“Dalam waktu satu minggu, kita akan menikah.”
Dhea terkejut. Ia bingung mendengar ucapan lelaki ini. "Apa? Maksudnya apa?" tanyanya.
"Kita akan menikah seminggu lagi. Besok aku akan mengadakan lamaran pada orang tuamu,” ucap Bram lagi. "Bersiaplah, oke?”
"Hei, Bang. Aku memang siap untuk menikah, tapi gak secepat itu juga, Bang.” Dhea sekarang jadi panik. Satu minggu adalah waktu yang teramat singkat untuk menyiapkan sebuah pernikahan yang akan ditempuh seumur hidup.
“Kita harus saling mengenal dulu, kalau cocok baru lanjut. Aku mana bisa menikah tanpa mengetahui latar belakangmu dulu,” lanjut Dhea. “Aku sama sekali tidak tahu bagaimana sifatmu, keluargamu ... banyak yang harus dipertimbangkan, Bang."
"Yah, maklum. Kamu masih kecil, belum punya banyak pengalaman.” Bram tersenyum tipis. “Apa kamu pikir orang yang berpacaran itu adalah ajang saling mengenal lebih lanjut dan mengetahui latar belakang dan sifat pasangan dengan jujur dan apa adanya? Semua itu hanya omong kosong.”
Dhea mengernyit.
Sementara itu, Bram melanjutkan, “Orang kalau lagi pacaran itu ya pasti yang ditampilkan yang baik-baik dan manis-manis saja, mana mau menunjukan kelemahan dan kekurangannya, bisa ilfeel lah pasangannya. Makanya jangan tertipu, kita bisa mengenal kepribadian kita masing-masing setelah menikah, dalam waktu yang panjang dan tidak terbatas."
"Tapi, kita baru ketemu belum ada satu jam, tetapi sudah membahas pernikahan. Ini bukannya terlalu singkat? Aku juga tidak kenal siapa Abang selain nama Abang saja," keluh Dhea sambil menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan mata tak percaya.
"Oke, kukenalkan lagi secara lengkap. Namaku Satria Bramantyo, biasa dipanggil Bram. Status lajang, Anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahku orang Jawa, ibuku aceh-belanda. Memiliki usaha kecil-kecilan di bidang bangunan, usiaku sekarang tiga puluh delapan tahun."
Bram menatap Dhea dengan serius, sedangkan Dhea malah melongo ketika mendengar usia pria ini, tiga puluh delapan tahun?
Tua banget! Selisih lima belas tahun dengannya.
"Bagaimana?" ujar lelaki itu sambil mengangkat satu alisnya.
Sebelum Dhea menjawab, ternyata pelayan sudah datang membawa pesanan mereka. Dhea menatap steak daging, kentang goreng dan minumannya mango Thai.
"Silakan, Mas, mbak ...," ujar pelayan itu dengan ramah.
Dhea menatap makanan itu dengan nanar. Dia tidak biasa makan makanan western seperti ini, dia menganggap makanan seperti ini hanya cemilan, mungkin pulang dari sini dia akan membeli nasi uduk di pengkolan dekat rumah kontrakannya.
Bram memotong daging di hadapannya dengan elegan, bahkan garpu dan pisaunya tidak bersuara sama sekali. Sedang Dhea beberapa kali terpeleset memotong daging dipiringnya.
Bram memotong daging dengan potongan kecil-kecil, kemudian menyodorkan ke arah Dhea, mengambil daging yanv ada di hadapan Dhea.
"Makanlah ini, sudah aku potong-potong," ujar Bram.
Dhea hanya terpaku menatap potongan daging yang begitu rapi di atas piring, bahkan bentuk awalnya tidak berubah.
"Kenapa cuma dilihatin saja? Ayo dimakan!" Bram berucap masih dengan suara yang lembut.
"Terima kasih," cicit Dhea dengan wajah memerah. Dia malah bengong kembali melihat piring di hadapannya.
"Hei. Kenapa? Apa kamu tidak suka?" Kini lelaki itu bertanya.
"Eh, iya ... Tidak! Akan kumakan." Dhea mengambil alat makan pada akhirnya.
Tentu saja apa yang dilakukan lelaki itu membuat gadis ini sungguh terkesan. Tindakan kecil pria itu meninggalkan penilaian positif.
Dhea bukan pertama kali memakan steak seperti ini, bersama mantannya dulu juga sering ditraktir makanan western ini, tetapi perlakuan mantan Dhea tidak semanis ini. Mantan pacar Dhea bahkan tidak mengetahui kesulitan Dhea dalam memotong daging tersebut.
Daging ini begitu lembut masuk ke mulutnya, tanpa harus bersusah payah mengunyahnya. Sausnya juga enak dan lezat, perpaduan rasa manis, asam, asin dan pedas.
"Aku sudah memperkenalkan diri, sekarang giliran kamu, Dhea," ujar Bram dengan santainya kemudian.
Tring … Tring ….
