"Dhea! Dhe, ini ibumu pingsan di ruko Tante, Dhe! Sekarang Tante sama Om Ridwan sedang dalam perjalanan membawa ibumu ke rumah sakit."
“Apa!?”
Mata Dhea membelalak. Yang menghubunginya ternyata adalah rekan bisnis katering ibunya.
"Ibu pingsan, Te? Dibawa ke rumah sakit mana, Tante?" tanya Dhea dengan panik. Gadis itu bahkan sampai berdiri saat bicara di teleponnya. Tangannya sudah menggenggam tasnya, seperti siap untuk pergi. “Rumah sakit umum daerah? Aku ke sana ya, Tante!”
Bram yang dari tadi memang tengah mengamati gadis muda di hadapannya itu mengernyit melihat kepanikan di wajah gadis itu, spontan saja sikap waspada dan empati di dalam dirinya tersulut, seolah ada yang membangkitkan. Lelaki itu ikut berdiri mengikuti pergerakan Dhea, sikap cemas pada gadis itu juga menular padanya.
"Abang, maaf. Pertemuan ini kita sudahi, ya? Ibuku dibawa ke rumah sakit, aku harus langsung ke sana. Maaf ya, Bang!"
"Ayo, biar saya antar!"
Dhea menghentikan langkahnya menatap Bram seolah tidak percaya, namun lelaki itu sudah menyambar sebuah kunci di atas meja dan mendahului Dhea berjalan. Tanpa banyak bertanya, Dhea mengikuti langkah lelaki itu, pikirannya yang tengah kalut tidak bisa memikirkan hal lain selain kondisi ibunya sekarang.
****
Bram mengemudi dengan kecepatan sedang, sesekali diliriknya gadis muda di sampingnya. Walau mengkuatirkan kondisi ibunya, Dhea meminta lelaki itu tidak perlu mengebut. Bram menghela napas berat, dia memahami kondisi gadis di sampingnya yang selama perjalanan hanya diam dalam kecemasan.
Selintas dia memikirkan pertemuan dengan gadis ini yang belum ada satu jam ini, Benarkah keputusannya untuk menikahi gadis ini? Ah, sebenarnya dia tidak terlalu peduli. Siapapun yang akan ditemuinya pada kencan buta kali ini harus menjadi istrinya, dia sudah sangat bosan mendengar permintaan kakek, ayah serta ibu tirinya untuk menikah.
Usianya memang sudah tiga puluh delapan tahun, sudah pantas menyandang status sebagai bujang lapuk. Itu karena bukannya dia tidak laku, tetapi entah kenapa waktu cepat sekali berlalu, kesibukannya mengurus usaha benar-benar mengesampingkan kehidupan pribadinya termasuk menikah.
"Temui gadis itu di Edelweis Restauran. Mau gak mau kau harus ke sana, Bram. Dia gadis yang baik, sangat cocok untuk menjadi istrimu, pendidikannya tinggi dan dari keluarga terhormat. Ingat, gadis di meja nomor 34! Jangan telat, temu janjinya jam delapan malam!" ultimatum Nirmala, ibu tirinya masih tergiang di kepalanya tadi siang.
Bram yang sedang sibuk meeting hari itu sungguh tidak terlalu memperhatikan apa yang dibicarakan ibunya, dia hanya mendengar ibu tirinya itu menyuruhnya menemui seorang gadis di Edelweis Restauran. Sungguh dia malas menemui gadis yang sudah diatur oleh Nirmala, perempuan yang sangat dibencinya di dalam hati, walaupun di hadapan wanita itu dia harus pura-pura patuh seperti anak berbakti.
"Bang, itu rumah sakitnya! Sepertinya kelewat."
Bram segera menginjak pedal rem secara mendadak. Lamunannya tadi benar-benar membuatnya tidak fokus menyetir, hingga tempat tujuannya terlewat. Lelaki itu harus memutar arah kembali hingga akhirnya bisa parkir dengan mulus di halaman rumah sakit tersebut.
"Saya turun dulu, apa Abang ingin mampir sebentar melihat kondisi ibuku?" tanya Dhea.
"Tentu saja aku harus melihat kondisi calon ibu mertuaku, bukan?"
Setelah mengatakan itu Bram langsung turun, Dhea yang masih kesulitan melepas sabuk pengamannya merasa hangat mendengar perkataan lelaki itu, kenapa dia begitu manis?
"Ayo, lekas turun!" Bram membukakan pintu untuk Dhea berbarengan gadis itu akan turun.
Dhea berjalan dengan cepat ke ruang UGD, disampingnya Bram mengikutinya dengan ketat.
"Tante Rini! Bagaimana kondisi ibu, Tante?" Dhea langsung mencerca pertanyaan tatkala melihat teman ibunya tengah duduk di ruang tunggu.
"Dhea! Ibu kamu masih di dalam, sedang ditangani oleh dokter. Kamu sabar, ya? Semoga ibu kamu tidak kenapa-kenapa."
Rini langsung memeluk Dhea dan menguatkannya.
"Kenapa ibu bisa pingsan, Tante?"
"Tadi waktu lagi mengemas catering, tiba-tiba ibumu pingsan."
"Jadi ibu masih kerja di tempat Tante?"
"Iya, setiap hari ibumu memang kerja di tempat catering Tante, Dhe! Memangnya kenapa?"
Dhea mengusap wajahnya dengan sedikit frustasi. Kenapa ibunya masih saja sibuk bekerja keras? Dhea sudah bilang pada Paramita, ibunya. Jika gadis itu sudah mendapat pekerjaan, walaupun masih training selama tiga bulan, tetapi gajinya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari mereka berdua. Melihat kondisi penyakit Paramitha yang serius, tentu Dhea tidak ingin terjadi apa-apa pada ibunya itu, hal seperti inilah yang dia kuatirkan selama ini.
"Dhea, memangnya ada apa?" Rini mengulangi pertanyaannya ketika tidak ada jawaban dari gadis itu.
"Siapa keluarga ibu Paramitha?" Suara seorang perawat terdengar dari pintu UGD yang terbuka. Membuta Dhea urung menjawab pertanyaan Rini.
"Saya, Sus! Saya anaknya!"
"Pasien sudah sadar ya, Mbak. Sudah boleh dijenguk, hanya saja dokter Adrian meminta keluarga pasien menemui beliau."
"Kalau begitu, kamu temui dokter itu, Dhe! Biar Tante yang menemani ibumu, sekalian Tante mau pamitan."
"Terima kasih, Te."
Dhea bergegas pergi ke ruangan dokter Adrian, Bram mengikuti ke mana saja gadis itu berjalan.
"Abang mau ke mana?"
"Menemanimu bertemu dengan dokter. Aku juga ingin tahu kondisi ibu mertuaku," ujar lelaki itu mantap.
Dhea hanya menelan Saliva setiap kali lelaki itu menyebut ibu mertua dengan yakin, bagaimanapun Dhea masih sangat asing dengan lelaki itu dan perkataannya.
"Ibu Paramita sudah harus di operasi, kanker di ususnya sudah mulai menjalar. Itu akan berbahaya jika sudah menyebar di mana-mana," terang dokter Adrian.
"Sebenarnya ibu saya terkena kanker di lambung apa usus, Dok?" Dhea tentu saja heran, waktu diperiksakan di rumah sakit swasta, ibunya didiagnosa terkena kanker lambung.
"Ibu anda terkena kanker usus besar atau kanker kolorektal. Sekarang sudah memasuki stadium tiga, masih banyak peluang untuk sembuh. Setelah operasi baru kita lakukan kemoterapi agar sel kanker mati dan tidak berkembang."
"Apa operasinya bisa memakai BPJS, Dok?"
Tentu saja hal yang paling dipikirkan oleh Dhea saat ini adalah dana.
"Tentu saja bisa, hanya saja obat-obatan dan fasilitas operasi tergantung pada kelas mana ibu anda di BPJS."
"Saya akan merujuk ibu saya ke rumah sakit Dharmais. Apa anda bisa memberi surat rujukan?"
Bram yang dari tadi hanya menyimak percakapan dokter dan Dhea, tiba-tiba saja berkata dengan tatapan mata serius, membuat Dhea bingung mau bersikap seperti apa.
"Demi kesembuhan pasien, dengan senang hati saya akan memberi surat rujukan. Rumah sakit Dharmais memang khusus untuk penderita kanker, tentu pengobatan di sana lebih lengkap dan lebih baik."
"Baiklah, Minggu depan saya akan membawanya ke sana. Tolong dokter siapkan surat rujukannya, sekarang saya akan menemui ibu kami dulu. Terima kasih sebelumnya," ujar Bram sambil mengulurkan tangan dan menjabat dokter itu dengan erat.
Speechless, Dhea tidak bisa berkata apa-apa, tiba-tiba saja pikirannya nge-blank. Setelah mereka berada di luar, kesadarannya kembali. Dia menoleh ke arah lelaki yang tengah berjalan pelan mensejajarkan langkah dengannya, kenapa lelaki ini mengambil keputusan sendiri tentang ibunya? Kenapa tidak merundingkan dengannya terlebih dulu? Rasa kesal tiba-tiba menghinggapinya.
"Kenapa Abang mengambil keputusan sendiri?"
"Kenapa Abang mengambil keputusan sendiri?" Bram menghentikan langkahnya ketika melihat gadis di sampingnya juga berhenti dengan wajah yang terlihat marah."Maaf, tapi aku melakukan itu demi kebaikan dan kesembuhan ibumu," jawab Bram dengan suara yang tenang dan tatapan mata melembut."Tapi kalau ibu dirawat di Jakarta, siapa yang akan menjaganya? Aku di sini bekerja. Lagipula biaya pengobatannya juga pasti mahal," keluh gadis itu."Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk ibu.""Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus m
Part 7"Dia .. dia calon suami Dhea, Bu.""Selamat malam, Ibu. Perkenalkan, Saya Bram. Calon suami putri ibu." Bram mengulurkan tangannya.Paramitha menyambut uluran tangan Bram, namun tak ada senyum di wajahnya. Reaksi yang ditunjukkan oleh Paramita membuat Dhea menjadi gugup, dia tahu pasti ibunya terkejut, memang selintas Bram terlihat masih berusia dibawah tiga puluh tahunan, namun jika diamati lebih dalam, mungkin ibunya bisa menebak jika pria itu jauh lebih tua darinya."Maaf, Bang. Ibuku tidak pernah tersenyum lagi sejak delapan tahun ini, maksudku ... Aku sudah cerita sama Abang, kan?" ujar Dhea pelan, mencoba memberi pengertian pada lelaki itu."Ya, aku paham. Kalau begitu aku pulang dulu, besok aku akan kembali lagi untuk menjemput kalian, dokter sudah mengijinkan ibumu pulang besok. Jangan pergi dulu sebelum aku jemput," ujar Bram dengan suara pelan."Iya, baiklah. Terima kasih sebelumnya," ujar Dhea mencoba tersenyum walau masih terasa kaku."Aku pulang dulu," ujar Bram sa
Dhea masuk ke kamar perawatan ibunya dengan perasaan yang gamang, masih ragu di dalam hatinya kalau dia menerima ajakan nikah pria yang bisa dibilang seusia pamannya, jarak mereka lima belas tahun. Tapi tidak juga, jarak Intan dan kakak pertamanya, Bang Andra juga jauh, malah tujuh belas tahun. Intan anak ke empat, karena memiliki tiga putra maka paman sepupunya, Om Muhtar menginginkan anak perempuan, ketika Andra kelas dua SMA, Intan baru lahir. Dilihat ibunya sudah tertidur dengan nyenyak, mungkin pengaruh obat juga yang membuat wanita paruh baya itu lekas tertidur. Dhea duduk di sofa dengan mrnselonjokan kakinya yang terasa letih. Dia mengeluarkan ponselnya dari tas, dia cukup terkejut ternyata dayanya mati. Dia segera mengecas baterainya agar bisa nyala kembali, untung saja dia selalu membawa charger ke manapun dia pergi. Kemudian dia tinggalkan untuk melakukan salat isya, untung juga dia selalu membawa mukena lipat ke manapun dia pergi. Setelah salat isya, daya ponselnya su
"Eh, Tan. Baju ini pas banget buat aku. Ini baju kapan?" Intan menoleh ke arah pintu kamar mandi yang sudah terbuka, pertanyaannya tadi belum sempat dijawab oleh bibinya, kini di depannya Dhea sudah siap untuk berangkat kerja. "Itu bajuku waktu magang dulu, waktu aku masih kurus. Ambil saja untukmu, dengan aku juga sudah gak muat." "Jangan dong, nanti kalau kamu sudah lahiran siapa tahu kurus lagi," ujar Dhea yang tengah merapikan riasannya. Intan hanya tersenyum sambil mengelus perutnya yang tengah isi tiga bulan. "Aku pergi, ya? Aku minta tolong jagain ibu, ya? Aku akan usahakan pulang cepat." "Kami kayak sama siapa aja, Bi Mitha itu juga Bibiku. Aku sudah ijin sama mas Afkar untuk menjaganya hari ini. Nanti Mama juga akan ke sini." "Oke, kalau gitu terima kasih. Bu ... Dhea berangkat kerja dulu, kalau ada apa-apa cepat kabari, ya?" Dhea mencium punggung tangan ibunya dan mencium pipi wanita tua itu. "Iya, kamu gak usah kuatir, kerja aja yang benar." "Ayo, aku antar samp
Menjadi karyawan magang memiliki kesulitan yang tidak sedikit. Karena paling junior sering kali Dhea di suruh-suruh oleh para senior di luar tupoksi kerjanya. Di suruh membelikan sarapan atau makan siang serta membuatkan kopi walaupun di sana ada OB yang bertugas. Di suruh memfoto copy bahkan disuruh mengerjakan laporan yang seharusnya di kerjakan oleh para seniornya.Di bagian keuangan ini ada delapan orang pegawai, yang baik padanya hanya dua orang yang mengajaknya berbincang tadi, Nilam dan Mario. Yang lain, dengan dalih men-training-nya, malah justru sering memanfaatkan tenaga Dhea.Dhea melakukan pekerjaan itu dengan berusaha bersikap ikhlas dan legowo, dia selalu memotivasi dirinya agar bekerja lebih keras, bisa diterima bekerja di perusahaan ini merupakan anugerah yang sangat besar baginya.Namun demikian, ada satu hal yang selalu membuat Dhea takut dan selalu waspada, yaitu ruang kerja atasannya Faisal. Baru beberapa hari Dhea bekerja, Faisal sudah bersikap kurang ajar padanya
Part 11"Hai, Dhe?" Dhea membeku melihat orang yang ada di belakang Afkar. Dhea lupa kalau suami sepupunya itu juga berprofesi sama dengan lelaki di sebelahnya, ternyata mereka juga sekantor? Kebetulan sekali."Hai, Bang? Oh, maaf semua ... Saya buru-buru, saya permisi dulu, ya?" Sungguh Dhea tidak ingin berada di situasi canggung seperti ini. Bertemu dengan mantan? Hal itulah yang selalu Dhea hindari selama ini."Kamu mau ke rumah sakit?" tanya Afkar."Iya, Mas. Saya pergi dulu, ya?" Dhea terburu-buru pergi ke arah lobi kantor, dia segera memutus percakapan yang menurutnya sangat tidak penting ini."Siapa yang sakit?" tanya Aryan setelah mereka masuk ke dalam lift."Ibunya Dhea, sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Oh, ya ... Bang Aryan kenal sama Dhea?" tanya Afkar dengan nada penasaran."Ya," jawab Aryan dengan singkat.Sebenarnya Afkar ingin bertanya banyak, seperti kenal di mana? Seberapa dekat mereka? Namun melihat sikap Aryan yang dingin dan acuh jadi diurungkan.Afkar meman
Bab 12Sementara itu, di ruang kerja departemen keuangan tampak sibuk, mereka bekerja di kubikel masing-masing dengan serius."Nilam, ke mana anak baru itu? Jam segini kok belum nampak batang hidungnya! Pemalas banget!" tanya seseorang dengan nada ketus."Eh, Bu Gracia? Dhea izin Bu hari ini, ibunya masuk rumah sakit," jawab Nilam dengan kalem."Ijin? Baru sebulan kerja sudah berani ijin. Memangnya kantor ini punya keluarganya? Memangnya siapa yang mengizinkan!?" ujar wanita yang dipanggil Bu Gracia itu berang."Tadi Dhea sempat datang ke kantor, terus dipanggil Pak Faisal, setalah dari ruang Pak Faisal dari langsung pulang, katanya Pak Faisal yang mengijinkannya.""Aduh, jadi bagaimana nasib laporan saya ini? Mana besok harus sudah selesai lagi," keluh Gracia."Nilam, mana Dhea? Saya mau suruh foto copy berkas ini empat rangkap untuk bahan meeting nanti jam sepuluh," ujar seorang lelaki empat puluhan menuju meja kerja Nilam."Dia ijin, Pak. Gak masuk, ibunya sakit." Nilam menjawab de
Bab 13"Iya, Mbak. Assalamu'alaikum?"'Dhea, kamu serius sudah ijin pulang sama Pak Faisal?' ujar Nilam di sebrang telepon."Iya, mbak. Tadi dia sendiri yang bilang.""Loh, dia ke sini, dia bilang kok gak ada ngijinin kamu?""Masak? Dia sendiri yang ngomong. Katanya, kenapa kamu gak bilang kalau ibumu sakit? Sebaiknya kamu gak usah masuk kalau ibumu sakit, gitu katanya."Nilam memandang Faisal yang masih berada di dekatnya, suara telepon tersebut bahkan di loud speaker. 'Dhea! Sekarang ke kantor! Saya butuh laporan anggaran perencanaan yang saya suruh revisi sekarang! Cepat, saya tunggu!' ujar Faisal merebut ponsel yang ada di tangan Nilam."Revisi anggaran perencanaan untuk real estate itu, Pak?" tanya Dhea.'Iya, akan dibawa rapat sebentar lagi!' jawab Faisal ketus."Oh, yang itu ... Baru saja saya selesaikan, Pak. Saya kirim lewat email bapak, silahkan cek Lina menit lagi. Maaf, Pak saya gak bisa datang ke kantor lagi, bapak kan tadi nyuruh saya gak perlu datang ke kantor? Sudah y
Ketika Lingga datang, mereka berdua menjadi lebih bersemangat, apalagi Lingga datang menggunakan motor Ninja sport yang menampilkan kejantanan dan keberaniannya. Orang-orang yang berkumpul di sana langsung curiga dengan kedatangan Lingga yang misterius, tetapi kedatangan Lingga juga teralihkan dengan kedatangan beberapa mobil sedan hitam yang datang dengan kecepatan tinggi dengan suara mendecit dari gesekan roda dan aspal. "Siapa mereka?" seru Frans dengan sikap waspada. "Sepertinya rombongan Adi sudah datang," jawab Bram ketika melihat siapa yang keluar dari mobil paling depan. "Sepertinya akan ada pertempuran besar, Ayo kita ke sana!" "Tunggu! urusan pertempuran di luar, itu urusan Adi. tugas kita hanya menyelamatkan Dhea. Cepat kita cari kesempatan!" "Kau benar, Bram. Aku akan memanggil Lingga!" Suasana semakin riuh dan mencekam. Kedatangan rombongan Adi benar-benar memprovokasi massa yang berjaga. Frans terbelalak ketika melihat rombongan bertato itu merangsek ke ara
"Eits, sebentar! kita harus memikirkan strategi bagaimana sampai ke sana? gak lihat gerombolan itu berkumpul? mereka siap menebas siapa saja yang mencurigakan," peringat Frans mencengkeram lengan Bram yang sudah tidak sabaran akan pergi ke rumah itu. "Jadi kita harus bagaimana? Dhea pasti sudah sangat menderita di sana," ujar Bram dengan nada putus asa. "Jangan gegabah, bukannya kita menolongnya yang ada malah kita yang mati konyol." Frans mengeluarkan tas ransel kecil yang dari tadi tersemat di punggungnya dan mengeluarkan benda dari sana, itu adalah teropong jarak jauh yang sudah dia persiapkan "Aku datang dengan persiapan, punya akal itu dibuat mikir." Bram hanya berdecak sebal Mendengar nada ejekan dari lelaki ini. "Lihat, itu siapa yang berada di balkon. Dia juga tengah mengamati sekitar dengan teleskop." "Mana?!" Bram langsung merampas teleskop yang sedang digunakan oleh Frans. Jarak rumah berpilar kepala naga itu cukup jauh, sekitar empat ratus meter dari tempat
Jam sebelas malam, Bram langsung mengajak Frans keluar, lagi pula dia juga tidak bisa tidur pada saat-saat seperti ini. Hari yang ditunggunya akhirnya datang, ketegangan jelas menyelimuti suasana hatinya. "Di mana mereka menyekap Dhea?" tanya Frans "Di daerah tanjung Priok. Kita akan langsung ke sana." "Kita langsung serang aja." "Kau datang ke sini mau mengacau? kita akan mengikuti rencana mereka." "Ngomong-ngomong siapa mereka?" "Orang-orang yang diatur oleh Adi." "Apa kau yakin mereka bisa mengalahkan Antonio? Aku baru saja mendapat kabar dari teman geng mafiaku di sini, mereka sekarang tengah beroperasi disewa oleh seseorang yang cukup berkuasa, kalau tidak aku bisa menyewanya untukmu." "Geng siapa lagi yang kau bicarakan?" "Geng Zeus, dia geng paling berkuasa di jakarta." "Tidak bisakah kau tidak lagi berhubungan dengan para geng seperti itu? ingat, kau bilang akan insyaf." "Ya, aku hanya memanfaatkan jasa mereka. Tapi sayang mereka sudah disewa." "Kau bi
"Jadi memang ada orang yang menargetkan Dhea?" tanya Frans dengan kuatir. "Tepatnya perusahaan Aditama yang menjadi target. Dhea hanya dijadikan sandera." "Itu sama saja! yang jelas mereka akan mencekai Dhea. Aku harus menolongnya!" "Bagaimana kau akan menolongnya? sudahlah. aku akan pulang ke jakarta." "Aku ikut! Dengar? aku ikut!" Lingga hanya pasrah menatap orang di depannya. Tentu saja tiket yang dipesan mendadak akan sulit di dapatkan. Sekarang bahkan sudah jam delapan malam. "Kamu bisa menyusul besok pagi, sekarang adalah penerbangan terakhir hari ini. Aku pulang duluan," ujar Lingga yang tidak sabaran. "Kalau begitu kau pulang besok juga," ujar Frans dengan keras kepala. "Hei, Sania tengah menungguku di bandara. Ngapain juga aku menunggumu? kau bisa pergi sendiri ke jakarta. Lagian kamu juga sudah sembuh tidak ada yang perlu dikuatirkan." Malam itu Lingga lngsung pergi ke jakarta, keesokan harinya Frans juga tidak bisa mendapatkan tiket pada penerbangan awal k
"Apa Abimanyu juga menyuruhmu melayaniku di atas ranjang?" tanya Antonio dengan tatapan kelam. "Benar, Tuan." Antonio tersenyum senang, setiap kali ke Indonesia Abimanyu selalu menghadiahkan dirinya seorang gadis muda. Tetapi kali ini dia memberikan sekretarisnya yang cantik ini, Antonio sudah tertarik dengan Inggit saat pertama kali bertemu, Abimanyu berjanji memberikan gadis itu jika Antonio benar-benar sudah membantunya merebut perusahaan milik Bram. "Tapi, pak Abimanyu belum resmi dilantik jadi CEO Aditama grup. Jadi saya belum bisa melayani anda," jawab Inggit. "Ah, sial! besok semua akan terwujud, apa bedanya besok atau sekarang?" "Masalahnya saya masih perawan, Tuan. Saya akan memberikan malam pertama saya pada momen yang tepat." Mata Antonio berbinar mendengar kata perawan. seumur hidupnya dia baru dua kali berhubungan dengan gadis perawan dan sensasinya sulit untuk dilupakan. Apalagi gadis asia yang memiliki tubuh mungil tentu akan tambah menggairahkan. Jadi dia d
"Pak, Yudith melapor, katanya kita harus waspada, anak buah Antonio sudah menyebar untuk melindungi Abimanyu. Mereka besok akan mengadakan rapat internasional dengan mitra mereka dari Vietnam, Kamboja dan Myanmar," lapor Regan pada Adi. Adi mendadak menatap Michael yang berada di hadapannya, saat ini mereka tengah berada di ballroom hotel karena mengadakan pesta sekaligus rapat rahasia mereka. "Bagaimana, Coach?" "Rapat internasional apa? rencana mereka tidak akan terwujud! Adi, persiapkan semua penyerangan. Kalian awasi rumah dan juga orang-orang yang berseliweran di sekitar rumah Abimanyu. Lihat perawakan mereka, jika tubuh mereka tampak atletis dan terlatih, kemungkinan itu anak buah Antonio yang melindunginya." Adi dan anak buahnya segera menyebar. Entah kenapa di sekitar rumah Abimanyu yang pertama dikunjungi Bram dan yang keduanya juga waktu itu mendadak banyak pedagang asongan dan pegangan keliling yang berseliweran, padahal dulunya tidak pernah melihat orang tersebut.
Kedatangan Antonio sudah diprediksi oleh Michael, lelaki itu hanya tersenyum simpul mendapatkan laporan tersebut. Sudah terlalu lama dendam itu dia simpan dan sekarang waktunya membalas semuanya. Kebetulan sekali rekan lamanya Adyaksa juga meminta bantuannya untuk menghabisi mitra Antonio. Michael teringat kejadian sepuluh tahun lalu di Colombia. Saat itu dia menjadi interpol bidang pemberantasan narkoba, asal Negera Michael sendiri berasal dari inggris. Lawannya adalah memberantas mafia Colombia, siapa sangka kalau para mafia lokal di sana disokong oleh Antonio. Beberapa bisnis Antonio di sana dihancurkan oleh Michael dan anak buahnya, maka Antonia begitu dendam, sehingga Antonio membalas Michael dengan menghabisi anak dan istrinya yang berdomisili di kota London. Dendam itu akhirnya berlanjut, Michael sendiri keluar dari instansinya dan bergabung dengan GIR, di sana Michael sendiri ingin membalaskan dendam pribadinya pada Antonio. "Dia menginap di Swiss-Belhotel. Apa anda ak
"Kamu saja yang menghubungi mereka, terutama peretas nomor baru itu, aku banyak kerjaan," ujar Bram dengan malas dan meletakkan lagi map di atas meja "Apa? hei, Pak. aku bukan pelayanmu, tidak usah menyuruh-nyuruh. sudah untung Pak Abi membantu anda untuk mencari sumber masalah yang menimpa perusahaan, daripada mengandalkan anda yang tidak punya kemampuan sama sekali sudah hampir dua Minggu," gerutu Anggit. "Aku tidak kenal dunia peretas. Kamu hanya memberikan datanya saja tanpa kontak yang bisa dihubungi, bagaimana aku bisa melakukan itu?" Bram tak kalah nyokot dengan wanita ini. "Lah itu tugas anda mencari tahu. Anda kan bos besar, tentu anda bisa mencari tahu hal sepele seperti itu." "Bagaimana aku mencari tahu? sedangkan aku tidak diberi akses untuk menghubungi orang-orang yang bisa membantuku? sebaiknya kamu cari tahu sendiri. Apalagi itu si peretasan nomor satu, Agen 47. Dia bukan orang sembarangan yang bisa ditemui siapa saja kalau gak punya koneksi untuk akses kepadany
"Menghubungi siapa Bram?" tanya Abimanyu setelah memonitor cctv sekarang Bram tengah mengotak-atik ponselnya. "Dia tidak senang chating dengan siapapun, Pak," ujar anak buahnya yang bertugas menyadap ponsel Bram. "Terus sedang apa dia sibuk mengetik di ponsel?" Abimanyu tidak percaya setelah melihat rekaman itu, seperti seseorang yang tengah berjalan chat. "Dia mungkin sedang memakai aplikasi lain, atau sedang searching di laman berita atau sedang menghitung dengan kalkulator." "Kok bisa, ya? coba perhatikan ponselnya! "Ponselnya masih merek dan seri yang sama, Pak." "Coba kau hubungi dia!" Lelaki itu langsung menekan nomor Bram, untung saja Bram sudah meletakkan ponselnya di laci meja, ketika mendengar ponselnya berdering, dia segera mengambil ponsel yang berada di sebelah ponsel barunya, melihat siapa yang menelpon, dia langsung menjawabnya. "Halo? ada apa?" ujar Bram dengan malas. "Bram, kau bekerja yang benar, malah sibuk main ponsel. bagaimna mau menyelesaikan t