“Hope.”
Napas Avanthe bahkan begitu tercekat ketika dia mendorong pintu kamar, dan berhenti sebentar menyaksikan sebuah pemandangan menyakitkan. Sudah membayangkan apa yang akan Hores lakukan, tetapi malahan pria itu berada dalam posisi tidur tidak nyaman; duduk bersandar tidak jauh dari keranjang bayi dengan satu kaki menekuk ke dalam, sementara yang lainnya berselonjor panjang. Wajah Hores begitu miring saat benar – benar sedang tak sadarkan diri, mungkin pria itu masih terambang sehingga Avanthe memutuskan segera mendekat.Lembut sekali lengannya terulur sekadar menyentuh rahang kasar Hores. Untunglah pria itu tak terduga melukai Hope. Avanthe bisa merasa sedikit tenang dan mencoba membangunkan Hores dengan suara berbisik – bisik pelan.“Hores, bangun. Pindahlah ke ranjang-mu, di sini sangat dingin.”Ada sesuatu yang berbeda dari Hores. Terkadang Avanthe merasa begitu tahu, tetapi di satu waktu bersamaan seluruh pengetahuannya lenyap dalam sekejap. Pria itu bisaKelopak mata Avanthe terbuka ketika sayup – sayup ocehan Hope memenuhi seisi kamar. Dia langsung tersentak bangun menyadari sesuatu yang hampir dilupakan. Hores. Dengan tidur saling membelakangi, sekarang Avanthe mulai melirik ke arah pria itu. Posisi tidur Hores bahkan tidak berubah dari terakhir kali. Dia ingin menegur pria itu, tetapi Avanthe mengerti bahwa seharusnya hal paling pertama adalah menghampiri si gadis kecil. Sambil merapikan rambut panjang yang berserak di sekitar wajah, Avanthe lantas menapakkan kaki di atas marmer dingin. Langkahnya tentatif menuju ke keranjang bayi, tersenyum tipis saat Hope menunjukkan sikap antusiasme dalam menyambutnya, yang ternyata sudah dengan keadaan duduk dan menggerakkan tangan ke udara. “Kapan Hope – Hope bangun?” Avanthe bertanya lembut sekadar tidak ingin keheningan membayanginya dari peristiwa – peristiwa yang terungkap dari Hores semalam. Tidak dimungkir
“Katakan di mana Roarke? Aku mau bertemu dengannya sekarang!”Avanthe menoleh mendapati keributan di sekitar ruangan. Suara seseorang terdengar tidak asing. Dia berusaha mengingatnya, pada akhirnya terpaku pada bayangan wajah wanita beberapa waktu lalu.Laticia.Kening Avanthe mengernyit membayangkan akan ada kekacauan seperti terakhir kali mereka bertemu. Laticia mungkin akan melakukan sesuatu, yang terburuk, terutama wanita itu memiliki ketertarikan kepada Hope, dan juga selalu berniat mencari perhatian Hores.Avanthe segera mendengkus. Berusaha mengabaikan beberapa suara – suara di sana—terdengar semakin dekat, tetapi dia hanya ingin menyelesaikan makan siang Hope. Beberapa sendok lagi akan selesai.Satu suapan diterima dengan lahap. Sesekali Avanthe akan mengusap anak rambut yang dibiarkan terurai. Hores selalu senang mengikat helai halus Hope. Ironi. Nicky sama sekali tidak memberi petunjuk apa pun, termasuk pintu kamar sejak tadi masih dalam posisi serupa,
Barangkali saat ini adalah untuk mencari tahu. Ya, Avanthe segera menyingkirkan ego yang mencoba melarang. Tetap membawa Hope menapak satu demi satu undakan yang bertingkat – tingkat. Jarak sudah begitu dekat dan sayup – sayup Avanthe mendapati kata – kata terucap dari mulut Hores sarat nada marah, meski di sisi lainnya bantahan Laticia meliputi suara pria yang nyaris terdengar begitu berbeda. Avanthe mulai mengerti. Dugaannya tentang Hores adalah salah. Tampaknya pria itu harus berusaha mencegah Laticia. Tubuh wanita tersebut tampak begitu jelas, sementara Hores di dalam kamar seperti hanya ingin Laticia menyingkir agar pria itu bisa merapatkan pintu. Apakah benar terlalu sakit sehingga rasanya Hores tidak memiliki tenaga sekadar mendorong Laticia pergi? Dia masih bertanya – tanya tanpa menyadari suara wanita itu akan kembali ke permukaan. “Biarkan aku masuk, Roarke. Kau belum jawab pertanyaanku! Ada apa dengan luka itu?” Avanthe begitu ragu melanjutka
Setelah memakaikan Hope sepatu, topi dan menyulap si bayi agar terlihat makin menggemaskan. Avanthe perlahan – lahan meletakkan putri kecilnya duduk tidak jauh dari pohon dengan menambahkan alas tipis di atas rumput. Dia tersenyum saat Hope sesekali mengoceh. Tangan – tangan si bayi begitu antusias menjambak tanaman hijau yang tumbuh merata, tetapi Avanthe segera mencegah. Ini bukan rumput liar. Hope tidak diperkenankan melakukan sesuatu tanpa izin Hores. Atau barangkali tindakan putri kecilnya akan membuat Freed, tukang kebun, marah telah mengacaukan halaman belakang mansion yang pria itu rawat. “Main ini saja, Sayang.” Dengan tentatif Avanthe menyerahkan mainan kubus, kemudian si bayi menerima dengan lambat. Kali ini tidak diliputi niat memasukkan apa pun ke dalam mulut, meski Hope malah memukul kubus mainnya ke permukaan alas di sekitar gadis kecil itu. Pemandangan mengesankan. Namun, ntah mengapa Avanthe merasa sesuatu yang ganjil mencoba untuk mer
Setelah memastikan Hope sudah sedikit tenang. Secara diam – diam Avanthe mengikuti ke mana pun pria yang sedang memegang kunci pergi. Terlihat fokus mengawasi keadaan di istana hingga beberapa saat kemudian pria itu berhenti di satu tempat. Matanya melirik ke sekitar, dan membuat Avanthe segera bersembunyi di balik pintu. Berharap Hope tidak bersuara dan meninggalkan kecurigaan yang menegangkan. Sesekali dia akan mengintip, sedikit merasa lega ketika mengetahui pria itu menggantung anak kunci ke pengait yang merekat di dinding, melangkah pergi meninggalkan mereka berdua. Pelan sekali, Avanthe menderap pergi ke satu arah dengan serius. Ada begitu banyak kunci bergelantungan di sana. Dia bingung, sama sekali tidak tahu mana anak kunci yang pas terhadap lubang di ganggang pintu kamar Hores. Bentuk yang terlihat di hadapannya hampir secara keseluruhan memiliki kesamaan. Dan tadi, Avanthe tidak melihat dengan cukup jelas saat masih berada di tangan Nicky. Lengan Avanthe terulur, perlah
“Itu untuk Tuan Roarke, Ava?”Sebenarnya pertanyaan Shilom yang begitu tiba – tiba membuat Avanthe sedikit terkejut, tetapi dia segera mengendalikan diri supaya dapat menghadapi wanita itu secara serius. Sambil tersenyum, Avanthe menyusun bolu panggang yang diberi isian cokelat ke atas piring. Hampir seharian penuh dia tak melihat pria itu menyentuh apa pun. Nicky selalu kembali ke dapur dengan hasil sia – sia. Majikannya menolak makan, meski yang Avanthe tahu Nicky menyiapkan nektar seperti yang sering kali Hores cari ketika pria itu diam – diam menyusup masuk ke Kerajaan Ossoron, sekaligus agar mereka bisa berkencan, lalu mencari tempat persembunyian yang tidak diketahui siapa pun. Avanthe tanpa sadar menipiskan bibir memikirkan kembali perasaan yang pernah dihadapi dulu. Dia melirik lagi ke arah Shilom. Tidak ada percakapan tambahan sampai kalimatnya memberi wanita itu jawaban singkat. Shilom akan mengerti dan membiarkan kaki Avanthe menyentuh undakan tangga—menuju kamar
“Aku bertanya kepadamu, Hores,” tambah Avanthe nyaris habis kesabaran.“Bukan urusanmu.”Dia menipiskan bibir geram, dengan penuh tekad menangkup wajah Hores meski itu telah membuat pria di hadapannya terkejut. Bibir Hores setengah bergerk, antara ingin mengatakan sesuatu dan tiba – tiba mengurungkan niat.“Wajahmu pucat. Kau seharusnya tidak di sini—““Bukan urusanmu.”Selalu dengan pernyataan yang sama. Karena Hores terlihat tidak berdaya, maka Avanthe merasa perlu melakukan sesuatu. Dia menarik wajah pria itu lagi ketika Hores sanggup melepaskan diri.“Kau harus kembali ke kamarmu. Aku sudah membuatkan roti panggang. Makanlah, setidaknya sedikit.”Avanthe rasa dia bicara sudah begitu lembut. Sungguh tidak ada naluri permusuhan, sehingga mungkin itulah yang sedikit membuat Hores tenang dan meluruh ... walau masih mencoba menyingkirkan tangannya.Ada jeda beberapa saat yang mungkin sulit dilakukan. Iris gelap itu menatap lurus – lurus ke satu titik,
“Terima kasih sudah membantuku, Nicky.” Avanthe tersenyum sambil membawa sebaskom air di tangan. Dia baru berjalan masuk ke kamar setelah menyelesaikan kebutuhan di dapur. Demam Hores luar biasa tinggi, mendesak keadaan hingga Avanthe merasa harus menghentikan situasi menyedihkan ini sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Beberapa saat lalu dia telah meminta bantuan Nicky untuk mengganti celana kain Hores yang basah, dan sekarang pria itu baru saja berpamitan pergi, meninggalkan Avanthe yang melangkah lebih dekat hanya untuk mengamati wajah pria yang masih belum sadarkan diri. Avanthe menarik napas dalam – dalam dan mengembuskan secara kasar. Lembut sekali dia mengatur posisi duduk di pinggir ranjang usai meletakkan perangkat yang dibutuhkan untuk mengompres kening Hores. Sambil melipat kain yang direndam, Avanthe mencondongkan tubuh sekadar mengatur kain yang membasah begitu pas menindih di sana. Dia juga mengambil kesem
“Kau benar – benar akan pergi meninggalkan istana, Hores?” Mata gelap Hores menatap setengah kosong ke depan. Dia telah mengambil keputusan dan menyiapkan segala sesuatu untuk berkelena. Mungkin butuh beberapa waktu sampai benar – benar bisa melupakan kematian Avanthe. Sudah tepat seminggu ... tidak ada petunjuk. Hores tidak sanggup bertahan di sini lebih lama. Dia tak bisa terus dibayangi keberadaan Avanthe di wajah anak – anak. Aceli dan Hope merefleksikan sebuah senyum yang pernah begitu indah. Itu sangat menyakitkan. Hores tidak tahu bagaimana cara melupakan. Berharap dengan berpegian akan menyeretnya keluar dari jurang terjal. Dia ingin menjadi musafir yang lupa arah jalan pulang. Ingin meninggalkan pelbagai macam ingatan di masa lalu, seperti permintaan Avanthe; saat di mana wanita itu pernah begitu ingin agar dia melupakan masa kelam yang menyatukan mereka. Andai saja. Hores menarik napas panjang setelah mengemasi seluruh kebutuhan untuk memulai. Dia menatap Raja V
“Sudah tiga hari, Hores. Kau menghabiskan darahmu di sini. Jika kau memang mencintai Ava. Biarkan dia bereinkarnasi, dia akan hidup kembali. Berharaplah akan menjadi manusia. Tapi, dengan menyimpan jasadnya kau tidak akan mendapat apa pun. Selain itu, apa yang kau lakukan bisa membuatmu terbunuh. Kau satu – satunya yang kumiliki. Aku tidak ingin kehilangan dirimu.” Raja Vanderox menjulang tinggi di belakang, menatap sebentuk bahu Hores yang lunglai ketika pria itu bersimpuh di depan peti tembus pandang, sambil meletakkan tangan ke dalam. Darah terus dibiarkan menetes supaya mengisi penuh dan merendam tubuh kaku Avanthe sebagai proses pengawetan. Tidak ada yang tahu kapan semua berakhir seperti semestinya. Sebagian dari mereka menyimpan pengetahuan berani bahwa Avanthe jelas – jelas tidak akan kembali. Tidak termasuk ke dalam pengecualian. Bagaimanapun, Raja Vanderox tak sanggup melihat putranya menderita. Hores seperti hilang arah; tersesat; melupakan bahwa pria
