Di pagi yang cerah, aroma kopi segar melingkupi dapur mereka. Alessa meski masih hilang ingatan, namun ia seorang istri yang berdedikasi, tersenyum lembut sambil menyiapkan sarapan untuk suaminya, Jovian. Setiap langkahnya diatur dengan penuh perhatian, menciptakan kehangatan di ruang dapur. Alessa pagi-pagi sudah sibuk di dapur. Pagi ini dia baru membuatkan sarapan untuk Si Kembar dan suaminya, Alessa sengaja melakukan semua pekerjaan ini karena Jovian harus beristirahat di rumah. Kemarin baru saja suaminya itu boleh pulang meski dengan lengan kanannya menggunakan gips. Jovian, duduk di meja makan dengan koran pagi, tersenyum saat Alessa meletakkan secangkir kopi di depannya. "Terima kasih, sayang," ucapnya dengan lembut. Alessa pun mengangguk sambil duduk di sebelah suaminya. "Tuan, akan istirahat selamat sebulan bukan?" tanya Alessa, ingat dengan perkataan dokter sebelum mereka pulang ke rumah. "Alessa, aku tetap bekerja tapi dari rumah," ucap Jovian sembari meraih cangkir deng
"Tuan, masih bekerja?" tanya Alessa dari pintu yang sedikit terbuka. Alessa mengitip Jovian dari ruang kerjanya.Jovian sedang berkutat di depan laptopnya. "Kamu sudah mengantuk? tidurlah dulu," ucap Jovian.Alessa tampak ragu dan malu-malu. "Aku ... mungkin bisa ingat jika kita berdua malam ini," ucap Alessa memerah."Kamu yakin?" tanya Jovian sampai menghentikan aktivitasnya di depan laptop. Jovian mendeham dan membenahi posisi duduknya sementara tangan kanannya yang masih diperban elastis dan menggunakan arm sling guna menyanggah lengannya itu. Alessa diam di ambang pintu, ia menatap Jovian dalam diam. Alessa sendiri canggung menatap Jovian tapi ini inisiatifnya jika menghabiskan malam bersama Jovian, bisa saja dia mengingat kembali. "Sentuhan bisa membangunkan memori bukan?" tanya Alessa.Jovian menghela napas. "Apa yang baru saja kamu baca?" terka Jovian."Hm, entahlah, semacam novel?" sahut Alessa polos. Jovian beranjak berdiri dari bangku malasnya. Ia berjalan pelan mendekati
Alessa terkekeh sendiri. "Dasar Pria gila," hardik Alessa.Jovian membelalakkan kedua mata birunya. "Alessa bukan seperti yang kau pikirkan," ucap Jovian berusaha menghadang Alessa.Tangan Alessa yang membawa helm itu melayang tak sengaja mengenai pelipis Jovian. "Oh maaf," ucap Alessa.Jovian hanya terdiam. Ia mengabaikan darah yang mengalir dari pelipisnya. "Tidak apa, itu salahku karena sejak dulu selalu mengecewakanmu, Alessa." Jovian berdiri di hadapan Alessa. Jovian tak melawan dan hanya berdiri tegap seolah siap menerima hukumannya dari Alessa. Pria bermata biru ini tak pernah menyalahi Alessa melainkan dirinya, Jovian hanya menatap Alessa yang menatapnya sayu. Dia tahu Alessa bukan pemabuk, tak pernah sekali Jovian temui Alessa dengan putus asa menegak minuman alkohol itu jika bukan karena putus asa. Alessa yang berdiri dengan tatapan sayu, tidak bisa mengendalikan pikirannya. Selain karena toleransi minumnya sangat rendah, Alessa masih bisa sadar namun kemudian membalikkan
Alessa menatap tajam, tak gentar dan tak takut. "Selamat malam, Ibu Mertua, kuharap kau tidak memiliki rencana gila," ucap Alessa dingin.Alessa bisa merasakan denyut jantungnya meningkat ketika menatap Julia yang berdiri di depan ruang perawatan Jovian. Suasana gelap dan hening, hanya terganggu oleh suara hujan di luar, memberikan sentuhan mencekam bagi Alessa pada malam itu. Julia yang berdiri menatap Alessa dengan mata yang penuh teka-teki dan senyuman yang bersembunyi di balik bibirnya yang merah gelap."Seorang Ibu wajar untuk mengunjungi anaknya," kata wanita itu, suaranya merayap seperti angin malam yang menusuk. Julia tersenyum janggal. Setiap tawa yang terdengar terlalu membuat Alessa merinding, setiap senyum terasa terlalu tajam."Aku tak merasa demikian," sahut Alessa. "Apakah kau tetap jadi yang pertama untuk Jo?"Alessa mulai merasakan kegelapan di dalam diri Julia. Setiap kata yang diucapkannya terasa seperti jaring laba-laba yang meranggas, membingungkan Alessa di duni
"Termaksud pada perbuatan ibumu," ucap Alessa penuh penekanan. "Kak Jo, kumohon setidaknya pikirkan anak-anak," ucap Alessa lagi. Saat kedua pasangan itu saling bertatapan dengan emosional yang berbeda. Rinka beranjak berdiri dan menuntun Si Kembar. "Luciel, Elio, ayo ikut Nenek kita main di luar," ucapnya. Rinka membawa serta kedua cucunya itu keluar. Tinggallah Jovian dan Alessa, menatap satu dan yang lainnya hingga Alessa mengarahkan tangannya memengang bahu Jovian dan membelai hingga dada bidangnya. "Kak, dia tetap ibumu," ucap Alessa membujuk suaminya. "Alessa, dia berulang kali hendak menyakitimu, bagaimana bisa aku diam?" sergah Jovian. "Ini harus berakhir, kegilaannya yang tak berkesudahan itu." Jovian berucap seraya meraih tangan Alessa dan mengecupnya. Jovian dengan pandangan tajam, duduk dengan tatapan yang selalu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pria itu banyak mempertimbangkan segala hal termasuk Alessa. Mereka saling pandang tanpa sepatah kata pun. Seolah ada m
"Kakak tidak melakukan hal yang aneh bukan?""Tidak, bagaimana bisa? ini keinginanmu untuk bersembunyi dan melarikan diri dari ibuku," Tak berselang lama telepon rumah mereka berdering, Alessa yang beranjak lebih dulu mengangkat telepon dari sambungan telepon."Ya, Halo? keluarga Heide di sini?"Kedua mata Alessa tak lama membelalak. "Apa? Bapak!" Alessa membelalakkan kedua matanya kemudian menatap Jovian. "Aku ... aku," ucap Alessa terjeda ketika Jovian dengan cepat menyambar telepon itu. "Siapa?" tanya Jovian dingin."Oh, hai Nak, apa kabarmu?" Jovian menatap tajam. Ia genggam keras gagang telepon itu. "Ibu, hentikan ancamanmu pada Alessa!" bentak Jovian."Oh tidak, bapaknya Alessa hanya merindukannya bilang jika dia masih mau berbakti dengan kedua orang tuanya," ucap dari suara sambungan telepon itu. "Aku tidak main-main, Bu," sahut Jovian. Jovian langsung menutup sambungan telepon kemudian menghampiri Alessa yang tampak terguncang itu. Pria bertubuh besar itu merangkul tubuh
"Ibu ... aku bersedia mendengarkan semua penderitaanmu," ucap Alessa tulus. Seketika Julia jadi goyah, sosok Alessa yang bersinar di depannya itu begitu berkilau namun saat itu juga Julia langsung menikam Alessa tapi Alessa berhasil meraih belati kecil itu dengan tangan kosongnya. Alessa tak meringis namun memberikan senyuman tulusnya yang hangat. "Aku tahu penderitaanmu, Ibu hanya ingin didengar bukan? mari kita berbincang," ucap Alessa lembut.Julia menitikkan air mata dan merenggangkan pengangan tangannya. "Oh, Tuhan ..."Saat itu juga Jovian tiba sembari menarik Alessa menjauh dari ibunya. "Cukup, Alessa, cukup," ucap Jovian sambil meraih kedua tangan Alessa yang berlumuran cairan merah dari dirinya sendiri usai nekat menahan belati itu. "Tunggu," cegah Alessa sembari tetap mendekati Julia. "Ibu katakan di mana Bapak?" tanya Alessa lembut, mengabaikan fakta jika kedua tangannya terluka dan berderai dengan cairan merah. Julia menggeleng. "Dia ... dibawa ke pelabuhan, akan tengg
"Aku sudah terlanjur malu pada ibumu, Pria gagal sepertiku ini," ucap Aji Santoso."Memang benar," sahut Rinka ada di ambang pintu perawatan. Rinka menatap tegar meski kedua matanya berkaca-kaca. Rinka mendekati Aji kemudian melayangkan tamparan keras pada wajah Pria yang pernah ia cintai itu bahkan kini masih ada. Usai bertahun-tahun tak bertemu tapi pertemuan ini bukan indah bagi Rinka. Prianya itu menyakitinya hingga Rinka juga melarikan diri darinya. "Maafkan aku Rinka," ucap Aji tak berdaya dan menerima hukumannya."Alessa menanggung semua dosamu!" bentak Rinka terisak. Bagi Rinka permintaan maaf saja belum cukup karena Rinka bertemu dengan Alessa di masa terpuruknya. Rinka melihat anak semata wayangnya dalam keadaan hamil besar oleh Pria yang membeli anaknya. Rinka tahu semua itu dan melihat hari-hari sulit yang Alessa alami. Rinka masih menyimpan rasa sakit hati yang teramat besar untuk Aji Santoso. Alessa yang sedari tadi diam pun sebenarnya tak mau tersulut dengan perteng