"Kenapa Abang mengambil keputusan sendiri?"
Bram menghentikan langkahnya ketika melihat gadis di sampingnya juga berhenti dengan wajah yang terlihat marah.
"Maaf, tapi aku melakukan itu demi kebaikan dan kesembuhan ibumu," jawab Bram dengan suara yang tenang dan tatapan mata melembut.
"Tapi kalau ibu dirawat di Jakarta, siapa yang akan menjaganya? Aku di sini bekerja. Lagipula biaya pengobatannya juga pasti mahal," keluh gadis itu.
"Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk ibu."
"Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk ibu."
Mendengar perkataan lelaki di hadapannya, tak bisa ditahan air mata lolos dari netra almond gadis itu. Ternyata Tuhan maha baik, dia dipertemukan dengan lelaki baik seperti ini, walaupun pertemuan mereka belum ada dua jam, kenapa rasanya sudah tidak asing lagi, bahkan aroma tubuh lelaki itu yang tercium samar seperti sudah begitu akrab di indera penciumannya.
"Terima kasih, Bang."
"Tidak usah berterima kasih, aku ini calon suamimu, sudah kewajibanmu memikirkan masalahmu juga," ujar Bram sambil mengusap bulir bening di pipi mulus gadis itu.
"Dhea, sudah ketemu dokternya?" tanya Rini yang tengah menunggu di depan kamar bersama suaminya.
"Sudah, Tante."
"Lekas temui ibumu, dia sudah menunggumu. Tante dan Om pulang dulu, ya?"
"Oh iya, Tante. Terima kasih banyak sudah membawa ibu ke rumah sakit."
"Iya, semoga ibu kamu lekas sembuh ya? Oh iya, ini siapa?" Rini yang dari tadi menahan penasaran pada lelaki yang datang bersama Dhea akhirnya menanyakannya juga.
"Ini a__"
"Halo, Tante, Om. Saya Bram, calon suaminya Dhea."
Bram langsung saja memotong perkataan Dhea, membuat gadis itu melongo hingga matanya melotot ke arah lelaki itu. Bram sudah menduga, Dhea pasti tidak akan mengatakan jika dia adalah calon suaminya.
"Oh ya? Wah, tidak menyangka kalau Dhea sudah punya calon suami, perasaan Tante baru kemarin membantu Dhea mengucir dua rambutnya," ujar Rini dengan tertawa.
****
Setelah Rini pergi, Bram menyuruh Dhea masuk menemui ibunya, sementara dia akan pergi ke bagian administrasi.
"Ibu, kenapa ibu masih bekerja di tempat Tante Rini? Dhea kan sudah bilang agar ibu berhenti bekerja, ibu sedang sakit. Dhea mohon, Bu. Ibu berhenti bekerja, pikirkan kesembuhan ibu, Dhea sangat kuatir ibu jatuh pingsan seperti ini. Dhea hanya punya ibu di dunia ini, Dhea mohon jangan membuat Dhea kuatir."
Dhea menangis melihat kondisi ibunya yang pucat pasi dengan jarum infus dan selang oksigen di hidungnya.
"Dhea, maafkan ibu. Ibu hanya tidak tega melihat Dhea bekerja keras sendirian," ujar Paramitha dengan suara lemah.
"Ibu tidak perlu mengkuatirkan Dhea mulai saat ini. Dhea akan menikah, Bu. Mungkin Minggu depan Dhea akan menikah, ibu harus fokus pada kesembuhan, ya?"
"Kamu akan menikah? Menikah dengan Aryan?"
Dhea terdiam. Paramitha bukanlah orang gila, dia hanya mengalami trauma berat, atau yang biasa disebut PTSD. Jika trauma itu datang, maka tubuh Paramitha akan menggigil ketakutan, berteriak-teriak. Apabila melihat api atau melihat mobil yang berjalan kencang, tubuh Paramitha akan kejang-kejang.
Jika teringat almarhum suaminya ataupun kedua anaknya Paramitha akan menangis kencang, berteriak dan meratap. Kadang ketika Dhea pulang terlambat, Paramitha akan menelponnya bahkan menerornya agar lekas pulang, dia takut jika Dhea tidak kembali seperti suami dan kedua anaknya.
"Bukan, Bu. Bukan Aryan."
Paramitha memicingkan matanya, bukankah anaknya ini tengah dekat dengan anak tetangganya yang bernama Aryan? Pemuda baik hati yang selalu menemaninya dan menghiburnya? Bahkan sering membawakannya makanan enak? Paramitha lupa jika selama setahun ini dia tidak pernah lagi melihat Aryan.
"Ibu mau melihatnya? Dhea akan kenalkan pada calon suami Dhea. Dia ikut ke sini juga, sekarang sedang mengurus administrasi perawatan Ibu."
Dhea meraih tangan Paramitha dan mengelusnya dengan lembut."Kenapa bukan Aryan? Aryan kemana?" desis Paramitha.
"Aryan sudah menikah dengan wanita lain, Bu."
"Dhea! Jadi kamu dikhianati? Pemuda sebaik Aryan tidak mungkin mengkhianatimu?" Paramitha cukup histeris mendengar perkataan Dhea. Rasanya tidak mungkin Aryan melalakukan semua itu.
"Tidak ada pengkhianatan, Bu. Kita putus baik-baik. Keluarga Aryan tidak setuju jika Dhea menjadi menantunya. Maka kami putus, Dhea tidak sanggup jika tidak diterima oleh keluarganya," ujar Dhea dengan lemah lembut.
Paramitha menatap Dhea dengan prihatin, dielusnya pipi anak gadisnya itu.
"Benar, keputusanmu sudah benar, sangat sakit jika kita tidak diterima oleh keluarga pasangan kita."
Paramitha bukan bicara omong kosong, dia sudah merasakan sendiri. Suaminya dulu terpaksa pergi meninggalkan keluarganya yang kaya raya demi menikahi gadis yatim piatu seperti dirinya. Dia juga tidak ingin putrinya mengalami semua itu.
Tok .. tok ...
"Masuk!" perintah Dhea.
Seraut wajah tampan menyembul di balik pintu, tatapan mata elang itu melembut ketika menatap wanita tua yang terbaring di ranjang UGD.
Di belakang lelaki itu menyusul dokter Adrian dan dua orang perawat.
"Selamat malam, Bu. Bagaimana kondisi Ibu?" tanya dokter Adrian dengan ramah.
"Baik, Dok."
"Kita pindah ke ruang perawatan ya, Bu. Setelah kondisi ibu pulih, diperbolehkan pulang. Ibu harus banyak-banyak istirahat untuk berobat ke Jakarta."
"Ha? Berobat ke Jakarta, Dok?" tanya Paramitha dengan heran.
"Iya, Bu. Ayo, Sus. Dibantu ibunya untuk pindah."
Pramita tidak bisa melakukan protes, karena memang tidak diberi kesempatan. Dokter Adrian juga segera pergi setelah memerintah para perawat memindahkannya ke ruang perawatan yang membuat mata tuanya terbelalak. Ruang perawatan kelas VVIP di lantai paling atas rumah sakit ini. Wanita tua itu mengedarkan pandangan untuk melihat dan bertanya pada putrinya, tetapi gadis itu tidak terlihat sampai para perawat selesai merapikan kondisinya dan menyiapkan segala kebutuhannya.
"Kenalkan, ini suster Halimah. Suster ini yang akan merawat Ibu selama berobat ke Jakarta."
Dhea manatap lelaki di hadapannya dengan tidak percaya, secepat ini dia bisa mencari seorang perawat?
"Saya Halimah, Mbak. Mbak tenang saja, saya akan menjaga ibu anda dengan baik di sana."
Pandangan Dhea beralih pada wanita muda yang dari raut wajahnya sepertinya lebih tua darinya. Dia menyunggingkan senyum pada wanita itu.
"Saya Dhea, Sus. Terima kasih kesediaan suster untuk menjaga ibu saya selama berobat ke Jakarta nanti," ujar Dhea sambil mengulurkan tangan.Dhea harus beramah tamah dan berbaik-baik pada wanita ini, karena nasib ibunya juga akan tergantung pada wanita ini juga nantinya.
"Baik, saya permisi dulu untuk menjalankan tugas," ujar Halimah sambil mengangguk hormat."Baiklah, nanti sekiranya akan berangkat, suster akan kami hubungi," kata Bram
"Abang serius mau membawa ibuku ke rumah sakit Dharmais?" tanya Dhea setelah suster Halimah berlalu dari hadapan mereka.
"Apa aku terlihat main-main?" tanya Bram dengan tatapan serius.
Dhea yang mendapat tatapan tajam itu menjadi gugup tidak karuan.
"Eng, ya mak_ maksudku hanya untuk meyakinkan saja."
"Sekarang, Ayo temui ibumu. Aku juga harus meminta izin untuk menikahi putrinya."
Dhea mendadak menjadi bodoh dan linglung, sungguh lelaki di depannya itu bukanlah lawannya. Lelaki itu berjalan dengan santai dan tegap, ketenangannyaseperti tidak terpengaruh apapun, sementara dia yang harus selalu menahan napas dan gugup tidak karuan.
Sampai mereka di kamar perawatan Paramitha, wanita tua itu langsung memanggil Dhea, dia sudah duduk dengan menyandar pada dashboard ranjang.
"Ibu sudah baikan?"
"Sudah. Dhea ... kenapa ibu dirawat di kamar seperti ini? BPJS ibu kan cuma meng-cover kelas tiga?" tanya Paramitha dengan perasaan gelisah.
"Ini ... Yang membiayai pengobatan ibu adalah calon suami Dhea," jawab Dhea sambil menoleh ke belakang.
Di sana Bram berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana, menatap kedua wanita beda generasi itu dengan tatapan serius.
"Dia .. dia calon suami Dhea, Bu."Part 7"Dia .. dia calon suami Dhea, Bu.""Selamat malam, Ibu. Perkenalkan, Saya Bram. Calon suami putri ibu." Bram mengulurkan tangannya.Paramitha menyambut uluran tangan Bram, namun tak ada senyum di wajahnya. Reaksi yang ditunjukkan oleh Paramita membuat Dhea menjadi gugup, dia tahu pasti ibunya terkejut, memang selintas Bram terlihat masih berusia dibawah tiga puluh tahunan, namun jika diamati lebih dalam, mungkin ibunya bisa menebak jika pria itu jauh lebih tua darinya."Maaf, Bang. Ibuku tidak pernah tersenyum lagi sejak delapan tahun ini, maksudku ... Aku sudah cerita sama Abang, kan?" ujar Dhea pelan, mencoba memberi pengertian pada lelaki itu."Ya, aku paham. Kalau begitu aku pulang dulu, besok aku akan kembali lagi untuk menjemput kalian, dokter sudah mengijinkan ibumu pulang besok. Jangan pergi dulu sebelum aku jemput," ujar Bram dengan suara pelan."Iya, baiklah. Terima kasih sebelumnya," ujar Dhea mencoba tersenyum walau masih terasa kaku."Aku pulang dulu," ujar Bram sa
Dhea masuk ke kamar perawatan ibunya dengan perasaan yang gamang, masih ragu di dalam hatinya kalau dia menerima ajakan nikah pria yang bisa dibilang seusia pamannya, jarak mereka lima belas tahun. Tapi tidak juga, jarak Intan dan kakak pertamanya, Bang Andra juga jauh, malah tujuh belas tahun. Intan anak ke empat, karena memiliki tiga putra maka paman sepupunya, Om Muhtar menginginkan anak perempuan, ketika Andra kelas dua SMA, Intan baru lahir. Dilihat ibunya sudah tertidur dengan nyenyak, mungkin pengaruh obat juga yang membuat wanita paruh baya itu lekas tertidur. Dhea duduk di sofa dengan mrnselonjokan kakinya yang terasa letih. Dia mengeluarkan ponselnya dari tas, dia cukup terkejut ternyata dayanya mati. Dia segera mengecas baterainya agar bisa nyala kembali, untung saja dia selalu membawa charger ke manapun dia pergi. Kemudian dia tinggalkan untuk melakukan salat isya, untung juga dia selalu membawa mukena lipat ke manapun dia pergi. Setelah salat isya, daya ponselnya su
"Eh, Tan. Baju ini pas banget buat aku. Ini baju kapan?" Intan menoleh ke arah pintu kamar mandi yang sudah terbuka, pertanyaannya tadi belum sempat dijawab oleh bibinya, kini di depannya Dhea sudah siap untuk berangkat kerja. "Itu bajuku waktu magang dulu, waktu aku masih kurus. Ambil saja untukmu, dengan aku juga sudah gak muat." "Jangan dong, nanti kalau kamu sudah lahiran siapa tahu kurus lagi," ujar Dhea yang tengah merapikan riasannya. Intan hanya tersenyum sambil mengelus perutnya yang tengah isi tiga bulan. "Aku pergi, ya? Aku minta tolong jagain ibu, ya? Aku akan usahakan pulang cepat." "Kami kayak sama siapa aja, Bi Mitha itu juga Bibiku. Aku sudah ijin sama mas Afkar untuk menjaganya hari ini. Nanti Mama juga akan ke sini." "Oke, kalau gitu terima kasih. Bu ... Dhea berangkat kerja dulu, kalau ada apa-apa cepat kabari, ya?" Dhea mencium punggung tangan ibunya dan mencium pipi wanita tua itu. "Iya, kamu gak usah kuatir, kerja aja yang benar." "Ayo, aku antar samp
Menjadi karyawan magang memiliki kesulitan yang tidak sedikit. Karena paling junior sering kali Dhea di suruh-suruh oleh para senior di luar tupoksi kerjanya. Di suruh membelikan sarapan atau makan siang serta membuatkan kopi walaupun di sana ada OB yang bertugas. Di suruh memfoto copy bahkan disuruh mengerjakan laporan yang seharusnya di kerjakan oleh para seniornya.Di bagian keuangan ini ada delapan orang pegawai, yang baik padanya hanya dua orang yang mengajaknya berbincang tadi, Nilam dan Mario. Yang lain, dengan dalih men-training-nya, malah justru sering memanfaatkan tenaga Dhea.Dhea melakukan pekerjaan itu dengan berusaha bersikap ikhlas dan legowo, dia selalu memotivasi dirinya agar bekerja lebih keras, bisa diterima bekerja di perusahaan ini merupakan anugerah yang sangat besar baginya.Namun demikian, ada satu hal yang selalu membuat Dhea takut dan selalu waspada, yaitu ruang kerja atasannya Faisal. Baru beberapa hari Dhea bekerja, Faisal sudah bersikap kurang ajar padanya
Part 11"Hai, Dhe?" Dhea membeku melihat orang yang ada di belakang Afkar. Dhea lupa kalau suami sepupunya itu juga berprofesi sama dengan lelaki di sebelahnya, ternyata mereka juga sekantor? Kebetulan sekali."Hai, Bang? Oh, maaf semua ... Saya buru-buru, saya permisi dulu, ya?" Sungguh Dhea tidak ingin berada di situasi canggung seperti ini. Bertemu dengan mantan? Hal itulah yang selalu Dhea hindari selama ini."Kamu mau ke rumah sakit?" tanya Afkar."Iya, Mas. Saya pergi dulu, ya?" Dhea terburu-buru pergi ke arah lobi kantor, dia segera memutus percakapan yang menurutnya sangat tidak penting ini."Siapa yang sakit?" tanya Aryan setelah mereka masuk ke dalam lift."Ibunya Dhea, sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Oh, ya ... Bang Aryan kenal sama Dhea?" tanya Afkar dengan nada penasaran."Ya," jawab Aryan dengan singkat.Sebenarnya Afkar ingin bertanya banyak, seperti kenal di mana? Seberapa dekat mereka? Namun melihat sikap Aryan yang dingin dan acuh jadi diurungkan.Afkar meman
Bab 12Sementara itu, di ruang kerja departemen keuangan tampak sibuk, mereka bekerja di kubikel masing-masing dengan serius."Nilam, ke mana anak baru itu? Jam segini kok belum nampak batang hidungnya! Pemalas banget!" tanya seseorang dengan nada ketus."Eh, Bu Gracia? Dhea izin Bu hari ini, ibunya masuk rumah sakit," jawab Nilam dengan kalem."Ijin? Baru sebulan kerja sudah berani ijin. Memangnya kantor ini punya keluarganya? Memangnya siapa yang mengizinkan!?" ujar wanita yang dipanggil Bu Gracia itu berang."Tadi Dhea sempat datang ke kantor, terus dipanggil Pak Faisal, setalah dari ruang Pak Faisal dari langsung pulang, katanya Pak Faisal yang mengijinkannya.""Aduh, jadi bagaimana nasib laporan saya ini? Mana besok harus sudah selesai lagi," keluh Gracia."Nilam, mana Dhea? Saya mau suruh foto copy berkas ini empat rangkap untuk bahan meeting nanti jam sepuluh," ujar seorang lelaki empat puluhan menuju meja kerja Nilam."Dia ijin, Pak. Gak masuk, ibunya sakit." Nilam menjawab de
Bab 13"Iya, Mbak. Assalamu'alaikum?"'Dhea, kamu serius sudah ijin pulang sama Pak Faisal?' ujar Nilam di sebrang telepon."Iya, mbak. Tadi dia sendiri yang bilang.""Loh, dia ke sini, dia bilang kok gak ada ngijinin kamu?""Masak? Dia sendiri yang ngomong. Katanya, kenapa kamu gak bilang kalau ibumu sakit? Sebaiknya kamu gak usah masuk kalau ibumu sakit, gitu katanya."Nilam memandang Faisal yang masih berada di dekatnya, suara telepon tersebut bahkan di loud speaker. 'Dhea! Sekarang ke kantor! Saya butuh laporan anggaran perencanaan yang saya suruh revisi sekarang! Cepat, saya tunggu!' ujar Faisal merebut ponsel yang ada di tangan Nilam."Revisi anggaran perencanaan untuk real estate itu, Pak?" tanya Dhea.'Iya, akan dibawa rapat sebentar lagi!' jawab Faisal ketus."Oh, yang itu ... Baru saja saya selesaikan, Pak. Saya kirim lewat email bapak, silahkan cek Lina menit lagi. Maaf, Pak saya gak bisa datang ke kantor lagi, bapak kan tadi nyuruh saya gak perlu datang ke kantor? Sudah y
Partisipasi 14Bram baru selesai mengadakan pertemuan di sebuah hotel bintang lima, hotel di mana awal mula jalan bertemu dengan Dhea. Ketika melintasi ballroom hotel tersebut, dia tersenyum mengenang kejadian siang kemarin. Saat itu dia juga selesai mengadakan rapat di ruangan ujung hotel lantai yang sama dengan ballroom, di sana dia melintasi ballroom yang tengah mengadakan acara resepsi pernikahan, tiba-tiba dia mendengar seseorang sedang berbicara di telpon dan menepi ke tempat yang sedikit sepi. "Ya, halo?"".....""Oke, di mana?"".....""Oke, cafe cassanova meja nomor dua empat, ya?""....""Iya, aku pasti datang. Benar, ya? Gadis itu cantik?"".....""Iya, deh ... Aku percaya! Aku pastikan kencan buta kali ini gak akan mengecewakan, kamu tenang saja. Aku serius kok mau mencari calon istri, jam delapan, kan? Aku pasti datang, tenang saja, Af! Cafe Casanova meja nomor dua empat, jam delapan nanti malam." Mendengar percakapan searah lelaki itu Bram begitu tergelitik, pasalnya d
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar