“Itu untuk Tuan Roarke, Ava?”
Sebenarnya pertanyaan Shilom yang begitu tiba – tiba membuat Avanthe sedikit terkejut, tetapi dia segera mengendalikan diri supaya dapat menghadapi wanita itu secara serius. Sambil tersenyum, Avanthe menyusun bolu panggang yang diberi isian cokelat ke atas piring. Hampir seharian penuh dia tak melihat pria itu menyentuh apa pun. Nicky selalu kembali ke dapur dengan hasil sia – sia. Majikannya menolak makan, meski yang Avanthe tahu Nicky menyiapkan nektar seperti yang sering kali Hores cari ketika pria itu diam – diam menyusup masuk ke Kerajaan Ossoron, sekaligus agar mereka bisa berkencan, lalu mencari tempat persembunyian yang tidak diketahui siapa pun.Avanthe tanpa sadar menipiskan bibir memikirkan kembali perasaan yang pernah dihadapi dulu. Dia melirik lagi ke arah Shilom. Tidak ada percakapan tambahan sampai kalimatnya memberi wanita itu jawaban singkat. Shilom akan mengerti dan membiarkan kaki Avanthe menyentuh undakan tangga—menuju kamar“Aku bertanya kepadamu, Hores,” tambah Avanthe nyaris habis kesabaran.“Bukan urusanmu.”Dia menipiskan bibir geram, dengan penuh tekad menangkup wajah Hores meski itu telah membuat pria di hadapannya terkejut. Bibir Hores setengah bergerk, antara ingin mengatakan sesuatu dan tiba – tiba mengurungkan niat.“Wajahmu pucat. Kau seharusnya tidak di sini—““Bukan urusanmu.”Selalu dengan pernyataan yang sama. Karena Hores terlihat tidak berdaya, maka Avanthe merasa perlu melakukan sesuatu. Dia menarik wajah pria itu lagi ketika Hores sanggup melepaskan diri.“Kau harus kembali ke kamarmu. Aku sudah membuatkan roti panggang. Makanlah, setidaknya sedikit.”Avanthe rasa dia bicara sudah begitu lembut. Sungguh tidak ada naluri permusuhan, sehingga mungkin itulah yang sedikit membuat Hores tenang dan meluruh ... walau masih mencoba menyingkirkan tangannya.Ada jeda beberapa saat yang mungkin sulit dilakukan. Iris gelap itu menatap lurus – lurus ke satu titik,
“Terima kasih sudah membantuku, Nicky.” Avanthe tersenyum sambil membawa sebaskom air di tangan. Dia baru berjalan masuk ke kamar setelah menyelesaikan kebutuhan di dapur. Demam Hores luar biasa tinggi, mendesak keadaan hingga Avanthe merasa harus menghentikan situasi menyedihkan ini sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Beberapa saat lalu dia telah meminta bantuan Nicky untuk mengganti celana kain Hores yang basah, dan sekarang pria itu baru saja berpamitan pergi, meninggalkan Avanthe yang melangkah lebih dekat hanya untuk mengamati wajah pria yang masih belum sadarkan diri. Avanthe menarik napas dalam – dalam dan mengembuskan secara kasar. Lembut sekali dia mengatur posisi duduk di pinggir ranjang usai meletakkan perangkat yang dibutuhkan untuk mengompres kening Hores. Sambil melipat kain yang direndam, Avanthe mencondongkan tubuh sekadar mengatur kain yang membasah begitu pas menindih di sana. Dia juga mengambil kesem
Sulur – sulur siraman cahaya yang merambat dari jendela membuat Avanthe mengernyit. Perlahan dia mulai menyesuaikan kemampuan pandangannya sekadar memahami situasi. Semalam sudah terlalu larut untuk menunggu Hores. Dia merasa tak sanggup lagi bertahan dan pada akhirnya memutuskan tidur di samping pria itu, walau kemudian terbangun di samping makhluk yang sama; masih dengan keadaan serupa; cara tidur Hores pun tak berubah. Demikian pula lipatan kain telah kering oleh suhu tubuh yang begitu tinggi ... masih menindih di kening pria itu. Avanthe menelan ludah sesaat. Secara naluriah beranjak bangun ingin memastikan bagaimana kondisi Hores sekarang. Masih tidak jauh berbeda dari terakhir kali. Dia bertanya – tanya bagaimana agar suhu tubuh Hores kembali ke semula? Terlalu mengkhawatirkan jika keadaan pria itu tidak membaik. Avanthe takut jika sesuatu yang buruk akan membuat Hores semakin tak terkendali. Dia melirik lambat pada bekas luka bakar y
