Kalo kalian dukung Juna ama siapa, nih? Yuk, kasi komen, dong! Biar otor ini tau gimana opini kalian ;')) Happy reading!
Mata Juna membeku memandang Shevia yang saat ini menatap padanya dengan raut wajah penuh harap. Betapa beraninya wanita modern ini. Meski begitu, di balik keberanian sikapnya mengungkapkan kejujuran niatnya, dia bisa melihat kerapuhan Shevia pula.Sepertinya Juna terlalu lama termangu meski hanya sekian detik saja, sehingga Shevia sudah menyahut terlebih dahulu.“Ah! Lupakan saja, Pak!” Shevia buru-buru berujar sambil menggelengkan kepala disertai senyuman canggung yang memuat kecewa. “Maafkan aku, Pak! Sepertinya aku terlalu terguncang gara-gara dua setan tadi sampai aku bicara melantur! Ha ha ha!”Juna merasa ada yang tak nyaman di hatinya dan bicara, “Shev, maaf, yah! Bukannya aku—““Tak apa, Pak! Jangan terlalu dipikirkan!” Shevia memotongnya, menjadikan Juna semakin merasa bersalah. “Itu tadi aku sungguhan melantur! Ha-hah! Ha-hah!” Tawanya semakin canggung, seperti dipaksakan agar ter
“Mphh!”Juna bisa mendengar desah tertahan Shevia ketika dia secara impulsif mencium bibir relasi bisnisnya.Yang sudah dia prediksi, Shevia justru menyambut ciuman itu dengan baik ketika kedua lengannya dibelitkan ke lehernya sembari mereka saling meniadakan jarak.‘Aku tahu, ini gila, tapi aku tak bisa menahan dorongan ini, entah kenapa.’ Juna menggumamkannya dalam hati ketika dia meneruskan cumbuan mereka selama beberapa menit.Setelah menyelesaikan cumbuan ketat mereka, kini keduanya saling melepaskan diri dan sedikit memperlebar jarak.Juna merasa bersalah. “Shev, aku … aku minta maaf—““Tak perlu minta maaf, Jun. Aku bisa menerimanya, kok!” Shevia tersenyum, sepertinya sudah paham Juna hendak membawa kalimat ke arah mana.“Tidak bisa begitu, Shev. Aku tetap harus meminta maaf karena bertindak egois dan seenaknya begini. Meski sebenarnya aku ingin mencoba memiliki hubungan spesial denganmu, tapi ada bagian besar dari diriku yang menolak keinginan itu.” Juna mengatakan apa adanya.
“Pa, bukankah kemarin aku sudah bilang ke Papa untuk membatalkan rencana kita yang itu? Aku ingin menjalin kerja sama dengannya secara bersih saja!” Shevia menjelaskan agar ayahnya berhenti memiliki skema curang pada Juna.“Shevia!” Hamid mulai berteriak. “Apa kamu lupa kalau perusahaan kita sedang tidak baik-baik saja? Kau tidak mau membantu Papa?”Di ruang perpustakaan, Juna tidak menyangka bahwa Hamid memiliki agenda tersembunyi pada dia dan perusahaannya. Ini cukup mengagetkan baginya.‘Jadi dia sengaja mengirim anaknya ke aku untuk membujukku?’ Juna memikirkannya. ‘Apakah Shevia selama ini tulus padaku? Apakah sejak awal aku sudah menjadi target mereka?’Mau tak mau, dia mengingat-ingat lagi insiden pertama kali dia bertemu Shevia.‘Saat itu dia hampir diserempet motor sehingga membuatku menarik dia dan tak sengaja kami berpelukan, tapi bukannya itu ulah anak buah Mardi? Tidak mungkin Hamid bekerja sama dengan Mardi, kan? Untuk apa?’Juna mulai memikirkan ini dengan cermat. Dia s
“Eh?” Juna ikut terkejut mendengar ucapan spontan Anika yang sedang gugup.“A—ah! Maksudku, itu … anu ….” Anika makin gugup dan merutuki dirinya sendiri karena berbicara tanpa berpikir. Apakah dia melamun?“Hmph!” Juna tersenyum sembari mendengus senang. Harapannya mulai bangkit kembali pada Anika. Dia tahu dia tidak salah langkah.‘Sepertinya tindakanku mengikuti dia begini memang sudah benar.’ Juna membatin.Namun, belum sempat mereka melanjutkan pembicaraan, Bagas sudah kembali dari menerima telepon.“Ayo, Dik!” ajak Bagas pada Anika lalu menoleh ke Juna. “Pak Juna ….”“Saya sudah lama tidak berjumpa dan mengobrol dengan teman lama saya, Anika. Apakah saya boleh ikut satu meja dengan kalian?” Juna menebalkan wajahnya.“Oh, silahkan saja, Pak!” Bagas tidak keberatan.Mereka pun mulai duduk bertiga dalam s
'Pokoknya aku harus mengikutinya!' tekad Juna setelah melihat Bagas bersama wanita muda lain. 'Kalau dia benar-benar selingkuh dari Nik, maka aku akan bisa punya kesempatan lagi dengan Nik.'Setelah memergoki Bagas dan wanita lain, Juna justru tidak berminat lagi meneruskan acara lari paginya. Dia ingin mengumpulkan bukti mengenai Bagas sembari berharap itu sebuah perselingkuhan.Juna berjalan tak jauh dari Bagas dan wanita itu. Telinganya dalam mode peka aktif agar bisa mendengarkan pembicaraan mereka."Kak Bagas pokoknya nanti harus temani aku memilih baju untuk acara reuni aku, yah! Aku tahu selera Kakak keren!" Wanita muda yang Juna yakini masih berusia 19 atau 20 tahunan itu bersikap manja. Lengannya membelit tangan Bagas.'Nah, nah! Kena kau!' batin Juna kegirangan. 'Dari ini saja sudah tercium aroma perselingkuhan! Ha ha ha! Sebentar lagi aku bisa bersama Nik seperti dulu! Apalagi Lenita sedang lengah dan asyik dengan Kang Galon.'"Iya, iya,
Raut wajah Bagas berubah muram. "Cin, jangan bicara begitu. Bukannya kita sudah sepakat tidak lagi mengungkit soal jandanya dia? Aku tak suka omongan kamu tadi."Wanita muda itu mendadak seperti takut dan mulai mendekat ke Bagas untuk memeluk manja sambil berkata, "Maafkan aku, Kak. Kakak jangan marah, yah! Aku tak bisa hidup kalau Kakak marah padaku. Aku hanya ingin yang terbaik untuk Kakak. Jangan marah, yah!""Iya, iya, Kakak tidak akan marah asalkan kamu tidak jelekkan Anika seperti tadi. Bukan mau dia menjadi janda, Cin. Tolong jangan mengungkit soal itu lagi." Bagas membalas pelukan wanita muda itu.Pecahan jiwa Juna meraung kesal. "Arrghh! Andaikan aku bisa memotret adegan ini! Anika bisa sadar dengan siapa dia bertunangan! Dasar lelaki kadal!" omelnya di sebelah telinga Bagas."Hmph?" Bagas tersentak kaget dan mengusap telinganya.Wanita muda di pelukannya menjauhkan kepala yang tadinya rebah di dada Bagas."Ada apa, Kak?" tanya si w
"Tapi kamu tak bisa menyepelekan ini, Nik!" Juna masih berjuang membujuk Anika. "Bahkan sepupunya tidak menghormati kamu!" "Mas, ini urusan aku. Kumohon Mas tidak perlu membicarakan hal semacam ini lagi." Anika memaksakan senyumnya keluar. Juna menyerah. Sepertinya Anika sangat mencintai Bagas dan itu makin membuat dia menderita karena cemburu. "Nik, aku harap kamu bisa memikirkan hal itu dengan tenang dan rasional." Juna memandang tak berdaya ke pujaannya. "Terima kasih atas perhatian Mas. Silahkan Mas pergi agar tidak terjadi salah paham jika orang-orang melihat kita berlama-lama di satu ruangan tertutup begini." Secara halus, Anika mengusir Juna. Mengetahui dia tak bisa lagi membujuk Anika, maka Juna bangkit berdiri dan pergi dengan enggan. 'Bagas sialan! Lelaki sialan itu tidak pakai ajian apa pun untuk membuat Nik percaya bulat padanya, 'kan? Awas saja kalau dia berani melakukan itu!' Juna tak rela me
"Shev, apa kabar?" Juna menghubungi Shevia. Dia memiliki rencana tersendiri mengenai ide mendaki gunung yang dicetuskan Bagas. "Oh, kabarku baik-baik saja, kok Jun. Tumben menelepon, nih! Aku kira kamu sudah lupa aku." Ada sindiran halus yang disisipkan Shevia pada jawabannya. "Mana mungkin lupa." Juna terkekeh untuk menetralisir sindiran Shevia. "Ada apa, Jun?" Shevia antara senang ditelepon, tapi juga sedikit curiga karena baru kali ini Juna menghubungi dia. Biasanya adalah sebaliknya. "Aku ingin mengajak kamu naik gunung. Apakah kamu tertarik?" Juna langsung ke poin utama. Agak hening di ujung sana, membuat Juna bertanya-tanya apakah Shevia kurang menyukai aktivitas mendaki gunung. Ketika dia hendak bicara, terdengar suara Shevia. "Aku pikir itu ide bagus, Jun! Sudah lama aku tidak naik gunung." Shevia memberi jawaban. "Oh? Kamu pernah naik gunung?" Juna tak menyangka perempuan seper