Mata Juna tajam menatap Lenita. Dia terus memandangi istrinya yang berjalan cepat ke arahnya sambil mengacungkan gunting besar.
Cukup dengan berkelit sedikit, nyaris tidak bergerak, maka gunting itu menancap di sudut atas dada kirinya. Juna tidak menghindari terlalu banyak dan membiarkan istrinya menusuk dia.
‘Puas? Apakah kau puas?’ tanya Juna dalam hatinya tanpa memiliki niat diucapkan ke sang istri.
Lenita kaget bukan kepalang, tidak menyangka Juna tidak lari atau menghindari, tidak pula menahan tangannya. Matanya membelalak kaget, apalagi gunting yang menancap itu dipegangi Juna erat-erat.
Yang membuat Lenita gentar, tatapan lurus dan tegas Juna padanya tanpa mengatakan apa pun, juga tidak berteriak kesakitan. Juna benar-benar bungkam dan terlihat sangat perkasa bagaikan tonggak batu karang di depannya. Ini mengakibatkan dia mundur beberapa langkah dan linglung.
“Ada apa?” Hartono muncul di ambang pintu karena mendengar
Juna tahu dia harus berhati-hati bicara untuk menenangkan Lenita. Dia bisa saja menaruh secuil jiwanya di sisi Anika, tapi bukan itu poinnya. Dia tak ingin Anika menghadapi bahaya apapun meski terlindungi olehnya ataupun Nyai Mirah.‘Kalau sampai Anika tahu dia menjadi target Lenita, Anika pasti akan meminta pisah.’ Ini yang Juna cemaskan. Maka dari itu, dia harus meredam emosi istri sahnya.“Len, jangan memikirkan hal konyol apapun, terlebih kamu sedang hamil. Oke, oke, aku tidak jadi pergi.” Juna terpaksa mendekati istrinya dan merangkul, berharap itu manjur mendinginkan bara mendidih Lenita.Tapi, Lenita malah makin kesal, dia berkata, “Tak mau tahu! Kalau memang kamu nekat meneruskan hubungan dengan si jalang bedebah itu, aku bersumpah, Jun! Aku bersumpah akan bunuh dia! Papa saksinya!” Setelahnya, dia memukul dada Juna.“Mph!” Juna mengelus tempat yang dipukul Lenita. Tidak terasa sakit, dia hanya berak
Anika yang masih gugup dan lututnya gemetar, tapi dia memaksakan diri naik ke mobil karena Juna sudah menunggunya.Kemudian, Juna memacu mobil melewati jalanan kecil berkelok dan menanjak dan dia mengeluarkan secuil jiwanya untuk mengejar kedua pelaku.Maka, sudah bisa dipastikan, kedua pelaku bermotor itu sudah dihentikan di sisi jalan, mereka meringis kesakitan karena tulang tangan dan kakinya dipatahkan pecahan jiwa Juna yang bermuatan energi kanuragan.‘Tidak ada yang boleh lolos baik-baik saja setelah menargetkan Anika tercintaku!’ seru Juna dalam hati.Mobil pun berhenti, Juna turun untuk menghampiri dua pelaku yang sedang kesakitan.“Ampun! Kami cuma disuruh, Pak! Kami cuma orang suruhan istrimu!” Salah satu dari mereka bergegas meminta belas kasih Juna karena Juna mendatangi dengan mata melotot seperti ingin membunuh.Itu memang benar, dia memang memiliki hasrat membunuh kedua lelaki itu, tapi Juna tak mungkin
Juna termangu. Benar-benar membiarkan mulutnya melongo seperti orang tolol usai mendengar penuturan Anika. Setelah beberapa detik terlewatkan, barulah dia sadar, “Nik?”“Maaf, ya Mas, aku … ternyata aku tidak seberani itu menjadi istrimu. Aku begitu takut. Takut karma, takut dosa, juga takut mendapatkan kebencian.” Anika menundukkan kepalanya, menahan tangis karena mengucapkan perpisahan dengan Juna serasa bagai mengiris dagingnya sendiri.“Nik! Jangan merasa—“ Juna maju ke Anika untuk meraih tangan istri mudanya. Tapi, Anika sudah mundur beberapa langkah sembari menggelengkan kepala.“Jangan, Mas. Jangan pengaruhi keputusanku.” Suara Anika bergetar. Sungguh sulit mengatakan itu karena adanya pertentangan di hatinya. Masih teringat olehnya tadi sebelum Juna datang, dia seperti mendapatkan mimpi singkat bahwa Juna akan celaka apabila terus bersamanya.Saat itu, Anika merenungkan arti mimpi terseb
Nyai Mirah terus memberikan perlindungan untuk majikannya secara maksimal dan memang dapat menghindarkan Anika dari kemalangan, tapi Anika sangat sedih ketika orang di sekitarnya justru menjadi korban.“Nyai! Jangan biarkan mereka menyakiti pekerjaku! Tolong, Nyai!” pekik Anika di benak agar didengar Nyai Mirah.Maka, Nyai Mirah sebagai jin khodam yang patuh, dia melaksanakan keinginan Anika. Peluru para perampok mulai tak bisa keluar dari larasnya dan terkesan macet.Lalu, Nyai Mirah juga membuat para perampok kebingungan mencari jalan keluar dan mereka mulai linglung dan pusing. Anika bergegas menghubungi polisi mengenai kejadian kacau di rumahnya.Tak berapa lama, polisi berdatangan dan meringkus semua perampok yang masih linglung seperti idiot. Malah ada yang berteriak-teriak histeris ketakutan. Wajar saja, karena Nyai Mirah memunculkan wujud seram dia di hadapan perampok yang telah menembak pekerja Anika tersebut.Sedangkan, Anika
Sebagai panglima, Juna harus mengetahui kapan dia harus terus menyerang dan kapan harus mundur sejenak.Sebagai orang yang mencintai Anika, dia juga harus memahami apa saja yang bisa membuat nyaman orang tercintanya. Jika dia ingin bersikap egois, dia bisa saja mengabaikan ancaman Lenita dan tetap bersanding menjadi suami Anika.Tapi, kejiwaan dan mental Anika juga harus dia utamakan. Biarlah dia mengalah dulu agar Lenita lebih tenang dan bisa dicari celah lengahnya nanti.Maka dari itu, bisa diperkirakan bagaimana Lenita memanfaatkan kepatuhan Juna untuk apa pun yang dia ingin.“Jun, temani aku makan siang!”“Jun, aku ingin roti yang kemarin dibelikan papa. Ayo kita ke toko roti!”“Jun, aku ingin sekali milkshake cokelat. Buatkan, yah!”“Rasanya aku ingin makan nasi goreng pedas. Ayo kita ke warung tenda Pak Sobari, Jun!”“Malam ini aku ingin jalan-jalan, Jun!”Semuanya dijawab dengan anggukan kepala Juna. Lenita terlihat puas melihat Juna tidak memberi bantahan apapun dan bersedia p
Kang Galon: Sayangku, masih apa? Kok tidak membalas chat-ku?Kang Galon: Jangan bilang sedang berduaan dengan lelaki lain, deh!Kang Galon: Awas saja, ya! Tidak aku beri goyangan Badai Cinta, loh!Kang Galon: Dih! Lama sekali, Nita! Woi!Kang Galon: Aku baru pulang dari Pulau Semusim, nih!Kang Galon: Aku tunggu di hotel, yah! Aku kirim alamatnya!Juna menelan saliva bagaikan sedang menelan pasir ketika membaca deretan pesan yang dikirim bagaikan hujan, begitu deras. Sudah mirip spam.‘Siapa dia? Siapa Kang Galon itu? Tak mungkin selera Lenita pada tukang pengantar galon air mineral, kan? Tak mungkin! Bahkan tadi Kang Galon bilang dia baru pulang dari Pulau Semusim. Itu pulau tempat wisata yang terkenal di Nusantara!’ Otak Juna terus berputar mencari segala kemungkinan dan dugaan.Ceklek!Pintu kamar mandi sudah digerakkan dari dalam. Juna lekas kembali rebah di kasur seolah tak terjadi apa-apa, padahal jantu
Juna agak terkejut dengan tanggapan dari Anika. Benarkah itu wanita pujaannya?“Nik?” Juna menatap Anika secara lekat.Anika tersenyum kecil dan berkata, “Mas, kalau yang Mas ingin bicarakan adalah mengenai istri Mas, maka aku tidak bisa ikut campur karena aku tidak ingin dilibatkan di masalah rumah tangga orang lain.”Semua kalimat yang meluncur dari mulut Anika membuat Juna termangu heran sekaligus bingung. Benarkah itu Anika pujaannya?“Nik?” Juna tidak bisa menemukan kata-kata untuk menimpali ucapan panjang Anika yang di luar dugaan.“Maaf, yah Mas, lebih baik Mas lebih mendekatkan diri Mas ke istrinya saja, jangan malah berkeluh-kesah ke aku, karena itu hal percuma dan dosa, Mas. Aku sudah ingin berjanji pada Gusti Agung Hyang Widhi agar tidak lagi berbuat dosa dengan suami orang lain.” Anika menatap lurus ke mata Juna, terlihat teguh akan tekadnya.“Nik?” Juna masih termangu.
Juna menaikkan pandangannya dan memang mendapati Shevia setelah mendengar wanita itu menyapanya.“Oh, Bu Shevia.” Juna tersenyum.Shevia melihat kursi kosong di meja Juna dan tak berlama-lama berdiri lalu segera duduk di salah satu kursinya.“Pak Juna, kenapa di sini sendirian? Bukankah ini akhir pekan? Tidak menghabiskan hari dengan istri?” Shevia sebenarnya sadar bahwa pertanyaan yang dia ajukan tidak pantas dan terlalu ingin tahu privasi orang lain, tapi dia memang sengaja. Apalagi dia melihat sebotol anggur merah yang ada di hadapan Juna. Dia makin yakin Juna sedang kusut.“Oh, aku kebetulan ingin memiliki … me-time.” Juna tersenyum saat mengucapkan istilah yang kerap digunakan orang zaman modern.“Wah … apakah aku mengganggu acara me-time Bapak?” tanyanya tanpa ada niat ingin pergi.Kepala Juna menggeleng. “Tidak mengganggu. Silahkan saja jika Bu Shevia ingin menemani m