Menjadi karyawan magang memiliki kesulitan yang tidak sedikit. Karena paling junior sering kali Dhea di suruh-suruh oleh para senior di luar tupoksi kerjanya. Di suruh membelikan sarapan atau makan siang serta membuatkan kopi walaupun di sana ada OB yang bertugas. Di suruh memfoto copy bahkan disuruh mengerjakan laporan yang seharusnya di kerjakan oleh para seniornya.Di bagian keuangan ini ada delapan orang pegawai, yang baik padanya hanya dua orang yang mengajaknya berbincang tadi, Nilam dan Mario. Yang lain, dengan dalih men-training-nya, malah justru sering memanfaatkan tenaga Dhea.Dhea melakukan pekerjaan itu dengan berusaha bersikap ikhlas dan legowo, dia selalu memotivasi dirinya agar bekerja lebih keras, bisa diterima bekerja di perusahaan ini merupakan anugerah yang sangat besar baginya.Namun demikian, ada satu hal yang selalu membuat Dhea takut dan selalu waspada, yaitu ruang kerja atasannya Faisal. Baru beberapa hari Dhea bekerja, Faisal sudah bersikap kurang ajar padanya
Part 11"Hai, Dhe?" Dhea membeku melihat orang yang ada di belakang Afkar. Dhea lupa kalau suami sepupunya itu juga berprofesi sama dengan lelaki di sebelahnya, ternyata mereka juga sekantor? Kebetulan sekali."Hai, Bang? Oh, maaf semua ... Saya buru-buru, saya permisi dulu, ya?" Sungguh Dhea tidak ingin berada di situasi canggung seperti ini. Bertemu dengan mantan? Hal itulah yang selalu Dhea hindari selama ini."Kamu mau ke rumah sakit?" tanya Afkar."Iya, Mas. Saya pergi dulu, ya?" Dhea terburu-buru pergi ke arah lobi kantor, dia segera memutus percakapan yang menurutnya sangat tidak penting ini."Siapa yang sakit?" tanya Aryan setelah mereka masuk ke dalam lift."Ibunya Dhea, sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Oh, ya ... Bang Aryan kenal sama Dhea?" tanya Afkar dengan nada penasaran."Ya," jawab Aryan dengan singkat.Sebenarnya Afkar ingin bertanya banyak, seperti kenal di mana? Seberapa dekat mereka? Namun melihat sikap Aryan yang dingin dan acuh jadi diurungkan.Afkar meman
Bab 12Sementara itu, di ruang kerja departemen keuangan tampak sibuk, mereka bekerja di kubikel masing-masing dengan serius."Nilam, ke mana anak baru itu? Jam segini kok belum nampak batang hidungnya! Pemalas banget!" tanya seseorang dengan nada ketus."Eh, Bu Gracia? Dhea izin Bu hari ini, ibunya masuk rumah sakit," jawab Nilam dengan kalem."Ijin? Baru sebulan kerja sudah berani ijin. Memangnya kantor ini punya keluarganya? Memangnya siapa yang mengizinkan!?" ujar wanita yang dipanggil Bu Gracia itu berang."Tadi Dhea sempat datang ke kantor, terus dipanggil Pak Faisal, setalah dari ruang Pak Faisal dari langsung pulang, katanya Pak Faisal yang mengijinkannya.""Aduh, jadi bagaimana nasib laporan saya ini? Mana besok harus sudah selesai lagi," keluh Gracia."Nilam, mana Dhea? Saya mau suruh foto copy berkas ini empat rangkap untuk bahan meeting nanti jam sepuluh," ujar seorang lelaki empat puluhan menuju meja kerja Nilam."Dia ijin, Pak. Gak masuk, ibunya sakit." Nilam menjawab de
Bab 13"Iya, Mbak. Assalamu'alaikum?"'Dhea, kamu serius sudah ijin pulang sama Pak Faisal?' ujar Nilam di sebrang telepon."Iya, mbak. Tadi dia sendiri yang bilang.""Loh, dia ke sini, dia bilang kok gak ada ngijinin kamu?""Masak? Dia sendiri yang ngomong. Katanya, kenapa kamu gak bilang kalau ibumu sakit? Sebaiknya kamu gak usah masuk kalau ibumu sakit, gitu katanya."Nilam memandang Faisal yang masih berada di dekatnya, suara telepon tersebut bahkan di loud speaker. 'Dhea! Sekarang ke kantor! Saya butuh laporan anggaran perencanaan yang saya suruh revisi sekarang! Cepat, saya tunggu!' ujar Faisal merebut ponsel yang ada di tangan Nilam."Revisi anggaran perencanaan untuk real estate itu, Pak?" tanya Dhea.'Iya, akan dibawa rapat sebentar lagi!' jawab Faisal ketus."Oh, yang itu ... Baru saja saya selesaikan, Pak. Saya kirim lewat email bapak, silahkan cek Lina menit lagi. Maaf, Pak saya gak bisa datang ke kantor lagi, bapak kan tadi nyuruh saya gak perlu datang ke kantor? Sudah y
Partisipasi 14Bram baru selesai mengadakan pertemuan di sebuah hotel bintang lima, hotel di mana awal mula jalan bertemu dengan Dhea. Ketika melintasi ballroom hotel tersebut, dia tersenyum mengenang kejadian siang kemarin. Saat itu dia juga selesai mengadakan rapat di ruangan ujung hotel lantai yang sama dengan ballroom, di sana dia melintasi ballroom yang tengah mengadakan acara resepsi pernikahan, tiba-tiba dia mendengar seseorang sedang berbicara di telpon dan menepi ke tempat yang sedikit sepi. "Ya, halo?"".....""Oke, di mana?"".....""Oke, cafe cassanova meja nomor dua empat, ya?""....""Iya, aku pasti datang. Benar, ya? Gadis itu cantik?"".....""Iya, deh ... Aku percaya! Aku pastikan kencan buta kali ini gak akan mengecewakan, kamu tenang saja. Aku serius kok mau mencari calon istri, jam delapan, kan? Aku pasti datang, tenang saja, Af! Cafe Casanova meja nomor dua empat, jam delapan nanti malam." Mendengar percakapan searah lelaki itu Bram begitu tergelitik, pasalnya d
Part 15Bram sampai rumah sakit jam empat sore, dia sedikit terkejut ketika melihat Dhea sudah ada di kamar perawatan ibunya. "Dhea? Kamu sudah pulang kerja?" sapa lelaki itu."Dhea izin gak jadi kerja, Bang. Dari pagi Dhea ada di sini.""Oh ya?" Ada sedikit penyesalan di dalam diri Bram. Dari tadi dia menahan diri untuk tidak dapat datang ke rumah sakit lebih awal takutnya Dhea tidak ada di sana, tahunya gadis itu sudah dari tadi pagi ada di sana. Rasanya jadi sia-sia membuang waktu."Bagaimana? Sudah siap untuk pulang?" tanya Bram."Iya, ibu juga sudah siap."Tak berapa lama lelaki itu sudah membawa kedua wanita beda usia itu dengan mobil SUV miliknya. Dhea membaringkan ibunya di bangku belakang dengan diganjal sebuah bantal, Dhea sendiri duduk di samping Bram yang memegang kemudi."Di mana rumahmu?" tanya Bram yang kini sudah memasuki sebuah gang, matanya melirik Dhea yang duduk di sebelahnya."Di ujung sana, nomor lima," jawab Dhea."Apa mobil bisa masuk?""Bisa, rumahku, lebih
Part 16"Bukan, Pak. Jumat ini, saya akan mengadakan akad nikah," jawab Dhea dengan menguatkan diri."Apa!? Apa maksudmu, Dhea!? Kamu mau apa!?"Faisal merasa salah dengar dengan apa yang dikatakan gadis di depannya. Lelaki itu menegakkan badannya, ada sisi lain di hatinya yang merasa takut dan tidak siap menerima kenyataan."Jumat ini saya akan menikah, Pak. Jadi saya meminta izin cuti sehari, hari Senin saya akan masuk lagi," ujar Dhea dengan tidak enak hati.Lelaki di hadapan Dhea terdiam dengan wajah kaku, biar bagaimanapun dia sudah terlanjur naksir berat pada gadis muda ini, berita ini tentu saja sedikit banyak sangat mempengaruhi perasaannya.Dhea yang tidak enak hati ditatap seperti itu segera pamit tanpa berlama-lama di ruangan atasannya itu. Faisal yang baru sadar kalau Dhea sudah keluar ruangannya hanya menggeram kesal, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa, statusnya yang masih suami orang tidak bisa membuatnya leluasa mendekati Dhea, gadis itu juga bukan perempuan genit yan
Part 17Suasana kembali canggung. Dhea ingin segera ke ruang ganti dan menghindari lelaki ini, tetapi lelaki ini keburu mendekatinya dengan agresif."Jadi benar kau akan menikah, Dhea? Dengan lelaki tua itu? Kenapa kau menikah dengan lelaki tua? Apa kau sudah tidak laku?"Dhea menghela napas kasar, dia tidak habis pikir, kenapa lelaki itu sudah tahu jika dia akan menikah? Tahu dari mana? Lagi pula kenapa kenapa semua orang seperti Intan juga lelaki ini mengatakan kalau calon suaminya itu lelaki tua, padahal Bram tidak tua-tua amat. Lelaki itu hanya lebih dewasa, lebih matang. Usianya juga sedang di usia puncak sebagai seorang pria, bukan lelaki tua yang sudah manula. Ah, biar saja orang mau bilang apa. Penampilan Bram yang ada di kepala Dhea adalah lelaki yang cukup gagah dengan tubuh proporsional dan atletis, memang dada dan lengannya lebih kekar dari pria sebaya Aryan ini. Tapi itu malah menambah daya tariknya, kan?"Terserah kamu, mau bilang apa juga, Bang. Mungkin jodohku memang
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m
Akhirnya di sinilah Dhea, memakai gaun hitam panjang dengan hiasan sulam benang emas, jilbab berwarna emas dan sepatu high heel hitam, pakaian yang dipesan khusus oleh Bram pada disainer busana muslimah terkenal tanah air. Gaun berharga puluhan juta itu rasanya sangat sayang uangnya, tapi demi menghormati suaminya, dia terpaksa memakainya. Memang ada harga, ada rupa, memakai gaun itu, Dhea benar-benar terlihat seperti seorang ratu dengan penampilan elegan, berwibawa dan benar-benar menjadi bintang yang bersinar malam ini. Pesta yang diadakan di sebuah hotel mewah di jakarta ini, tentunya juga menghabiskan budget yang tidak sedikit, untungnya hotel ini salah satu usaha milik Aditama grup. "Halo, Bu Dhea? selamat atas diangkatnya menjadi komisaris utama HG Aditama grup, Semoga perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak menyumbang pajak untuk kontribusi terhadap pembangunan bangsa," sapa seorang gubernur DKI dengan senyum yang cerah menyambut kedatangan Dhea. "Wah, terima k
Bram dan Dhea tentu terkejut mendengar perkataan Sayuti yang bernada menghina itu, Bram begitu geram mendengarnya, tadi waktu rapat tidak ada bersuara setelah rapat baru berani berkoar-koar. "Apa ini rencana kalian? suami istri menguasai hampir semua saham, apa perusahan juga tidak akan kenapa-napa dipimpin oleh bocah ingusan seperti ini, mana dia perempuan pula. bisa apa perempuan muda seperti dia?" serang Sayuti dengan nada tidak senang. "Ini juga bukan keinginan kami, Om! ini keinginan nenek. kalau aku boleh memilih lebih baik istriku tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga dan merawat anak kami," balas Bram tak kalah kesal pula. "Halah, munafik kamu! sejak kamu menikahinya, dia sudah kamu beri kedudukan sebagai direktur di anak cabang perusahan padahal pendidikan dan kemampuannya tidak kualified." Bram ingin membalas kembali perkataan pamannya ini, tetapi Dhea sudah mencekal lengannya dan dengan gelengan dia mengisyaratkan agar suaminya ini menghentikan perdebatan. "
"Tidak bisa! apa tidak ada kandidat yang lain? masih banyak orang yang kompeten selain wanita yang masih muda itu. Lagipula, dia juga punya riwayat pernah di penjara, dia juga sudah sangat lama absen dan telah mengundurkan diri dari perusahaan." "Pak Sayuti, jaga bicara anda!" Bram yang sudah membuka mulut, ternyata kalah cepat dengan ucapan Samsudin, pengacara itu menatap Sayuti dengan tajam seperti malaikat pencabut nyawa yang diutus di ruangan itu, segala apa yang dikatakan Samsudin berlindung dari hukum, ada juga petugas pengadilan dan kejaksaan yang menyaksikan jalannya rapat. "Pak sekretaris, putar lagi vidionya!" perintah Samsudin. "Demikianlah pesan dan wasiatku, saya ingatkan buat semuanya, patuhilah semua yang saya katakan ini, jika ada salah satu pihak menentang ataupun tidak patuh dan tidak menuruti semua yang saya katakan, saya sudah mengajukan perkara hukum dengan pengacara saya, dan menuntut untuk hukuman yang tidak main-main." "Ha!" Beberapa orang mendeng
"Sebelum Nyonya Hartina wafat, beliau meminta saya menjadi pengacaranya, untuk mengurus semua harta benda yang dia tinggalkan dan meninggalkan surat wasiat untuk dibacakan di depan semua anggota direksi perusahaan HG Aditama grup." Semua orang memusatkan perhatian pada Samsudin, lelaki itu memang pandai berbicara hingga membius semua orang, pantasan saja menjadi pengacara top dalam waktu enam tahun. "Saudara sekalian lihat? ini adalah surat yang ditulis tangan sendiri oleh Nyonya Hartina, ada tanda tangan beliau dan cap tiga jari di sini. Tetapi selain itu, beliau juga membuat rekaman vidio, karena jika dengan surat menurut beliau tidak kuat, jadi setelah bangun dari koma, beliau langsung menghubungi saya dan meminta rekaman vidio, coba tolong putar vidionya," pinta pengacara itu pada Fikri yang sudah siap di depan laptop. Di hadapan mereka sudah terpajang layar monitor dengan sorot ini infokus yang mulai memutarkan sebuah tayangan vidio, kemudian sosok nenek Hartina yang tenga