Juna mendengar istrinya pulang di jam 11 malam lebih. Dia bergegas keluar ruang perpustakaan dan menunggu Lenita di ruang tengah.
Begitu Lenita tiba di ruang tengah, dia bertanya, “Kenapa pulangnya selarut ini? Sudah hampir tengah malam.”
“Oh, yang penting kan belum tengah malam, baru hampir, ‘kan?” Demikianlah jawaban istrinya yang menaikkan emosi Juna.
Meski begitu, Juna tetap bertahan dalam ketenangan. “Memangnya apa yang kamu kerjakan sampai ham-pir-te-ngah-ma-lam begini?” tanyanya sembari menekankan beberapa kata yang sebelumnya.
Lenita menatap kesal padanya dan berkata, “Apaan, sih, Jun? Santai saja, lah! Aku cuma ketemu teman lama. Kebetulan dia baru datang dari pulau lain. Apa salahnya, sih?”
“Laki-laki atau perempuan?” desak Juna. Bukannya dia cemburu atau semacam itu, karena di hatinya dia tidak pernah mencintai Lenita. Dia hanya ingin Lenita merasakan seperti apa didesak d
Mana mungkin Juna tidak terkejut melihat apa yang tersaji di depan mata? Shevia mengikuti arah pandangan Juna karena heran dengan sikap termangu dia. “Oh, ada Anika, ternyata!” Shevia masih mengenali Anika, tentu saja. “Mbak Anik! Mbak!” Dia tanpa ragu melambaikan tangan ke Anika. Juna merutuki tindakan Shevia. Kenapa harus memanggil Anika? Meski dia rindu pada mantan istri adatnya, tapi jika ada lelaki lain di sisi Anika, mana sudi dia? Anika tersenyum lembut dan berjalan mendekat ke meja Juna. “Kalian di sini.” Juna memperhatikan Anika tanpa berkedip. Sikap mantan istrinya begitu tenang dan terkendali, bahkan tidak ada rasa terkejut atau sungkan sedikit pun meski kepergok bersama dengan lelaki lain. Tapi, hubungan mereka sudah berakhir, kenapa Anika harus merasa canggung? Juna mengutuk dirinya sendiri yang berpikiran terlalu jauh. Hanya saja, dia tidak bisa menerima Anika bersama lelaki mana pun selain dia. “Di sini saja, ya
Juna membawa Shevia pergi ke arena permainan di mall. Sejak mengetahui mall, dia memendam keinginan bisa bermain di arena permainan.Kini, ketika dia memiliki waktu luang dan ingin melepaskan penat pikiran, sepertinya ide itu tidak buruk.“Yakin ingin ke sini, Pak?” tanya Shevia.Juna menatap dan mengangguk sambil mengulum senyuman sebelum berkata, “Apakah Bu Shevia jatuh mental karena pasti kalah dari saya?” godanya.“Wo ho ho … Bapak sembarangan saja kalau bicara. Ini tempat berkubang saya waktu kecil sampai remaja, Pak! Justru saya khawatir Bapak akan menangis darah nanti karena kalah dari saya!” Shevia menanggapi dengan sikap jenaka.“Ha ha ha! Bagus!” Juna mengangguk puas melihat kepercayaan diri rekan bisnisnya ini. “Sekalian sebagai studi banding apakah arena permainan ini bagus dan bisa diadaptasi yang baik-baik untuk mall kita.”“Setuju!” Shevia dengan santai menggulung lengan panjang blusnya.Melihat itu, Juna juga mengikuti. Dia menggulung lengan kemejanya hingga sesiku.“N
Juna bergegas pergi ke kamar hotel yang ditempati Shevia. Menggunakan ilmu kanuragan dia, sangat mudah membuka kuncinya meski memakai kunci digital. Untuknya, tidak ada pintu yang tidak bisa dibuka. "Shevia!" Juna memekik kaget melihat Shevia sedang terduduk linglung di lantai dengan wajah pucat ketakutan. Sepertinya Shevia baru selesai mandi tapi belum sempat pakai pakaian, hanya dalaman saja. Mendengar suara Juna, Shevia langsung menjerit keras. "Juna! Pak Juna! Tolong!" Suaranya bergetar, sarat akan ketakutan mendalam ketika menoleh ke Juna. Mengabaikan dalaman baru Shevia yang dia ikut pilihkan, Juna segera merengkuh tubuh Shevia. Mata Juna melihat 2 jin jahat di kamar Shevia. Yang satu adalah jin wanita bergaun putih lusuh dengan rambut panjang kusut, sedangkan satunya lagi adalah jin bertubuh besar berbulu hitam seperti gorila dan memiliki taring panjang mencuat dari bibir. "Lancang!" bentak Juna sambil mengibaskan tangan penuh emosi. Si gaun putih lusuh yang menempel seper
Mata Juna membeku memandang Shevia yang saat ini menatap padanya dengan raut wajah penuh harap. Betapa beraninya wanita modern ini. Meski begitu, di balik keberanian sikapnya mengungkapkan kejujuran niatnya, dia bisa melihat kerapuhan Shevia pula.Sepertinya Juna terlalu lama termangu meski hanya sekian detik saja, sehingga Shevia sudah menyahut terlebih dahulu.“Ah! Lupakan saja, Pak!” Shevia buru-buru berujar sambil menggelengkan kepala disertai senyuman canggung yang memuat kecewa. “Maafkan aku, Pak! Sepertinya aku terlalu terguncang gara-gara dua setan tadi sampai aku bicara melantur! Ha ha ha!”Juna merasa ada yang tak nyaman di hatinya dan bicara, “Shev, maaf, yah! Bukannya aku—““Tak apa, Pak! Jangan terlalu dipikirkan!” Shevia memotongnya, menjadikan Juna semakin merasa bersalah. “Itu tadi aku sungguhan melantur! Ha-hah! Ha-hah!” Tawanya semakin canggung, seperti dipaksakan agar ter
“Mphh!”Juna bisa mendengar desah tertahan Shevia ketika dia secara impulsif mencium bibir relasi bisnisnya.Yang sudah dia prediksi, Shevia justru menyambut ciuman itu dengan baik ketika kedua lengannya dibelitkan ke lehernya sembari mereka saling meniadakan jarak.‘Aku tahu, ini gila, tapi aku tak bisa menahan dorongan ini, entah kenapa.’ Juna menggumamkannya dalam hati ketika dia meneruskan cumbuan mereka selama beberapa menit.Setelah menyelesaikan cumbuan ketat mereka, kini keduanya saling melepaskan diri dan sedikit memperlebar jarak.Juna merasa bersalah. “Shev, aku … aku minta maaf—““Tak perlu minta maaf, Jun. Aku bisa menerimanya, kok!” Shevia tersenyum, sepertinya sudah paham Juna hendak membawa kalimat ke arah mana.“Tidak bisa begitu, Shev. Aku tetap harus meminta maaf karena bertindak egois dan seenaknya begini. Meski sebenarnya aku ingin mencoba memiliki hubungan spesial denganmu, tapi ada bagian besar dari diriku yang menolak keinginan itu.” Juna mengatakan apa adanya.
“Pa, bukankah kemarin aku sudah bilang ke Papa untuk membatalkan rencana kita yang itu? Aku ingin menjalin kerja sama dengannya secara bersih saja!” Shevia menjelaskan agar ayahnya berhenti memiliki skema curang pada Juna.“Shevia!” Hamid mulai berteriak. “Apa kamu lupa kalau perusahaan kita sedang tidak baik-baik saja? Kau tidak mau membantu Papa?”Di ruang perpustakaan, Juna tidak menyangka bahwa Hamid memiliki agenda tersembunyi pada dia dan perusahaannya. Ini cukup mengagetkan baginya.‘Jadi dia sengaja mengirim anaknya ke aku untuk membujukku?’ Juna memikirkannya. ‘Apakah Shevia selama ini tulus padaku? Apakah sejak awal aku sudah menjadi target mereka?’Mau tak mau, dia mengingat-ingat lagi insiden pertama kali dia bertemu Shevia.‘Saat itu dia hampir diserempet motor sehingga membuatku menarik dia dan tak sengaja kami berpelukan, tapi bukannya itu ulah anak buah Mardi? Tidak mungkin Hamid bekerja sama dengan Mardi, kan? Untuk apa?’Juna mulai memikirkan ini dengan cermat. Dia s
“Eh?” Juna ikut terkejut mendengar ucapan spontan Anika yang sedang gugup.“A—ah! Maksudku, itu … anu ….” Anika makin gugup dan merutuki dirinya sendiri karena berbicara tanpa berpikir. Apakah dia melamun?“Hmph!” Juna tersenyum sembari mendengus senang. Harapannya mulai bangkit kembali pada Anika. Dia tahu dia tidak salah langkah.‘Sepertinya tindakanku mengikuti dia begini memang sudah benar.’ Juna membatin.Namun, belum sempat mereka melanjutkan pembicaraan, Bagas sudah kembali dari menerima telepon.“Ayo, Dik!” ajak Bagas pada Anika lalu menoleh ke Juna. “Pak Juna ….”“Saya sudah lama tidak berjumpa dan mengobrol dengan teman lama saya, Anika. Apakah saya boleh ikut satu meja dengan kalian?” Juna menebalkan wajahnya.“Oh, silahkan saja, Pak!” Bagas tidak keberatan.Mereka pun mulai duduk bertiga dalam s
'Pokoknya aku harus mengikutinya!' tekad Juna setelah melihat Bagas bersama wanita muda lain. 'Kalau dia benar-benar selingkuh dari Nik, maka aku akan bisa punya kesempatan lagi dengan Nik.'Setelah memergoki Bagas dan wanita lain, Juna justru tidak berminat lagi meneruskan acara lari paginya. Dia ingin mengumpulkan bukti mengenai Bagas sembari berharap itu sebuah perselingkuhan.Juna berjalan tak jauh dari Bagas dan wanita itu. Telinganya dalam mode peka aktif agar bisa mendengarkan pembicaraan mereka."Kak Bagas pokoknya nanti harus temani aku memilih baju untuk acara reuni aku, yah! Aku tahu selera Kakak keren!" Wanita muda yang Juna yakini masih berusia 19 atau 20 tahunan itu bersikap manja. Lengannya membelit tangan Bagas.'Nah, nah! Kena kau!' batin Juna kegirangan. 'Dari ini saja sudah tercium aroma perselingkuhan! Ha ha ha! Sebentar lagi aku bisa bersama Nik seperti dulu! Apalagi Lenita sedang lengah dan asyik dengan Kang Galon.'"Iya, iya,