"Nggak jauh dari rumah aku ya ternyata," ungkap Arga saat mereka memasuki lift dan cowok itu menekan tombol 3 dan 0 setelah pintu tertutup.
Mery yang sedang lahap memakan donat hanya manggut-manggut, kedua tangan gadis itu dipenuhi sisa selai berbagai rasa. Membuat Arga mengulum senyumnya gemas. Antara pengen nyubit, meluk, atau cium. Oke, lupakan opsi terakhir. Arga mengusapi turun rambut Mery.
"Makan yang banyak biar tambah gede," gumam Arga yang sayangnya di dengar oleh Mery.
Gadis itu langsung cemberut. "Aku udah gede tau! Kamu ish."
"Haha. Iya-iya," Mengalah, Arga malah tertawa lalu geleng-geleng kepala mendapati pipi Mery penuh sisa selai. "Harusnya kalau udah gede makannya nggak sampai cemong gitu dong."
"Eh, cemong banget ya?" tanya Mery panik.
Arga menganggukan kepala. "Banget. Aku jadi nggak mau deket-deket kamu. Jorok!" godanya. Dalam hati Arga tertawa, ia merasa sena
"Arga, jangan hajar dia!"Pekikan Mery terdengar nyaring di telinga Arga, namun cowok itu tetap mengacuhkannya. Pukulan demi pukulan Arga daratkan di wajah cowok tadi, yang tidak lain adalah... Rendi? Mata Mery membulat, buru-buru ia menghampiri Arga yang sedang kalap. Dapat Mery lihat Arga tidak mau sedikitpun memberi waktu bagi Rendi membalas pukulannya. Melayangkan bogeman bertubi-tubi hingga darah segar menetes dari sudut bibir Rendi."Ga, udah! Kamu kenapa tiba-tiba hajar dia sih?! Dia nggak ngapa-ngapain aku, Ga!" lerai Mery sok tau, menarik ujung sweater cowok itu. Tapi, tidak digubris sama sekali.Sebenarnya, Mery bisa saja menyusup di tengah-tengah mereka. Namun ia takut malah jadi korban pukulan."Lo ngomong apa tadi bangsat? Ulang!" gertak Arga di sela pukulannya. Mata cowok itu penuh kilatan emosi menatap Rendi. "Lo sadar ucapan lo barusan itu bikin gue marah?! Lo sa
"Dan beberapa detik kemudian terdengar pengumuman bahwa mereka berada di ketinggian 38.000 kaki. Seolah semesta sedang mendukung keduanya saat ini."-Paracetalove-•••Kejadian itu berlangsung lumayan lama. Ketika Mery kehabisan napas barulah ia melepaskan bibirnya dari bibir Arga. Arga juga tidak tinggal diam, ia membalas ciuman Mery meski masih terkesan kaku.Kini, Mery menatap lekat mata Arga dengan tangan yang terkalung di leher cowok itu. Tangannya mengusap-ngusap pipi Arga pelan."Maafin aku ya?" lirih Mery. Pandangannya tak lepas sedikitpun dari mata Arga. Cowok itu sendiri tetap diam, membiarkan Mery melanjutkan ucapannya.
Keesokan harinyaa..."Ry, ayo bangunn. Kita sudah sampai," ucap Arga, setelah awak kabin pesawat mengumumkan bahwa seluruh penumpang diperbolehkan turun. Cowok itu menepuk pelan pipi Mery. Gadis itu tertidur pulas sembari bersandar di bahunya. Menimbulkan sedikit pegal tapi, itu bukan masalah untuk Arga.Mery bergumam khas orang bangun tidur. Lain halnya untuk Kevin, Arga telah membangunkan sahabatnya itu berkali-kali, namun Kevin tak kunjung bangun. Malah tidurnya semakin pulas."Udah lama ya sampainya?" tanya Mery, ia menegakkan punggung, mendapati banyak kursi telah kosong."Lumayan," sahut Arga. "Sekitar lima menitan.""Kenapa baru bangunin aku?" Mery cemberut.Arga tersenyum manis, senyum yang hanya ia ukir jika berhadapan dengan Mery. "Nggak tega. Kamu tidurnya pulas banget. Lagian turunnya pasti pake desak-desakkan. Jadi kita belakangan aja."Resp
Pukul satu siang, ketika Arga selesai menemani Mery makan di rumah gadis itu, Marina memintanya pergi ke rumah sakit untuk menemui seseorang.Dan kini, cowok itu sedang mengendarai mobil dengan kecepatan laju. Sebab, orang yang akan ditemuinya dalam keadaan darurat. Arga tidak mengerti, mengapa harus ia yang menemui orang itu? Mengapa harus ia yang membujuk orang itu agar melakukan apa pun? Memang, ia sudah terikat janji dengan Riko untuk menjaga orang itu. Namun, jika tahu keadaannya seperti ini Arga tidak akan pernah mau.Tiba di rumah sakit, Arga segera menuju kamar tempat orang itu dirawat. Sesampainya di sana ia mendapati Marina dan Dirga duduk di kursi tunggu. Ekspresi mereka sama, cemas. Terutama Marina. Wanita itu menangis, Dirga menenangkan seraya mengusap-ngusap bahunya.Dengan cepat, Arga menghampiri mereka. Cowok itu semakin heran apa yang terjadi barusan."Bun, kenapa?" tanya Arga. Marina mendonga
Mery mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil berwarna biru pemberian Arga, ia baru saja selesai mandi sore ini. Kini, gadis itu duduk di bibir kasur. Tubuh mungilnya masih terbalut bathrobe putih. Matanya menatap keluar jendela kamar.Lagi-lagi, perasaan sepi itu menghampiri Mery. Mengingat ia di rumah hanya sendiri. Tasya dan Raya memiliki kesibukan masing-masing sekarang. Tasya mengurus cafe milik papanya sementara Raya membantu menjalankan butik milik ibunya.Dan dirinya? Jangan ditanya lagi, ia sekarang berstatus pengangguran. Arga melarangnya bekerja seminggu ke depan. Cowok itu bilang akan mencarikan rumah sakit yang cocok untuknya bekerja.Tapi, nggak papa sih, Mery juga pengen leha-leha dulu, menikmati waktu liburnya dengan bermalas-malasan. Hehe;)Ting.Gawainya di nakas berbunyi, Mery mengambil benda pipih itu, ternyata chat masuk dari Arga.
Bersalah. Itu yang melanda hati Arga sekarang. Ia terlambat datang ke rumah Mery. Semua ini gara-gara Aileen yang sok mengulur waktu dan mengajaknya berbincang lebih lama.Jika bukan karena Marina Arga tidak akan pernah mau. Tapi, ia bisa apa? Ia tak pantas untuk menyalahkan siapa pun. Ia juga sudah terikat janji dengan Riko supaya menjaga Aileen. Sial! Benar-benar sial!Arga membunyikan klaksonnya, keadaan jalanan macet parah ditambah hujan yang begitu deras membuat Arga ingin marah. Belum lagi, bunyi klakson terdengar dari sana-sini, membuat telinganya terasa pengang.Ia juga telah menelpon Mery berulang kali, tetapi nomor gadis itu mendadak tidak aktif. Arga mengusap wajah gusar. "Shit!"Setengah jam kemudian, Arga berhasil keluar dari kemacetan itu. Ia segera melajukan mobilnya secepat mungkin menuju rumah Mery.Sesampainya di sana, Arga memakirkan mobilnya setelah satpam membukakan pagar.
Seorang gadis cantik melangkah terburu-buru di trotoar jalan, rambutnya berayun seiring langkah yang semakin cepat.Beruntung, langit memahami kondisi gentingnya saat ini. Tidak terlalu panas, tidak juga mendung. Cerah tapi berawan. Gadis itu tidak lain adalah Mery, dia terpaksa jalan kaki akibat bangun kesiangan pagi tadi. Alhasil, Mery tidak menemukan satu taksi pun yang bisa mengantarnya sampai ke rumah sakit yang menjadi tujuan pertamanya.Tak apa, jarak rumah sakit itu dan rumahnya juga tidak terlalu jauh. Mery pun memutuskan memesan transportasi online. Namun lagi, kesialan menimpanya. Mobil yang ia tumpangi tiba-tiba mengalami kebocoran ban. Dan memperbaikinya butuh waktu lumayan lama.Akibatnya, jalan kaki adalah pilihan terakhir Mery. Toh, rumah sakitnya juga tinggal beberapa meter lagi."Huh capek." N
Arga melirik jam tangannya berulang kali, cowok itu duduk di kursi taman rumah sakit. Dia tidak melakukan apa-apa, hanya menunggu kembalinya dua orang yang tidak lain adalah Aileen dan Dirga. Seusai menemani Mery melamar kerja, Arga langsung ke sini. Rencananya, ia ingin memberikan pengertian pada Aileen bahwa dia tak bisa selalu ada untuk menemani gadis itu."Dian," Panggilan itu mengalihkan perhatian Arga. Ia menoleh dan menemukan Aileen melempar senyum, gadis itu duduk di kursi roda yang didorong Dirga. "Aku nungguin kamu lho. Aku bosen sama Dirga," ucapnya.Arga terdiam cukup lama, namun suara Dirga memecah keheningan suasana. "Dian sibuk, dia nggak bisa selalu ada buat kamu, Len. Dia juga punya kesibukan lain. Lagian, Dian udah punya tunangan. Nggak seharusnya kamu--""Diam! Aku nggak ngomong sama kamu!"