Tiba-tiba notifikasi pesan di ponsel Dhea berdering, dari layar terpampang nama Intan, namun Dhea sedikit penasaran dengan pesan dari sepupu tercintanya itu.
"Maaf, Bang. Saya baca pesan ini dulu, ya?" ujar Dhea meminta izin, Bram hanya mengangguk.
Buru-buru gadis itu langsung membuka aplikasi telepon warna hijau, betapa terkejutnya dia membaca pesan sepupunya ini. Matanya bahkan sampai melotot.
[Dhea! Maaf ya, barusan teman Mas Afkar telepon, katanya mobilnya pecah ban. Dia meminta menunda pertemuan. Bagaimana kalau besok di cafe yang sama?]
[Dhea! Maaf ya, barusan teman Mas Afkar telepon, katanya mobilnya pecah ban. Dia meminta menunda pertemuan.]Hah? Apa? Jadi temannya Afkar tidak jadi datang? Jadi siapa yang duduk di hadapannya ini? Apakah orang nyasar? Mata Dhea menatap ke arah Bram dengan bingung dan curiga, dia menelisik penampilan Bram sekali lagi, lelaki yang tengah diamatinya tengah asik memotong dan memakan daging. Haruskah dia memberitahu lelaki itu jika dia seharusnya janji ketemu dengan lelaki lain? Bukan dirinya?Sesaat kemudian pandangan Bram mengarah ke depan, di mana posisi Dhea berada, dengan geragapan gadis itu mengalihkan pandangannya agar tidak kepergok tengah mengamati lelaki itu."Bagaimana, Dhea? Apakah kau akan mengenalkan dirimu secara terperinci?" tanya lelaki itu masih dengan suara lembut.Mendengar suara lelaki itu yang cukup menggoda, membuat Dhea bimbang untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Mungkinkah sebenarnya lelaki ini seharusnya juga tengah melakukan temu janji dengan perempuan lain?
"Dhea! Dhe, ini ibumu pingsan di ruko Tante, Dhe! Sekarang Tante sama Om Ridwan sedang dalam perjalanan membawa ibumu ke rumah sakit." “Apa!?” Mata Dhea membelalak. Yang menghubunginya ternyata adalah rekan bisnis katering ibunya. "Ibu pingsan, Te? Dibawa ke rumah sakit mana, Tante?" tanya Dhea dengan panik. Gadis itu bahkan sampai berdiri saat bicara di teleponnya. Tangannya sudah menggenggam tasnya, seperti siap untuk pergi. “Rumah sakit umum daerah? Aku ke sana ya, Tante!” Bram yang dari tadi memang tengah mengamati gadis muda di hadapannya itu mengernyit melihat kepanikan di wajah gadis itu, spontan saja sikap waspada dan empati di dalam dirinya tersulut, seolah ada yang membangkitkan. Lelaki itu ikut berdiri mengikuti pergerakan Dhea, sikap cemas pada gadis itu juga menular padanya. "Abang, maaf. Pertemuan ini kita sudahi, ya? Ibuku dibawa ke rumah sakit, aku harus langsung ke sana. Maaf ya, Bang!" "Ayo, biar saya antar!" Dhea menghentikan langkahnya menatap Bram seolah ti
"Kenapa Abang mengambil keputusan sendiri?" Bram menghentikan langkahnya ketika melihat gadis di sampingnya juga berhenti dengan wajah yang terlihat marah."Maaf, tapi aku melakukan itu demi kebaikan dan kesembuhan ibumu," jawab Bram dengan suara yang tenang dan tatapan mata melembut."Tapi kalau ibu dirawat di Jakarta, siapa yang akan menjaganya? Aku di sini bekerja. Lagipula biaya pengobatannya juga pasti mahal," keluh gadis itu."Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk ibu.""Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus m
Part 7"Dia .. dia calon suami Dhea, Bu.""Selamat malam, Ibu. Perkenalkan, Saya Bram. Calon suami putri ibu." Bram mengulurkan tangannya.Paramitha menyambut uluran tangan Bram, namun tak ada senyum di wajahnya. Reaksi yang ditunjukkan oleh Paramita membuat Dhea menjadi gugup, dia tahu pasti ibunya terkejut, memang selintas Bram terlihat masih berusia dibawah tiga puluh tahunan, namun jika diamati lebih dalam, mungkin ibunya bisa menebak jika pria itu jauh lebih tua darinya."Maaf, Bang. Ibuku tidak pernah tersenyum lagi sejak delapan tahun ini, maksudku ... Aku sudah cerita sama Abang, kan?" ujar Dhea pelan, mencoba memberi pengertian pada lelaki itu."Ya, aku paham. Kalau begitu aku pulang dulu, besok aku akan kembali lagi untuk menjemput kalian, dokter sudah mengijinkan ibumu pulang besok. Jangan pergi dulu sebelum aku jemput," ujar Bram dengan suara pelan."Iya, baiklah. Terima kasih sebelumnya," ujar Dhea mencoba tersenyum walau masih terasa kaku."Aku pulang dulu," ujar Bram sa
