Berulang kali hal yang sama terus dilakukan. Avanthe lamat – lamat mengamati dirinya di depan cermin. Gaun merah yang Kai berikan ternyata cukup terbuka di bagian dada hingga bahu dengan bekas luka cambuk di sana. Tidak tahu harus diapakan rambut panjang yang menjuntai. Avanthe tak yakin jika akan memperlihatkan seberapa kelam, dan sesuatu yang tak pernah terungkap dengan indah.
Dia berbalik badan hanya untuk memperhatikan lebih serius bagaimana bekas cambuk memanjang masih serupa hal mengerikan di benaknya. Dengan tangan sedikit bergetar ketika menyapukan ujung jari di bahu sendiri, bibir Avanthe segera melekuk getir. Mungkin tidak. Ya, dia tidak akan menjadikan rambutnya, mengikat, atau membentuk pelbagai jenis mode dengan keadaan gaun seperti ini. Terlalu buruk sekadar mengingatnya. Biarkan helaian panjang itu menjuntai. Avanthe harap Kai tidak keberatan saat mereka bertemu.Dia mengembuskan napas kasar. Kembali mengatur posisi lurus – lurus menghadap cermin. Tidak ada l“Kau suka pesta-nya?” Avanthe tersenyum menanggapi pertanyan Kai yang tiba – tiba merambat setelah hening beberapa saat. Banyak perisitwa indah di sini. Dia mengagumi detil dari konsep pesta dan pemiliknya yang begitu ramah. Mereka berbicara, tetapi Avanthe tidak ingin bersikap tamak dengan mengambil ruang bagi tamu lainnya. Giliran. Ya, dan sekarang dia hanya duduk menikmati hidangan makan malam. Kai selalu begitu dekat. Pria dengan setelah jas hitam dan kemeja putih yang kontras. Tampan ... mengimbangi mata kebiruan pria itu. “Aku suka,” jawab Avanthe usai melewati waktu beberapa saat. Sudut bibir Kai melekuk dengan tujuan bahwa mereka akan segera menyelesaikan hidangan di atas meja. Begini lebih baik. Avanthe sangat menikmati sentuhan rasa manis dari makanan penutup. Puding yang kenyal dan teksur lembut yang menyeluruh di lidahnya benar – benar menakjubkan. “Sepertinya kau sangat menyukai apa pun yang ada di sini. Lain kali, jika aku mendapat undangan pesta lagi, kau akan kua
Avanthe pikir Hores akan memberi Hope satu suapan. Tidak. Malahan pria itu seperti hanya menggoda si bayi ketika sudah membuka mulut. Dia segera mengatupkan bibir ketika Hores terkekeh pelan. Pria itu sedang menyaksikan bagaimana mata bulat terang Hope seolah menyimpan sesuatu untuk diasumsikan, persis menatap penuh dendam karena Hores telah mempermainkan keseriusannya. Avanthe tidak tahu harus tersenyum atau merasa kasihan, tetapi dia sedikit lega jika memang Hores tak memiliki niat sekadar memberi Hope puding. Dengan menyaksikan pria itu lagi – lagi membohongi putri kecilnya, lalu tertawa samar – samar, begitu puas, bahkan tampaknya benar – benar terhibur. Avanthe akhirnya mengambil langkah mundur. Kembali duduk di sisi Kai, meski sejak awal tatapan Kai tak pernah meninggalkan setiap apa pun keputusannya. “Anakmu akan baik – baik saja.” Begitu yang Kai bisikkan, terlalu hati – hati hingga Avanthe mengangguk pelan. Dia setuju setelah mengamati cara Hor
“Kau benar, Kai. Aku rasa aku—aku ma—“ “Lebih baik kau selesaikan urusanmu di rumah.” Suara dalam—khas—familiar, menyela-nya. Jawaban Avanthe tergantung di ujung tenggorokan. Dia membeku. Hanya dalam sekejap semua tiba – tiba berhenti seperti sebuah keputusan mutlak. Tidak ada yang menyangka Hores akan muncul seperti penjelmaan yang digariskan. Rahang pria itu bergemelatuk. Bagaimanapun telah berhasil memisahkan tubuh Avanthe dan Kai saat masih dengan posisi berdansa, walau mereka tidak bergerak. “Apa yang kau lakukan di sini?” Keterkejutan menyengat di sekitar mereka. Avanthe tidak bisa membiarkan Hores mengambil peran terlalu jauh. Membawa Hope di tempat ini tanpa izin atau bertanya padanya lebih dulu adalah sesuatu yang keliru, dan sekarang pria itu berusaha menghentikan percakapan yang Kai tawarkan secara serius, supaya kesepakatan menikah tidak pernah terjadi, begitu? Avanthe memiliki banyak hal yang dapat dia ungkapkan. Namun
“Mengapa kau berhenti di sini? Aku tidak mau. Bawa kami pulang ke rumah!”Sejak awal pemikiran itu sudah menyergap di puncak kepala Avanthe. Dia mendeteksi keinginan yang melebar di bahu Hores selama dalam perjalanan menuju pulang. Beberapa tikungan ganjil yang mereka lewati sudah memberitahu, dan sekarang ... di hadapan gedung mentereng, keraguan terungkap jelas di benak Avanthe. Dia hati – hati mengatur posisi tidur Hope ketika Hores bahkan sama sekali tak menaruh minat melirik ke arahnya. Pria itu beranjak keluar dari mobil, tetapi tak dimungkiri bahwa satu tindakan Hores yang jantan adalah membukakan pintu untuknya. Baguslah jika pria itu tahu konsep sederhana mengenai si bayi. Sungguh, mata gelap Hores hanya terpaku pada gadis kecil yang sedang tertidur lelap. Rasanya Avanthe enggan menurut pada keinginan itu, dia ingin menetap di sini, di sandaran jok yang empuk. Ironi. Mengetahui Shilom berada sekian jengkal jarak di antara mereka, segera membuat puncak kepala A
Keterkejutan menyergapnya ketika Avanthe menyadari pintu terbuka dan wajah Hores muncul dengan riak berbeda. Dia tidak tahu harus berkata – kata seperti apa ... baru saja berniat untuk mengikat tali gaun tidur, dan untunglah telah berpakaian utuh di hadapan pria yang sedang menyibukkan diri menatap Hope di keranjang bayi sambil satu tangan bergerak fokus membuka satu demi satu kancing kemeja gelapnya. Ntah apa yang sedang Hores pikirkan dengan terus – terusan mengamati gadis kecil mereka. Avanthe berusaha menentukan pilihan, bertanya – tanya haruskah sekarang dia mengatakan sesuatu? Paling tidak, mengungkapkan perasaan ganjil yang seolah sedang terperangkap deras di benaknya. Sedikit penambahan, perlu pengumpulan udara yang membludak supaya akan terasa jelas ketakutan itu tidak mengikuti bahu Avanthe. Dia buru – buru menyelesaikan ikatan tertunda di bagian pinggul, kemudian mengambil satu langkah lebih dekat. Menatap Hores hingga pria itu melirik ke arahnya.
Situasi di sekitar kamar cenderung tidak jauh berbeda dari terakhir kali Avanthe merasa sayup – sayup, tertidur, untuk kemudian terbangun di tempat serupa. Dia terpekur beberapa saat hanya karena ingin mengetahui apa saja telah dilewatkan. Berpikir akan mendapati Hores tidur di sebelah ranjang—bersamanya. Bahkan mengira tubuh jangkung pria itu akan persis terlihat sedang telentang, dan paling mungkin dengan pelbagai pose berbeda. Namun, sangat salah jika Avanthe masih menyimpulkan betapa sulit mengendalikan keinginan Hores. Pria itu sama sekali tidak muncul di mana pun di satu ruang ini. Semua masih seperti yang dia lihat semalam, bagaimana Hores meninggalkan kamar, lalu matahari terbit terlalu cepat. Avanthe mengernyit saat memindahkan pandangan ke tirai panjang yang menjuntai. Sulur – sulur cahaya berusaha menembus masuk ke dalam. Jantungnya segera berdebar memiliki kenyataan lain tentang Hores. Pria itu punya kebiasaan ganjil menculik Hope di pagi hari, membawa si kecil
Jika Kai baik – baik saja dan sanggup mengeluhkan apa yang terjadi semalam, bahkan menitiberatkan pelbagai macam hal ... termasuk sisi keberatan saat membicarakan orang – orang yang menghampirinya. Lantas ke mana Hores pergi sekarang? Secara pasti Avanthe menduga pria itu tidak menaruh minat sekadar melakukan sesuatu kepada Kai. Barangkali Hores mennyimpulkan keinginan yang lain, dan tidak menargetkan Kai sebagai mangsa. Tetapi bagaimana? Itu masih menjadi pertanyaan besar di benaknya. Tidak tahu seperti apa cara menyelesaikan konflik batin yang berperang darurat. Avanthe mengembuskan napas kasar sambil menatap layar ponsel Shilom yang menghitam. Dia perlu mengembalikan benda tersebut setelah bicara cukup lama dan berharap Kai segera pulih dari luka memar—hingga beberapa bagian, yang ‘katanya’ terasa ngilu nyaris di sekujur tubuh. Tenaga Hores tak terbendung, wajar apabila Kai harus melewati momen menyakitkan. Dan tanpa petunjuk tentang pria itu, rasanya Avanthe seperti be
“Lama tidak bertemu denganmu, Roarke. Kau terlihat mirip seperti mendiang ayahmu. Tampan, dan ya ... setidaknya cocok untuk menggantikan posisinya sementara waktu.” Senyum Margarheta Bell meninggalkan kesan menyedihkan, yang Hores harap dia tak menatap wanita itu lagi, tetapi kebutuhan dari pertemuan mereka bukan apa – apa selain menyelesaikan tujuan sesungguhnya di sini. Sudut bibir yang terangkat sinis telah mencoba menyimpulkan beberapa hal. Margarheta Bell duduk di hadapan Hores persis dibentengi sekian meter jarak oleh meja panjang di hadapan mereka. Di samping wanita itu; Haris Johannson, saudara laki – laki yang lain juga tak luput dari iris gelap Hores. Dua gelandangan yang harusnya tidak diterima di istana ini. Beruntunglah Hores sedang tak berminat menanggapi pernyataan ibunya dengan serius. Cenderung ingin pertemuan ini segera berakhir—dan wanita itu segera mengangkat kaki pergi. “Katakan perdamaian apa yang kau maksud.” Hores langsung menemb