"Tuan, saya perlu bicara sesuatu yang penting," bisik Julius pelan saat mereka bertemu di taman, tatapannya sesaat melirik Berlian yang duduk tak jauh dari mereka.Luke mengerutkan dahi, pandangan Luke mengikuti arah pandang Julius yang tertuju pada Berlian. Ia menatap kembali Julius dengan sorot mata penuh tuntutan. "Tidak di sini, Julius," desis Luke, agar Berlian tidak mendengar.Berlian, yang masih dalam kondisi pemulihan dengan leher terbalut penyangga dan perban di kepala, memandang mereka berdua dengan sedikit curiga. "Ada apa? Kenapa kalian berdua lirik-lirikan?" tanya Berlian, berusaha menahan diri agar tidak terlalu khawatir.Luke segera mendekat dan menyentuh bahu Berlian, memberikan senyum yang menenangkan. "Tidak ada apa-apa, sayang. Kamu sebaiknya kembali ke kamar dan beristirahat. Aku akan menyusulmu sebentar lagi."Berlian mengerutkan kening, masih merasa ada yang tidak beres. "Kamu yakin, Paman? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku, kan?"Luke menggeleng de
"Tidak, tidak ada apa-apa," jawab Eli dengan cepat mendengar suara dari belakang tubuhnya. "Jangan terlalu diambil pusing sama Nyonya Berlian. Dia orangnya memang begitu. Aslinya baik, kok!" ujar Fiona. Eliona hanya mengangguk, sambil memperhatikan punggung Berlian yang semakin menjauh. 'Cukup cantik istri dari kak Luke. Sepertinya, istrinya kak Luke sangat waspada. Sudahlah, setelah mendapatkan pekerjaan tetap, aku langsung pergi dari sini,' Eliona membatin masih memandangi punggung Berlian. Fiona memandang Eli yang gelisah, ia menepuk pundak wanita di depannya itu. "Masih mau berdiri? Bukannya kamu punya pekerjaan yang harus di selesaikan?" Eliona tersentak. "Iya. Aku permisi, ada beberapa hal yang harus aku lakukan," jawab Eliona cepat, dia pun segera bergegas dan berlalu. ___Di dalam kamar, Berlian sudah duduk di depan cermin rias. Satu tangannya yang masih di perban membuat ia kesulitan melepaskan perban yang membalut tangannya. Berlian ingin memberikan obat pa tangannya ta
"Cari tahu korban jiwa. Apakah semua orang selamat atau tidak!" perintah Maximilian. Di pelabuhan tempat meledaknya kapal pengangkut heroin menjadi sorotan para penduduk pesisir pantai. Dermaga itu terpencil dan tersembunyi di antara tebing-tebing karang yang menjulang tinggi, sehingga sulit dijangkau oleh pihak berwenang tanpa informasi yang akurat. Asap tebal masih mengepul dari puing-puing kapal yang hancur, sementara api yang tersisa terus membara, menjilat-jilat udara sore itu.Beberapa anak buah Maximilian sudah berada di lokasi, mengamati dengan seksama situasi sekitar. Wajah mereka tegang, berusaha memahami dampak dari ledakan tersebut."Tuan Max, kita menemukan beberapa mayat. Tapi, sebagian besar kru sepertinya berhasil melompat ke laut sebelum kapal meledak," lapor salah satu anak buahnya, suaranya serak akibat asap yang terhirup.Maximilian menghela napas panjang, menatap reruntuhan kapal dengan pandangan tajam. "Apa ada tanda-tanda polisi atau penjaga pantai?" tanyanya
"Mumpung Luke sedang pergi, aku harus mengambil kesempatan ini." Berlian keluar dari kamar. Baru membuka pintu, Eliona sudah berdiri di depan pintu kamar dengan berbagai menu makanan dan juga obat yang ia dorong menggunakan troli makanan. "Nyonya Berlian, Anda mau kemana?" tanya Eliona.Berlian menatap Eliona dengan tatapan curiga, alisnya sedikit terangkat. Ada sesuatu yang tidak beres menurutnya. "Eliona, di mana Fiona? Kenapa kamu yang datang membawakan makanan dan obat-obatanku? Bukankah ini tugas Fiona?" tanya Berlian dengan nada datar. Eliona mengangkat kepala dan matanya seketika bertemu dengan tatapan tajam Berlian. "Fiona sedang tidak enak badan, Nyonya. Tuan Luke meminta saya untuk sementara waktu menggantikan tugasnya mengurus Anda."Berlian mengerutkan alisnya. "Tidak enak badan? Fiona jarang sekali sakit. Dan tadi siang dia masih terlihat sehat-sehat saja." Eliona tampak gugup sejenak, tetapi ia segera menenangkan dirinya dan mencoba menjelaskan dengan suara yang le