Avanthe menjulang dengan pandangan lurus ke bawah. Ujung pedang ... menancap di telapak tangan Margarheta Bell kembali ditarik. Wanita itu lagi – lagi mendesis, tetapi dia tak peduli. Tujuannya pasti. Margarheta Bell harus membayar setiap penderitaan Hores, yang menjadi rasa takut terdalam di pikiran pria tersebut. Untuk memusnahkannya; mereka perlu melenyapkan sumber utama. Telah begitu dekat. Hampir. Avanthe menyeringai tipis. “Aku akan membunuhmu,” ucapnya diliputi serangan konkrit dan menghujam perut Margarheta Bell. Dia tak ingin wanita itu terburu mengembuskan napas terakhir. Harus ada penderitaan lain, yang belum terbayarkan. Ingin mendengar teriakan lebih keras ketika Margarheta Bell mengerang kesakitan. Ada kepuasann di mana Avanthe menekan ujung pedang dan membuat wanita itu terlihat diliputi kecenderungan untuk menahan diri, atau memang Margarheta Bell berusaha mengatakan sesuatu. Wanita itu memegangi luka lubang menganga di perutnya sambil mendedika
Kai .... Pria itu ada di sana, berdiri nyaris tanpa diberi jarak dari Margarheta Bell. Sebuah pemandangan yang membuat perasaan Avanthe seperti ditikam. Dia dirampas, kemudian dilempar ke tepian untuk menyadari bahwa Kai tidak sebaik dari yang pernah dibayangkan. Mengapa seperti ini? Benak Avanthe bertanya – tanya kapan? Apakah ini bagian rencana awal yang tidak sama sekali dia ketahui, bahwa Kai bukan benar – benar seorang teman. Pria itu sama sekali tidak memberi petunjuk. Tak ada yang sanggup menyadarinya atau malah Hores .... Wajah Avanthe berpaling ke arah pria, persis menjulang tinggi di sampingnya. Hores tidak diliputi ekspresi terkejut, atau sebenarnya .... “Kau tahu ini dari awal?” tanya Avanthe nyaris tak percaya. Hores melirik singkat, tetapi anggukan luar biasa samar seperti menamparnya dengan keras. “Mengapa kau tidak sedikitpun bicarakan ini kepadaku?” “Berharap kau akan pe
“Aku tidak menginzinkanmu pergi, Ava. Kau tidak boleh ikut berperang. Ada risiko yang kau tahu kita tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin sesuatu terjadi kepadamu. Kau adikku.”Avanthe tersenyum tipis menanggapi pernyataan Kingston. Dia akan baik – baik saja, meski merasa getir mengenai apa yang menjadi keputusan; menitipkan anak – anak, lalu berniat kembali ke dunia mereka sesungguhnya. Ini sudah termasuk sebagai keputusan yang bulat. Avanthe tahu betapa mereka akan menghadapi risiko riskan, tetapi terus menyaksikan Hores terluka adalah rasa sakit tak terungkap. Makin mencekik jika dia berusaha bersikap tak peduli. Malah, benaknya terus menaruh desakan khawatir mengenai pria itu. Hores sudah menghadapi masa – masa sulit. Dia tidak ingin berakhir terlalu jauh. “Aku akan baik – baik saja. Tidak usah takut. Kau tahu aku tidak lemah, bisa menjaga diriku dengan baik. Hores dan ayahnya mungkin akan kalah pasukan. Kita tidak tahu seberapa jauh Margarheta Bell menyiapkan perang i
