Juna termangu. Benar-benar membiarkan mulutnya melongo seperti orang tolol usai mendengar penuturan Anika. Setelah beberapa detik terlewatkan, barulah dia sadar, “Nik?”
“Maaf, ya Mas, aku … ternyata aku tidak seberani itu menjadi istrimu. Aku begitu takut. Takut karma, takut dosa, juga takut mendapatkan kebencian.” Anika menundukkan kepalanya, menahan tangis karena mengucapkan perpisahan dengan Juna serasa bagai mengiris dagingnya sendiri.
“Nik! Jangan merasa—“ Juna maju ke Anika untuk meraih tangan istri mudanya. Tapi, Anika sudah mundur beberapa langkah sembari menggelengkan kepala.
“Jangan, Mas. Jangan pengaruhi keputusanku.” Suara Anika bergetar. Sungguh sulit mengatakan itu karena adanya pertentangan di hatinya. Masih teringat olehnya tadi sebelum Juna datang, dia seperti mendapatkan mimpi singkat bahwa Juna akan celaka apabila terus bersamanya.
Saat itu, Anika merenungkan arti mimpi terseb
Nyai Mirah terus memberikan perlindungan untuk majikannya secara maksimal dan memang dapat menghindarkan Anika dari kemalangan, tapi Anika sangat sedih ketika orang di sekitarnya justru menjadi korban.“Nyai! Jangan biarkan mereka menyakiti pekerjaku! Tolong, Nyai!” pekik Anika di benak agar didengar Nyai Mirah.Maka, Nyai Mirah sebagai jin khodam yang patuh, dia melaksanakan keinginan Anika. Peluru para perampok mulai tak bisa keluar dari larasnya dan terkesan macet.Lalu, Nyai Mirah juga membuat para perampok kebingungan mencari jalan keluar dan mereka mulai linglung dan pusing. Anika bergegas menghubungi polisi mengenai kejadian kacau di rumahnya.Tak berapa lama, polisi berdatangan dan meringkus semua perampok yang masih linglung seperti idiot. Malah ada yang berteriak-teriak histeris ketakutan. Wajar saja, karena Nyai Mirah memunculkan wujud seram dia di hadapan perampok yang telah menembak pekerja Anika tersebut.Sedangkan, Anika
Sebagai panglima, Juna harus mengetahui kapan dia harus terus menyerang dan kapan harus mundur sejenak.Sebagai orang yang mencintai Anika, dia juga harus memahami apa saja yang bisa membuat nyaman orang tercintanya. Jika dia ingin bersikap egois, dia bisa saja mengabaikan ancaman Lenita dan tetap bersanding menjadi suami Anika.Tapi, kejiwaan dan mental Anika juga harus dia utamakan. Biarlah dia mengalah dulu agar Lenita lebih tenang dan bisa dicari celah lengahnya nanti.Maka dari itu, bisa diperkirakan bagaimana Lenita memanfaatkan kepatuhan Juna untuk apa pun yang dia ingin.“Jun, temani aku makan siang!”“Jun, aku ingin roti yang kemarin dibelikan papa. Ayo kita ke toko roti!”“Jun, aku ingin sekali milkshake cokelat. Buatkan, yah!”“Rasanya aku ingin makan nasi goreng pedas. Ayo kita ke warung tenda Pak Sobari, Jun!”“Malam ini aku ingin jalan-jalan, Jun!”Semuanya dijawab dengan anggukan kepala Juna. Lenita terlihat puas melihat Juna tidak memberi bantahan apapun dan bersedia p
Kang Galon: Sayangku, masih apa? Kok tidak membalas chat-ku?Kang Galon: Jangan bilang sedang berduaan dengan lelaki lain, deh!Kang Galon: Awas saja, ya! Tidak aku beri goyangan Badai Cinta, loh!Kang Galon: Dih! Lama sekali, Nita! Woi!Kang Galon: Aku baru pulang dari Pulau Semusim, nih!Kang Galon: Aku tunggu di hotel, yah! Aku kirim alamatnya!Juna menelan saliva bagaikan sedang menelan pasir ketika membaca deretan pesan yang dikirim bagaikan hujan, begitu deras. Sudah mirip spam.‘Siapa dia? Siapa Kang Galon itu? Tak mungkin selera Lenita pada tukang pengantar galon air mineral, kan? Tak mungkin! Bahkan tadi Kang Galon bilang dia baru pulang dari Pulau Semusim. Itu pulau tempat wisata yang terkenal di Nusantara!’ Otak Juna terus berputar mencari segala kemungkinan dan dugaan.Ceklek!Pintu kamar mandi sudah digerakkan dari dalam. Juna lekas kembali rebah di kasur seolah tak terjadi apa-apa, padahal jantu
Juna agak terkejut dengan tanggapan dari Anika. Benarkah itu wanita pujaannya?“Nik?” Juna menatap Anika secara lekat.Anika tersenyum kecil dan berkata, “Mas, kalau yang Mas ingin bicarakan adalah mengenai istri Mas, maka aku tidak bisa ikut campur karena aku tidak ingin dilibatkan di masalah rumah tangga orang lain.”Semua kalimat yang meluncur dari mulut Anika membuat Juna termangu heran sekaligus bingung. Benarkah itu Anika pujaannya?“Nik?” Juna tidak bisa menemukan kata-kata untuk menimpali ucapan panjang Anika yang di luar dugaan.“Maaf, yah Mas, lebih baik Mas lebih mendekatkan diri Mas ke istrinya saja, jangan malah berkeluh-kesah ke aku, karena itu hal percuma dan dosa, Mas. Aku sudah ingin berjanji pada Gusti Agung Hyang Widhi agar tidak lagi berbuat dosa dengan suami orang lain.” Anika menatap lurus ke mata Juna, terlihat teguh akan tekadnya.“Nik?” Juna masih termangu.
Juna menaikkan pandangannya dan memang mendapati Shevia setelah mendengar wanita itu menyapanya.“Oh, Bu Shevia.” Juna tersenyum.Shevia melihat kursi kosong di meja Juna dan tak berlama-lama berdiri lalu segera duduk di salah satu kursinya.“Pak Juna, kenapa di sini sendirian? Bukankah ini akhir pekan? Tidak menghabiskan hari dengan istri?” Shevia sebenarnya sadar bahwa pertanyaan yang dia ajukan tidak pantas dan terlalu ingin tahu privasi orang lain, tapi dia memang sengaja. Apalagi dia melihat sebotol anggur merah yang ada di hadapan Juna. Dia makin yakin Juna sedang kusut.“Oh, aku kebetulan ingin memiliki … me-time.” Juna tersenyum saat mengucapkan istilah yang kerap digunakan orang zaman modern.“Wah … apakah aku mengganggu acara me-time Bapak?” tanyanya tanpa ada niat ingin pergi.Kepala Juna menggeleng. “Tidak mengganggu. Silahkan saja jika Bu Shevia ingin menemani m
Astaga! Juna sedikit terkejut dengan tindakan berani Shevia menaiki pangkuannya, tapi otak mabuknya menolak semua kewarasan dan dia menerima sentuhan Shevia.Dia membalas pagutan agresif Shevia, harga diri sebagai lelaki semakin meroket, tak mau kalah, tak mau pasif dan tangannya mulai bergerak liar.Rata-rata, mobil yang ada di kawasan bioskop drive-in tidak saling memedulikan mobil lainnya karena mereka memiliki ‘kesibukan’ masing-masing di dalam mobil mereka.Itu yang membuat Shevia percaya diri tak ada yang mengawasi mereka, apalagi kaca mobilnya gelap.Tangan Juna merayap penuh percaya diri ke dada Shevia dan melakukan apa yang dia ingin lakukan di sana. Shevia merespon dengan lenguhan saat melepaskan cumbuannya.Mata Juna seketika nyalang ketika melihat Shevia mulai membuka blus ketatnya dan melempar sembarang, bra warna ungu tua sangat mengunci pandangan liarnya. Sebagai panglima yang tidak gentar meladeni keliaran wanita yang me
Juna mendengar istrinya pulang di jam 11 malam lebih. Dia bergegas keluar ruang perpustakaan dan menunggu Lenita di ruang tengah.Begitu Lenita tiba di ruang tengah, dia bertanya, “Kenapa pulangnya selarut ini? Sudah hampir tengah malam.”“Oh, yang penting kan belum tengah malam, baru hampir, ‘kan?” Demikianlah jawaban istrinya yang menaikkan emosi Juna.Meski begitu, Juna tetap bertahan dalam ketenangan. “Memangnya apa yang kamu kerjakan sampai ham-pir-te-ngah-ma-lam begini?” tanyanya sembari menekankan beberapa kata yang sebelumnya.Lenita menatap kesal padanya dan berkata, “Apaan, sih, Jun? Santai saja, lah! Aku cuma ketemu teman lama. Kebetulan dia baru datang dari pulau lain. Apa salahnya, sih?”“Laki-laki atau perempuan?” desak Juna. Bukannya dia cemburu atau semacam itu, karena di hatinya dia tidak pernah mencintai Lenita. Dia hanya ingin Lenita merasakan seperti apa didesak d
Mana mungkin Juna tidak terkejut melihat apa yang tersaji di depan mata? Shevia mengikuti arah pandangan Juna karena heran dengan sikap termangu dia. “Oh, ada Anika, ternyata!” Shevia masih mengenali Anika, tentu saja. “Mbak Anik! Mbak!” Dia tanpa ragu melambaikan tangan ke Anika. Juna merutuki tindakan Shevia. Kenapa harus memanggil Anika? Meski dia rindu pada mantan istri adatnya, tapi jika ada lelaki lain di sisi Anika, mana sudi dia? Anika tersenyum lembut dan berjalan mendekat ke meja Juna. “Kalian di sini.” Juna memperhatikan Anika tanpa berkedip. Sikap mantan istrinya begitu tenang dan terkendali, bahkan tidak ada rasa terkejut atau sungkan sedikit pun meski kepergok bersama dengan lelaki lain. Tapi, hubungan mereka sudah berakhir, kenapa Anika harus merasa canggung? Juna mengutuk dirinya sendiri yang berpikiran terlalu jauh. Hanya saja, dia tidak bisa menerima Anika bersama lelaki mana pun selain dia. “Di sini saja, ya