“Mengapa kau berhenti di sini? Aku tidak mau. Bawa kami pulang ke rumah!”
Sejak awal pemikiran itu sudah menyergap di puncak kepala Avanthe. Dia mendeteksi keinginan yang melebar di bahu Hores selama dalam perjalanan menuju pulang. Beberapa tikungan ganjil yang mereka lewati sudah memberitahu, dan sekarang ... di hadapan gedung mentereng, keraguan terungkap jelas di benak Avanthe.Dia hati – hati mengatur posisi tidur Hope ketika Hores bahkan sama sekali tak menaruh minat melirik ke arahnya. Pria itu beranjak keluar dari mobil, tetapi tak dimungkiri bahwa satu tindakan Hores yang jantan adalah membukakan pintu untuknya. Baguslah jika pria itu tahu konsep sederhana mengenai si bayi. Sungguh, mata gelap Hores hanya terpaku pada gadis kecil yang sedang tertidur lelap. Rasanya Avanthe enggan menurut pada keinginan itu, dia ingin menetap di sini, di sandaran jok yang empuk.Ironi. Mengetahui Shilom berada sekian jengkal jarak di antara mereka, segera membuat puncak kepala AKeterkejutan menyergapnya ketika Avanthe menyadari pintu terbuka dan wajah Hores muncul dengan riak berbeda. Dia tidak tahu harus berkata – kata seperti apa ... baru saja berniat untuk mengikat tali gaun tidur, dan untunglah telah berpakaian utuh di hadapan pria yang sedang menyibukkan diri menatap Hope di keranjang bayi sambil satu tangan bergerak fokus membuka satu demi satu kancing kemeja gelapnya. Ntah apa yang sedang Hores pikirkan dengan terus – terusan mengamati gadis kecil mereka. Avanthe berusaha menentukan pilihan, bertanya – tanya haruskah sekarang dia mengatakan sesuatu? Paling tidak, mengungkapkan perasaan ganjil yang seolah sedang terperangkap deras di benaknya. Sedikit penambahan, perlu pengumpulan udara yang membludak supaya akan terasa jelas ketakutan itu tidak mengikuti bahu Avanthe. Dia buru – buru menyelesaikan ikatan tertunda di bagian pinggul, kemudian mengambil satu langkah lebih dekat. Menatap Hores hingga pria itu melirik ke arahnya.
Situasi di sekitar kamar cenderung tidak jauh berbeda dari terakhir kali Avanthe merasa sayup – sayup, tertidur, untuk kemudian terbangun di tempat serupa. Dia terpekur beberapa saat hanya karena ingin mengetahui apa saja telah dilewatkan. Berpikir akan mendapati Hores tidur di sebelah ranjang—bersamanya. Bahkan mengira tubuh jangkung pria itu akan persis terlihat sedang telentang, dan paling mungkin dengan pelbagai pose berbeda. Namun, sangat salah jika Avanthe masih menyimpulkan betapa sulit mengendalikan keinginan Hores. Pria itu sama sekali tidak muncul di mana pun di satu ruang ini. Semua masih seperti yang dia lihat semalam, bagaimana Hores meninggalkan kamar, lalu matahari terbit terlalu cepat. Avanthe mengernyit saat memindahkan pandangan ke tirai panjang yang menjuntai. Sulur – sulur cahaya berusaha menembus masuk ke dalam. Jantungnya segera berdebar memiliki kenyataan lain tentang Hores. Pria itu punya kebiasaan ganjil menculik Hope di pagi hari, membawa si kecil
Jika Kai baik – baik saja dan sanggup mengeluhkan apa yang terjadi semalam, bahkan menitiberatkan pelbagai macam hal ... termasuk sisi keberatan saat membicarakan orang – orang yang menghampirinya. Lantas ke mana Hores pergi sekarang? Secara pasti Avanthe menduga pria itu tidak menaruh minat sekadar melakukan sesuatu kepada Kai. Barangkali Hores mennyimpulkan keinginan yang lain, dan tidak menargetkan Kai sebagai mangsa. Tetapi bagaimana? Itu masih menjadi pertanyaan besar di benaknya. Tidak tahu seperti apa cara menyelesaikan konflik batin yang berperang darurat. Avanthe mengembuskan napas kasar sambil menatap layar ponsel Shilom yang menghitam. Dia perlu mengembalikan benda tersebut setelah bicara cukup lama dan berharap Kai segera pulih dari luka memar—hingga beberapa bagian, yang ‘katanya’ terasa ngilu nyaris di sekujur tubuh. Tenaga Hores tak terbendung, wajar apabila Kai harus melewati momen menyakitkan. Dan tanpa petunjuk tentang pria itu, rasanya Avanthe seperti be
