"Ibu tidak mau besanan dengan orang gila!"
Dhea meremas jemarinya sendiri, menahan sakit yang berkecamuk di dalam dada mendengar wanita paruh baya di depannya menghina sang ibu. Kalau dia sendiri yang dihina, dia masih bisa tahan. Namun, ini ibunya yang dikata-katai, sosok yang telah membesarkannya sejak kecil.
Gadis ini tiba-tiba merasa enggan bergabung ke dalam keluarga ini.
"Ibu, Bu Paramitha itu bukan orang gila, Dia hanya mengalami trauma masa lalu karena suami dan kedua anaknya meninggal karena kecelakaan. Dia ke rumah sakit jiwa hanya untuk menghilangkan traumanya itu," bantah lelaki muda yang duduk di sebelah Dhea.
Dhea melirik ke samping diam-diam. Lelaki ini yang berkali-kali menyakinkannya untuk meminta restu dari kedua orang tuanya, agar hubungan mereka bisa berlanjut ke pelaminan setelah tiga tahun.
Selama itu pulalah pria ini mengejar-ngejar Dhea karena menganggap Dhea merupakan sosok ideal untuk menjadi istrinya.
Namun, ternyata kedua orang tua pria ini tidak berpikir hal yang sama.
"Semua orang di lingkungan ini tahu, kalau ibu wanita ini adalah pasien rumah sakit jiwa. Ibu malu, tahu! Apa gak ada perempuan lain selain perempuan ini? Kalau kau gak bisa cari perempuan yang baik bobot, bibit, dan bebetnya, biar Ibu yang cariin!"
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik karena perawatan mahal itu menyampirkan kerudung pasminanya sambil mencebik ke arah sang putra itu.
Dhea menelan salivanya yang terasa pahit saat mendengar penghinaan terang-terang di hadapannya ini. Sebenarnya dia sungguh tidak sanggup menghadapi kedua orang tua kekasihnya ini, tetapi ia mencoba tenang.
"Bu, Dhea ini gadis yang baik, pintar dan cerdas. Aku juga sangat mencintainya, kenapa mempermasalahkan ibunya? Yang akan hidup bersamaku itu Dhea nantinya, Bu."
Lelaki di samping Dhea mencoba merendahkan suaranya untuk membujuk kedua orang tuanya, dia yakin dengan kelembutan, kedua orang tuanya yang terpelajar itu akan luluh.
Namun, sang ibu justru mendengus.
“Kamu nggak tahu kalau penyakit jiwa itu keturunan?” sergah wanita paruh baya itu. “Bisa saja nanti perempuan ini atau anak kalian mengidap penyakit yang sama! Kamu mau keluarga kita nanti–”
“Ibu!”
Si wanita paruh baya itu terbelalak, tidak menyangka putranya itu meninggikan suara padanya. “K-kamu berani membentak Ibu, Nak?”
Lalu, dengan berapi-api, wanita itu menunjuk-nunjuk Dhea. “Ini pasti gara-gara kamu, perempuan sial! Belum jadi istri saja sudah bisa memengaruhi anak saya buat membentak orang tuanya! Bagaimana kalau sudah menikah? Bisa-bisa dia jadi anak durhaka!”
Dhea menarik napas dalam-dalam, mencoba menstabilkan emosi dan suaranya mendengar tudingan tidak berdasar tersebut. Kepalanya terasa pusing, telinganya bahkan berdenging. Bahkan perdebatan sengit antara orang tua dan putranya itu seolah-olah terlihat seperti adegan video gerak lambat yang tidak bersuara.
Hingga akhirnya, perempuan itu memutuskan untuk berdiri.
“Cukup,” ucap Dhea dengan suara tegas, tetapi cukup lirih. Ia mengedarkan pandangan pada wanita paruh baya di depannya, kemudian pria di samping wanita itu, dan lelaki yang sebelumnya telah melamar Dhea. Ia kemudian melanjutkan, “Maafkan saya karena sudah lancang menerima pinangan putra Bapak dan Ibu. Setelah obrolan ini, saya memutuskan untuk tidak lagi bersedia menjadi bagian dari keluarga ini. Saya permisi.”
Dhea melangkah keluar tanpa memedulikan sumpah serapah di belakangnya karena tidak terima kata-kata Dhea yang seakan merendahkan putra mereka. Ia juga tidak memedulikan panggilan pria yang berjanji akan membuat Dhea bahagia di pernikahan mereka.
Ia hanya berharap bahwa ia tidak akan pernah bertemu dengan keluarga itu lagi.
Namun, satu tahun kemudian, ketika Dhea memilih untuk menghadiri sebuah acara pernikahan teman SMA-nya di sebuah hotel bintang lima, Dhea melihatnya lagi.
Lelaki itu duduk di pelaminan dengan senyum semringah, berdampingan dengan gadis cantik yang sudah dikenal Dhea saat SMA dulu.
Dhea sengaja datang saat resepsi meskipun kawannya memintanya hadir ketika akad. Mana mungkin ia sanggup. Meskipun ia yang memutuskan hubungan, tetapi ialah yang sulit untuk melupakan.
“Dhea! Ayo ke sini!”
Para temannya mengajak Dhea untuk menyalami kedua pengantin. Sebenarnya ia enggan, hanya ingin mengisi buku tamu, kemudian pulang. Apalagi karena orang tua Aryan, pria itu, menatapnya tajam dan tidak suka sejak tadi. Namun, teman-temannya menariknya agar turut serta bersama mereka.
Mungkin karena mendengar nama Dhea disebut, Aryan, menoleh dan bertatapan dengan Dhea.
Suasana membeku untuk sesaat ketika mata mereka beradu pandang. Tidak bisa ditampik, ada perasaan rindu pada lelaki itu selama setahun ini Dhea pendam, tapi kini harus ia relakan.
"Dhea! Akhirnya kamu datang, Dhe!" Itu suara Marlina, si pengantin wanita, tampak begitu antusias ketika akhirnya ia berhadapan dengan Dhea.
Dhea tersenyum. "Lina, selamat ya,” ucapnya sembari memeluk teman SMA-nya tersebut, meski dengan canggung
Gadis itu kemudian bergeser ke samping untuk menyalami pengantin pria. “Selamat ya, Bang–”
"Kamu datang sendiri, Dhe?” tanya lelaki itu memotong kalimat Dhea. Lalu, saat keduanya masih bersalaman, ia melanjutkan dalam bisikan yang di telinga Dhea terdengar meremehkan, “Kamu belum punya pengganti Abang? Siapa suruh waktu itu kamu tidak mau kembali pada Abang."
***
"Sudah kubilang jangan datang! Kamu kenapa ngeyel banget sih, Dhe!"
Dhea hanya tersenyum menanggapi perkataan perempuan di seberang telepon ini. Dari kemarin sepupunya ini sudah mewanti-wanti agar dia tidak datang ke pernikahan Aryan, tetapi Dhea tetap nekad.
Kini, gadis itu tengah berdiri di luar aula resepsi. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan mantan kekasihnya tersebut dan hanya tersenyum. Tidak ia sangka–setelah kedua orang tuanya, Aryan kini turut meremehkan Dhea.
"Aku gak enak sama Marlina kalau gak datang, nanti pasti digosipin di grup alumni kalau aku belum bisa move on dari suaminya."
"Lah, emang kamu belum bisa move on kan dari lelaki itu!"
Dhea menghela napas. "Ngaco. Aku belum punya pasangan bukan berarti belum bisa move on dari dia."
"Kamu baik-baik saja, kan?"
"Iya, aku baik-baik saja."
Kini terdengar suara Intan, sepupunya di seberang saluran telepon, menghela napas. Kemudian, gadis itu melanjutkan, "Sebaiknya kamu cepat cari pasangan deh, Dhe! Rawan dituduh Marlina kamu tuh! Dia kan iri banget sama kamu sejak dulu.”
"Iya, tadi saja Bang Aryan juga tanya-tanya aku sudah punya pengganti dia atau belum. Nggak pantas nggak sih nanya gitu pas di nikahannya sendiri?"
"Nah, kan ... apa kubilang!?” Intan mendengus. “Sudahlah! Kamu aku jodohin sama temannya Mas Afkar aja. Jangan nolak! Nanti alamat ketemuan dan waktunyanya aku kirim.”
Sepupunya itu kembali berusaha menjodohkan Dhea dengan teman suaminya.
"Tan, tapi aku–”
Namun, sebelum Dhea menolak rencana Intan, sepupunya, telepon sudah diputus secara sepihak. Tidak lama kemudian, ponselnya berdenting, tanda sebuah pesan masuk.
[Kafe Cassanova. Pukul tujuh malam. Jangan telat!]
Gadis itu menghela napas panjang. Sekarang sudah pukul 5.00 sore. Rasanya, Dhea bisa langsung pergi ke kafe setelah ini.
Namun, saat gadis itu sampai di sana tepat pukul 7.00 malam, isi kafe tersebut kebanyakan pasangan mesra dan geng perempuan cantik yang sedang bergosip. Sama sekali tidak ada tanda-tanda pria yang harus Dhea temui malam itu.
[Temannya Mas Afkar kayaknya kejebak macet. Biasa, jam pulang kantor. Sabar menunggu ya!]
Sebuah pesan dari Intan ia terima kemudian, membuat Dhea langsung cemberut. Ia duduk di salah satu kursi dan mulai menunggu.
Akan tetapi, bahkan ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, belum ada pria yang menghampiri mejanya. Gadis itu mulai dongkol karena sudah membuang waktu selama setengah jam. Apalagi, perutnya sudah lapar.
Dhea tidak mau walau hanya pesan minuman, harga makanan dan minuman di sini sangat mahal. Uangnya sangat sayang kalau untuk dibelikan makanan mahal seperti ini. Harga satu porsi makanan di sini bisa untuk makan tiga hari nasi rames di warteg dekat kontrakannya. Jadi sejak tadi, gadis itu sama sekali belum memesan apa pun.
"Mana sih, orangnya? Lama banget! Ini sudah hampir jam delapan malam. Bener-bener ngaret!” gerutu Dhea. “Belum jadi suami sudah begini, apalagi nanti kalau jadi suami? Bisa-bisa di sia-siakan aku."
Gadis itu akhirnya hanya mentertawakan perkataannya sendiri.
Jadi suami? Ngimpi kali!
Ini baru pertemuan buat kenalan saja, masih jauh untuk menikah, makhluk yang diajak kencan buta kali ini saja belum terlihat wujudnya.
Tiba-tiba, bahunya ditepuk oleh seseorang, disusul suara bariton yang menyapa gendang telinga Dhea.
"Selamat malam. Maaf saya terlambat. Apa Anda sudah menunggu lama?”
"Selamat malam. Maaf saya terlambat. Apa Anda sudah menunggu lama?”Dhea hampir saja akan meninggalkan kursi yang dia duduki selama satu jam ini ketika mendengar suara bariton yang terdengar menggelitik telinganya. Gadis itu mendongakkan kepalanya melihat seraut wajah yang tidak pernah dibayangkannya. Dia pernah melihat penampilan seperti itu di sebuah film, penampilannya seperti bos mafia, memakai jas hitam, kemeja putih, dan dasi hitam belang putih. Tatapan mata pria itu setajam elang, dengan bola mata berwarna cokelat tua. Hidungnya bangir dan wajahnya ditumbuhi cambang dan kumis tipis–seperti baru tumbuh kembali setelah dicukur. Ada beberapa helai uban di antara rambutnya yang hitam.Lelaki itu langsung duduk di hadapan Dhea, mengamati penampilan gadis di hadapannya dan sedikit terkejut. Lelaki itu menyeringai tipis, membuat Dhea sedikit jengah. Tatapan lelaki tersebut sungguh mengandung misteri."Maaf. Apakah kamu sudah menunggu lama?" ujar lelaki itu lagi dengan suara yang sed
“Dalam waktu satu minggu, kita akan menikah.”Dhea terkejut. Ia bingung mendengar ucapan lelaki ini. "Apa? Maksudnya apa?" tanyanya."Kita akan menikah seminggu lagi. Besok aku akan mengadakan lamaran pada orang tuamu,” ucap Bram lagi. "Bersiaplah, oke?”"Hei, Bang. Aku memang siap untuk menikah, tapi gak secepat itu juga, Bang.” Dhea sekarang jadi panik. Satu minggu adalah waktu yang teramat singkat untuk menyiapkan sebuah pernikahan yang akan ditempuh seumur hidup.“Kita harus saling mengenal dulu, kalau cocok baru lanjut. Aku mana bisa menikah tanpa mengetahui latar belakangmu dulu,” lanjut Dhea. “Aku sama sekali tidak tahu bagaimana sifatmu, keluargamu ... banyak yang harus dipertimbangkan, Bang.""Yah, maklum. Kamu masih kecil, belum punya banyak pengalaman.” Bram tersenyum tipis. “Apa kamu pikir orang yang berpacaran itu adalah ajang saling mengenal lebih lanjut dan mengetahui latar belakang dan sifat pasangan dengan jujur dan apa adanya? Semua itu hanya omong kosong.” Dhea men
[Dhea! Maaf ya, barusan teman Mas Afkar telepon, katanya mobilnya pecah ban. Dia meminta menunda pertemuan.]Hah? Apa? Jadi temannya Afkar tidak jadi datang? Jadi siapa yang duduk di hadapannya ini? Apakah orang nyasar? Mata Dhea menatap ke arah Bram dengan bingung dan curiga, dia menelisik penampilan Bram sekali lagi, lelaki yang tengah diamatinya tengah asik memotong dan memakan daging. Haruskah dia memberitahu lelaki itu jika dia seharusnya janji ketemu dengan lelaki lain? Bukan dirinya?Sesaat kemudian pandangan Bram mengarah ke depan, di mana posisi Dhea berada, dengan geragapan gadis itu mengalihkan pandangannya agar tidak kepergok tengah mengamati lelaki itu."Bagaimana, Dhea? Apakah kau akan mengenalkan dirimu secara terperinci?" tanya lelaki itu masih dengan suara lembut.Mendengar suara lelaki itu yang cukup menggoda, membuat Dhea bimbang untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Mungkinkah sebenarnya lelaki ini seharusnya juga tengah melakukan temu janji dengan perempuan lain?
"Dhea! Dhe, ini ibumu pingsan di ruko Tante, Dhe! Sekarang Tante sama Om Ridwan sedang dalam perjalanan membawa ibumu ke rumah sakit." “Apa!?” Mata Dhea membelalak. Yang menghubunginya ternyata adalah rekan bisnis katering ibunya. "Ibu pingsan, Te? Dibawa ke rumah sakit mana, Tante?" tanya Dhea dengan panik. Gadis itu bahkan sampai berdiri saat bicara di teleponnya. Tangannya sudah menggenggam tasnya, seperti siap untuk pergi. “Rumah sakit umum daerah? Aku ke sana ya, Tante!” Bram yang dari tadi memang tengah mengamati gadis muda di hadapannya itu mengernyit melihat kepanikan di wajah gadis itu, spontan saja sikap waspada dan empati di dalam dirinya tersulut, seolah ada yang membangkitkan. Lelaki itu ikut berdiri mengikuti pergerakan Dhea, sikap cemas pada gadis itu juga menular padanya. "Abang, maaf. Pertemuan ini kita sudahi, ya? Ibuku dibawa ke rumah sakit, aku harus langsung ke sana. Maaf ya, Bang!" "Ayo, biar saya antar!" Dhea menghentikan langkahnya menatap Bram seolah ti
"Kenapa Abang mengambil keputusan sendiri?" Bram menghentikan langkahnya ketika melihat gadis di sampingnya juga berhenti dengan wajah yang terlihat marah."Maaf, tapi aku melakukan itu demi kebaikan dan kesembuhan ibumu," jawab Bram dengan suara yang tenang dan tatapan mata melembut."Tapi kalau ibu dirawat di Jakarta, siapa yang akan menjaganya? Aku di sini bekerja. Lagipula biaya pengobatannya juga pasti mahal," keluh gadis itu."Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk ibu.""Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus m
Part 7"Dia .. dia calon suami Dhea, Bu.""Selamat malam, Ibu. Perkenalkan, Saya Bram. Calon suami putri ibu." Bram mengulurkan tangannya.Paramitha menyambut uluran tangan Bram, namun tak ada senyum di wajahnya. Reaksi yang ditunjukkan oleh Paramita membuat Dhea menjadi gugup, dia tahu pasti ibunya terkejut, memang selintas Bram terlihat masih berusia dibawah tiga puluh tahunan, namun jika diamati lebih dalam, mungkin ibunya bisa menebak jika pria itu jauh lebih tua darinya."Maaf, Bang. Ibuku tidak pernah tersenyum lagi sejak delapan tahun ini, maksudku ... Aku sudah cerita sama Abang, kan?" ujar Dhea pelan, mencoba memberi pengertian pada lelaki itu."Ya, aku paham. Kalau begitu aku pulang dulu, besok aku akan kembali lagi untuk menjemput kalian, dokter sudah mengijinkan ibumu pulang besok. Jangan pergi dulu sebelum aku jemput," ujar Bram dengan suara pelan."Iya, baiklah. Terima kasih sebelumnya," ujar Dhea mencoba tersenyum walau masih terasa kaku."Aku pulang dulu," ujar Bram sa
Dhea masuk ke kamar perawatan ibunya dengan perasaan yang gamang, masih ragu di dalam hatinya kalau dia menerima ajakan nikah pria yang bisa dibilang seusia pamannya, jarak mereka lima belas tahun. Tapi tidak juga, jarak Intan dan kakak pertamanya, Bang Andra juga jauh, malah tujuh belas tahun. Intan anak ke empat, karena memiliki tiga putra maka paman sepupunya, Om Muhtar menginginkan anak perempuan, ketika Andra kelas dua SMA, Intan baru lahir. Dilihat ibunya sudah tertidur dengan nyenyak, mungkin pengaruh obat juga yang membuat wanita paruh baya itu lekas tertidur. Dhea duduk di sofa dengan mrnselonjokan kakinya yang terasa letih. Dia mengeluarkan ponselnya dari tas, dia cukup terkejut ternyata dayanya mati. Dia segera mengecas baterainya agar bisa nyala kembali, untung saja dia selalu membawa charger ke manapun dia pergi. Kemudian dia tinggalkan untuk melakukan salat isya, untung juga dia selalu membawa mukena lipat ke manapun dia pergi. Setelah salat isya, daya ponselnya su
"Eh, Tan. Baju ini pas banget buat aku. Ini baju kapan?" Intan menoleh ke arah pintu kamar mandi yang sudah terbuka, pertanyaannya tadi belum sempat dijawab oleh bibinya, kini di depannya Dhea sudah siap untuk berangkat kerja. "Itu bajuku waktu magang dulu, waktu aku masih kurus. Ambil saja untukmu, dengan aku juga sudah gak muat." "Jangan dong, nanti kalau kamu sudah lahiran siapa tahu kurus lagi," ujar Dhea yang tengah merapikan riasannya. Intan hanya tersenyum sambil mengelus perutnya yang tengah isi tiga bulan. "Aku pergi, ya? Aku minta tolong jagain ibu, ya? Aku akan usahakan pulang cepat." "Kami kayak sama siapa aja, Bi Mitha itu juga Bibiku. Aku sudah ijin sama mas Afkar untuk menjaganya hari ini. Nanti Mama juga akan ke sini." "Oke, kalau gitu terima kasih. Bu ... Dhea berangkat kerja dulu, kalau ada apa-apa cepat kabari, ya?" Dhea mencium punggung tangan ibunya dan mencium pipi wanita tua itu. "Iya, kamu gak usah kuatir, kerja aja yang benar." "Ayo, aku antar samp
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar