Perjalanan terakhir sudah begitu dekat dari garis langkah untuk benar – benar mengakhiri sebuah kehidupan menyedihkan. Hores hanya mengenakan celana kain panjang licin, yang sewarna putih mencolok, kontras dengan kulit perunggunya ketika sedang bertelanjang dada. Dia bersimpuh di hadapan api panas yang membara tanpa mengatakan apa pun lagi. Tidak ada yang perlu diuraikan. Bahkan Margarheta Bell telah begitu siap memulai ritual kematian. Pakaian gelap di tubuh wanita itu adalah pernyataan mutlak. Hores hanya perlu disirami lahar mengerikan di beberapa bagian; bahu kiri dan kanan, kemudian siraman terakhir akan dihantam dengan keras di area punggung—tempat untuk merepuhkan ruang bagi sayapnya mekar.
Panas membuat wajah Hores basah. Sementara saat ini Margerheta Bell sedang begitu hati – hati mendayukan gayung yang terbuat dari emas murni dan tebal, diliputi ganggangnya yang panjang dilapisi kikisan kulit kayu mahoni.Lelehan api sedang meletup – letup ketika Haris Johannson sSetelah berkutat dengan waktu – waktu yang panjang dan kekhawatiran yang terasa terpanggang, akhirnya Shilom menawarkan sesuatu—bagian tak terduga bahwa Hope akan segera diam, lebih tenang walau Avanthe harus menghadapi kesulitan melepaskan si bayi ke keranjang tidur. Pakaian bekas Hores. Ya, Hope harus dirayu dengan aroma tubuh ayahnya yang melekat di sana, mengirim sugesti kepada gadis kecil itu bahwa Hores ada di antara mereka. Avanthe menipiskan bibir acapkali dia mengamati tangan – tangan mungil Hope menggenggam erat pada kaos hitam polos, seolah begitu mengagumi pria yang berada ntah di mana saat ini. Apakah Hores baik – baik saja atau justru hal buruk sedang berlaku bagi pria itu? Nicky sudah tidak terlihat lagi sejak terakhir kali mereka bertemu. Avanthe tidak tahu ke mana orang kepercayaan Hores meninggalkan mansion. Berpikir barangkali Nicky akan kembali membawa majikannya pulang. Semoga saja. “Aku rasa Hope memang sedang merindukan Tuan Roa
“Ava, Tuan Roarke sudah pulang.” Betapa Avanthe tersentak, tak menyangka harus mendapati Shilom tiba – tiba membuka pintu kamar saat dia baru saja meletakkan Hope ke keranjang bayi. Dengan wajah menoleh ke arah belakang. Tanpa sadar Avanthe menipiskan bibir menatap Shilom sedang menyerukkan kepala ke dalam ruangan, sementara tubuh wanita itu tertahan di depan pintu. Ada kelegaan sekaligus ketakutan di sana, yang tidak Avanthe mengerti. Mengapa Shilom tampaknya ingin menyampaikan pesan darurat. Akhirnya, ragu – ragu dia mengambil langkah demi langkah menghampiri wanita yang kemudian berjalan masuk ke dalam kamar.“Apa katamu tadi?” tanya Avanthe sekadar memastikan. Shilom menelan ludah kasar, lantas menunjukkan lipatan kain kepadanya.“Kau harus hati – hati. Tuan Roarke sepertinya sedang tidak baik – baik saja. Beliau mabuk, dan memintaku agar memintamu memakai ini, Tuan bilang kau harus melayaninya.”Sebelah alis Avanthe terangkat tinggi. Bertanya – tanya apaka
“Hope.”Napas Avanthe bahkan begitu tercekat ketika dia mendorong pintu kamar, dan berhenti sebentar menyaksikan sebuah pemandangan menyakitkan. Sudah membayangkan apa yang akan Hores lakukan, tetapi malahan pria itu berada dalam posisi tidur tidak nyaman; duduk bersandar tidak jauh dari keranjang bayi dengan satu kaki menekuk ke dalam, sementara yang lainnya berselonjor panjang. Wajah Hores begitu miring saat benar – benar sedang tak sadarkan diri, mungkin pria itu masih terambang sehingga Avanthe memutuskan segera mendekat. Lembut sekali lengannya terulur sekadar menyentuh rahang kasar Hores. Untunglah pria itu tak terduga melukai Hope. Avanthe bisa merasa sedikit tenang dan mencoba membangunkan Hores dengan suara berbisik – bisik pelan.“Hores, bangun. Pindahlah ke ranjang-mu, di sini sangat dingin.”Ada sesuatu yang berbeda dari Hores. Terkadang Avanthe merasa begitu tahu, tetapi di satu waktu bersamaan seluruh pengetahuannya lenyap dalam sekejap. Pria itu bisa
Kelopak mata Avanthe terbuka ketika sayup – sayup ocehan Hope memenuhi seisi kamar. Dia langsung tersentak bangun menyadari sesuatu yang hampir dilupakan. Hores. Dengan tidur saling membelakangi, sekarang Avanthe mulai melirik ke arah pria itu. Posisi tidur Hores bahkan tidak berubah dari terakhir kali. Dia ingin menegur pria itu, tetapi Avanthe mengerti bahwa seharusnya hal paling pertama adalah menghampiri si gadis kecil. Sambil merapikan rambut panjang yang berserak di sekitar wajah, Avanthe lantas menapakkan kaki di atas marmer dingin. Langkahnya tentatif menuju ke keranjang bayi, tersenyum tipis saat Hope menunjukkan sikap antusiasme dalam menyambutnya, yang ternyata sudah dengan keadaan duduk dan menggerakkan tangan ke udara. “Kapan Hope – Hope bangun?” Avanthe bertanya lembut sekadar tidak ingin keheningan membayanginya dari peristiwa – peristiwa yang terungkap dari Hores semalam. Tidak dimungkir
“Katakan di mana Roarke? Aku mau bertemu dengannya sekarang!”Avanthe menoleh mendapati keributan di sekitar ruangan. Suara seseorang terdengar tidak asing. Dia berusaha mengingatnya, pada akhirnya terpaku pada bayangan wajah wanita beberapa waktu lalu.Laticia.Kening Avanthe mengernyit membayangkan akan ada kekacauan seperti terakhir kali mereka bertemu. Laticia mungkin akan melakukan sesuatu, yang terburuk, terutama wanita itu memiliki ketertarikan kepada Hope, dan juga selalu berniat mencari perhatian Hores.Avanthe segera mendengkus. Berusaha mengabaikan beberapa suara – suara di sana—terdengar semakin dekat, tetapi dia hanya ingin menyelesaikan makan siang Hope. Beberapa sendok lagi akan selesai.Satu suapan diterima dengan lahap. Sesekali Avanthe akan mengusap anak rambut yang dibiarkan terurai. Hores selalu senang mengikat helai halus Hope. Ironi. Nicky sama sekali tidak memberi petunjuk apa pun, termasuk pintu kamar sejak tadi masih dalam posisi serupa,
Barangkali saat ini adalah untuk mencari tahu. Ya, Avanthe segera menyingkirkan ego yang mencoba melarang. Tetap membawa Hope menapak satu demi satu undakan yang bertingkat – tingkat. Jarak sudah begitu dekat dan sayup – sayup Avanthe mendapati kata – kata terucap dari mulut Hores sarat nada marah, meski di sisi lainnya bantahan Laticia meliputi suara pria yang nyaris terdengar begitu berbeda. Avanthe mulai mengerti. Dugaannya tentang Hores adalah salah. Tampaknya pria itu harus berusaha mencegah Laticia. Tubuh wanita tersebut tampak begitu jelas, sementara Hores di dalam kamar seperti hanya ingin Laticia menyingkir agar pria itu bisa merapatkan pintu. Apakah benar terlalu sakit sehingga rasanya Hores tidak memiliki tenaga sekadar mendorong Laticia pergi? Dia masih bertanya – tanya tanpa menyadari suara wanita itu akan kembali ke permukaan. “Biarkan aku masuk, Roarke. Kau belum jawab pertanyaanku! Ada apa dengan luka itu?” Avanthe begitu ragu melanjutka
Setelah memakaikan Hope sepatu, topi dan menyulap si bayi agar terlihat makin menggemaskan. Avanthe perlahan – lahan meletakkan putri kecilnya duduk tidak jauh dari pohon dengan menambahkan alas tipis di atas rumput. Dia tersenyum saat Hope sesekali mengoceh. Tangan – tangan si bayi begitu antusias menjambak tanaman hijau yang tumbuh merata, tetapi Avanthe segera mencegah. Ini bukan rumput liar. Hope tidak diperkenankan melakukan sesuatu tanpa izin Hores. Atau barangkali tindakan putri kecilnya akan membuat Freed, tukang kebun, marah telah mengacaukan halaman belakang mansion yang pria itu rawat. “Main ini saja, Sayang.” Dengan tentatif Avanthe menyerahkan mainan kubus, kemudian si bayi menerima dengan lambat. Kali ini tidak diliputi niat memasukkan apa pun ke dalam mulut, meski Hope malah memukul kubus mainnya ke permukaan alas di sekitar gadis kecil itu. Pemandangan mengesankan. Namun, ntah mengapa Avanthe merasa sesuatu yang ganjil mencoba untuk mer
Setelah memastikan Hope sudah sedikit tenang. Secara diam – diam Avanthe mengikuti ke mana pun pria yang sedang memegang kunci pergi. Terlihat fokus mengawasi keadaan di istana hingga beberapa saat kemudian pria itu berhenti di satu tempat. Matanya melirik ke sekitar, dan membuat Avanthe segera bersembunyi di balik pintu. Berharap Hope tidak bersuara dan meninggalkan kecurigaan yang menegangkan. Sesekali dia akan mengintip, sedikit merasa lega ketika mengetahui pria itu menggantung anak kunci ke pengait yang merekat di dinding, melangkah pergi meninggalkan mereka berdua. Pelan sekali, Avanthe menderap pergi ke satu arah dengan serius. Ada begitu banyak kunci bergelantungan di sana. Dia bingung, sama sekali tidak tahu mana anak kunci yang pas terhadap lubang di ganggang pintu kamar Hores. Bentuk yang terlihat di hadapannya hampir secara keseluruhan memiliki kesamaan. Dan tadi, Avanthe tidak melihat dengan cukup jelas saat masih berada di tangan Nicky. Lengan Avanthe terulur, perlah