuah aturan untuk tidak berusaha berjalan terlalu jauh. Mereka tidak memiliki keterikatan mutlak, selain terjebak di antara satu pria. Lagi pula, Avanthe tidak pernah berniat melakukan hNyatanya Laticia tahu bahwa Hores akan muncul, menjulang tinggi di depan pintu kamar, hingga memberi Avanthe rasa takut. Terakhir kali, pria itu melakukan pembelaan terhadap Laticia. Sekarang wanita yang sama; mungkin akan memutarbalikkan fakta, barangkali ... Hores pun akan percaya. Lambat sekali Avanthe berusaha bangun, tetapi dia tidak ingin mengatakan apa – apa sekadar melakukan pembelaan. Sudah menduga siapa yang akan dipersalah, terutama Laticia mengaku sedang mengandung anak pria itu, yang tidak pernah diberitahukan kejujuran. Avanthe takut akan terjadi sesuatu kepada kandungannya. Rasa sakit setelah kali pertama jatuh mungkin sedikit dapat dikendalikan. Dia hanya ingin memastikan langsung, menemui Shilom, dan yang paling penting ... tidak ingin dijadikan kambing hitam. Sudah cukup rasanya menghadapi tingkah berlebihan Laticia. Biarkan wanita itu berjaung keras mendapat perhatian Hores saat secara tiba – tiba sentuhan di lengan Avanthe membuatny
Avanthe berniat ingin mengakhiri langkahnya di dapur, tetapi dia sama sekali tak mengira Hores akan dengan cepat menyusul. Begitu dekat, seperti seekor anjing kelaparan.“Apa yang kau lakukan, Hores? Aku tidak nyaman terus kau ikuti terus – terusan begini?”Setengah enggan, Avanthe segera memastikan dia bertanya sambil berbalik badan, menatap Hores dengan wajah menengadah tinggi – tinggi saat pria itu menjulang kokoh, tak tersentuh.“Memastikan kau baik – baik saja.”Pernyataan Hores nyaris membuat Avanthe tak percaya. Dia mengerjap untuk mengenyahkan sisa – sisa gema dari suara berat dan dalam itu di puncak kepalanya. “Aku baik – baik saja.”Sambil menambahkan lambat, ada keinginan di benak Avanthe untuk menghindari kontak mata, memalingkan wajah. Akan tetapi, malah Hores mengambil dagunya supaya saling menatap.“Aku melihatmu sangat gelisah. Ada apa?”Sekali lagi, ntahlah, Avanthe merasa ganjil terhadap perubahan Hores yang ekstrim, seolah benaknya
Selama beberapa waktu di sini, Avanthe merasa cukup lega memikirkan Hores tidak akan menyusulnya. Pria itu disibukkan pelbagai hal dan memang ... sempat setuju pada permintaan yang telah Avanthe ajukan, bahwa jika pria itu akan datang hanya dengan tujuan sungguhan, bukan sengaja membuat huru – hara di sekitar bar dan mengusik pekerjaan apa pun yang Avanthe kerjakan. Rasanya menyenangkan ketika menyelesaikan segala sesuatu tanpa ketakutan di balik bahu. Avanthe tersenyum tipis, berpamitan pergi setelah menyerahkan pesanan ke meja tamu yang diberitahukan kepadanya. Pemikiran mengenai pria itu baru saja terlintas. Sekarang sulur – sulur Avanthe mendapati gestur tertentu dari Aleson, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan, dan itu menarik perhatian Avanthe supaya berjalan lebih dekat. “Ada apa?” Dia bertanya saat iris mata Aleson mengendar di setiap sudut bar. Tangan pria itu masih sibuk bekerja, tetapi tingkat kewaspadaan seperti telah mening
Avanthe memejam putus asa saat sentuhan yang begitu dingin seperti benar – benar memulai sebuah ukiran di wajahnya. Rasa sakit itu tidak lebih buruk dari apa yang pernah dia lalui selama ini. Laticia hanya mencoba menggertak, Avanthe tahu. Dia tidak akan memohon ampun, tak peduli jika pada akhirnya tetap terluka dan darah perlahan—mungkin—menetes di sana. “Ternyata kau cukup tangguh. Mengapa tidak menjerit saja? Biarkan aku merasa puas atas semua rasa sakit yang dialami.” “Kau mencari sakit-mu sendiri, bukan aku yang menyebabkannya. Tidak semua hal akan berakhir seperti keinginanmu. Kau tidak bisa menyalahkan orang lain atas segala sesuatu yang harusnya kau tanggung sendiri. Jika Hores tidak bisa mencintaimu, artinya kau perlu bertanya kepadanya mengapa. Apakah ada yang salah dalam dirimu, atau cintanya yang dulu memang tidak pernah berubah.” “Kau ingin menolak sejauh apa pun, Hores tetap mengenalku lebih dulu, tapi itu tidak bisa kau jadikan alasan unt
Bahu Avanthe menegang oleh sebuah jeritan dahsyat. Laticia sedang memohon ampun, tetapi dia hanya bisa berusaha keras memberanikan diri mengetahui apa yang sedang Hores kerjakan. Pria itu ... telah membiarkan tubuh Laticia telentang di atas ranjang. Sementara, dengan posisi duduk di atas tubuh yang tergoler tak berdaya, Hores disergap kebutuhan menyayat wajah Laticia dalam – dalam. Darah telah berjatuhan, seketika memberi Avanthe perasaan tidak nyaman. Dia merasa mual, segera membekap bibir erat dengan ketakutan menjalar di bahunya. “Hentikan, Roarke. Ini sangat menyakitkan.” Suara Laticia terdengar getir, tetapi Avanthe tidak bisa melakukan apa pun, memilih tidak melihat sisanya, hal – hal yang sangat mengerikan dan segala sesuatu di sana. “Saat kau lakukan ini kepadanya. Apa menurutmu itu tidak sakit?” “Sampai suaramu habis pun. Aku tidak akan memberimu ampun.” Hores sesadis itu, begitu bebas membiarkan suara Laticia menggelegar ke seluruh ruangan, seolah tak peduli ap
“Sudah merasa lebih baik, Ava?” Iris mata Avanthe masih mencoba untuk mencari tahu sesuatu. Dia mengernyit heran menghadapi senyum samar di sudut bibir Shilom. Wanita itu segera duduk di pinggir kasur seraya mengusap puncak kepalanya lembut. Ini terlalu tiba – tiba. Rasanya Avanthe tak pernah ingat kapan dia pernah menjatuhkan diri di atas ranjang. Terakhir kali, yang tersisa adalah orang – orang seperti sedang berbisik di sekitar bar, lalu dia mati – matian menyembunyikan wajah di dekapan Hores yang hangat. Hanya itu. Sekarang ... masih dengan senyum Shilom di sana, Avanthe menelan ludah kasar sembari berusaha bangun, mengatur posisi duduk bersandar. “Ada apa denganku, Shilom?” Perasaan Avanthe tidak pasti, tetapi dia tak sanggup menemukan bagian yang seharusnya dia ketahui sendirian. Butuh Shilom untuk menjabarkan sesuatu. Wanita itu tidak keberatan melakukan, setelah menarik lengan mundur, dan sedikit menghela napas
“Ampun, Mr. Darkgray. Saya tidak tahu jika Laticia akan meminjam beberapa orang-ku untuk datang ke bar milik Anda.” Victor sudah bersimpuh ketakutan setelah Hores datang menggertak ke kediamannya sendiri. Dia sungguh tidak tahu ternyata Laticia akan membuat kekacauan di bar. Hores sangat berkuasa. Nyaris tidak ada celah untuk menandingi pria kaya secara materi dan segalanya. Setiap hentakan kaki yang mendekat, itu benar – benar menjadi ancaman nyata. Seluruh bahu Victor menegak tegang. Ujung sepatu Hores bahkan menjadi bagian yang tak dapat dia taklukkan. Pria itu sedang menjulang tinggi, kokoh, dan berbahaya. Terutama setelah Victor mengetahui jika orang – orang-nya telah tewas, termasuk Laticia. Dia sedang berdarah – darah, membayangkan akan segera menyusul adalah ketakutan terbesar. Ada keluarga yang masih harus dihidupi, tetapi salahnya ... memiliki wanita lain sebagai simpanan, yang justru menjadi bumerang jahat. “
Hope sudah bersamanya usai Carlo berpamitan pergi. Shilom benar. Pria itu tidak seburuk yang Avanthe bayangkan. Mungkin sedikit menyerupai Nicky, meski terdapat krisis perbedaan. Mereka bekerja kepada satu ‘bos’ yang sama. Barangkali hal demikian menjadi alasan utama. Lingkungan. Pergaulan. Avanthe segera membawa Hope menyisir lebih dekat ke dinding kaca. Arah pandang mereka menembus langsung ke halaman samping. Tangan Hope memukul – mukul di sana ketika gadis kecil itu menaruh perhatian pada kucing baru Hores yang sedang meringkuk santai di sana. Tidak ada tanggapan walau hewan tersebut, diberi nama Nicoco oleh pria yang tidak Avanthe ketahui keberadaannya, menyadari keberadaan si bayi. “Sangat sombong seperti ayahmu,” ucap Avanthe sambil mengamati wajah Hope yang begitu antusias, antara geram, tetapi gadis kecil itu tidak bisa menembus kaca hanya dengan telapak tangan yang mencoba terus menepuk – nepuk ringan. Tiba - tiba loncatan Hope sedi