"Ayah, kamu ini sungguh tidak berguna. Bagaimana bisa Ayah terang-terangan menyatakan rencana Ayah kepada Luke?" ucap Eliona.Galen yang terikat menjadi tahanan di ruangan rahasia paviliun Luke itu hanya tertunduk. Wajahnya lebam dan bengkak-bengkak saat putrinya itu datang membawakan makanan. "Luke harus tahu, Eli. Jika ibunya mati karena keluarga yang mengadopsinya," jawab Galen. Eliona mendengus kesal, ia meletakkan nampan makanan yang dia bawa di depan ayahnya. "Ayah, kamu tahu bagaimana sifat Luke. Aku berupaya mempertahankan diriku di sini. Itu karena Ayah yang terlalu gegabah!" ujar Eliona kesal. Hembusan napas berat terdengar dari pria paruh baya itu. "Eli, kamu harus meyakinkan Luke. Buat Luke berpihak pada kita. Dengan begitu, kekuasaan yang di miliki Kenneth, bisa kita manfaatkan," ucap Galen. "Tapi Ayah yang tidak bermain dengan pintar. Sekarang, Ayah makanlah dulu." Eliona meraih piring berisikan makanan. Galen berupaya mengangkat wajahnya, menatap Eliona. "Nak, kamu
"Julius, tolong mampir ke toko kue dan juga boneka." Luke memerintah. Julius yang tengah menyetir mengerutkan dahi. Mimpi apa tuannya ingin ke toko boneka? Jangan katakan jika tuan mulai gila karena tidak pernah mendapatkan belaian dari nyonya muda Berlian. "Julius! Apa kamu mendengarkanku?" Julius tersentak. Dia dengan cepat mengangguk. "Iya, Tuan. Maaf, saya kaget. Boneka dan kue?" tanya Julius, memastikan dia tidak salah mendengar.Luke hanya mengangguk, memandang keluar jendela dengan wajah yang tampak sedikit lembut. "Ya, boneka dan kue. Dan satu lagi, mampir ke toko perhiasan. Aku juga ingin membeli kalung untuk Berlian."Julius semakin terkejut mendengar itu. Biasanya, Luke lebih fokus pada pekerjaan dan jarang menunjukkan sisi romantisnya. Namun, dia segera mengendalikan ekspresinya dan berkata, "Baik, Tuan."Setelah beberapa saat, mereka tiba di toko kue. Luke memilih kue kecil dengan hiasan sederhana namun elegan. Tidak lama kemudian, mereka mampir ke toko boneka, dan Lu
"Heh ... Paman, untuk apa kamu masuk?" kaget Berlian, dia mencoba menutupi tubuhnya di dalam bathtub. Luke yang berdiri di ambang pintu hanya tersenyum nakal. Handuk putih, masih melingkar di pinggang pria itu. "Aku pikir, kamu tidak bisa mandi sendiri. Jadi aku kemari ingin membantumu mandi." Berlian memberikan senyum canggung pada suaminya itu. Selesai makan malam di Gazebo, Berlian memutuskan untuk mandi dan tidur. Sebab besok ia berencana ingin pergi menemui Sarah. Sudah lama Berlian tidak masuk kampus. Entah, dia harus remedial berapa mata kuliah agar dapat mengajukan syarat wisuda. Berlian merapatkan tubuhnya ke sisi bathtub, air yang hangat membelai kulitnya, tapi kehadiran Luke membuatnya sedikit canggung."Paman, aku bisa mandi sendiri. Paman keluarlah." Berlian mencoba menyembunyikan rasa gugup dengan senyum kecil, sambil tetap berusaha menutupi tubuhnya dengan busa sabun.Luke berjalan mendekat, menyingkirkan handuk dari pinggangnya dan melemparkannya ke kursi terdekat
Sepasang manusia itu tengah bergumul panas di atas ranjang king size. Setelah selesai mandi, Luke dan Berlian memutuskan untuk melanjutkan aktivitas mereka yang sempat tertunda di dalam kamar tadi.Di ranjang yang sudah berantakan, Luke tengah sibuk mengulum puncak dada Berlian. Mulut Luke dengan rakus menyusu di salah satu bukit Berlian. "Ouhh ... Paman ... Do Not Stop Doing This ...," racau Berlian, sementara tangan kanan Berlian berulang kali menggaruk-garuk punggung Luke.Luke semakin liar, tak henti menyusu. Sementara tubuh Luke bergerak maju-mundur, menggempur bagian bawah Berlian, basoka itu mengepak-ngepak dengan liar di dalam sana yang terasa sempit dan sudah sangat basah. "Aaa ... Aaa ... Lian, kamu sungguh mengigit...," leguh Luke.Di bawah kungkungan Luke, dengan napas tersengal disertai kenikmatan yang menjalar, Berlian pun menjawab, "Apanya ... yang ... mengigit, Paman?" goda Berlian. "Lubangmu ... Ahh ... Aku ingin lebih!" jawab Luke terus memompa basokanya. Berlia