"Tenang, Aileen! Aku mohon tenangg. Kamu nggak sendiri, ada aku di sini..." Dirga berdiri di hadapan Aileen dengan was-was, akan menghindar jika Aileen nekat melempar barang yang menyakiti.
Kini, depresi Aileen kambuh lagi. Menyebabkan emosinya sulit dikontrol. Kamar yang tadinya susah payah Dirga rapikan dibuat berantakan lagi oleh gadis itu.
"Bohong! Kamu pasti juga pergi! Kamu pasti ninggalin aku! Sama kaya mereka! Papa, Mama, Arga. Kalian semua pembohong!" teriak Aileen frustasi. Tangan gadis itu memegang sebuah vas bunga. Bersiap melemparnya tepat ke arah Dirga.
"TENANG, AILEEN!"
Dirga melotot tajam tapi berusaha tenang. Perlahan maju mendekati Aileen. Matanya sesekali melirik vas bunga di tangan gadis itu. Kakinya dengan hati-hati melangkah agar terhindar dari serpihan kaca yang berserakan di lantai.
"Berhenti atau aku lempar kamu pakai ini?!" ancam Aileen mengacungkan vas bunganya, karen
"Kontrol, Ga Kontrol. Lo harus tenang, nggak boleh kelepasan," saran Kevin, uring-uringan di kasur Arga."Bacot! Keluar sana lo! Gue pengen sendiri!""Cuma gara-gara gagal sekali lagi nih ye, gimana sih lo?! Nggak gentle tau nggak kalo kata nenek gue?""Banyak omong! Keluar atau gue tendang lo?!" ancam Arga sembari melotot tajam. Cowok itu sedang duduk di sofa sembari menikmati sebotol minuman. Ya, setelah kehilangan jejak Mery tadi emosi Arga kembali memuncak dan tidak bisa di kontrol. Ia pun memilih melampiaskan amarahnya dengan marah-marah kepada Kevin."Ck, au ah. Bosen gue kalo lo udah mode on gini," sahut Kevin malas kemudian bangkit dari kasur Arga. Lebih baik dia ngemil keripik sambil nonton TV di ruang tamu. Daripada jadi bahan pelampiasan amarah cowok itu. Tiba di ambang pintu Kevin menatap Arga, tersenyum jahil. "Jikalau engkau butuh sesuatu, panggilah aku wahai kasih...""G
"Ka-kamu?" Wajah Mery memucat, gadis itu memundurkan langkahnya beberapa saat. Bahkan, mainan yang Mery pegang untuk menghibur Devan langsung terjatuh ke tanah. Mery spontan menutup mulutnya yang bergetar akibat menahan tangis. Perlahan, Arga mendekati Mery, reaksi tubuhnya masih sama seperti dulu. Jantungnya berdebar-debar dan hatinya yang mendadak menghangat. Arga menatap Mery dengan mata berkaca-kaca. Sayangnya, gadis itu menampilkan respon yang tak terduga sebelumnya oleh Arga. Mery malah melihatnya dengan rasa takut yang tidak bisa dimengerti oleh cowok itu.Sedangkan, Della masih menimbang-nimbang apa yang ingin ia lakukan. Wanita itu malah memandang Arga lamat-lamat. Arga tidak asing di matanya. Ia seperti pernah melihat cowok itu. Tapi dimana?
Arga duduk merenung di kursi dekat jendela kamar Kevin, yang langsung dihadapkan dengan pemandangan jalanan kota Manhattan. Tatapan cowok itu lurus ke depan, kedua tangannya terlipat di depan dada.Sejak berhasil membawa Mery ke sini, Arga mendadak merasa gundah, seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya tapi Arga tidak tahu apa. Ia merasa takut akan terjadi sesuatu pada hubungan mereka, ia juga takut tidak bisa mengontrol emosinya ketika berhadapan dengan Mery. Takut kelepasan berbuat kasar pada gadis itu.Tadi saja, ia bahkan harus membungkam mulut Mery dengan mulutnya, sebelum tangannya ini berhasil mendarati pipi Mery tanpa disadari. Arga akui, ia memang berubah menjadi pemarah semenjak ditinggal Mery. Namun, ia tidak ingin amarahnya itu sampai menyakiti orang yang ia sayangi.Apalagi Mery. Arga tidak akan pernah memaafkan dirinya, jika sampai gadis itu tersakiti karena emosinya yang sulit dikontrol.
Bukannya istirahat di rumah, Mery malah mengajak Arga jalan-jalan. Banyak cara yang gadis itu lakukan untuk membujuk Arga keluar. Salah satunya dengan merengek sambil bergelayut di lengan cowok itu sekarang. "Ih, boleh yaa. Seharian aku di rumah teruss. Bosen tauuuuu. Kalau jalan-jalan kan bisa lihat pemandangan luar. Main, beli es krim--""Es krim di kulkas aku penuh. Kamu tinggal pilih yang mana," Arga berucap datar. Sambil sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya.Bibir Mery mengerucut. "Nggak mau! Es krim kamu itu-itu aja." "Yaudah. Kita Delivery. Aku beliin semua jenis yang ada di tokonya sekalian," sahut Arga melirik Mery sekilas.
"Nggak jauh dari rumah aku ya ternyata," ungkap Arga saat mereka memasuki lift dan cowok itu menekan tombol 3 dan 0 setelah pintu tertutup.Mery yang sedang lahap memakan donat hanya manggut-manggut, kedua tangan gadis itu dipenuhi sisa selai berbagai rasa. Membuat Arga mengulum senyumnya gemas. Antara pengen nyubit, meluk, atau cium. Oke, lupakan opsi terakhir. Arga mengusapi turun rambut Mery."Makan yang banyak biar tambah gede," gumam Arga yang sayangnya di dengar oleh Mery.Gadis itu langsung cemberut. "Aku udah gede tau! Kamu ish.""Haha. Iya-iya," Mengalah, Arga malah tertawa lalu geleng-geleng kepala mendapati pipi Mery penuh sisa selai. "Harusnya kalau udah gede makannya nggak sampai cemong gitu dong.""Eh, cemong banget ya?" tanya Mery panik.Arga menganggukan kepala. "Banget. Aku jadi nggak mau deket-deket kamu. Jorok!" godanya. Dalam hati Arga tertawa, ia merasa sena
"Arga, jangan hajar dia!"Pekikan Mery terdengar nyaring di telinga Arga, namun cowok itu tetap mengacuhkannya. Pukulan demi pukulan Arga daratkan di wajah cowok tadi, yang tidak lain adalah... Rendi? Mata Mery membulat, buru-buru ia menghampiri Arga yang sedang kalap. Dapat Mery lihat Arga tidak mau sedikitpun memberi waktu bagi Rendi membalas pukulannya. Melayangkan bogeman bertubi-tubi hingga darah segar menetes dari sudut bibir Rendi."Ga, udah! Kamu kenapa tiba-tiba hajar dia sih?! Dia nggak ngapa-ngapain aku, Ga!" lerai Mery sok tau, menarik ujung sweater cowok itu. Tapi, tidak digubris sama sekali.Sebenarnya, Mery bisa saja menyusup di tengah-tengah mereka. Namun ia takut malah jadi korban pukulan."Lo ngomong apa tadi bangsat? Ulang!" gertak Arga di sela pukulannya. Mata cowok itu penuh kilatan emosi menatap Rendi. "Lo sadar ucapan lo barusan itu bikin gue marah?! Lo sa
"Dan beberapa detik kemudian terdengar pengumuman bahwa mereka berada di ketinggian 38.000 kaki. Seolah semesta sedang mendukung keduanya saat ini."-Paracetalove-•••Kejadian itu berlangsung lumayan lama. Ketika Mery kehabisan napas barulah ia melepaskan bibirnya dari bibir Arga. Arga juga tidak tinggal diam, ia membalas ciuman Mery meski masih terkesan kaku.Kini, Mery menatap lekat mata Arga dengan tangan yang terkalung di leher cowok itu. Tangannya mengusap-ngusap pipi Arga pelan."Maafin aku ya?" lirih Mery. Pandangannya tak lepas sedikitpun dari mata Arga. Cowok itu sendiri tetap diam, membiarkan Mery melanjutkan ucapannya.
Keesokan harinyaa..."Ry, ayo bangunn. Kita sudah sampai," ucap Arga, setelah awak kabin pesawat mengumumkan bahwa seluruh penumpang diperbolehkan turun. Cowok itu menepuk pelan pipi Mery. Gadis itu tertidur pulas sembari bersandar di bahunya. Menimbulkan sedikit pegal tapi, itu bukan masalah untuk Arga.Mery bergumam khas orang bangun tidur. Lain halnya untuk Kevin, Arga telah membangunkan sahabatnya itu berkali-kali, namun Kevin tak kunjung bangun. Malah tidurnya semakin pulas."Udah lama ya sampainya?" tanya Mery, ia menegakkan punggung, mendapati banyak kursi telah kosong."Lumayan," sahut Arga. "Sekitar lima menitan.""Kenapa baru bangunin aku?" Mery cemberut.Arga tersenyum manis, senyum yang hanya ia ukir jika berhadapan dengan Mery. "Nggak tega. Kamu tidurnya pulas banget. Lagian turunnya pasti pake desak-desakkan. Jadi kita belakangan aja."Resp