Dhea masuk ke kamar perawatan ibunya dengan perasaan yang gamang, masih ragu di dalam hatinya kalau dia menerima ajakan nikah pria yang bisa dibilang seusia pamannya, jarak mereka lima belas tahun. Tapi tidak juga, jarak Intan dan kakak pertamanya, Bang Andra juga jauh, malah tujuh belas tahun. Intan anak ke empat, karena memiliki tiga putra maka paman sepupunya, Om Muhtar menginginkan anak perempuan, ketika Andra kelas dua SMA, Intan baru lahir. Dilihat ibunya sudah tertidur dengan nyenyak, mungkin pengaruh obat juga yang membuat wanita paruh baya itu lekas tertidur. Dhea duduk di sofa dengan mrnselonjokan kakinya yang terasa letih. Dia mengeluarkan ponselnya dari tas, dia cukup terkejut ternyata dayanya mati. Dia segera mengecas baterainya agar bisa nyala kembali, untung saja dia selalu membawa charger ke manapun dia pergi. Kemudian dia tinggalkan untuk melakukan salat isya, untung juga dia selalu membawa mukena lipat ke manapun dia pergi. Setelah salat isya, daya ponselnya su
"Eh, Tan. Baju ini pas banget buat aku. Ini baju kapan?" Intan menoleh ke arah pintu kamar mandi yang sudah terbuka, pertanyaannya tadi belum sempat dijawab oleh bibinya, kini di depannya Dhea sudah siap untuk berangkat kerja. "Itu bajuku waktu magang dulu, waktu aku masih kurus. Ambil saja untukmu, dengan aku juga sudah gak muat." "Jangan dong, nanti kalau kamu sudah lahiran siapa tahu kurus lagi," ujar Dhea yang tengah merapikan riasannya. Intan hanya tersenyum sambil mengelus perutnya yang tengah isi tiga bulan. "Aku pergi, ya? Aku minta tolong jagain ibu, ya? Aku akan usahakan pulang cepat." "Kami kayak sama siapa aja, Bi Mitha itu juga Bibiku. Aku sudah ijin sama mas Afkar untuk menjaganya hari ini. Nanti Mama juga akan ke sini." "Oke, kalau gitu terima kasih. Bu ... Dhea berangkat kerja dulu, kalau ada apa-apa cepat kabari, ya?" Dhea mencium punggung tangan ibunya dan mencium pipi wanita tua itu. "Iya, kamu gak usah kuatir, kerja aja yang benar." "Ayo, aku antar samp
Menjadi karyawan magang memiliki kesulitan yang tidak sedikit. Karena paling junior sering kali Dhea di suruh-suruh oleh para senior di luar tupoksi kerjanya. Di suruh membelikan sarapan atau makan siang serta membuatkan kopi walaupun di sana ada OB yang bertugas. Di suruh memfoto copy bahkan disuruh mengerjakan laporan yang seharusnya di kerjakan oleh para seniornya.Di bagian keuangan ini ada delapan orang pegawai, yang baik padanya hanya dua orang yang mengajaknya berbincang tadi, Nilam dan Mario. Yang lain, dengan dalih men-training-nya, malah justru sering memanfaatkan tenaga Dhea.Dhea melakukan pekerjaan itu dengan berusaha bersikap ikhlas dan legowo, dia selalu memotivasi dirinya agar bekerja lebih keras, bisa diterima bekerja di perusahaan ini merupakan anugerah yang sangat besar baginya.Namun demikian, ada satu hal yang selalu membuat Dhea takut dan selalu waspada, yaitu ruang kerja atasannya Faisal. Baru beberapa hari Dhea bekerja, Faisal sudah bersikap kurang ajar padanya
Part 11"Hai, Dhe?" Dhea membeku melihat orang yang ada di belakang Afkar. Dhea lupa kalau suami sepupunya itu juga berprofesi sama dengan lelaki di sebelahnya, ternyata mereka juga sekantor? Kebetulan sekali."Hai, Bang? Oh, maaf semua ... Saya buru-buru, saya permisi dulu, ya?" Sungguh Dhea tidak ingin berada di situasi canggung seperti ini. Bertemu dengan mantan? Hal itulah yang selalu Dhea hindari selama ini."Kamu mau ke rumah sakit?" tanya Afkar."Iya, Mas. Saya pergi dulu, ya?" Dhea terburu-buru pergi ke arah lobi kantor, dia segera memutus percakapan yang menurutnya sangat tidak penting ini."Siapa yang sakit?" tanya Aryan setelah mereka masuk ke dalam lift."Ibunya Dhea, sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Oh, ya ... Bang Aryan kenal sama Dhea?" tanya Afkar dengan nada penasaran."Ya," jawab Aryan dengan singkat.Sebenarnya Afkar ingin bertanya banyak, seperti kenal di mana? Seberapa dekat mereka? Namun melihat sikap Aryan yang dingin dan acuh jadi diurungkan.Afkar meman
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar