Juna menaikkan pandangannya dan memang mendapati Shevia setelah mendengar wanita itu menyapanya.
“Oh, Bu Shevia.” Juna tersenyum.
Shevia melihat kursi kosong di meja Juna dan tak berlama-lama berdiri lalu segera duduk di salah satu kursinya.
“Pak Juna, kenapa di sini sendirian? Bukankah ini akhir pekan? Tidak menghabiskan hari dengan istri?” Shevia sebenarnya sadar bahwa pertanyaan yang dia ajukan tidak pantas dan terlalu ingin tahu privasi orang lain, tapi dia memang sengaja. Apalagi dia melihat sebotol anggur merah yang ada di hadapan Juna. Dia makin yakin Juna sedang kusut.
“Oh, aku kebetulan ingin memiliki … me-time.” Juna tersenyum saat mengucapkan istilah yang kerap digunakan orang zaman modern.
“Wah … apakah aku mengganggu acara me-time Bapak?” tanyanya tanpa ada niat ingin pergi.
Kepala Juna menggeleng. “Tidak mengganggu. Silahkan saja jika Bu Shevia ingin menemani m
Astaga! Juna sedikit terkejut dengan tindakan berani Shevia menaiki pangkuannya, tapi otak mabuknya menolak semua kewarasan dan dia menerima sentuhan Shevia.Dia membalas pagutan agresif Shevia, harga diri sebagai lelaki semakin meroket, tak mau kalah, tak mau pasif dan tangannya mulai bergerak liar.Rata-rata, mobil yang ada di kawasan bioskop drive-in tidak saling memedulikan mobil lainnya karena mereka memiliki ‘kesibukan’ masing-masing di dalam mobil mereka.Itu yang membuat Shevia percaya diri tak ada yang mengawasi mereka, apalagi kaca mobilnya gelap.Tangan Juna merayap penuh percaya diri ke dada Shevia dan melakukan apa yang dia ingin lakukan di sana. Shevia merespon dengan lenguhan saat melepaskan cumbuannya.Mata Juna seketika nyalang ketika melihat Shevia mulai membuka blus ketatnya dan melempar sembarang, bra warna ungu tua sangat mengunci pandangan liarnya. Sebagai panglima yang tidak gentar meladeni keliaran wanita yang me
Juna mendengar istrinya pulang di jam 11 malam lebih. Dia bergegas keluar ruang perpustakaan dan menunggu Lenita di ruang tengah.Begitu Lenita tiba di ruang tengah, dia bertanya, “Kenapa pulangnya selarut ini? Sudah hampir tengah malam.”“Oh, yang penting kan belum tengah malam, baru hampir, ‘kan?” Demikianlah jawaban istrinya yang menaikkan emosi Juna.Meski begitu, Juna tetap bertahan dalam ketenangan. “Memangnya apa yang kamu kerjakan sampai ham-pir-te-ngah-ma-lam begini?” tanyanya sembari menekankan beberapa kata yang sebelumnya.Lenita menatap kesal padanya dan berkata, “Apaan, sih, Jun? Santai saja, lah! Aku cuma ketemu teman lama. Kebetulan dia baru datang dari pulau lain. Apa salahnya, sih?”“Laki-laki atau perempuan?” desak Juna. Bukannya dia cemburu atau semacam itu, karena di hatinya dia tidak pernah mencintai Lenita. Dia hanya ingin Lenita merasakan seperti apa didesak d
Mana mungkin Juna tidak terkejut melihat apa yang tersaji di depan mata? Shevia mengikuti arah pandangan Juna karena heran dengan sikap termangu dia. “Oh, ada Anika, ternyata!” Shevia masih mengenali Anika, tentu saja. “Mbak Anik! Mbak!” Dia tanpa ragu melambaikan tangan ke Anika. Juna merutuki tindakan Shevia. Kenapa harus memanggil Anika? Meski dia rindu pada mantan istri adatnya, tapi jika ada lelaki lain di sisi Anika, mana sudi dia? Anika tersenyum lembut dan berjalan mendekat ke meja Juna. “Kalian di sini.” Juna memperhatikan Anika tanpa berkedip. Sikap mantan istrinya begitu tenang dan terkendali, bahkan tidak ada rasa terkejut atau sungkan sedikit pun meski kepergok bersama dengan lelaki lain. Tapi, hubungan mereka sudah berakhir, kenapa Anika harus merasa canggung? Juna mengutuk dirinya sendiri yang berpikiran terlalu jauh. Hanya saja, dia tidak bisa menerima Anika bersama lelaki mana pun selain dia. “Di sini saja, ya
Juna membawa Shevia pergi ke arena permainan di mall. Sejak mengetahui mall, dia memendam keinginan bisa bermain di arena permainan.Kini, ketika dia memiliki waktu luang dan ingin melepaskan penat pikiran, sepertinya ide itu tidak buruk.“Yakin ingin ke sini, Pak?” tanya Shevia.Juna menatap dan mengangguk sambil mengulum senyuman sebelum berkata, “Apakah Bu Shevia jatuh mental karena pasti kalah dari saya?” godanya.“Wo ho ho … Bapak sembarangan saja kalau bicara. Ini tempat berkubang saya waktu kecil sampai remaja, Pak! Justru saya khawatir Bapak akan menangis darah nanti karena kalah dari saya!” Shevia menanggapi dengan sikap jenaka.“Ha ha ha! Bagus!” Juna mengangguk puas melihat kepercayaan diri rekan bisnisnya ini. “Sekalian sebagai studi banding apakah arena permainan ini bagus dan bisa diadaptasi yang baik-baik untuk mall kita.”“Setuju!” Shevia dengan santai menggulung lengan panjang blusnya.Melihat itu, Juna juga mengikuti. Dia menggulung lengan kemejanya hingga sesiku.“N
Juna bergegas pergi ke kamar hotel yang ditempati Shevia. Menggunakan ilmu kanuragan dia, sangat mudah membuka kuncinya meski memakai kunci digital. Untuknya, tidak ada pintu yang tidak bisa dibuka. "Shevia!" Juna memekik kaget melihat Shevia sedang terduduk linglung di lantai dengan wajah pucat ketakutan. Sepertinya Shevia baru selesai mandi tapi belum sempat pakai pakaian, hanya dalaman saja. Mendengar suara Juna, Shevia langsung menjerit keras. "Juna! Pak Juna! Tolong!" Suaranya bergetar, sarat akan ketakutan mendalam ketika menoleh ke Juna. Mengabaikan dalaman baru Shevia yang dia ikut pilihkan, Juna segera merengkuh tubuh Shevia. Mata Juna melihat 2 jin jahat di kamar Shevia. Yang satu adalah jin wanita bergaun putih lusuh dengan rambut panjang kusut, sedangkan satunya lagi adalah jin bertubuh besar berbulu hitam seperti gorila dan memiliki taring panjang mencuat dari bibir. "Lancang!" bentak Juna sambil mengibaskan tangan penuh emosi. Si gaun putih lusuh yang menempel seper
Mata Juna membeku memandang Shevia yang saat ini menatap padanya dengan raut wajah penuh harap. Betapa beraninya wanita modern ini. Meski begitu, di balik keberanian sikapnya mengungkapkan kejujuran niatnya, dia bisa melihat kerapuhan Shevia pula.Sepertinya Juna terlalu lama termangu meski hanya sekian detik saja, sehingga Shevia sudah menyahut terlebih dahulu.“Ah! Lupakan saja, Pak!” Shevia buru-buru berujar sambil menggelengkan kepala disertai senyuman canggung yang memuat kecewa. “Maafkan aku, Pak! Sepertinya aku terlalu terguncang gara-gara dua setan tadi sampai aku bicara melantur! Ha ha ha!”Juna merasa ada yang tak nyaman di hatinya dan bicara, “Shev, maaf, yah! Bukannya aku—““Tak apa, Pak! Jangan terlalu dipikirkan!” Shevia memotongnya, menjadikan Juna semakin merasa bersalah. “Itu tadi aku sungguhan melantur! Ha-hah! Ha-hah!” Tawanya semakin canggung, seperti dipaksakan agar ter
“Mphh!”Juna bisa mendengar desah tertahan Shevia ketika dia secara impulsif mencium bibir relasi bisnisnya.Yang sudah dia prediksi, Shevia justru menyambut ciuman itu dengan baik ketika kedua lengannya dibelitkan ke lehernya sembari mereka saling meniadakan jarak.‘Aku tahu, ini gila, tapi aku tak bisa menahan dorongan ini, entah kenapa.’ Juna menggumamkannya dalam hati ketika dia meneruskan cumbuan mereka selama beberapa menit.Setelah menyelesaikan cumbuan ketat mereka, kini keduanya saling melepaskan diri dan sedikit memperlebar jarak.Juna merasa bersalah. “Shev, aku … aku minta maaf—““Tak perlu minta maaf, Jun. Aku bisa menerimanya, kok!” Shevia tersenyum, sepertinya sudah paham Juna hendak membawa kalimat ke arah mana.“Tidak bisa begitu, Shev. Aku tetap harus meminta maaf karena bertindak egois dan seenaknya begini. Meski sebenarnya aku ingin mencoba memiliki hubungan spesial denganmu, tapi ada bagian besar dari diriku yang menolak keinginan itu.” Juna mengatakan apa adanya.
“Pa, bukankah kemarin aku sudah bilang ke Papa untuk membatalkan rencana kita yang itu? Aku ingin menjalin kerja sama dengannya secara bersih saja!” Shevia menjelaskan agar ayahnya berhenti memiliki skema curang pada Juna.“Shevia!” Hamid mulai berteriak. “Apa kamu lupa kalau perusahaan kita sedang tidak baik-baik saja? Kau tidak mau membantu Papa?”Di ruang perpustakaan, Juna tidak menyangka bahwa Hamid memiliki agenda tersembunyi pada dia dan perusahaannya. Ini cukup mengagetkan baginya.‘Jadi dia sengaja mengirim anaknya ke aku untuk membujukku?’ Juna memikirkannya. ‘Apakah Shevia selama ini tulus padaku? Apakah sejak awal aku sudah menjadi target mereka?’Mau tak mau, dia mengingat-ingat lagi insiden pertama kali dia bertemu Shevia.‘Saat itu dia hampir diserempet motor sehingga membuatku menarik dia dan tak sengaja kami berpelukan, tapi bukannya itu ulah anak buah Mardi? Tidak mungkin Hamid bekerja sama dengan Mardi, kan? Untuk apa?’Juna mulai memikirkan ini dengan cermat. Dia s