“Lama tidak bertemu denganmu, Roarke. Kau terlihat mirip seperti mendiang ayahmu. Tampan, dan ya ... setidaknya cocok untuk menggantikan posisinya sementara waktu.” Senyum Margarheta Bell meninggalkan kesan menyedihkan, yang Hores harap dia tak menatap wanita itu lagi, tetapi kebutuhan dari pertemuan mereka bukan apa – apa selain menyelesaikan tujuan sesungguhnya di sini. Sudut bibir yang terangkat sinis telah mencoba menyimpulkan beberapa hal. Margarheta Bell duduk di hadapan Hores persis dibentengi sekian meter jarak oleh meja panjang di hadapan mereka. Di samping wanita itu; Haris Johannson, saudara laki – laki yang lain juga tak luput dari iris gelap Hores. Dua gelandangan yang harusnya tidak diterima di istana ini. Beruntunglah Hores sedang tak berminat menanggapi pernyataan ibunya dengan serius. Cenderung ingin pertemuan ini segera berakhir—dan wanita itu segera mengangkat kaki pergi. “Katakan perdamaian apa yang kau maksud.” Hores langsung menemb
“Kau bicara omong kosong.”Mulut Hores mendesis sinis. Margarheta Bell mencoba melakukan negosiasi dengan sengaja melibatkan kematian Raja Vanderox. Tetapi, sangat salah jika wanita itu berpikir Hores akan mudah terlarut ke dalam sikap licik tersebut. Mustahil kematian ayahnya dapat dikembalikan, meskipun memang Hores sengaja menyimpan jasad mendiang Raja Vanderox bersama Ellordi—pria yang Avanthe lihat telah terpenggal, di suatu tempat tak terlacak. Hanya dia dan beberapa kelompok anggota kerajaan yang mengetahui. Tidak termasuk Margarheta Bell, ntah wanita itu akan tersenyum, kemudian melanjutkan kata – kata tertunda.“Terserah kau mau percaya padaku atau tidak, Roarke. Tapi aku sarankan, lebih baik kau tidak pernah lupa bahwa aku pernah menghidupkan kembali salah satu panglima kerajaan ketika terluka parah di medan perang. Itu sudah lama. Aku rasa kau tidak akan pernah ingat, terutama saat kau begitu berambisi pada satu wanita di Kerajaan Ossoron.”“Jangan membahas-ny
Perjalanan terakhir sudah begitu dekat dari garis langkah untuk benar – benar mengakhiri sebuah kehidupan menyedihkan. Hores hanya mengenakan celana kain panjang licin, yang sewarna putih mencolok, kontras dengan kulit perunggunya ketika sedang bertelanjang dada. Dia bersimpuh di hadapan api panas yang membara tanpa mengatakan apa pun lagi. Tidak ada yang perlu diuraikan. Bahkan Margarheta Bell telah begitu siap memulai ritual kematian. Pakaian gelap di tubuh wanita itu adalah pernyataan mutlak. Hores hanya perlu disirami lahar mengerikan di beberapa bagian; bahu kiri dan kanan, kemudian siraman terakhir akan dihantam dengan keras di area punggung—tempat untuk merepuhkan ruang bagi sayapnya mekar.Panas membuat wajah Hores basah. Sementara saat ini Margerheta Bell sedang begitu hati – hati mendayukan gayung yang terbuat dari emas murni dan tebal, diliputi ganggangnya yang panjang dilapisi kikisan kulit kayu mahoni. Lelehan api sedang meletup – letup ketika Haris Johannson s
Setelah berkutat dengan waktu – waktu yang panjang dan kekhawatiran yang terasa terpanggang, akhirnya Shilom menawarkan sesuatu—bagian tak terduga bahwa Hope akan segera diam, lebih tenang walau Avanthe harus menghadapi kesulitan melepaskan si bayi ke keranjang tidur. Pakaian bekas Hores. Ya, Hope harus dirayu dengan aroma tubuh ayahnya yang melekat di sana, mengirim sugesti kepada gadis kecil itu bahwa Hores ada di antara mereka. Avanthe menipiskan bibir acapkali dia mengamati tangan – tangan mungil Hope menggenggam erat pada kaos hitam polos, seolah begitu mengagumi pria yang berada ntah di mana saat ini. Apakah Hores baik – baik saja atau justru hal buruk sedang berlaku bagi pria itu? Nicky sudah tidak terlihat lagi sejak terakhir kali mereka bertemu. Avanthe tidak tahu ke mana orang kepercayaan Hores meninggalkan mansion. Berpikir barangkali Nicky akan kembali membawa majikannya pulang. Semoga saja. “Aku rasa Hope memang sedang merindukan Tuan Roa
“Ava, Tuan Roarke sudah pulang.” Betapa Avanthe tersentak, tak menyangka harus mendapati Shilom tiba – tiba membuka pintu kamar saat dia baru saja meletakkan Hope ke keranjang bayi. Dengan wajah menoleh ke arah belakang. Tanpa sadar Avanthe menipiskan bibir menatap Shilom sedang menyerukkan kepala ke dalam ruangan, sementara tubuh wanita itu tertahan di depan pintu. Ada kelegaan sekaligus ketakutan di sana, yang tidak Avanthe mengerti. Mengapa Shilom tampaknya ingin menyampaikan pesan darurat. Akhirnya, ragu – ragu dia mengambil langkah demi langkah menghampiri wanita yang kemudian berjalan masuk ke dalam kamar.“Apa katamu tadi?” tanya Avanthe sekadar memastikan. Shilom menelan ludah kasar, lantas menunjukkan lipatan kain kepadanya.“Kau harus hati – hati. Tuan Roarke sepertinya sedang tidak baik – baik saja. Beliau mabuk, dan memintaku agar memintamu memakai ini, Tuan bilang kau harus melayaninya.”Sebelah alis Avanthe terangkat tinggi. Bertanya – tanya apaka