"Ibu tidak mau besanan dengan orang gila!"
Dhea meremas jemarinya sendiri, menahan sakit yang berkecamuk di dalam dada mendengar wanita paruh baya di depannya menghina sang ibu. Kalau dia sendiri yang dihina, dia masih bisa tahan. Namun, ini ibunya yang dikata-katai, sosok yang telah membesarkannya sejak kecil.
Gadis ini tiba-tiba merasa enggan bergabung ke dalam keluarga ini.
"Ibu, Bu Paramitha itu bukan orang gila, Dia hanya mengalami trauma masa lalu karena suami dan kedua anaknya meninggal karena kecelakaan. Dia ke rumah sakit jiwa hanya untuk menghilangkan traumanya itu," bantah lelaki muda yang duduk di sebelah Dhea.
Dhea melirik ke samping diam-diam. Lelaki ini yang berkali-kali menyakinkannya untuk meminta restu dari kedua orang tuanya, agar hubungan mereka bisa berlanjut ke pelaminan setelah tiga tahun.
Selama itu pulalah pria ini mengejar-ngejar Dhea karena menganggap Dhea merupakan sosok ideal untuk menjadi istrinya.
Namun, ternyata kedua orang tua pria ini tidak berpikir hal yang sama.
"Semua orang di lingkungan ini tahu, kalau ibu wanita ini adalah pasien rumah sakit jiwa. Ibu malu, tahu! Apa gak ada perempuan lain selain perempuan ini? Kalau kau gak bisa cari perempuan yang baik bobot, bibit, dan bebetnya, biar Ibu yang cariin!"
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik karena perawatan mahal itu menyampirkan kerudung pasminanya sambil mencebik ke arah sang putra itu.
Dhea menelan salivanya yang terasa pahit saat mendengar penghinaan terang-terang di hadapannya ini. Sebenarnya dia sungguh tidak sanggup menghadapi kedua orang tua kekasihnya ini, tetapi ia mencoba tenang.
"Bu, Dhea ini gadis yang baik, pintar dan cerdas. Aku juga sangat mencintainya, kenapa mempermasalahkan ibunya? Yang akan hidup bersamaku itu Dhea nantinya, Bu."
Lelaki di samping Dhea mencoba merendahkan suaranya untuk membujuk kedua orang tuanya, dia yakin dengan kelembutan, kedua orang tuanya yang terpelajar itu akan luluh.
Namun, sang ibu justru mendengus.
“Kamu nggak tahu kalau penyakit jiwa itu keturunan?” sergah wanita paruh baya itu. “Bisa saja nanti perempuan ini atau anak kalian mengidap penyakit yang sama! Kamu mau keluarga kita nanti–”
“Ibu!”
Si wanita paruh baya itu terbelalak, tidak menyangka putranya itu meninggikan suara padanya. “K-kamu berani membentak Ibu, Nak?”
Lalu, dengan berapi-api, wanita itu menunjuk-nunjuk Dhea. “Ini pasti gara-gara kamu, perempuan sial! Belum jadi istri saja sudah bisa memengaruhi anak saya buat membentak orang tuanya! Bagaimana kalau sudah menikah? Bisa-bisa dia jadi anak durhaka!”
Dhea menarik napas dalam-dalam, mencoba menstabilkan emosi dan suaranya mendengar tudingan tidak berdasar tersebut. Kepalanya terasa pusing, telinganya bahkan berdenging. Bahkan perdebatan sengit antara orang tua dan putranya itu seolah-olah terlihat seperti adegan video gerak lambat yang tidak bersuara.
Hingga akhirnya, perempuan itu memutuskan untuk berdiri.
“Cukup,” ucap Dhea dengan suara tegas, tetapi cukup lirih. Ia mengedarkan pandangan pada wanita paruh baya di depannya, kemudian pria di samping wanita itu, dan lelaki yang sebelumnya telah melamar Dhea. Ia kemudian melanjutkan, “Maafkan saya karena sudah lancang menerima pinangan putra Bapak dan Ibu. Setelah obrolan ini, saya memutuskan untuk tidak lagi bersedia menjadi bagian dari keluarga ini. Saya permisi.”
Dhea melangkah keluar tanpa memedulikan sumpah serapah di belakangnya karena tidak terima kata-kata Dhea yang seakan merendahkan putra mereka. Ia juga tidak memedulikan panggilan pria yang berjanji akan membuat Dhea bahagia di pernikahan mereka.
Ia hanya berharap bahwa ia tidak akan pernah bertemu dengan keluarga itu lagi.
Namun, satu tahun kemudian, ketika Dhea memilih untuk menghadiri sebuah acara pernikahan teman SMA-nya di sebuah hotel bintang lima, Dhea melihatnya lagi.
Lelaki itu duduk di pelaminan dengan senyum semringah, berdampingan dengan gadis cantik yang sudah dikenal Dhea saat SMA dulu.
Dhea sengaja datang saat resepsi meskipun kawannya memintanya hadir ketika akad. Mana mungkin ia sanggup. Meskipun ia yang memutuskan hubungan, tetapi ialah yang sulit untuk melupakan.
“Dhea! Ayo ke sini!”
Para temannya mengajak Dhea untuk menyalami kedua pengantin. Sebenarnya ia enggan, hanya ingin mengisi buku tamu, kemudian pulang. Apalagi karena orang tua Aryan, pria itu, menatapnya tajam dan tidak suka sejak tadi. Namun, teman-temannya menariknya agar turut serta bersama mereka.
Mungkin karena mendengar nama Dhea disebut, Aryan, menoleh dan bertatapan dengan Dhea.
Suasana membeku untuk sesaat ketika mata mereka beradu pandang. Tidak bisa ditampik, ada perasaan rindu pada lelaki itu selama setahun ini Dhea pendam, tapi kini harus ia relakan.
"Dhea! Akhirnya kamu datang, Dhe!" Itu suara Marlina, si pengantin wanita, tampak begitu antusias ketika akhirnya ia berhadapan dengan Dhea.
Dhea tersenyum. "Lina, selamat ya,” ucapnya sembari memeluk teman SMA-nya tersebut, meski dengan canggung
Gadis itu kemudian bergeser ke samping untuk menyalami pengantin pria. “Selamat ya, Bang–”
"Kamu datang sendiri, Dhe?” tanya lelaki itu memotong kalimat Dhea. Lalu, saat keduanya masih bersalaman, ia melanjutkan dalam bisikan yang di telinga Dhea terdengar meremehkan, “Kamu belum punya pengganti Abang? Siapa suruh waktu itu kamu tidak mau kembali pada Abang."
***
"Sudah kubilang jangan datang! Kamu kenapa ngeyel banget sih, Dhe!"
Dhea hanya tersenyum menanggapi perkataan perempuan di seberang telepon ini. Dari kemarin sepupunya ini sudah mewanti-wanti agar dia tidak datang ke pernikahan Aryan, tetapi Dhea tetap nekad.
Kini, gadis itu tengah berdiri di luar aula resepsi. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan mantan kekasihnya tersebut dan hanya tersenyum. Tidak ia sangka–setelah kedua orang tuanya, Aryan kini turut meremehkan Dhea.
"Aku gak enak sama Marlina kalau gak datang, nanti pasti digosipin di grup alumni kalau aku belum bisa move on dari suaminya."
"Lah, emang kamu belum bisa move on kan dari lelaki itu!"
Dhea menghela napas. "Ngaco. Aku belum punya pasangan bukan berarti belum bisa move on dari dia."
"Kamu baik-baik saja, kan?"
"Iya, aku baik-baik saja."
Kini terdengar suara Intan, sepupunya di seberang saluran telepon, menghela napas. Kemudian, gadis itu melanjutkan, "Sebaiknya kamu cepat cari pasangan deh, Dhe! Rawan dituduh Marlina kamu tuh! Dia kan iri banget sama kamu sejak dulu.”
"Iya, tadi saja Bang Aryan juga tanya-tanya aku sudah punya pengganti dia atau belum. Nggak pantas nggak sih nanya gitu pas di nikahannya sendiri?"
"Nah, kan ... apa kubilang!?” Intan mendengus. “Sudahlah! Kamu aku jodohin sama temannya Mas Afkar aja. Jangan nolak! Nanti alamat ketemuan dan waktunyanya aku kirim.”
Sepupunya itu kembali berusaha menjodohkan Dhea dengan teman suaminya.
"Tan, tapi aku–”
Namun, sebelum Dhea menolak rencana Intan, sepupunya, telepon sudah diputus secara sepihak. Tidak lama kemudian, ponselnya berdenting, tanda sebuah pesan masuk.
[Kafe Cassanova. Pukul tujuh malam. Jangan telat!]
Gadis itu menghela napas panjang. Sekarang sudah pukul 5.00 sore. Rasanya, Dhea bisa langsung pergi ke kafe setelah ini.
Namun, saat gadis itu sampai di sana tepat pukul 7.00 malam, isi kafe tersebut kebanyakan pasangan mesra dan geng perempuan cantik yang sedang bergosip. Sama sekali tidak ada tanda-tanda pria yang harus Dhea temui malam itu.
[Temannya Mas Afkar kayaknya kejebak macet. Biasa, jam pulang kantor. Sabar menunggu ya!]
Sebuah pesan dari Intan ia terima kemudian, membuat Dhea langsung cemberut. Ia duduk di salah satu kursi dan mulai menunggu.
Akan tetapi, bahkan ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, belum ada pria yang menghampiri mejanya. Gadis itu mulai dongkol karena sudah membuang waktu selama setengah jam. Apalagi, perutnya sudah lapar.
Dhea tidak mau walau hanya pesan minuman, harga makanan dan minuman di sini sangat mahal. Uangnya sangat sayang kalau untuk dibelikan makanan mahal seperti ini. Harga satu porsi makanan di sini bisa untuk makan tiga hari nasi rames di warteg dekat kontrakannya. Jadi sejak tadi, gadis itu sama sekali belum memesan apa pun.
"Mana sih, orangnya? Lama banget! Ini sudah hampir jam delapan malam. Bener-bener ngaret!” gerutu Dhea. “Belum jadi suami sudah begini, apalagi nanti kalau jadi suami? Bisa-bisa di sia-siakan aku."
Gadis itu akhirnya hanya mentertawakan perkataannya sendiri.
Jadi suami? Ngimpi kali!
Ini baru pertemuan buat kenalan saja, masih jauh untuk menikah, makhluk yang diajak kencan buta kali ini saja belum terlihat wujudnya.
Tiba-tiba, bahunya ditepuk oleh seseorang, disusul suara bariton yang menyapa gendang telinga Dhea.
"Selamat malam. Maaf saya terlambat. Apa Anda sudah menunggu lama?”
"Selamat malam. Maaf saya terlambat. Apa Anda sudah menunggu lama?”Dhea hampir saja akan meninggalkan kursi yang dia duduki selama satu jam ini ketika mendengar suara bariton yang terdengar menggelitik telinganya. Gadis itu mendongakkan kepalanya melihat seraut wajah yang tidak pernah dibayangkannya. Dia pernah melihat penampilan seperti itu di sebuah film, penampilannya seperti bos mafia, memakai jas hitam, kemeja putih, dan dasi hitam belang putih. Tatapan mata pria itu setajam elang, dengan bola mata berwarna cokelat tua. Hidungnya bangir dan wajahnya ditumbuhi cambang dan kumis tipis–seperti baru tumbuh kembali setelah dicukur. Ada beberapa helai uban di antara rambutnya yang hitam.Lelaki itu langsung duduk di hadapan Dhea, mengamati penampilan gadis di hadapannya dan sedikit terkejut. Lelaki itu menyeringai tipis, membuat Dhea sedikit jengah. Tatapan lelaki tersebut sungguh mengandung misteri."Maaf. Apakah kamu sudah menunggu lama?" ujar lelaki itu lagi dengan suara yang sed
“Dalam waktu satu minggu, kita akan menikah.”Dhea terkejut. Ia bingung mendengar ucapan lelaki ini. "Apa? Maksudnya apa?" tanyanya."Kita akan menikah seminggu lagi. Besok aku akan mengadakan lamaran pada orang tuamu,” ucap Bram lagi. "Bersiaplah, oke?”"Hei, Bang. Aku memang siap untuk menikah, tapi gak secepat itu juga, Bang.” Dhea sekarang jadi panik. Satu minggu adalah waktu yang teramat singkat untuk menyiapkan sebuah pernikahan yang akan ditempuh seumur hidup.“Kita harus saling mengenal dulu, kalau cocok baru lanjut. Aku mana bisa menikah tanpa mengetahui latar belakangmu dulu,” lanjut Dhea. “Aku sama sekali tidak tahu bagaimana sifatmu, keluargamu ... banyak yang harus dipertimbangkan, Bang.""Yah, maklum. Kamu masih kecil, belum punya banyak pengalaman.” Bram tersenyum tipis. “Apa kamu pikir orang yang berpacaran itu adalah ajang saling mengenal lebih lanjut dan mengetahui latar belakang dan sifat pasangan dengan jujur dan apa adanya? Semua itu hanya omong kosong.” Dhea men
[Dhea! Maaf ya, barusan teman Mas Afkar telepon, katanya mobilnya pecah ban. Dia meminta menunda pertemuan.]Hah? Apa? Jadi temannya Afkar tidak jadi datang? Jadi siapa yang duduk di hadapannya ini? Apakah orang nyasar? Mata Dhea menatap ke arah Bram dengan bingung dan curiga, dia menelisik penampilan Bram sekali lagi, lelaki yang tengah diamatinya tengah asik memotong dan memakan daging. Haruskah dia memberitahu lelaki itu jika dia seharusnya janji ketemu dengan lelaki lain? Bukan dirinya?Sesaat kemudian pandangan Bram mengarah ke depan, di mana posisi Dhea berada, dengan geragapan gadis itu mengalihkan pandangannya agar tidak kepergok tengah mengamati lelaki itu."Bagaimana, Dhea? Apakah kau akan mengenalkan dirimu secara terperinci?" tanya lelaki itu masih dengan suara lembut.Mendengar suara lelaki itu yang cukup menggoda, membuat Dhea bimbang untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Mungkinkah sebenarnya lelaki ini seharusnya juga tengah melakukan temu janji dengan perempuan lain?
"Dhea! Dhe, ini ibumu pingsan di ruko Tante, Dhe! Sekarang Tante sama Om Ridwan sedang dalam perjalanan membawa ibumu ke rumah sakit." “Apa!?” Mata Dhea membelalak. Yang menghubunginya ternyata adalah rekan bisnis katering ibunya. "Ibu pingsan, Te? Dibawa ke rumah sakit mana, Tante?" tanya Dhea dengan panik. Gadis itu bahkan sampai berdiri saat bicara di teleponnya. Tangannya sudah menggenggam tasnya, seperti siap untuk pergi. “Rumah sakit umum daerah? Aku ke sana ya, Tante!” Bram yang dari tadi memang tengah mengamati gadis muda di hadapannya itu mengernyit melihat kepanikan di wajah gadis itu, spontan saja sikap waspada dan empati di dalam dirinya tersulut, seolah ada yang membangkitkan. Lelaki itu ikut berdiri mengikuti pergerakan Dhea, sikap cemas pada gadis itu juga menular padanya. "Abang, maaf. Pertemuan ini kita sudahi, ya? Ibuku dibawa ke rumah sakit, aku harus langsung ke sana. Maaf ya, Bang!" "Ayo, biar saya antar!" Dhea menghentikan langkahnya menatap Bram seolah ti
"Kenapa Abang mengambil keputusan sendiri?" Bram menghentikan langkahnya ketika melihat gadis di sampingnya juga berhenti dengan wajah yang terlihat marah."Maaf, tapi aku melakukan itu demi kebaikan dan kesembuhan ibumu," jawab Bram dengan suara yang tenang dan tatapan mata melembut."Tapi kalau ibu dirawat di Jakarta, siapa yang akan menjaganya? Aku di sini bekerja. Lagipula biaya pengobatannya juga pasti mahal," keluh gadis itu."Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk ibu.""Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus m
Part 7"Dia .. dia calon suami Dhea, Bu.""Selamat malam, Ibu. Perkenalkan, Saya Bram. Calon suami putri ibu." Bram mengulurkan tangannya.Paramitha menyambut uluran tangan Bram, namun tak ada senyum di wajahnya. Reaksi yang ditunjukkan oleh Paramita membuat Dhea menjadi gugup, dia tahu pasti ibunya terkejut, memang selintas Bram terlihat masih berusia dibawah tiga puluh tahunan, namun jika diamati lebih dalam, mungkin ibunya bisa menebak jika pria itu jauh lebih tua darinya."Maaf, Bang. Ibuku tidak pernah tersenyum lagi sejak delapan tahun ini, maksudku ... Aku sudah cerita sama Abang, kan?" ujar Dhea pelan, mencoba memberi pengertian pada lelaki itu."Ya, aku paham. Kalau begitu aku pulang dulu, besok aku akan kembali lagi untuk menjemput kalian, dokter sudah mengijinkan ibumu pulang besok. Jangan pergi dulu sebelum aku jemput," ujar Bram dengan suara pelan."Iya, baiklah. Terima kasih sebelumnya," ujar Dhea mencoba tersenyum walau masih terasa kaku."Aku pulang dulu," ujar Bram sa
Dhea masuk ke kamar perawatan ibunya dengan perasaan yang gamang, masih ragu di dalam hatinya kalau dia menerima ajakan nikah pria yang bisa dibilang seusia pamannya, jarak mereka lima belas tahun. Tapi tidak juga, jarak Intan dan kakak pertamanya, Bang Andra juga jauh, malah tujuh belas tahun. Intan anak ke empat, karena memiliki tiga putra maka paman sepupunya, Om Muhtar menginginkan anak perempuan, ketika Andra kelas dua SMA, Intan baru lahir. Dilihat ibunya sudah tertidur dengan nyenyak, mungkin pengaruh obat juga yang membuat wanita paruh baya itu lekas tertidur. Dhea duduk di sofa dengan mrnselonjokan kakinya yang terasa letih. Dia mengeluarkan ponselnya dari tas, dia cukup terkejut ternyata dayanya mati. Dia segera mengecas baterainya agar bisa nyala kembali, untung saja dia selalu membawa charger ke manapun dia pergi. Kemudian dia tinggalkan untuk melakukan salat isya, untung juga dia selalu membawa mukena lipat ke manapun dia pergi. Setelah salat isya, daya ponselnya su
"Eh, Tan. Baju ini pas banget buat aku. Ini baju kapan?" Intan menoleh ke arah pintu kamar mandi yang sudah terbuka, pertanyaannya tadi belum sempat dijawab oleh bibinya, kini di depannya Dhea sudah siap untuk berangkat kerja. "Itu bajuku waktu magang dulu, waktu aku masih kurus. Ambil saja untukmu, dengan aku juga sudah gak muat." "Jangan dong, nanti kalau kamu sudah lahiran siapa tahu kurus lagi," ujar Dhea yang tengah merapikan riasannya. Intan hanya tersenyum sambil mengelus perutnya yang tengah isi tiga bulan. "Aku pergi, ya? Aku minta tolong jagain ibu, ya? Aku akan usahakan pulang cepat." "Kami kayak sama siapa aja, Bi Mitha itu juga Bibiku. Aku sudah ijin sama mas Afkar untuk menjaganya hari ini. Nanti Mama juga akan ke sini." "Oke, kalau gitu terima kasih. Bu ... Dhea berangkat kerja dulu, kalau ada apa-apa cepat kabari, ya?" Dhea mencium punggung tangan ibunya dan mencium pipi wanita tua itu. "Iya, kamu gak usah kuatir, kerja aja yang benar." "Ayo, aku antar samp
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m
Akhirnya di sinilah Dhea, memakai gaun hitam panjang dengan hiasan sulam benang emas, jilbab berwarna emas dan sepatu high heel hitam, pakaian yang dipesan khusus oleh Bram pada disainer busana muslimah terkenal tanah air. Gaun berharga puluhan juta itu rasanya sangat sayang uangnya, tapi demi menghormati suaminya, dia terpaksa memakainya. Memang ada harga, ada rupa, memakai gaun itu, Dhea benar-benar terlihat seperti seorang ratu dengan penampilan elegan, berwibawa dan benar-benar menjadi bintang yang bersinar malam ini. Pesta yang diadakan di sebuah hotel mewah di jakarta ini, tentunya juga menghabiskan budget yang tidak sedikit, untungnya hotel ini salah satu usaha milik Aditama grup. "Halo, Bu Dhea? selamat atas diangkatnya menjadi komisaris utama HG Aditama grup, Semoga perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak menyumbang pajak untuk kontribusi terhadap pembangunan bangsa," sapa seorang gubernur DKI dengan senyum yang cerah menyambut kedatangan Dhea. "Wah, terima k
Bram dan Dhea tentu terkejut mendengar perkataan Sayuti yang bernada menghina itu, Bram begitu geram mendengarnya, tadi waktu rapat tidak ada bersuara setelah rapat baru berani berkoar-koar. "Apa ini rencana kalian? suami istri menguasai hampir semua saham, apa perusahan juga tidak akan kenapa-napa dipimpin oleh bocah ingusan seperti ini, mana dia perempuan pula. bisa apa perempuan muda seperti dia?" serang Sayuti dengan nada tidak senang. "Ini juga bukan keinginan kami, Om! ini keinginan nenek. kalau aku boleh memilih lebih baik istriku tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga dan merawat anak kami," balas Bram tak kalah kesal pula. "Halah, munafik kamu! sejak kamu menikahinya, dia sudah kamu beri kedudukan sebagai direktur di anak cabang perusahan padahal pendidikan dan kemampuannya tidak kualified." Bram ingin membalas kembali perkataan pamannya ini, tetapi Dhea sudah mencekal lengannya dan dengan gelengan dia mengisyaratkan agar suaminya ini menghentikan perdebatan. "
"Tidak bisa! apa tidak ada kandidat yang lain? masih banyak orang yang kompeten selain wanita yang masih muda itu. Lagipula, dia juga punya riwayat pernah di penjara, dia juga sudah sangat lama absen dan telah mengundurkan diri dari perusahaan." "Pak Sayuti, jaga bicara anda!" Bram yang sudah membuka mulut, ternyata kalah cepat dengan ucapan Samsudin, pengacara itu menatap Sayuti dengan tajam seperti malaikat pencabut nyawa yang diutus di ruangan itu, segala apa yang dikatakan Samsudin berlindung dari hukum, ada juga petugas pengadilan dan kejaksaan yang menyaksikan jalannya rapat. "Pak sekretaris, putar lagi vidionya!" perintah Samsudin. "Demikianlah pesan dan wasiatku, saya ingatkan buat semuanya, patuhilah semua yang saya katakan ini, jika ada salah satu pihak menentang ataupun tidak patuh dan tidak menuruti semua yang saya katakan, saya sudah mengajukan perkara hukum dengan pengacara saya, dan menuntut untuk hukuman yang tidak main-main." "Ha!" Beberapa orang mendeng
"Sebelum Nyonya Hartina wafat, beliau meminta saya menjadi pengacaranya, untuk mengurus semua harta benda yang dia tinggalkan dan meninggalkan surat wasiat untuk dibacakan di depan semua anggota direksi perusahaan HG Aditama grup." Semua orang memusatkan perhatian pada Samsudin, lelaki itu memang pandai berbicara hingga membius semua orang, pantasan saja menjadi pengacara top dalam waktu enam tahun. "Saudara sekalian lihat? ini adalah surat yang ditulis tangan sendiri oleh Nyonya Hartina, ada tanda tangan beliau dan cap tiga jari di sini. Tetapi selain itu, beliau juga membuat rekaman vidio, karena jika dengan surat menurut beliau tidak kuat, jadi setelah bangun dari koma, beliau langsung menghubungi saya dan meminta rekaman vidio, coba tolong putar vidionya," pinta pengacara itu pada Fikri yang sudah siap di depan laptop. Di hadapan mereka sudah terpajang layar monitor dengan sorot ini infokus yang mulai memutarkan sebuah tayangan vidio, kemudian sosok nenek Hartina yang tenga