"Selamat malam. Maaf saya terlambat. Apa Anda sudah menunggu lama?”
Dhea hampir saja akan meninggalkan kursi yang dia duduki selama satu jam ini ketika mendengar suara bariton yang terdengar menggelitik telinganya.
Gadis itu mendongakkan kepalanya melihat seraut wajah yang tidak pernah dibayangkannya.
Dia pernah melihat penampilan seperti itu di sebuah film, penampilannya seperti bos mafia, memakai jas hitam, kemeja putih, dan dasi hitam belang putih. Tatapan mata pria itu setajam elang, dengan bola mata berwarna cokelat tua. Hidungnya bangir dan wajahnya ditumbuhi cambang dan kumis tipis–seperti baru tumbuh kembali setelah dicukur. Ada beberapa helai uban di antara rambutnya yang hitam.
Lelaki itu langsung duduk di hadapan Dhea, mengamati penampilan gadis di hadapannya dan sedikit terkejut. Lelaki itu menyeringai tipis, membuat Dhea sedikit jengah. Tatapan lelaki tersebut sungguh mengandung misteri.
"Maaf. Apakah kamu sudah menunggu lama?" ujar lelaki itu lagi dengan suara yang sedikit lembut.
"Lumayan!” jawab Dhea. Ia terdengar cukup kesal. Ia kemudian melanjutkan dengan terus terang, “Saya sudah menunggu Anda satu jam lamanya, bahkan saya sudah berencana untuk pergi dari sini barusan."
Lelaki itu sedikit terkejut dengan perkataan gadis di depannya. Ia pikir, gadis di depannya ini terlihat kalem dari penampilannya, tetapi kenapa kata-katanya begitu pedas?
"Bukankah perjanjiannya kita bertemu pukul delapan malam? Ini baru pukul delapan lewat lima menit," ucap lelaki itu sambil memperlihatkan jam mewah di lengan kirinya.
"Jam delapan? Tapi kata Intan jam tujuh? Tahu gitu saya tidak akan datang lebih cepat," gerutu Dhea lagi.
Lelaki itu tampak sedikit bingung mendengar perkataan Dhea, tetapi dia hanya bisa memaklumi. Mungkin Intan yang gadis ini maksud adalah orang yang menjadi perantara pertemuan gadis ini.
"Baiklah, maaf. Mungkin ada sedikit miskomunikasi di sini,” kata lelaki itu. Ia kemudian mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, saya Satria Bramantyo. Biasa dipanggil Bram."
Dhea tampak ragu-ragu saat menerima jabat tangan dari pria matang di hadapannya.
"Saya Dhea Annisa Putri, biasa dipanggil Dhea." Akhirnya gadis itu pun menyambut uluran tangan Bram.
Sejujurnya, Dhea cukup terpesona dengan sikap tenang lelaki di hadapannya ini. Walaupun Dhea menyambut kedatangan pria ini dengan ketus, tetapi lelaki ini bersikap sabar dan kalem.
Dari mana Afkar mengenal lelaki ini? Lelaki ini jauh lebih tua dan matang dibandingkan suami Intan yang baru berusia dua puluh tujuh tahun itu. Afkar bahkan lebih muda dibandingkan mantan kekasih Dhea.
"Apakah Dhea sudah memesan makanan?" tanya lelaki itu dengan sopan.
"Belum," jawab Dhea singkat.
Bram segera memanggil pelayan dan memesan makanan.
"Ayo, silakan pesan, apa pun yang Dhea suka," ujar Bram sembari memberi buku menu ke hadapan Dhea.
Dhea menerima buku menu itu, tetapi dia cukup bingung dengan menu yang ada di sana. Dia belum pernah memakan makanan seperti ini, karena memang belum pernah ke kafe mahal seperti ini. Gadis itu bergidik melihat harga makanan di sana, paling murah tiga ratus ribu untuk satu porsi.
Busyet! Gadis itu menggelengkan kepala, merasa takjub, heran, dan penasaran. Kira-kira seenak apa memangnya makanan semahal ini?
"Hm, saya bingung dengan menu di sini, belum pernah ke sini soalnya.” Akhirnya Dhea berkata jujur. Wajahnya tampak polos. “Silakan Abang saja yang pilih."
Bram menatap Dhea dengan tatapan tak biasa. Bukan karena apa, baru kali ini dia dipanggil “abang” oleh seseorang dan rasanya itu aneh. Namun, lebih aneh lagi, hal tersebut cukup memberi nuansa hangat.
Biasanya Bram akan dipanggil “pak” jika di kantor atau oleh koleganya. dipanggil “kakak” oleh adik-adik atau sepupunya yang lebih muda. Tapi “abang”? Dia bukan orang Melayu, dia berdarah campuran Jawa, Aceh, dan Belanda.
Bram hanya berdehem dengan canggung menutupi perasaan aneh tersebut, dia tidak pernah gugup bertemu dengan presiden sekalipun, tetapi gadis kecil ini, kenapa bisa membuatnya jadi begini? dengan gerakan pelan, tangannya melambai ke arah pelayan demi menutupi perasaan tak nyaman ini.
"Pelayan!" panggil Bram
"Iya, Pak. Mau pesan apa?"
"Beri kami makanan yang paling direkomendasikan di kafe ini," ujar Bram
Pelayan itu mengangguk. "Baik, Pak. Minumannya apa?"
"Minumannya juga beri minuman yang kalian unggulkan di sini.”
"Baik, Pak. Sebentar, ya?"
Setelah pelayan itu pergi, perhatian Bram kembali terarah pada gadis di hadapannya.
"Aku juga tidak pernah ke cafe ini, tidak apa-apa kan kalau aku memesan seperti itu?" ujar pria itu kemudian.
"Oh, tidak apa-apa, Bang. Saya juga penasaran sama menu unggulan di Cafe ini," jawab Dhea sambil tersenyum.
Bram mengangguk. "Dhea, berapa usiamu? Sepertinya masih muda, ya?" tanyanya kemudian.
"Oh, saya sudah dua puluh tiga tahun, Bang."
"Dua puluh tiga tahun?" Bram tampak terkejut.
Gila! Apa yang akan dipikirkan ibu tirinya nanti? Gadis muda belia seperti ini bisa apa sih?
Namun, apa pun yang terjadi nanti, lebih baik begini daripada menerima perempuan yang direkomendasikan oleh wanita ular itu.
"Iya, kalau Abang berapa umurnya?" tanya Dhea balik.
"Ternyata kamu masih sangat muda, ya? Apa kamu masih kuliah?" Bukannya menjawab pertanyaan Dhea, Bram malah bertanya balik.
Dhea menggeleng. "Tidak, saya sudah bekerja, Bang. Kalau Abang berapa usianya?" Ia bertanya lagi.
"Sepertinya saya tidak akan cocok dengan kamu. Usia saya jauh di atas kamu, sangat jomplang,” sahut Bram tanpa menjawab pertanyaan Dhea lagi. “Terus terang saja, saya melakukan kencan buta ini bukan untuk main-main. Saya serius untuk mencari istri, untuk menikah. Kamu tentu belum siap untuk menikah secepatnya, bukan?"
Dhea hanya melongo mendengar perkataan lelaki di hadapannya.
Apa sih sebenarnya yang dipikirkan lelaki ini? Tentu saja Dhea bersedia melakukan kencan buta ini karena memang dia sudah siap menikah! Lantas apa tujuannya melakukan kencan buta ini, jika bukan untuk itu? Hanya untuk bersenang-senang? Tentu tidak, kan?
Yah, walaupun Intanlah yang menyarankan semua ini agar Dhea bisa move on dari sang mantan, tetapi Dhea juga sudah kapok berpacaran.
Sungguh, memang hubungan yang tidak halal itu akan tetap membawa sengsara di dunia maupun di akhirat. Jadi Dhea memang bertekad untuk segera menikah dan mengakhiri masa lajangnya.
"Usia saya memang masih muda, tapi ya kan tidak terlalu muda juga,” ujar Dhea kemudian. “Saya sudah masuk usia legal untuk menikah. Saya juga sudah menyelesaikan pendidikan saya, walaupun hanya diploma, dan sekarang saya juga bekerja. Saya datang kemari karena tahu betul tujuannya, saya sudah siap untuk berumah tangga."