“Hores ...,” panggil Avanthe lirih. Dia dengan gemetar mengusap rahang kasar pria itu. Berharap akan ada prospek bagus, tetapi tidak. Hening terasa penuh gemuruh. Rasanya benar – benar menyakitkan. “Aku bicara denganmu, Hores ....” “Hores tidak akan mendengarmu. Dia sedang masa pemulihan saat ikut berperang. Aku mengingatkannya supaya tidak ikut. Putra-ku sangat keras kepala. Dia tetap melibatkan diri, sampai mereka menemukan kelemahannya dan menghajarnya tanpa ampun.” Kelemahan? Di mana sebenarnya Hores juga sedang terluka? Dan mereka, siapa pun mereka, memanfaatkan situasi ini untuk menikung di belakang? Avanthe mengetatkan pelukan secara naluriah. Dia hanya ingin melarikan diri dari cengkeraman Hores, bukan dengan sengaja membuat pria itu terluka parah. Hores menghadapi risiko besar, karena berusaha memulangkannya ke neraka berbentuk mewah, berusaha mengembalikannya ke Meksiko dan anak – anak akan itu serta. Namun, semua berubah
“Hores?” Seperti ada gemuruh besar dengan segala bentuk sambaran mengerikan. Avanthe menatap wajah Ellordi penuh tanda tanya. Dia tak ingin percaya terhadap apa pun itu. Tidak ada penjelasan gamblang mengenai keadaan Hores saat ini, tetapi mengapa rasanya seperti telah membawa dia menghadapi pendekatan yang jelas, di mana kekhawatiran berakhir sebagai rayuan tidak masuk akal. Hores baik – baik saja ... akan selalu begitu. Pria itu harus kembali untuk anak – anaknya. Bukankah Aceli sudah menunggu? Meminta supaya Avanthe membangunkan ketika Hores datang? Sekarang apa yang bisa dilakukan setelah semua terasa mengejutkan? Avanthe menatap ayahnya sambil menggeleng samar. Bagian paling penting adalah menyingkirkan tumpukan air yang membentuk percikan kaca. Dia melihat semua dengan buram, sama seperti berjuang keras meyakinkan perasaannya, meski tidak ada harapan tersisa. “Jangan katakan itu, Papa,“ ucap Avanthe mendeteksi akan ada suatu informasi u
Pernyataan Hores mengenai perang di wilayah pria itu menjadi suatu bagian paling nyata, bahwa mereka ... meski tidak terlibat; juga mengalami dampak serius. Suara – suara ledakan hingga guncangan yang sesekali terasa begitu keras merupakan prospek terburuk. Avanthe bertanya – tanya pertempuran seperti apa, atau barangkali perebutan hak dari mana sehingga nyaris tidak ada damai di Kerajaan Bawah Tanah. Dia khawatir mengenai Hores, takut jika akan terjadi suatu hal tak diinginkan dan berakibat fatal. Rasanya sesuatu di dalam diri Avanthe seakan ingin memberi petunjuk. Dia tak ingin terlalu memikirkan hal tersebut, hanya tidak tahu bagaimana caranya, tidak tahu apakah seharus ini mendambakan Hores baik – baik saja, maka pria itu akan kembali mendatangi anak – anak, apalagi ... jika secara ajaib mereka bisa berdamai. Membayangkan andai perasaan mereka kembali utuh. Anak – anak juga akan menyukainya; tidak ada pemisahan dan pelbagai hal lain yang menjadi masalah besar.“Mommy,
Pernyataan Hores terdengar penuh pengalihan serius. Perkara pancake itu lagi dan permasalahan yang selalu sama ....Avanthe diam beberapa saat, terpaku, memikirkan kembali pengajuan Hores sebagai berikut;Apa yang dia ingin pria itu katakan?Tidak banyak, tetapi Hores telah mengatakannya. Ya, setidaknya Avanthe mengerti ... betapa dia perlu menyadari bentuk kesalahpahaman yang menyemat di sana dengan suatu pengakuan nyata. “Dan kau percaya aku akan melakukannya?” tanyanya sarat ekspresi nanar. Ini lebih buruk dari membayangkan Hores telah sadar dari setiap tindakan buruk. Avanthe ingin tahu, adakah cara ampuh untuk menarik Hores ke permukaan, memberi pria itu petunjuk, atau sejenis lainnya, tetapi bagaimana? Dia belum menemukan cara. Dengan desakan putus asa dalam dirinya, reaksi Avanthe yang paling murni adalah menunduk saat Hores seperti tidak memiliki niat menanggapi. Pria itu selalu percaya terhadap apa yang menurutnya benar, tetapi lupa bahwa logika juga h