"Kenapa Abang mengambil keputusan sendiri?"
Bram menghentikan langkahnya ketika melihat gadis di sampingnya juga berhenti dengan wajah yang terlihat marah.
"Maaf, tapi aku melakukan itu demi kebaikan dan kesembuhan ibumu," jawab Bram dengan suara yang tenang dan tatapan mata melembut.
"Tapi kalau ibu dirawat di Jakarta, siapa yang akan menjaganya? Aku di sini bekerja. Lagipula biaya pengobatannya juga pasti mahal," keluh gadis itu.
"Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk ibu."
"Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk ibu."
Mendengar perkataan lelaki di hadapannya, tak bisa ditahan air mata lolos dari netra almond gadis itu. Ternyata Tuhan maha baik, dia dipertemukan dengan lelaki baik seperti ini, walaupun pertemuan mereka belum ada dua jam, kenapa rasanya sudah tidak asing lagi, bahkan aroma tubuh lelaki itu yang tercium samar seperti sudah begitu akrab di indera penciumannya.
"Terima kasih, Bang."
"Tidak usah berterima kasih, aku ini calon suamimu, sudah kewajibanmu memikirkan masalahmu juga," ujar Bram sambil mengusap bulir bening di pipi mulus gadis itu.
"Dhea, sudah ketemu dokternya?" tanya Rini yang tengah menunggu di depan kamar bersama suaminya.
"Sudah, Tante."
"Lekas temui ibumu, dia sudah menunggumu. Tante dan Om pulang dulu, ya?"
"Oh iya, Tante. Terima kasih banyak sudah membawa ibu ke rumah sakit."
"Iya, semoga ibu kamu lekas sembuh ya? Oh iya, ini siapa?" Rini yang dari tadi menahan penasaran pada lelaki yang datang bersama Dhea akhirnya menanyakannya juga.
"Ini a__"
"Halo, Tante, Om. Saya Bram, calon suaminya Dhea."
Bram langsung saja memotong perkataan Dhea, membuat gadis itu melongo hingga matanya melotot ke arah lelaki itu. Bram sudah menduga, Dhea pasti tidak akan mengatakan jika dia adalah calon suaminya.
"Oh ya? Wah, tidak menyangka kalau Dhea sudah punya calon suami, perasaan Tante baru kemarin membantu Dhea mengucir dua rambutnya," ujar Rini dengan tertawa.
****
Setelah Rini pergi, Bram menyuruh Dhea masuk menemui ibunya, sementara dia akan pergi ke bagian administrasi.
"Ibu, kenapa ibu masih bekerja di tempat Tante Rini? Dhea kan sudah bilang agar ibu berhenti bekerja, ibu sedang sakit. Dhea mohon, Bu. Ibu berhenti bekerja, pikirkan kesembuhan ibu, Dhea sangat kuatir ibu jatuh pingsan seperti ini. Dhea hanya punya ibu di dunia ini, Dhea mohon jangan membuat Dhea kuatir."
Dhea menangis melihat kondisi ibunya yang pucat pasi dengan jarum infus dan selang oksigen di hidungnya.
"Dhea, maafkan ibu. Ibu hanya tidak tega melihat Dhea bekerja keras sendirian," ujar Paramitha dengan suara lemah.
"Ibu tidak perlu mengkuatirkan Dhea mulai saat ini. Dhea akan menikah, Bu. Mungkin Minggu depan Dhea akan menikah, ibu harus fokus pada kesembuhan, ya?"
"Kamu akan menikah? Menikah dengan Aryan?"
Dhea terdiam. Paramitha bukanlah orang gila, dia hanya mengalami trauma berat, atau yang biasa disebut PTSD. Jika trauma itu datang, maka tubuh Paramitha akan menggigil ketakutan, berteriak-teriak. Apabila melihat api atau melihat mobil yang berjalan kencang, tubuh Paramitha akan kejang-kejang.
Jika teringat almarhum suaminya ataupun kedua anaknya Paramitha akan menangis kencang, berteriak dan meratap. Kadang ketika Dhea pulang terlambat, Paramitha akan menelponnya bahkan menerornya agar lekas pulang, dia takut jika Dhea tidak kembali seperti suami dan kedua anaknya.
"Bukan, Bu. Bukan Aryan."
Paramitha memicingkan matanya, bukankah anaknya ini tengah dekat dengan anak tetangganya yang bernama Aryan? Pemuda baik hati yang selalu menemaninya dan menghiburnya? Bahkan sering membawakannya makanan enak? Paramitha lupa jika selama setahun ini dia tidak pernah lagi melihat Aryan.