Lelaki di hadapan Dhea itu tersenyum, entah apa makna senyumannya, Dhea sendiri tidak tahu apa yang dipikirkan lelaki itu. Mungkin ada sedikit senyum meremehkan melihat Dhea yang masih begitu muda dan lugu di mata lelaki itu.
"Lagi pula, bersikap dewasa itu tidak mengenal usia, Bang,” tambah Dhea. “Banyak orang yang umurnya sudah tua, tapi masih bersikap seperti anak-anak, banyak juga anak muda yang sikapnya malah lebih dewasa dari orang yang umurnya lebih tua."
"Yah, berarti kamu sudah siap menikah, ya?” Bram menegakkan punggungnya. “Kalau begitu, siap-siaplah. Dalam waktu satu minggu ini kita akan menikah.”
“Dalam waktu satu minggu, kita akan menikah.”Dhea terkejut. Ia bingung mendengar ucapan lelaki ini. "Apa? Maksudnya apa?" tanyanya."Kita akan menikah seminggu lagi. Besok aku akan mengadakan lamaran pada orang tuamu,” ucap Bram lagi. "Bersiaplah, oke?”"Hei, Bang. Aku memang siap untuk menikah, tapi gak secepat itu juga, Bang.” Dhea sekarang jadi panik. Satu minggu adalah waktu yang teramat singkat untuk menyiapkan sebuah pernikahan yang akan ditempuh seumur hidup.“Kita harus saling mengenal dulu, kalau cocok baru lanjut. Aku mana bisa menikah tanpa mengetahui latar belakangmu dulu,” lanjut Dhea. “Aku sama sekali tidak tahu bagaimana sifatmu, keluargamu ... banyak yang harus dipertimbangkan, Bang.""Yah, maklum. Kamu masih kecil, belum punya banyak pengalaman.” Bram tersenyum tipis. “Apa kamu pikir orang yang berpacaran itu adalah ajang saling mengenal lebih lanjut dan mengetahui latar belakang dan sifat pasangan dengan jujur dan apa adanya? Semua itu hanya omong kosong.” Dhea men
[Dhea! Maaf ya, barusan teman Mas Afkar telepon, katanya mobilnya pecah ban. Dia meminta menunda pertemuan.]Hah? Apa? Jadi temannya Afkar tidak jadi datang? Jadi siapa yang duduk di hadapannya ini? Apakah orang nyasar? Mata Dhea menatap ke arah Bram dengan bingung dan curiga, dia menelisik penampilan Bram sekali lagi, lelaki yang tengah diamatinya tengah asik memotong dan memakan daging. Haruskah dia memberitahu lelaki itu jika dia seharusnya janji ketemu dengan lelaki lain? Bukan dirinya?Sesaat kemudian pandangan Bram mengarah ke depan, di mana posisi Dhea berada, dengan geragapan gadis itu mengalihkan pandangannya agar tidak kepergok tengah mengamati lelaki itu."Bagaimana, Dhea? Apakah kau akan mengenalkan dirimu secara terperinci?" tanya lelaki itu masih dengan suara lembut.Mendengar suara lelaki itu yang cukup menggoda, membuat Dhea bimbang untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Mungkinkah sebenarnya lelaki ini seharusnya juga tengah melakukan temu janji dengan perempuan lain?
"Dhea! Dhe, ini ibumu pingsan di ruko Tante, Dhe! Sekarang Tante sama Om Ridwan sedang dalam perjalanan membawa ibumu ke rumah sakit." “Apa!?” Mata Dhea membelalak. Yang menghubunginya ternyata adalah rekan bisnis katering ibunya. "Ibu pingsan, Te? Dibawa ke rumah sakit mana, Tante?" tanya Dhea dengan panik. Gadis itu bahkan sampai berdiri saat bicara di teleponnya. Tangannya sudah menggenggam tasnya, seperti siap untuk pergi. “Rumah sakit umum daerah? Aku ke sana ya, Tante!” Bram yang dari tadi memang tengah mengamati gadis muda di hadapannya itu mengernyit melihat kepanikan di wajah gadis itu, spontan saja sikap waspada dan empati di dalam dirinya tersulut, seolah ada yang membangkitkan. Lelaki itu ikut berdiri mengikuti pergerakan Dhea, sikap cemas pada gadis itu juga menular padanya. "Abang, maaf. Pertemuan ini kita sudahi, ya? Ibuku dibawa ke rumah sakit, aku harus langsung ke sana. Maaf ya, Bang!" "Ayo, biar saya antar!" Dhea menghentikan langkahnya menatap Bram seolah ti
"Kenapa Abang mengambil keputusan sendiri?" Bram menghentikan langkahnya ketika melihat gadis di sampingnya juga berhenti dengan wajah yang terlihat marah."Maaf, tapi aku melakukan itu demi kebaikan dan kesembuhan ibumu," jawab Bram dengan suara yang tenang dan tatapan mata melembut."Tapi kalau ibu dirawat di Jakarta, siapa yang akan menjaganya? Aku di sini bekerja. Lagipula biaya pengobatannya juga pasti mahal," keluh gadis itu."Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk ibu.""Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus m
Part 7"Dia .. dia calon suami Dhea, Bu.""Selamat malam, Ibu. Perkenalkan, Saya Bram. Calon suami putri ibu." Bram mengulurkan tangannya.Paramitha menyambut uluran tangan Bram, namun tak ada senyum di wajahnya. Reaksi yang ditunjukkan oleh Paramita membuat Dhea menjadi gugup, dia tahu pasti ibunya terkejut, memang selintas Bram terlihat masih berusia dibawah tiga puluh tahunan, namun jika diamati lebih dalam, mungkin ibunya bisa menebak jika pria itu jauh lebih tua darinya."Maaf, Bang. Ibuku tidak pernah tersenyum lagi sejak delapan tahun ini, maksudku ... Aku sudah cerita sama Abang, kan?" ujar Dhea pelan, mencoba memberi pengertian pada lelaki itu."Ya, aku paham. Kalau begitu aku pulang dulu, besok aku akan kembali lagi untuk menjemput kalian, dokter sudah mengijinkan ibumu pulang besok. Jangan pergi dulu sebelum aku jemput," ujar Bram dengan suara pelan."Iya, baiklah. Terima kasih sebelumnya," ujar Dhea mencoba tersenyum walau masih terasa kaku."Aku pulang dulu," ujar Bram sa
Dhea masuk ke kamar perawatan ibunya dengan perasaan yang gamang, masih ragu di dalam hatinya kalau dia menerima ajakan nikah pria yang bisa dibilang seusia pamannya, jarak mereka lima belas tahun. Tapi tidak juga, jarak Intan dan kakak pertamanya, Bang Andra juga jauh, malah tujuh belas tahun. Intan anak ke empat, karena memiliki tiga putra maka paman sepupunya, Om Muhtar menginginkan anak perempuan, ketika Andra kelas dua SMA, Intan baru lahir. Dilihat ibunya sudah tertidur dengan nyenyak, mungkin pengaruh obat juga yang membuat wanita paruh baya itu lekas tertidur. Dhea duduk di sofa dengan mrnselonjokan kakinya yang terasa letih. Dia mengeluarkan ponselnya dari tas, dia cukup terkejut ternyata dayanya mati. Dia segera mengecas baterainya agar bisa nyala kembali, untung saja dia selalu membawa charger ke manapun dia pergi. Kemudian dia tinggalkan untuk melakukan salat isya, untung juga dia selalu membawa mukena lipat ke manapun dia pergi. Setelah salat isya, daya ponselnya su
"Eh, Tan. Baju ini pas banget buat aku. Ini baju kapan?" Intan menoleh ke arah pintu kamar mandi yang sudah terbuka, pertanyaannya tadi belum sempat dijawab oleh bibinya, kini di depannya Dhea sudah siap untuk berangkat kerja. "Itu bajuku waktu magang dulu, waktu aku masih kurus. Ambil saja untukmu, dengan aku juga sudah gak muat." "Jangan dong, nanti kalau kamu sudah lahiran siapa tahu kurus lagi," ujar Dhea yang tengah merapikan riasannya. Intan hanya tersenyum sambil mengelus perutnya yang tengah isi tiga bulan. "Aku pergi, ya? Aku minta tolong jagain ibu, ya? Aku akan usahakan pulang cepat." "Kami kayak sama siapa aja, Bi Mitha itu juga Bibiku. Aku sudah ijin sama mas Afkar untuk menjaganya hari ini. Nanti Mama juga akan ke sini." "Oke, kalau gitu terima kasih. Bu ... Dhea berangkat kerja dulu, kalau ada apa-apa cepat kabari, ya?" Dhea mencium punggung tangan ibunya dan mencium pipi wanita tua itu. "Iya, kamu gak usah kuatir, kerja aja yang benar." "Ayo, aku antar samp
Menjadi karyawan magang memiliki kesulitan yang tidak sedikit. Karena paling junior sering kali Dhea di suruh-suruh oleh para senior di luar tupoksi kerjanya. Di suruh membelikan sarapan atau makan siang serta membuatkan kopi walaupun di sana ada OB yang bertugas. Di suruh memfoto copy bahkan disuruh mengerjakan laporan yang seharusnya di kerjakan oleh para seniornya.Di bagian keuangan ini ada delapan orang pegawai, yang baik padanya hanya dua orang yang mengajaknya berbincang tadi, Nilam dan Mario. Yang lain, dengan dalih men-training-nya, malah justru sering memanfaatkan tenaga Dhea.Dhea melakukan pekerjaan itu dengan berusaha bersikap ikhlas dan legowo, dia selalu memotivasi dirinya agar bekerja lebih keras, bisa diterima bekerja di perusahaan ini merupakan anugerah yang sangat besar baginya.Namun demikian, ada satu hal yang selalu membuat Dhea takut dan selalu waspada, yaitu ruang kerja atasannya Faisal. Baru beberapa hari Dhea bekerja, Faisal sudah bersikap kurang ajar padanya
Dhea hanya bisa berbaring di tempat tidur yang cukup besar dan mewah, kasurnya empuk, kamarnya luas dengan kamar mandi yang juga cukup mewah. Tidak kalah dengan kondisi di rumah Bram dulu. Dia hanya bisa berbaring dan tidak banyak melakukan aktifitas sepanjang hari untuk menghemat tenaga. Dua butir telur rebus dan setengah liter air mineral yang dijatah kepadanya sekarang sungguh benar-benar tidak akan cukup untuk melakukan aktivitas yang lebih dari itu. Apalagi awal-awal dia hanya mengkonsumsi tiga butir telur, rasanya hampir tiga malam dia tidak bisa tidur karena kelaparan. Semakin ke sini, tubuhnya sudah terbiasa, tetapi dia juga harus menghemat energi. Sedang hari ini, dia hanya menerima jatah dua butir telur. Ini baru hari ke tujuh, tetapi rasanya sudah sangat menyiksa. Lebih tersiksa dari kondisinya di penjara dulu, padahal dulu dia sama sekali menempati kamar yang tidak layak sama sekali. Dulu dalam satu ruangan hanya ada satu buah kasur singel, yang dihuni oleh enam orang
Niko dengan serius memantau dua komputer sekaligus, rute pelacak yang ada pada Bram, serta navigasi robot kecilnya yang terus terbang di udara. Dalam dua puluh menit, robot itu sudah menyusul mobil yang membawa Bram ke arah barat daerah Banten."Cepat sekali dia menyusul," ujar Fikri i yang juga ikut memantau gerakan robot itu."Dia terbang, bukan jalan. dalam waktu satu menit sudah mencapai belasan kilometer," ujar Adi mengkomentari omongan Fikri, sementara Niko tetap serius menggerakkan kursor mouse untuk mengendalikan robot kecilnya."Kita keluarkan cengkeraman pada robot itu agar menempel di mobil itu, untuk menghemat baterai," ujar Niko."Emang cengkeramannya sekuat apa? tidak takut diterbangkan angin?" tanya Fikri yang antusias seperti mendapat mainan baru "Dia ditempatkan di belakang mobil agar bisa terlindungi angin. Cengkeramannya tidak kuat, hanya dilapisi lem seperti lem alteco.""Loh, kalau tidak bisa lepas bagaimana?" tanya Adi yang mengernyit heran, pasalnya lem itu ter
"Kau terlalu banyak mengeluh, harusnya kondisi istrimu bisa menjadi motivasi untukmu. Atau kuhadirkan juga anakmu yang masih bayi?" ancam Abimanyu. "Aku tidak akan tergerak kalau belum melihat secara langsung bagaimana kondisi istriku, juga tidak akan termotivasi kalau belum berbincang dengannya," ujar Bram dengan keras kepala. "aish! baiklah!" dengus Abimanyu akhirnya mengalah. "Sakti, Ijal ... Bawa dia bertemu istrinya, biar dia puas melihat keadaan istrinya. Ketika pergi ke sana pastikan tangan dan kakinya terikat biar tidak kabur, matanya juga ditutup biar tidak tahu kondisi jalan!" perintah Abimanyu yang tidak sabar mendengar rengekan Bram. Setelah mengatakan itu, Abimanyu kembali lagi ke ruang pribadinya, sementara Bram tersenyum. Ternyata hanya sebatas ini kemampuan Abimanyu dalam mendengarkan keluhannya, dia hanya mengikuti saja pengaturan lelaki itu ketika para pengawal itu langsung meraih tangannya untuk memasang borgol dan menutup matanya dengan kain hitam. Para pengawa
"Sakti?!" ujar Abimanyu yang melihat siapa yang mengetuk ruang pribadinya ini. "Selamat sore, Pak?" sapa Sakti yang melihat Abimanyu tengah bersantai duduk di sofa sambil bermain game di ponselnya. "Ada apa?" tanya lelaki itu masih fokus dengan ponselnya. "Pak Bram memaksa untuk bertemu dengan anda, Pak." Mendengar perkataan Sakti, Abimanyu berhenti menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, spontan lelaki itu menatap Sakti dengan tatapan garang. "Bukankah sudah kukatakan? kalau dia tidak boleh menemui ku kalau tugasnya dalam menstabilkan harga saham sudah berhasil, ini apa? belum ada kemajuan apa-apa," ujar Abimanyu dengan marah. "Justru itu yang akan dikatakan dan didiskusikan oleh pak Bram kepada anda, Pak." "Tidak ada negosiasi apalagi diskusi. Usir dia dari sini. Kenapa kau bawa dia ke sini tanpa bilang padaku dulu, Ha? kamu ini terlalu lancang, Sakti!" Abimanyu bertambah marah mendengarnya. "Situasi di perusahaan terlalu rumit, Pak. Bapak tidak bisa membuat hal
Pulang kerja, seperti hari kemarin Bram dikawal oleh beberapa orang dan disupiri oleh supir baru yang juga tidak Bram kenal. Apalagi selama beberapa hari ini mereka juga tidak berinteraksi, Bram juga malas untuk bertegur sapa dengan mereka. "Antarkan saya ke tempat Abimanyu!" perintah Bram. "Bukankah Pak Abimanyu mengatakan dengan jelas, Pak Bram boleh menemuinya jika pekerjaan pak Bram selesai. Ini belum ada apa-apanya jadi pak Bram tidak berhak bertemu pak Abimanyu," ujar supir itu dengan tegas. "Kamu itu hanya sekedar supir, jadi tidak perlu mendikte saya. Saya tidak akan menyelesaikan tugas dari Abimanyu. Terserah dia sekarang, saya juga sudah buntu! saya mana bisa bekerja sendiri, saya akan bilang sama dia untuk memberi saya tim." "Ingat, Pak. Bapak harus keluarkan semua potensi dan usaha. Karena taruhannya nyawa istri dan anak bapak." "Keluarkan potensi dan usaha apa? sementara saya tidak boleh menghubungi siapapun. Memangnya saya bisa menyulap dengan sendiri nilai sah
Mang Giman selalu membersihkan ruangan Bram pukul tujuh pagi sebelum semua karyawan datang ke kantor. Dia membersihkan ruangan Bram seperti biasa dan tidak mencurigakan, ketika dia sedang mengelap-elap meja dan merapikan dokumen diatas meja, dia segera meletakkan surat ber amplop putih itu di atas meja dekat kotak tissue. Lelaki itu menahan napas ketika melakukan itu semua, segera dia cepat-cepat keluar dan masuk toilet, di sana dia menghela napas sekuat-kuatnya, sangat ketakutan karena dia merasa gerak-geriknya dipantau dari jarak jauh oleh orang yang tidak diketahui siapa. Sungguh misterius dan menakutkan untuk orang awam seperti dia. Jam menunjukan pukul delapan pagi, semua karyawan sudah berdatangan dan sudah masuk ke ruangan kerja masing-masing. Bram sendiri datang sekitar jam setengah sembilan pagi. Ketika masuk ruangan, dia terus berkutat pada dokumen, sungguh tidak ada pegawai atau orang suruhan yang kompeten yang dia percaya sekarang. "Pak Bram, ini sudah seminggu, tetapi
Sudah tiga hari Bram bekerja mengurus perusahannya, tetapi tidak ada perubahan sama sekali pada peningkatan nilai saham. Abimanyu sendiri mengatakan jika semua pegawai dan kolega Bram sudah dimutasi bahkan sudah dipecat dari perusahaan. Bram sendiri yang terpaksa menandatangani surat pemecatan mereka, pasalnya Abimanyu mengancam tidak akan memberikan makanan apapun pada Dhea jika dia tidak mengikuti semua perintah lelaki itu. Bram memang masuk ke kantor tetapi tetap saja rasanya seperti dipenjara. Dia tidak bisa mengontak siapapun dan meminta bantuan siapapun. Semua pekerja yang ada di kantor ini diduduki oleh orang-orang baru atau orang lama memang sudah bersekongkol dengan Abimanyu. Bram duduk dengan frustasi dengan semua kondisi ini, bahkan Adi orang kanannya sekarang tidak tahu di mana. Abimanyu memberi batas sampai tiga Minggu untuk menstabilkan nilai saham dan melakukan peralihan pemilik perusahaan dalam waktu tiga bulan. Abimanyu juga tidak bisa terburu-buru agar apa yang t
Adi langsung menghubungi Niko, keberadaan Niko selama ini dibelakang Bram hanya sebagai bayangan dan tidak diperlihatkan di mata umum jika Niko adalah kartu truf Bram yang selalu menjadi mesin kontrol perusahaan. Adi juga hanya menjanjikan bisa melakukan pembajakan tetapi tidak memberitahu siapa yang membantunya. Bram sudah berpesan, selain dirinya, Fikri dan Dhea tidak ada yang tahu keberadaan Niko. Tidak butuh waktu lama untuk Niko membuat harga saham Aditama merangkak turun ke level paling bawah. Keahlian lelaki itu semakin meningkat pesat, dia bahkan bisa membobol bursa saham. Dengan meretas akun berita, dia juga melempar penyebab saham Aditama grup turun, yaitu alpanya kepemimpinan perusahaan. Sejak perusahan dipegang oleh sepasang suami istri Bram dan Dhea, mereka jarang berada di perusahaan dan mengurus perusahaan itu. Sehingga kondisi perusahaan mudah diserang oleh pihak lawan dan hilang kepercayaan pemegang saham dan kepercayaan publik. Akhirnya krisis itu memang terjadi
"Bagaimana?" "Misi berhasil, dia sudah muncul di publik!" Niko memencet tombol keluar pada tuts keyboard di laptopnya. Lelaki itu menghela napas lega dan menoleh menatap pria yang berdiri di hadapannya. "Sebaiknya pak Adi segera ke perusahaan. Dia datang ke sana," ujar Niko "Aku akan hubungi Fikri dulu, dia masih berada di perusahaan." Adi segera mengeluarkan ponselnya dan mencari nama Fikri, segera dia sentuh lambang telepon dan menunggu telepon itu berdering. "Halo?!" tak berapa lama terdengar suara di seberangnya. "Fikri, bagaimana situasi di sana? Pak Bram sudah datang, kan?" "Sudah, Pak Adi. beliau langsung masuk ke ruang rapat direksi. Tapi saya tidak bisa mendekatinya." "Kenapa? kamu kan sekretarisnya, kenapa tidak bisa melakukan akses dengannya?" "Pak Bram didampingi oleh dua orang manager, manager umum dan manager keuangan. Dia juga dikawal oleh beberapa orang dengan memakai jas hitam-hitam, mereka ada sekitar lima belas orang dan menjaga agar siapapun tid