"Jo, Alessa sudah sadar," ucap Mina memberitahu Pria itu. Jovian mendapati Alessa sudah terlelap di ruang perawatan biasa, bedanya Alessa lebih hidup dalam tidurnya. Tiada alat bantu penunjang hidup, dan yang paling aneh adalah perubahan tubuh Alessa. Bibirnya jadi merah alami, kedua matanya berbulu mata lentik masih terlelap, dan rambut hitamnya terurai bebas. Alessa seperti Putri Tidur dalam dongeng yang dulu saat kecil Jovian baca."Tuan Heide, komplikasi dari sedasi jangka pendek bisa saja terjadi dan Nyonya Heide juga mengalami perdarahan di otak meski tidak berat namun resiko tetap bisa kemungkinan terjadi," ucap dokter pada Jovian."Apa yang Anda coba katakan?" gertak Jovian tak sabaran."Nyonya Heide bisa saja mengalami amnesia sementara," jawab dokter.Jovian membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan kehilangan yang menghantamnya begitu keras. Wanita yang sangat ia cintai bisa melupakan kenangan bersama mereka dan paling menyulitkan kedua anak kembarnya. "Ya Tuhan, ini sal
"Uhm, Tuan, apakah aku akan pulang ke rumahmu?" tanya Alessa canggung. Baginya Pria berambut pirang yang tengah mengemasi pakaiannya ke dalam tas itu adalah orang asing.Jovian menoleh sejenak menatap Alessa yang duduk di pinggiran ranjang kasurnya. "Benar, kamu pulang ke rumah kita," jawab Jovian.Alessa mengangguk patuh, menurutnya Jovian tampan dan tegas. Bukan, tapi lebih ke arah Pria yang dingin. Jadi Alessa jarang berbicara dengannya karena takut. Meskipun Alessa hari ini sudah bisa beristirahat di rumah. Alessa sudah pulih dari sehabis operasi dan belum tahu kenyataan yang sebenarnya terjadi. Di perjalanan pulang dalam mobil hitam metalik yang Jovian kendarai. Alessa terdiam sembari sesekali menoleh Jovian."Anu ... Tuan," ucap Alessa canggung. Hidup bersama bukan tanpa ujian, tetapi cinta mereka adalah api yang tak pernah padam dan di tengah-tengah semua perjalanan itu Jovian menepikan mobilnya pada sebuah jalan di pinggiran hamparan pantai. Dia membuka pintu mobil dan menun
Ingatan Alessa tak kunjung kembali sejak setahun sudah berlalu, namun Alessa tidak menolak kehadiran Luciel dan Elio yang sudah tumbuh menggemaskan. Kedua bocah itu sangat aktif bahkan berjalan-jalan dan bermain. Kehadiran anak-anak itu tidak membohongi ikatan yang Alessa rasakan namun Alessa tetap berusaha untuk menerima Jovian.Jovian pria yang datang dan pulang ke rumah besar yang kini Alessa tinggali, banyak pajangan foto kebersamaan mereka dan Alessa bisa melihat itu semua. Pagi ini Jovian hendak pergi ke kantor seperti biasanya namun Jovian heran menatap Alessa yang sedang termangun di depan meja kerjanya. Alessa memengang sebuah surat salinan yang seharusnya tak pernah ia ketahui, mungkin akibat hilang ingatan yang masih belum kunjung usai itu.Jovian menghela napas kala Alessa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Alessa, kamu hilang ingatan jadi kita dulu memang menikah kontrak," ucap Jovian."Tapi ... ini artinya kamu terpaksa denganku?" tanya Alessa.Jovian tidak mahir unt
Di pagi yang cerah, aroma kopi segar melingkupi dapur mereka. Alessa meski masih hilang ingatan, namun ia seorang istri yang berdedikasi, tersenyum lembut sambil menyiapkan sarapan untuk suaminya, Jovian. Setiap langkahnya diatur dengan penuh perhatian, menciptakan kehangatan di ruang dapur. Alessa pagi-pagi sudah sibuk di dapur. Pagi ini dia baru membuatkan sarapan untuk Si Kembar dan suaminya, Alessa sengaja melakukan semua pekerjaan ini karena Jovian harus beristirahat di rumah. Kemarin baru saja suaminya itu boleh pulang meski dengan lengan kanannya menggunakan gips. Jovian, duduk di meja makan dengan koran pagi, tersenyum saat Alessa meletakkan secangkir kopi di depannya. "Terima kasih, sayang," ucapnya dengan lembut. Alessa pun mengangguk sambil duduk di sebelah suaminya. "Tuan, akan istirahat selamat sebulan bukan?" tanya Alessa, ingat dengan perkataan dokter sebelum mereka pulang ke rumah. "Alessa, aku tetap bekerja tapi dari rumah," ucap Jovian sembari meraih cangkir deng
"Tuan, masih bekerja?" tanya Alessa dari pintu yang sedikit terbuka. Alessa mengitip Jovian dari ruang kerjanya.Jovian sedang berkutat di depan laptopnya. "Kamu sudah mengantuk? tidurlah dulu," ucap Jovian.Alessa tampak ragu dan malu-malu. "Aku ... mungkin bisa ingat jika kita berdua malam ini," ucap Alessa memerah."Kamu yakin?" tanya Jovian sampai menghentikan aktivitasnya di depan laptop. Jovian mendeham dan membenahi posisi duduknya sementara tangan kanannya yang masih diperban elastis dan menggunakan arm sling guna menyanggah lengannya itu. Alessa diam di ambang pintu, ia menatap Jovian dalam diam. Alessa sendiri canggung menatap Jovian tapi ini inisiatifnya jika menghabiskan malam bersama Jovian, bisa saja dia mengingat kembali. "Sentuhan bisa membangunkan memori bukan?" tanya Alessa.Jovian menghela napas. "Apa yang baru saja kamu baca?" terka Jovian."Hm, entahlah, semacam novel?" sahut Alessa polos. Jovian beranjak berdiri dari bangku malasnya. Ia berjalan pelan mendekati
Alessa terkekeh sendiri. "Dasar Pria gila," hardik Alessa.Jovian membelalakkan kedua mata birunya. "Alessa bukan seperti yang kau pikirkan," ucap Jovian berusaha menghadang Alessa.Tangan Alessa yang membawa helm itu melayang tak sengaja mengenai pelipis Jovian. "Oh maaf," ucap Alessa.Jovian hanya terdiam. Ia mengabaikan darah yang mengalir dari pelipisnya. "Tidak apa, itu salahku karena sejak dulu selalu mengecewakanmu, Alessa." Jovian berdiri di hadapan Alessa. Jovian tak melawan dan hanya berdiri tegap seolah siap menerima hukumannya dari Alessa. Pria bermata biru ini tak pernah menyalahi Alessa melainkan dirinya, Jovian hanya menatap Alessa yang menatapnya sayu. Dia tahu Alessa bukan pemabuk, tak pernah sekali Jovian temui Alessa dengan putus asa menegak minuman alkohol itu jika bukan karena putus asa. Alessa yang berdiri dengan tatapan sayu, tidak bisa mengendalikan pikirannya. Selain karena toleransi minumnya sangat rendah, Alessa masih bisa sadar namun kemudian membalikkan
Alessa menatap tajam, tak gentar dan tak takut. "Selamat malam, Ibu Mertua, kuharap kau tidak memiliki rencana gila," ucap Alessa dingin.Alessa bisa merasakan denyut jantungnya meningkat ketika menatap Julia yang berdiri di depan ruang perawatan Jovian. Suasana gelap dan hening, hanya terganggu oleh suara hujan di luar, memberikan sentuhan mencekam bagi Alessa pada malam itu. Julia yang berdiri menatap Alessa dengan mata yang penuh teka-teki dan senyuman yang bersembunyi di balik bibirnya yang merah gelap."Seorang Ibu wajar untuk mengunjungi anaknya," kata wanita itu, suaranya merayap seperti angin malam yang menusuk. Julia tersenyum janggal. Setiap tawa yang terdengar terlalu membuat Alessa merinding, setiap senyum terasa terlalu tajam."Aku tak merasa demikian," sahut Alessa. "Apakah kau tetap jadi yang pertama untuk Jo?"Alessa mulai merasakan kegelapan di dalam diri Julia. Setiap kata yang diucapkannya terasa seperti jaring laba-laba yang meranggas, membingungkan Alessa di duni
"Termaksud pada perbuatan ibumu," ucap Alessa penuh penekanan. "Kak Jo, kumohon setidaknya pikirkan anak-anak," ucap Alessa lagi. Saat kedua pasangan itu saling bertatapan dengan emosional yang berbeda. Rinka beranjak berdiri dan menuntun Si Kembar. "Luciel, Elio, ayo ikut Nenek kita main di luar," ucapnya. Rinka membawa serta kedua cucunya itu keluar. Tinggallah Jovian dan Alessa, menatap satu dan yang lainnya hingga Alessa mengarahkan tangannya memengang bahu Jovian dan membelai hingga dada bidangnya. "Kak, dia tetap ibumu," ucap Alessa membujuk suaminya. "Alessa, dia berulang kali hendak menyakitimu, bagaimana bisa aku diam?" sergah Jovian. "Ini harus berakhir, kegilaannya yang tak berkesudahan itu." Jovian berucap seraya meraih tangan Alessa dan mengecupnya. Jovian dengan pandangan tajam, duduk dengan tatapan yang selalu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pria itu banyak mempertimbangkan segala hal termasuk Alessa. Mereka saling pandang tanpa sepatah kata pun. Seolah ada m