"Ibu mau melihatnya? Dhea akan kenalkan pada calon suami Dhea. Dia ikut ke sini juga, sekarang sedang mengurus administrasi perawatan Ibu."
Dhea meraih tangan Paramitha dan mengelusnya dengan lembut."Kenapa bukan Aryan? Aryan kemana?" desis Paramitha.
"Aryan sudah menikah dengan wanita lain, Bu."
"Dhea! Jadi kamu dikhianati? Pemuda sebaik Aryan tidak mungkin mengkhianatimu?" Paramitha cukup histeris mendengar perkataan Dhea. Rasanya tidak mungkin Aryan melalakukan semua itu.
"Tidak ada pengkhianatan, Bu. Kita putus baik-baik. Keluarga Aryan tidak setuju jika Dhea menjadi menantunya. Maka kami putus, Dhea tidak sanggup jika tidak diterima oleh keluarganya," ujar Dhea dengan lemah lembut.
Paramitha menatap Dhea dengan prihatin, dielusnya pipi anak gadisnya itu.
"Benar, keputusanmu sudah benar, sangat sakit jika kita tidak diterima oleh keluarga pasangan kita."
Paramitha bukan bicara omong kosong, dia sudah merasakan sendiri. Suaminya dulu terpaksa pergi meninggalkan keluarganya yang kaya raya demi menikahi gadis yatim piatu seperti dirinya. Dia juga tidak ingin putrinya mengalami semua itu.
Tok .. tok ...
"Masuk!" perintah Dhea.
Seraut wajah tampan menyembul di balik pintu, tatapan mata elang itu melembut ketika menatap wanita tua yang terbaring di ranjang UGD.
Di belakang lelaki itu menyusul dokter Adrian dan dua orang perawat.
"Selamat malam, Bu. Bagaimana kondisi Ibu?" tanya dokter Adrian dengan ramah.
"Baik, Dok."
"Kita pindah ke ruang perawatan ya, Bu. Setelah kondisi ibu pulih, diperbolehkan pulang. Ibu harus banyak-banyak istirahat untuk berobat ke Jakarta."
"Ha? Berobat ke Jakarta, Dok?" tanya Paramitha dengan heran.
"Iya, Bu. Ayo, Sus. Dibantu ibunya untuk pindah."
Pramita tidak bisa melakukan protes, karena memang tidak diberi kesempatan. Dokter Adrian juga segera pergi setelah memerintah para perawat memindahkannya ke ruang perawatan yang membuat mata tuanya terbelalak. Ruang perawatan kelas VVIP di lantai paling atas rumah sakit ini. Wanita tua itu mengedarkan pandangan untuk melihat dan bertanya pada putrinya, tetapi gadis itu tidak terlihat sampai para perawat selesai merapikan kondisinya dan menyiapkan segala kebutuhannya.
"Kenalkan, ini suster Halimah. Suster ini yang akan merawat Ibu selama berobat ke Jakarta."
Dhea manatap lelaki di hadapannya dengan tidak percaya, secepat ini dia bisa mencari seorang perawat?
"Saya Halimah, Mbak. Mbak tenang saja, saya akan menjaga ibu anda dengan baik di sana."
Pandangan Dhea beralih pada wanita muda yang dari raut wajahnya sepertinya lebih tua darinya. Dia menyunggingkan senyum pada wanita itu.
"Saya Dhea, Sus. Terima kasih kesediaan suster untuk menjaga ibu saya selama berobat ke Jakarta nanti," ujar Dhea sambil mengulurkan tangan.Dhea harus beramah tamah dan berbaik-baik pada wanita ini, karena nasib ibunya juga akan tergantung pada wanita ini juga nantinya.
"Baik, saya permisi dulu untuk menjalankan tugas," ujar Halimah sambil mengangguk hormat."Baiklah, nanti sekiranya akan berangkat, suster akan kami hubungi," kata Bram
"Abang serius mau membawa ibuku ke rumah sakit Dharmais?" tanya Dhea setelah suster Halimah berlalu dari hadapan mereka.
"Apa aku terlihat main-main?" tanya Bram dengan tatapan serius.
Dhea yang mendapat tatapan tajam itu menjadi gugup tidak karuan.
"Eng, ya mak_ maksudku hanya untuk meyakinkan saja."
"Sekarang, Ayo temui ibumu. Aku juga harus meminta izin untuk menikahi putrinya."
Dhea mendadak menjadi bodoh dan linglung, sungguh lelaki di depannya itu bukanlah lawannya. Lelaki itu berjalan dengan santai dan tegap, ketenangannyaseperti tidak terpengaruh apapun, sementara dia yang harus selalu menahan napas dan gugup tidak karuan.
Sampai mereka di kamar perawatan Paramitha, wanita tua itu langsung memanggil Dhea, dia sudah duduk dengan menyandar pada dashboard ranjang.
"Ibu sudah baikan?"
"Sudah. Dhea ... kenapa ibu dirawat di kamar seperti ini? BPJS ibu kan cuma meng-cover kelas tiga?" tanya Paramitha dengan perasaan gelisah.
"Ini ... Yang membiayai pengobatan ibu adalah calon suami Dhea," jawab Dhea sambil menoleh ke belakang.
Di sana Bram berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana, menatap kedua wanita beda generasi itu dengan tatapan serius.
"Dia .. dia calon suami Dhea, Bu."Part 7"Dia .. dia calon suami Dhea, Bu.""Selamat malam, Ibu. Perkenalkan, Saya Bram. Calon suami putri ibu." Bram mengulurkan tangannya.Paramitha menyambut uluran tangan Bram, namun tak ada senyum di wajahnya. Reaksi yang ditunjukkan oleh Paramita membuat Dhea menjadi gugup, dia tahu pasti ibunya terkejut, memang selintas Bram terlihat masih berusia dibawah tiga puluh tahunan, namun jika diamati lebih dalam, mungkin ibunya bisa menebak jika pria itu jauh lebih tua darinya."Maaf, Bang. Ibuku tidak pernah tersenyum lagi sejak delapan tahun ini, maksudku ... Aku sudah cerita sama Abang, kan?" ujar Dhea pelan, mencoba memberi pengertian pada lelaki itu."Ya, aku paham. Kalau begitu aku pulang dulu, besok aku akan kembali lagi untuk menjemput kalian, dokter sudah mengijinkan ibumu pulang besok. Jangan pergi dulu sebelum aku jemput," ujar Bram dengan suara pelan."Iya, baiklah. Terima kasih sebelumnya," ujar Dhea mencoba tersenyum walau masih terasa kaku."Aku pulang dulu," ujar Bram sa
Dhea masuk ke kamar perawatan ibunya dengan perasaan yang gamang, masih ragu di dalam hatinya kalau dia menerima ajakan nikah pria yang bisa dibilang seusia pamannya, jarak mereka lima belas tahun. Tapi tidak juga, jarak Intan dan kakak pertamanya, Bang Andra juga jauh, malah tujuh belas tahun. Intan anak ke empat, karena memiliki tiga putra maka paman sepupunya, Om Muhtar menginginkan anak perempuan, ketika Andra kelas dua SMA, Intan baru lahir. Dilihat ibunya sudah tertidur dengan nyenyak, mungkin pengaruh obat juga yang membuat wanita paruh baya itu lekas tertidur. Dhea duduk di sofa dengan mrnselonjokan kakinya yang terasa letih. Dia mengeluarkan ponselnya dari tas, dia cukup terkejut ternyata dayanya mati. Dia segera mengecas baterainya agar bisa nyala kembali, untung saja dia selalu membawa charger ke manapun dia pergi. Kemudian dia tinggalkan untuk melakukan salat isya, untung juga dia selalu membawa mukena lipat ke manapun dia pergi. Setelah salat isya, daya ponselnya su
"Eh, Tan. Baju ini pas banget buat aku. Ini baju kapan?" Intan menoleh ke arah pintu kamar mandi yang sudah terbuka, pertanyaannya tadi belum sempat dijawab oleh bibinya, kini di depannya Dhea sudah siap untuk berangkat kerja. "Itu bajuku waktu magang dulu, waktu aku masih kurus. Ambil saja untukmu, dengan aku juga sudah gak muat." "Jangan dong, nanti kalau kamu sudah lahiran siapa tahu kurus lagi," ujar Dhea yang tengah merapikan riasannya. Intan hanya tersenyum sambil mengelus perutnya yang tengah isi tiga bulan. "Aku pergi, ya? Aku minta tolong jagain ibu, ya? Aku akan usahakan pulang cepat." "Kami kayak sama siapa aja, Bi Mitha itu juga Bibiku. Aku sudah ijin sama mas Afkar untuk menjaganya hari ini. Nanti Mama juga akan ke sini." "Oke, kalau gitu terima kasih. Bu ... Dhea berangkat kerja dulu, kalau ada apa-apa cepat kabari, ya?" Dhea mencium punggung tangan ibunya dan mencium pipi wanita tua itu. "Iya, kamu gak usah kuatir, kerja aja yang benar." "Ayo, aku antar samp
Menjadi karyawan magang memiliki kesulitan yang tidak sedikit. Karena paling junior sering kali Dhea di suruh-suruh oleh para senior di luar tupoksi kerjanya. Di suruh membelikan sarapan atau makan siang serta membuatkan kopi walaupun di sana ada OB yang bertugas. Di suruh memfoto copy bahkan disuruh mengerjakan laporan yang seharusnya di kerjakan oleh para seniornya.Di bagian keuangan ini ada delapan orang pegawai, yang baik padanya hanya dua orang yang mengajaknya berbincang tadi, Nilam dan Mario. Yang lain, dengan dalih men-training-nya, malah justru sering memanfaatkan tenaga Dhea.Dhea melakukan pekerjaan itu dengan berusaha bersikap ikhlas dan legowo, dia selalu memotivasi dirinya agar bekerja lebih keras, bisa diterima bekerja di perusahaan ini merupakan anugerah yang sangat besar baginya.Namun demikian, ada satu hal yang selalu membuat Dhea takut dan selalu waspada, yaitu ruang kerja atasannya Faisal. Baru beberapa hari Dhea bekerja, Faisal sudah bersikap kurang ajar padanya
Part 11"Hai, Dhe?" Dhea membeku melihat orang yang ada di belakang Afkar. Dhea lupa kalau suami sepupunya itu juga berprofesi sama dengan lelaki di sebelahnya, ternyata mereka juga sekantor? Kebetulan sekali."Hai, Bang? Oh, maaf semua ... Saya buru-buru, saya permisi dulu, ya?" Sungguh Dhea tidak ingin berada di situasi canggung seperti ini. Bertemu dengan mantan? Hal itulah yang selalu Dhea hindari selama ini."Kamu mau ke rumah sakit?" tanya Afkar."Iya, Mas. Saya pergi dulu, ya?" Dhea terburu-buru pergi ke arah lobi kantor, dia segera memutus percakapan yang menurutnya sangat tidak penting ini."Siapa yang sakit?" tanya Aryan setelah mereka masuk ke dalam lift."Ibunya Dhea, sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Oh, ya ... Bang Aryan kenal sama Dhea?" tanya Afkar dengan nada penasaran."Ya," jawab Aryan dengan singkat.Sebenarnya Afkar ingin bertanya banyak, seperti kenal di mana? Seberapa dekat mereka? Namun melihat sikap Aryan yang dingin dan acuh jadi diurungkan.Afkar meman
Bab 12Sementara itu, di ruang kerja departemen keuangan tampak sibuk, mereka bekerja di kubikel masing-masing dengan serius."Nilam, ke mana anak baru itu? Jam segini kok belum nampak batang hidungnya! Pemalas banget!" tanya seseorang dengan nada ketus."Eh, Bu Gracia? Dhea izin Bu hari ini, ibunya masuk rumah sakit," jawab Nilam dengan kalem."Ijin? Baru sebulan kerja sudah berani ijin. Memangnya kantor ini punya keluarganya? Memangnya siapa yang mengizinkan!?" ujar wanita yang dipanggil Bu Gracia itu berang."Tadi Dhea sempat datang ke kantor, terus dipanggil Pak Faisal, setalah dari ruang Pak Faisal dari langsung pulang, katanya Pak Faisal yang mengijinkannya.""Aduh, jadi bagaimana nasib laporan saya ini? Mana besok harus sudah selesai lagi," keluh Gracia."Nilam, mana Dhea? Saya mau suruh foto copy berkas ini empat rangkap untuk bahan meeting nanti jam sepuluh," ujar seorang lelaki empat puluhan menuju meja kerja Nilam."Dia ijin, Pak. Gak masuk, ibunya sakit." Nilam menjawab de
Bab 13"Iya, Mbak. Assalamu'alaikum?"'Dhea, kamu serius sudah ijin pulang sama Pak Faisal?' ujar Nilam di sebrang telepon."Iya, mbak. Tadi dia sendiri yang bilang.""Loh, dia ke sini, dia bilang kok gak ada ngijinin kamu?""Masak? Dia sendiri yang ngomong. Katanya, kenapa kamu gak bilang kalau ibumu sakit? Sebaiknya kamu gak usah masuk kalau ibumu sakit, gitu katanya."Nilam memandang Faisal yang masih berada di dekatnya, suara telepon tersebut bahkan di loud speaker. 'Dhea! Sekarang ke kantor! Saya butuh laporan anggaran perencanaan yang saya suruh revisi sekarang! Cepat, saya tunggu!' ujar Faisal merebut ponsel yang ada di tangan Nilam."Revisi anggaran perencanaan untuk real estate itu, Pak?" tanya Dhea.'Iya, akan dibawa rapat sebentar lagi!' jawab Faisal ketus."Oh, yang itu ... Baru saja saya selesaikan, Pak. Saya kirim lewat email bapak, silahkan cek Lina menit lagi. Maaf, Pak saya gak bisa datang ke kantor lagi, bapak kan tadi nyuruh saya gak perlu datang ke kantor? Sudah y
Partisipasi 14Bram baru selesai mengadakan pertemuan di sebuah hotel bintang lima, hotel di mana awal mula jalan bertemu dengan Dhea. Ketika melintasi ballroom hotel tersebut, dia tersenyum mengenang kejadian siang kemarin. Saat itu dia juga selesai mengadakan rapat di ruangan ujung hotel lantai yang sama dengan ballroom, di sana dia melintasi ballroom yang tengah mengadakan acara resepsi pernikahan, tiba-tiba dia mendengar seseorang sedang berbicara di telpon dan menepi ke tempat yang sedikit sepi. "Ya, halo?"".....""Oke, di mana?"".....""Oke, cafe cassanova meja nomor dua empat, ya?""....""Iya, aku pasti datang. Benar, ya? Gadis itu cantik?"".....""Iya, deh ... Aku percaya! Aku pastikan kencan buta kali ini gak akan mengecewakan, kamu tenang saja. Aku serius kok mau mencari calon istri, jam delapan, kan? Aku pasti datang, tenang saja, Af! Cafe Casanova meja nomor dua empat, jam delapan nanti malam." Mendengar percakapan searah lelaki itu Bram begitu tergelitik, pasalnya d
"Pak!" panggilan itu tidak kuat, tetapi juga tidak terdengar lemah. Bram dan Dhea yang tengah bersembunyi saling memandang, walaupun Bram buta, tetapi gerakan wajahnya menoleh ke arah Dhea yang tengah memeluknya, suara itu terasa sangat familiar. "Pak Bram!" Dhea segera berdiri melihat siapa yang datang, di bawah batu, sekitar lima belas orang tengah berdiri, tetapi pria paling depan adalah pria yang sangat dia tunggu-tunggu sejak semalam. "Pak Adi!" pekik Dhea dengan suara yang sangat gembira. Bram yang mendengar Dhea memanggil nama tangan kirinya, bergegas berdiri juga. "Apakah sejak tadi malam anda berada di sana? Ayo, Bu. Segera turun." "Iya. Aku bisa turun sendiri, tetapi suamiku, tolong bantu dia." "Tentu saja." Dhea dengan hati-hati menuruni batu yang tingginya hampir enam meter, permukaan batu yang kadang kasar dan licin, membuatnya sedikit kesulitan, padahal dia sudah melemparkan sepatu hak rendahnya ke bawah terlebih dahulu. Setelah Dhea turun, beberapa
Rasa sakit itu tidak tertahan, Dhea terus memegangi kepalanya dan mengeluh kesakitan. Bram yang kuatir juga meraba kepala istrinya dan mendapati tangan istrinya di sana tengah memegang kepala dengan erat. "Apa kepalamu sakit?" "Iya, sakit banget!" "Sini, berbaring. Tumpukan kepalamu di paha Abang, biar Abang pijat." Dhea segera merebahkan kepalanya di paha Bram yang kakinya sudah berselonjor, tubuh Bram bersandar pada dinding batu yang sebenarnya tidak rata. Lelaki itu langsung meraba kepala dan pelipis istrinya memijat daerah itu dengan tekanan secara perlahan-lahan. "Masih sakit?" "Iya, sakitnya berdenyut-denyut." "Coba pejamkan tubuhmu." Ketika Bram menekan bagian bawah telinga Dhea rasa sakit terasa begitu menyengat dan kuat membuat wanita itu hilang kesadaran. "Dhea?!" panggil Bram. Dhea yang hilang kesadaran itu seperti halnya orang yang tengah tertidur, terdengar juga napasnya begitu teratur. Siapa yang menyangka jika sebenarnya wanita itu pingsan karena ras
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga