"Shev, apa kabar?" Juna menghubungi Shevia. Dia memiliki rencana tersendiri mengenai ide mendaki gunung yang dicetuskan Bagas.
"Oh, kabarku baik-baik saja, kok Jun. Tumben menelepon, nih! Aku kira kamu sudah lupa aku." Ada sindiran halus yang disisipkan Shevia pada jawabannya.
"Mana mungkin lupa." Juna terkekeh untuk menetralisir sindiran Shevia.
"Ada apa, Jun?" Shevia antara senang ditelepon, tapi juga sedikit curiga karena baru kali ini Juna menghubungi dia. Biasanya adalah sebaliknya.
"Aku ingin mengajak kamu naik gunung. Apakah kamu tertarik?" Juna langsung ke poin utama.
Agak hening di ujung sana, membuat Juna bertanya-tanya apakah Shevia kurang menyukai aktivitas mendaki gunung. Ketika dia hendak bicara, terdengar suara Shevia.
"Aku pikir itu ide bagus, Jun! Sudah lama aku tidak naik gunung." Shevia memberi jawaban.
"Oh? Kamu pernah naik gunung?" Juna tak menyangka perempuan seper
"Hm...." Juna tahu dia tak mungkin bisa menyembunyikan perihal naik gunung ini. Maka dari itu, dia menjawab istrinya, "Iya, aku akan naik gunung akhir pekan ini." "Dengan siapa?" Mata Lenita menyipit menyiratkan rasa curiga dia. "Dengan banyak orang." Juna agak malas menjabarkan siapa saja orangnya karena pasti akan menimbulkan keributan. "Pasti ada perempuan juga, kan?" Lenita melipat kedua lengannya di depan dada disertai wajah menukik tajam terlipat muram. "Tentu saja! Dunia ini berisi lelaki dan perempuan, wajar kalau ke manapun kita melangkah, akan ada lelaki dan perempuan." Juna menjawab diplomatis. "Kenapa tidak para lelaki saja yang pergi?" Lenita belum menyerah. 'Karena aku bukan homo!' Ingin sekali Juna meneriakkan itu di depan wajah istrinya, tapi dia yakin jika berani mengatakan itu maka Lenita akan semakin mencurigai dia hendak bermesraan di gunung. Dia paham alur pikiran otak istrinya.
Mereka sudah berkumpul di dekat gerbang pos. Selain pasangan Juna-Shevia dan Bagas-Anika, ada juga Cindy dan 2 teman pria Bagas lainnya yang sengaja diundang untuk berjaga-jaga saja karena ada 3 wanita yang harus dijaga dan dilindungi."Memangnya kenapa kalau bertambah? Apa kau akan gatal-gatal kalau begitu?" Cindy menekuk wajah ke Juna, merasa tersinggung, mengira Juna sedang meributkan dirinya."Cin, jangan bicara begitu." Bagas menegur pelan ke sepupunya dan beralih bicara ke Juna, "Maafkan Cindy yang suka bicara lugas, Pak Juna.""Tak perlu sungkan." Juna berlagak santai. "Kita kan sudah sering bertemu, langsung panggil nama saja, tak apa, Bagas!""Baiklah. Maafkan ucapan Cindy tadi, yah Juna!" Bagas meminta maaf lagi karena merasa sepupunya terlalu kasar dalam berucap. "Aku juga mengundang teman-temanku tanpa mengabarkan ke Juna. Semoga kamu tidak keberatan.""Tentu tidak, dong! Justru aku senang! Semakin banyak
"Eh?" Tak hanya Bagas dan Anika saja yang terkejut dengan pertanyaan Juna, tapi juga Shevia dan kedua teman Bagas di belakang."Itu ...." Bagas mencoba mencari jawaban yang tepat untuk memuaskan semua pihak, tapi itu sulit!"Tentu saja aku ikut Kak Bagas! Apa perlu ditanyakan lagi? Konyol sekali!" Cindy sudah lebih dulu memberikan jawaban sesuai keinginan dia. Setelah itu, dia melirik tajam ke Anika sambil bertanya, "Apa kau keberatan?"Anika di samping Bagas tergagap ketika menjawab, "Te—tentu saja boleh! Tentu boleh" Dia tak menyangka Cindy akan mencetuskan pertanyaan frontal padanya.Cindy tersenyum puas dengan ucapan Anika. Dari itu, terlihat jelas dominasi dia terhadap Bagas dan Anika. Dia menggunakan kemalangan hidupnya sebagai senjata untuk mendapatkan apa saja yang dia inginkan. Juna mulai bisa melihat karakter oportunis Cindy."Ah, itu pos satu sudah dekat!" Bagas menyeru sambil menunjuk ke depan. Juna dengan mudah menilai Bagas seda
Mendengar penuturan Shevia, hati Anika berkecamuk antara bahagia, tapi juga sedih secara bersamaan. Dia bahagia karena Juna tidak terpikat Shevia, tapi sedih karena tak bisa mengisi tempat di sisi Juna. "Aku ... aku tak tahu, Shev." Anika bingung harus menjawab apa. "Yuk keluar, Mbak! Pasti sudah ditunggu mereka, nih!" ajak Shevia yang diangguki Anika. "Kalian ini sedang apa di dalam? Lama sekali." Juna menyambut dua wanita yang baru keluar dari toilet. "Rahasia! Urusan wanita itu kan banyak!" Lalu Shevia terkekeh sambil julurkan lidah ke Juna dan menggandeng Anika kembali ke Pos Satu.Tanpa diketahui Shevia, Juna sebenarnya sudah mendengar semua pembicaraan kedua wanita di dalam toilet menggunakan telinga sakti yang diaktifkan menggunakan energi chakra. "Ayo lanjut jalan!" Ipung nampak tak sabar. Dia merasa menyesal karena menyanggupi permintaan Bagas untuk mendampingi rombongan yang setengahnya adalah wanita. Yang paling menyebalkan bagi Ipung adalah Cindy yang dianggap terlal
"Apa bukan ini?" Bagas malah bertanya balik pada Yuda. "Seingatku vegetasinya tidak seperti ini, Bro." Yuda bersikeras dengan penilaiannya. Bagas segera mengambil peta dan membaca di sana untuk memastikan. "Astaga, sepertinya aku memang salah ambil belokan." Bagas akhirnya mengakui kekeliruannya. "Belokan?" Kening Yuda berkerut heran. "Bro, jalur Ranusewu ke Pos Dua itu tak ada belokan ataupun bercabang di jalannya. Lurus semua, hanya perlu mengikuti jalan setapak di antara rerumputan rendah." Wajah Bagas makin terkejut. Tak ada belokan? Tak ada jalanan yang bercabang? "Tapi tadi aku lihat belokan bercabang, Bro." Bagas membela diri. "Yang kiri itu banyak vegetasi tinggi, beda dengan yang kanan yang ada jalan setapak. Makanya aku memilih yang kanan ini karena pastinya jalur pendaki yah yang ada jalan setapaknya." "Loh? Kok begitu? Tapi aku tiga bulan lalu ke Ambarrukmo ini untuk nganter adik sepupuku ama rombongan dia dan lewat Ranusewu ini. Tak ada jalan bercabang, kok!" Yuda
"Wah, astaga! Jun, kamu ternyata benar!" Shevia sampai tercengang melihat perubahan situasi di depan matanya. Dia memandang Juna dengan mata berbinar."Hanya kebetulan saja, kok!" Juna tidak mau terlihat tinggi hati."Tsk!" Sayangnya, Cindy malah mendecih dengan raut wajah tak suka. "Hanya begitu saja, aku yakin kak Bagas juga bisa."Shevia menarik napas panjang, berusaha sabar. Padahal, yang diremehkan saja malah terkekeh-kekeh."Iya, aku yakin Bagas bisa mengatasi hal begini, kok!" Juna berkata usai terkekeh-kekeh atas ucapan ketus Cindy."Tidak, Jun, aku tak yakin aku bisa berbuat seperti kamu." Bagas justru menggeleng dan tahu dengan batas kemampuannya sendiri.Juna menepuk bahu Bagas. Baguslah kalau kau paham itu! Dia menyimpan ucapan itu di hati."Ayo, lanjut!" Juna menepuk sekali lagi bahu Bagas dan mengajak agar fokus mereka kembali ke perjalanan semula.Bagas mengangguk. Kali i
Juna lekas meraih bahu Shevia dan menenangkan wanita itu. "Shev, sudah, Shev." Dia mencoba menenangkan Shevia yang sudah tersulut amarah.Sementara itu, Bagas juga meraih adik sepupunya dan berkata, "Cin, jangan bertengkar, tolong jangan bertengkar, yah!" pintanya.Kedua pria itu sama-sama menenangkan kedua wanita secara sendiri-sendiri. Mereka berdiri menghalangi di tengah-tengah agar Shevia dan Cindy tidak perlu saling melihat dulu."Dia yang mulai dulu, Kak!" Telunjuk Cindy mengarah tegas disertai wajah penuh kebencian ke Shevia.Shevia sudah hendak bicara, tapi Juna sudah lebih dulu berbicara, "Sudah, Shev, jangan diladeni. Kita ini sedang di gunung, tak baik begini. Yah!"Anika menyaksikan interaksi Juna dan Shevia. Ada bagian dari hatinya yang terasa nyeri. Apakah memang dia sudah salah langkah dengan menerima Bagas menjadi calon suaminya?"Adikmu itu yang salah, Gas!" Ipung maju untuk ikut bicara."Bro, sudah!" Yuda dari belakang berusaha memegangi Ipung yang emosi.Namun, sepe
“Oh, tidak ada apa-apa, kok!” Juna cepat menjawab Bagas yang mendekat. Semoga saja Bagas tidak melihat ketika Anika memasukkan jarinya ke mulut.“Ah, aku pikir ada apa.” Bagas mengambil duduk di sebelah Anika dan tersenyum. “Dik, bagaimana naik gunung, apakah lelah?” tanyanya dengan suara lembut.Anika membalas senyum Bagas dan menjawab, “Tidak begitu lelah, kok, Mas. Aku menikmati hiking-nya.”“Ah, baguslah kalau begitu.” Bagas masih tersenyum sebelum dia beralih ke Juna dan Shevia yang ada di dekatnya. “Kalian sepertinya sangat cocok. Pasti menyenangkan sekali punya persahabatan erat seperti kalian yang saling mendukung dan kompak.”Juna menatap sejenak pada Bagas. ‘Ini orang! Apa dia sedang menyindir atau apa, sih? Bukankah dia tahu kalau aku sudah ada istri? Apa dia ingin jadi mak comblang?’“Pak Juna memang sahabat yang luar biasa asyik.” Shevia menjawab lebih dahulu dari Juna.“Shevia ini sudah seperti adikku. Dia keren sekali cara berpikirnya.” Juna ikut menimpali tanpa tahu pe
Juna dan ketiga istrinya mengangguk. “Kami akan berusaha untuk itu, Ma. Terus doakan kami agar selalu memiliki hal baik.” Juna menanggapi Wenti. Kemudian, keningnya berkerut, “Ma, apakah Mama akhir-akhir ini sering cepat lelah dan mual?” “Eh, kok tahu?” Wenti terhenyak kaget. Namun, kemudian dia sadar bahwa putra angkatnya ini bukan manusia sembarangan. “Selamat, Ma!” Juna maju untuk memberikan pelukan tulus ke Wenti. Anika dan Shevia paham makna ucapan Juna dan mereka bergantian mengucapkan selamat pula sambil memeluk Wenti. “Eh? Mama kenapa?” Rinjani belum paham. “Mama sudah hamil lagi, Kak.” Shevia menjelaskan. Di antara mereka, Rinjani memang yang paling hebat jika itu mengenai intuisi bisnis, tapi dia payah dalam aspek lainnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Wenti menanggapinya dengan senyum simpul dan sedikit malu-malu. *** “Ya ampun, lihat mereka! Sungguh keluarga besar yang ramai.” Seseorang menahan pekikannya ketika melihat Juna dan keluarga kecil dia tu
“Ya ampun, lucu sekali dia! Cantiknya ….” Rinjani sambil menggendong bayinya, dia menoleh ke bayi Shevia.“Dedek bayinya Kak Rin juga ganteng, tuh!” Shevia menunjuk bayi di gendongan Rinjani dengan dagunya.Mereka saling memuji bayi milik madu masing-masing.“Mbak Anika masih menyusui anaknya, yah?” tanya Shevia setelah dia berhasil menidurkan bayinya.“Iya. Masih di kamar. Semua anaknya tenang sekali, jarang menangis. Benar-benar bayi kalem seperti ibunya.” Rinjani mengomentari anak kembar Anika.Kemudian, pintu depan terbuka dan masuklah Juna yang baru pulang dari kantornya.“Mana jagoan-jagoanku?” tanya Juna sambil mendekat ke mereka dan mulai mencium bayi-bayinya di gendongan ibunya masing-masing. “BIntang … umcchh! Wulan … umchh! Sudah wangi semua!”“Lah ini anakku masa sih dipanggil jagoan?” Shevia sambil mengangkat sedikit bayi perempuan di gendongannya.“Lho, dia ini nantinya seorang jagoan wanita! Menjadi perempuan kuat yang akan melindungi orang tertindas dan menebar kebajik
“Wah, gedungmu begitu wow sekali, Jun!” Rinjani menatap gedung baru Juna. Matanya berkeliling menelisik semua interior di sana.“Ini juga berkat bantuanmu.” Juna berkata di dekat telinga Rinjani.“Kok aku?” tanya Rinjani sambil menjauhkan kepalanya dari Juna untuk menatap suaminya dari jarak yang tepat.“Kamu kira aku tidak tahu kalau kau mengirim investor gadungan untuk membantu pendanaan untuk gedung ini, hm?” Juna sambil mencubit lembut pinggang Rinjani.Karena sudah ketahuan begitu, Rinjani hanya bisa tertawa. Shevia dan Anika di sebelahnya tersenyum.Siang ini, mereka baru saja mengadakan peresmian gedung baru apartemen Juna yang besar dan spektakuler. Meski bukan merupakan apartemen paling wah dan nomor satu di Samanggi, namun tetap mencuri perhatian publik karena dimiliki oleh pengusaha muda dengan berbagai gonjang-ganjing isu di belakangnya.Isu paling sering dibicarakan publik mengenai Juna belakangan ini tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah mengenai ketiga istrinya yan
“Hah? Om Fer yakin dengan berita yang Om terima?” tanya Juna saat dia berbicara dengan pengacaranya, Ferdinand, di telepon. “Sangat yakin, Jun! Periksa saja ke rutan kejaksaan. Oh, atau untuk lebih akuratnya, datang saja ke rumahnya, pasti sedang ramai di sana.” Ferdinand menyahut dari seberang. Juna tak bisa berkata-kata. Dia segera mengakhiri teleponnya dengan si pengacara. “Ada apa, Jun?” tanya Rinjani dengan wajah ingin tahu. “Berita apa? Ada berita apa dari Om Fer?” Dia semakin mendekat ke Juna di sofa ruang tengah. Anika datang sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir wedang cokelat jahe dan camilan buatannya seperti kue pukis dan bakwan jagung. “Bobby meninggal tadi sore.” Juna berkata sambil menatap Anika dan Rinjani secara bergantian. “Hah?!” pekik Rinjani karena terlalu kaget dengan berita yang diucapkan suaminya. Juna mengangguk ke istrinya. “Ada apa? Siapa yang meninggal?” Shevia keluar dari kamarnya karena suara pekikan Rinjani terdengar hingga ke telinganya.
“Ti—Tidak begitu! Ular sialan!” geram Nyai Mirah dan dia mulai mengejar Nyai Wungu yang melarikan diri sambil tertawa melengking meledek permaisuri Ki Amok itu.Kemudian, Ki Amok memanggil Nyai Mirah untuk pulang bersamanya ke istana mereka. Nyai Mirah segera berdiri melayang di sebelah Ki Amok dengan wajah merona menyebabkan kulitnya semakin memerah.“Kami pulang dulu. Nanti jika Mirah dibutuhkan lagi oleh istrimu, panggil saja, tak apa, tapi itu harus benar-benar gawat. Kalian pasti mengerti maksudku, ‘kan?” Ki Amok berkata ke Juna yang masih membopong Anika.‘Ya, ya, ya, aku paham. Intinya kami tidak boleh mengganggu kemesraan kalian berdua kecuali sangat gawat darurat.’ Juna membatin menanggapi Ki Amok.“Ya, kami paham, Ki. Terima kasih, sekali lagi untuk Anda dan pasukan, juga terima kasih pada Nyai Mirah atas bantuannya.” Juna mengangguk sebagai tanda dia menghargai mereka.Kemudian, kereta kencana Ki Amok pun pergi dari sana.Juna menoleh ke Nyai Wungu dan bertanya, “Apakah Nya
‘Apakah Dewi Salwapadmi menyaksikan aku dan Nik … bercinta selama ini?’ Juna memiliki pemikiran demikian. Ya ampun, Juna mendadak saja super malu jika mengingat seperti apa dia memesumi Anika selama ini. Belum lagi tingkah dia saat menggauli Anika. Dia bertanya-tanya, apakah itu disaksikan dan juga dirasakan sang dewi? Mendadak saja senyum lebar dan menahan geli dari Dewi Salwapadmi muncul saat dia bertutur ke Juna, “Jangan khawatir mengenai itu, Tuan Panglima. Aku selama ini tertidur di raga Anika dan mulai terbangkitkan ketika bertarung melawan mantan istrimu.” Mendengar ucapan Dewi Salwapadmi melalui mulut Anika, Juna merasa sangat lega sekaligus malu karena pikirannya ternyata bisa dibaca sang dewi. “A—Ah, iya, baiklah, Ndoro Dewi. Terima kasih penjelasannya.” Juna sedikit merona karena malu. Kemudian, Dewi Salwapadmi menoleh ke Nyai Mirah, dia berkata, “Nyai Mirah, aku sungguh tersentuh dengan pengabdianmu yang luar biasa pada ndoro putrimu ini. Tingkah lakumu sejak dulu jug
“Semua sudah usai?” Juna terengah-engah sambil menanyakan itu pada dirinya sendiri meski itu sebuah gumaman rendah. Anika bergegas terbang ke suaminya dan menyebelahinya di angkasa. Sedangkan Juna mulai merasakan armor yang melingkupi tubuhnya mulai memudar hilang secara perlahan. “Mas … semua sudah selesai. Pertarungan telah Mas menangkan.” Anika tersenyum lembut. Benar, semua sudah usai. Segala ancaman bahaya dan mimpi buruk yang pernah ditakutkan Anika, yang telah menjadi momok baginya selama beberapa minggu ini sekarang lenyap. Seakan batu besar yang mengimpit dada Anika, kini telah terangkat dengan kematian Lexus. Juna menengok ke istrinya sembari dia ikut tersenyum. “Kita yang memenangkan ini, Nik. Kita. Bukan aku saja. Kau, dan semua yang lainnya.” Tentu saja dia tidak boleh mengambil semua kredit yang ada. Bergegas, tangan Juna meraih Anika untuk memeluk wanita itu sembari hatinya berucap syukur pada semesta dan penciptanya yang telah memberikan restu sehingga dia bisa m
“Hm?” Juna mendadak saja merasakan dirinya menjadi lebih bertenaga, energi murninya melonjak tinggi.Setelah dia berpikir cepat, dia merasakan adanya energi dari Shevia dan Rinjani.‘Ternyata mereka.’ Juna tersenyum setelah memahami dari mana energi tambahan untuknya datang secara tak terduga.Saat ini, pedang di tangan Juna menebas tegas ke depan sehingga dengan cepat menyebabkan udara mengalir berputar mengakibatkan munculnya pusaran udara hanya dari ayunan pedang tersebut.Wusshh!Kibasan pedang Juna memicu beberapa ledakan bunyi memekakkan telinga ketika gelombang udara yang tadinya hanya memunculkan pusaran angin, kini berubah menjadi badai, menyapu udara di sekitar Lexus.Energi petir beserta angin badai dari kibasan pedang Juna menyerbu ke Lexus, bagaikan ular raksasa membuka mulutnya hendak menelan Lexus untuk mengunyahnya menjadi ketiadaaan.“Jangan harap semudah itu!” seru Lexus ketika dia juga mengibaskan pedang api hitam di tangannya sehingga energi api miliknya bertabraka
“Jangan sombong dulu, manusia bangs4t!” teriak Lexus pada Juna. “Jangan kau kira karena kau memiliki zirah itu maka kau bisa sekuat aku!”Lexus merobek udara hampa dan mengempaskan angin panas yang bisa membakar kulit manusia biasa dengan segera meski hanya dari hempasan anginnya saja.Juna tidak gentar meski fisik Lexus sudah semirip iblis. Dia memiliki banyak dendam terhadap sosok di depannya. “Kau yang akan berakhir mengenaskan, Lexus!”Zirah di tangan Juna mengumpulkan energi murni yang kini bermuatan energi keilahian.Dhuaarr!Ketika pukulan Juna bertabrakan dengan tinju iblis Lexus, mereka berdua sama-sama terdorong ke belakang. Tapi Juna lekas menerjang maju lagi, tak memberi kesempatan Lexus untuk menarik napas berikutnya.“Kau sudah tak sabar mati, hah?” teriak Lexus sambil mendorongkan energi iblisnya ke arah Juna.Tangan berzirah Juna menangkap kepalan tangan Lexus dan mendorongnya ke samping agar dia bisa menyarangkan tinju di tangan lain ke tubuh Lexus.Dhaakk!Betapa kag