Hope sudah bersamanya usai Carlo berpamitan pergi. Shilom benar. Pria itu tidak seburuk yang Avanthe bayangkan. Mungkin sedikit menyerupai Nicky, meski terdapat krisis perbedaan. Mereka bekerja kepada satu ‘bos’ yang sama. Barangkali hal demikian menjadi alasan utama. Lingkungan. Pergaulan.
Avanthe segera membawa Hope menyisir lebih dekat ke dinding kaca. Arah pandang mereka menembus langsung ke halaman samping. Tangan Hope memukul – mukul di sana ketika gadis kecil itu menaruh perhatian pada kucing baru Hores yang sedang meringkuk santai di sana. Tidak ada tanggapan walau hewan tersebut, diberi nama Nicoco oleh pria yang tidak Avanthe ketahui keberadaannya, menyadari keberadaan si bayi. “Sangat sombong seperti ayahmu,” ucap Avanthe sambil mengamati wajah Hope yang begitu antusias, antara geram, tetapi gadis kecil itu tidak bisa menembus kaca hanya dengan telapak tangan yang mencoba terus menepuk – nepuk ringan. Tiba - tiba loncatan Hope sedi‘Beberapa minggu lagi’ persis pernyataan hari itu. Untunglah kali ini Hores setuju melakukan perjalanan ke rumah Shilom dengan harapan yang Avanthe ajukan untuk mengetahui berapa persen prospek renovasi yang dikerjakan. Dia hanya ingin memastikan kapan akan kembali tinggal di tempat pertama kali Shilom menawarkan tumpangan. Sudah begitu dekat.Avanthe dengan antusias menegakkan bahu. Dia datang bersama Hores, berdua, tanpa melibatkan Hope. Si bayi masih terlalu kecil untuk berada di area pembangunan. Debu berhamburan dan suara – suara berisik menjadi alasannya kuat. Avanthe memalingkan wajah menatap Hores ketika pria itu menghentikan mobil sekian jengkal jarak dari halaman rumah Shilom. Perlu berjalan kaki untuk benar – benar bisa mengawasi secara langsung. Dugaan Avanthe benar tentang Hores yang melakukan perbahuruan besar. Dia yakin Shilom akan merasa tidak nyaman saat tahu kediaman-nya disulap nyaris begitu sempurna. Jauh dari keadaan rumah terdahulu, seakan –
Benak Avanthe bertanya – tanya. Tidak sadar jika pada akhirnya dia akan tergelincir oleh batu berukuran sedang. Hampir jatuh. Kai di samping segera memberi ruang untuk berpegangan. Lengan pria itu telah mendekap di pinggulnya. Sesuatu yang Hores perhatikan, tetapi tidak benar – benar menyaksikan dari awal. Salah paham adalah bagian terakhir dari yang bisa Hores kendalikan. Dia langsung melebarkan langkah. Menggenggam pergelangan Avanthe erat, lalu menyeretnya meningalkan Kai.“Hores, sakit ....”Semua mata menatap ke arah mereka. Kemarahan Hores yang dapat Avanthe rasakan seperti berusaha meluluh – lantakkan segala hal di sini. Dia menelan ludah kasar saat dipaksa mengikuti derap kaki yang menghentak kasar. Mereka menuju mobil. Sesaat Avanthe menoleh ke belakang. Dia tahu Kai berusaha ingin menyusul. Namun, gelengan samar darinya memastikan pria itu mengurungkan niat. Hores terlalu berbahaya. Rasa cemburu yang brutal dapat merusak pelbagai bagian dengan tak terduga. Avanthe
Ntah ini akan menjadi sebuah kesempatan atau tidak pernah. Avanthe segera mengambil tindakan untuk membuka pintu mobil. Dia harus pergi menyusul Hope sebelum Hores sanggup menepis jarak di antara mereka. Hanya perlu beberapa langkah menembus pintu terbuka dari gedung mentereng pria itu. Kamar menjadi satu – satunya pilihan. Avanthe harap Hope sedang tidur seperti terakhir kali dia memutuskan untuk meninggalkan si bayi sebentar. Sesekali, wajahnya akan setengah berpaling, memastikan kembali apakah Hores sudah begitu dekat, tetapi pria itu tidak menunjukkan tanda – tanda tertentu. Tidak terlihat di mana pun akan terungkap di belakang. Membuat Avanthe hampir berhenti, memikirkan sesuatu yang ambigu. Tidak. Matanya mengerjap cepat untuk kemudian melanjutkan langkah tertunda. Tidak mau mengambil risiko riskan apa pun. Hores mungkin sedang membangun siasat. Selalu memiliki pelbagai cara mengendalikan situasi di sekitar. Saat ini, yang sedang pria itu lakukan, sangat be
Suara Shilom menarik perhatian Avanthe untuk mengangkat wajah. Dia merasa ada harapan, segera bergegas mendekati Shilom. Pertanyaan wanita itu, apakah dia baik – baik saja atau tidak. Sudah Avanthe pastikan jawabannya berada di ungkapan kedua. Dia tidak baik – baik saja saat Hores mengurungnya seperti tawanan. Tidak ada kesalahan. Kai hanya berusaha membantu, tetapi pria itu telah memborong kebodohan untuk membiarkan ego merampas beberapa hal, yang seharusnya tetap membuat hubungan mereka masuk ke dalam pengaturan damai. Bukan malah meninggalkan Avanthe di sini, terkunci, menghadapi serentetan penolakan besar dalam dirinya. “Bisakah kau bukakan pintu ini untukku, Shilom?” Hanya itu yang bisa Avanthe katakan sebagaimana dia begitu ingin keluar. Berulang kali terus menekan ganggang pintu, berharap setidaknya Shilom menyimpan anak kunci untuk mempersilakannya melangkah pergi. “Aku tidak bisa, Ava. Tuan
Setelah satu malam, kegelisahan Avanthe tidak pernah hilang. Sesekali dia akan berusaha membuka pintu—lagi. Tidak ada hasil. Bahkan sedikit petunjuk tentang kapan Hores akan membiarkannya kembali menghirup udara segar berakhir seperti sesuatu yang mustahil. Avanthe hampir putus asa terkurung di dalam kamar, sendirian. Pria itu juga tidak pernah muncul lewat alasan apa pun, seolah ingin rasa sakitnya terperangkap makin jauh, hingga Hope juga tidak pernah dibiarkan sekali saja, mengeluarkan ocehan di depan pintu kamar. Avanthe menduga bahwa Hores tidak pernah ingin Hope berada di sekitarnya. Ingin benar – benar menyiksa, dan sungguh, pria itu telah berhasil melakukan hal tersebut. Dia seperti menghadapi dunia yang hancur. Tidak berdaya, tidak berguna, sementara yang tersisa hanya dinding kamar yang begitu kosong tak bernyawa. Menyedihkan. Hores seolah lupa memberinya makan. Sesuatu yang pria itu pikir adalah hukuman, atau barangkali memang tak berniat menemuinya, teta
Sambil menunggu jawaban pasti dari Kai. Avanthe sengaja menyembunyikan ponsel ke bawah ranjang. Dia akan berpura – pura, tak ingin menarik tingkat curiga Hores menjadi berlebihan, yang justru menyebabkan pria itu mengambil seluler genggaman miliknya. Sudah cukup Hores menahan segala sesuatu, pria itu akan secara sungguhan menjadikan Avanthe seperti manusia purba dan tawanan paling tidak waras setelah sisa akal sehat hampir terenggut hilang. Dia memilih menjatuhkan tubuh ... tidur menyamping menghadap dinding setelah beberapa saat Adriana pergi. Tidak ada yang bisa dilakukan, selain menikmati, atau berharap bisa berdamai dengan keheningan di sini. Avanthe perlahan mencoba untuk tidur, sekadar menahan rasa lapar dan keharusan mencegah rembesan air merembes di matanya saat merasa telah mengambil keputusan paling jahat, membiarkan janin dalam kandungannya membutuhkan sesuatu sebagai asupan, tetapi dia masih membiarkan ego terus melarang. Hores mungkin akan
Di benak Avanthe terus mengumamkan suatu pernyataan. Makhluk seperti Hores pasti menyesali keputusan untuk melenyapkan Laticia sekadar membelanya. Pria itu tak benar – benar melakukan perlindungan atas nama cinta, dan kemungkinan besar hanya suatu tujuan supaya segala sesuatu yang pernah dilakukan dapat kembali dipecaya. Namun, itu adalah hal paling mustahil setelah hari ini, kemarin, dan mungkin di waktu yang akan datang. Avanthe duduk terpaku di pinggir ranjang. Dia tidak melakukan apa – apa setelah Hores meninggalkannya sendirian di kamar, sempat mengunci pintu, kemudian, di sini, Adriana muncul membawa beberapa perangkat untuk membersihkan sisa pecahan piring yang melayang jatuh dan berhamburan. Tidak ada minat mengawasi apa pun yang sedang wanita itu lakukan. Avanthe membiarkan iris matanya menatap lurus – lurus ke luar jendela. Tempat di mana kehijauan, alam asri, yang terkumpul menjadi satu keindahan di kejauhan. Di sana, kebebasan begitu liar
Avanthe berada di balkon kamar, mengulurkan sebelah lengan ke udara sekadar mengambil drone yang terbang—diam—begitu dekat di hadapannya. Benda yang dikendalikan Kai dari jarak cukup jauh, tetapi pria itu masih bisa mengantisipasi kapan harus berhenti. Di sini, ketika tangan Avanthe sudah memisahkan dua jenis barang yang diikat di kaki drone, dan memasukkan ke saku celana, lalu dia membiarkan Kai membawa benda terbang tersebut menghilang. Samar – samar pandangan Avanthe menjadi titik hitam. Drone sudah bergerak cukup jauh, dia perlu kembali masuk ke dalam kamar, menutup pintu balkon, hingga bersikap seolah tidak pernah terjadi apa pun. Sambil melirik ke sekitar. Avanthe mengeluarkan kecoak hidup dari plastik, ya, hidup, untuk kemudian berjalan secara perlahan ke kamar mandi, melempar asal ke atas lantai yang lembab. Ini bagian dari rencana, hal yang telah dipikirkan matang – matang. Avanthe akan menunggu Adriana datang membawa sarapan, sementara itu,