“Bagaimana keadaan Tuan Roarke sekarang?”Avanthe sedikit tersentak mendengar pertanyaan Shilom. Dia masih mengunyah roti bakar semalam sambil menatap wanita itu melangkah makin dekat. Sepertinya Shilom menyadari sesuatu yang ingin dia lakukan dan memutuskan untuk sekaligus bertanya.“Sudah sedikit lebih baik, tapi aku rasa akan butuh waktu lama untuk luka di tangannya sembuh,” ucap Avanthe sambil berusaha melihat – lihat beberapa masakan mentah. Sedikit bingung untuk memulai dari mana. Masa sulit mengubah kegemaran seseorang, takut kalau – kalau sisa ingatan yang dia ketahui mengenai Hores mungkin tak lagi sama. Avanthe juga tak yakin jika roti bakar masih menjadi sesuatu yang pria itu sukai. Paling tidak merasa lega bahwa dia tak sempat langsung menyerahkan kepada Hores, karena peristiwa tak terduga dan pria itu yang pingsan.“Luka Tuan Roarke mengerikan, ya? Aku tidak yakin kalau itu hanya luka bakar api. Apa kau tahu sesuatu, Ava?”Lagi, Avanthe menoleh ke arah S
“Makanlah, Roarke. Aku sudah membuatkan sup ini untukmu.” Mendadak perut Avanthe merasa mual menyaksikan bagaimana Laticia berusaha membujuk Hores makan, yang tampaknya pun ... pria itu tak pernah mengira Laticia akan muncul kembali sebagai seseorang yang merusak keadaan di sekitar. Setidaknya Hores masih menolak apa pun yang coba wanita itu sajikan. “Sedikit saja, Roarke. Kau terlihat lebih kurus dari terakhir kali kau mengusirku. Aku sudah sangat merindukanmu, tapi kau malah menghilang tanpa kabar.” Desakan untuk memuntahkan sesuatu semakin tak tertahankan. Avanthe membekap bibir tanpa sadar, membayangkan dia mungkin membutuhkan kamar mandi untuk saat ini, tetapi tidak dengan ruang lembab yang sama di kamar Hores. Dia tak ingin menarik pehatian di sini atau barangkali sampai membiarkan Hores menaruh curiga. Cukup iris gelap yang sekarang sedikit membuat Avanthe takut bertahan lebih lama. Dia langsung mengambil langk
Nama itu terus bergentanyangan sebagai sesuatu yang menyakitkan. Avanthe tanpa sadar memegangi pelipisnya, dan jika terus membiarkan kebutuhan untuk mengingat mengambil tempat. Dia yakin tak akan bertahan lebih lama. Untunglah suara Hope sayup – sayup masih terdengar, membuat rasa sakit yang menekan perlahan tergerus hilang. Avanthe akan kembali coba mengingat, tetapi tidak sekarang. Dia diam – diam menggeleng mendapati putri kecilnya mengeluarkan tawa berlebihan. Ntah apa yang Nicky lakukan, sehingga Hope cenderung menunjukkan sisi genit. Avanthe harus menyayangkan posisi mereka dibentengi oleh satu pohon lainnya. Paling tidak, dia harus sedikit membungkuk saat ingin mengetahui beberapa hal di sana. Hanya ada desakan keinginan melakukannya, yang berakhir hampir ... kemudian menjadi urung ketika tiba – tiba seseorang, tak terduga, muncul dengan semangkok sop ceker di tangan. Hores bertelanjang dada mengingat lukanya yang luar biasa mengerikan. Andai sehelai kai
Hores membiarkannya tak salah dengar? Luapan dari kebingungan hampir membuat Avanthe diam tanpa melakukan apa pun. Dia segera mengerjap dan ragu – ragu menatap wajah pucat di hadapannya. Mungkin pria itu sedang memilih ceker mana yang akan dimakan pertama kali sehingga hanya menunduk serius, memberi Avanthe ledakan untuk terpaku beberapa saat. Hores terlihat kasihan jika tak sedang mengungkapkan sikap kejam. “Aku mau yang ini.” Tangan pria itu memberi Avanthe petunjuk, kemudian dia memindahkan perhatian ke dalam mangkok. Benar. Hores memilih ceker cukup berisi. Sebuah kegemaran yang baru diketahui. Mengejutkan. Sambil berusaha membawa dirinya ke permukaan, Avanthe mengerjap sekadar menanggapi keinginan pria itu. Tidak ada niat mengajukan protes. Malah dia mendekatkan ceker di tangannya ke hadapan Hores. Pria itu terlihat lahap. Barangkali, karena jelas sangat menyukai ... sehingga cara makannya terlihat rakus dan konyol bersamaan. A
“Kalau aku bilang ‘iya’, kau mau apa?” Alih – alih menyerahkan jawaban secara mutlak. Avanthe justru menambahkan pertanyaan lainnya untuk mengetahui seperti apa reaksi Hores. Pria itu masih diam, sesekali akan menunduk ke arah kucing sekadar menghindari kontak mata. Hores menghindari kontak mata .... Hal yang sungguh – sungguh harus Avanthe garis bawahi! Apa yang sedang pria itu pikirkan sekarang? Mulai mengerti-kah Hores bahwa mereka pada akhirnya adalah impas? Avanthe ingin tahu lebih lanjut. Perlahan dia mengulurkan tangan sekadar menyentuh rahang kasar pria itu, tak peduli kalau – kalau di tangannya terdapat sisa kuah sop yang akan membuat Hores—barangkali merasa keberatan dan harus mencuci wajah. “Jika kau ingin berdamai. Aku tidak akan keberatan. Tapi ....” “Tapi apa?” Seketika suara berat dan dalam Hores mencuak ke permukaan. Seperti ada kekhawatiran dan Avanthe segera menggeleng samar. “Aku ingin kita me