Max, dengan langkah cepat namun tenang, mengikuti arahan para official timnas. Tatapannya lurus ke depan, mengabaikan sorot lampu kilat kamera dan pertanyaan-pertanyaan yang terus dilemparkan ke arahnya. Sedangkan para official terus menjaga barikade hingga Max berhasil mencapai bus timnas.Di dalam bus, rekan-rekan timnas telah menunggu Max dengan sorot cemas. Wajah mereka terlihat lega melihat Max akhirnya berhasil masuk ke dalam bus tanpa keterlambatan yang lebih lama lagi."Antusiasme publik di sini terhadap atlet timnas memang luar biasa," gumam Hugo—pemain timnas yang baru saja dinaturalisasi—dengan suara pelan, mencoba memahami betapa besarnya euforia para penggemar sepak bola di Indonesia terhadap pemain timnas mereka. Saat bermain di liga-liga Eropa, fokus utamanya adalah pada performa di lapangan tanpa harus terlalu dipusingkan dengan sorotan media yang terlalu berlebihan. Namun, di sini, segalanya terasa begitu berbeda. "Kurasa, ini bukan hanya tentang sepak bola. Ini ten
Max menutup telepon dengan senyum yang masih terukir di wajahnya, merasakan kehangatan dari percakapan dengan Mia.Hatinya yang tadinya resah kini terasa lebih ringan, seolah-olah setiap kata yang Mia ucapkan adalah suntikan semangat yang mampu menangkis segala tekanan dan gosip yang menghampirinya. Dia memandang keluar jendela bus yang terus melaju, melihat pemandangan yang berkelebat, tapi pikirannya masih terpusat pada Mia. Senyum tak memudar dari bibirnya sepanjang ingatannya terpatri pada seraut wajah wanita yang dicintainya itu.Selama perjalanan ke tempat latihan, Max merasakan dorongan semangat yang luar biasa. Setiap kali mengingat tawa Mia dan candaan ringan mereka, dia merasa kuat dan seolah siap menghadapi tantangan apapun. Di dalam bus, meskipun ia tahu bahwa rekan-rekannya masih berbisik-bisik tentang gosipnya yang beredar, namun Max memilih untuk fokus pada kenangan percakapannya dengan Mia. Wajahnya yang tadinya tegang kini lebih santai, dengan senyum yang sesekali
Brama Kumbara mondar-mandir gelisah di ruangan kerjanya. Sejak pagi hingga senja menjelang, telepon demi telepon masuk, semua bertanya-tanya tentang rumor yang beredar luas di luar sana: "Apakah Max terlibat cinta dengan wanita yang masih berstatus istri orang?"Pertanyaan itu terasa seperti belati yang menusuk hatinya, menciptakan kegelisahan yang tak terbendung. Setiap panggilan telepon membuatnya semakin cemas, merenungkan kemungkinan skandal besar yang akan meledak jika tidak ditangani dengan cepat dan bijaksana. Dia berjalan mondar-mandir di sekitar ruangan pribadinya, pikirannya melayang-layang di antara strategi yang harus segera dilakukan untuk meredakan situasi ini sebelum semuanya terlambat. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang dampak buruk yang mungkin terjadi, bukan hanya pada Max, tetapi juga pada tim dan organisasi bisnisnya yang telah ia bangun dengan susah payah.“Astaga… Max, kamu betul-betul sinting! Kenapa kamu harus terlibat hubungan dengan istri orang? Istrinya
Brama Kumbara sedang membuat laporan bisnis ketika tiba-tiba dering telepon memecah keheningan ruangan. Ia meraih ponselnya dan melihat nama Nyonya Esmee, ibu Max, tertera di layar.Brama segera menjawab panggilan itu. “Halo, Tante Esmee?”Tanpa basa-basi lagi, Nyonya Esmee langsung menyerbunya dengan pertanyaan. “Aku baru saja membaca berita yang tak enak tentang Max. Tapi itu tidak benar, kan? Masa iya Max menyukai istri orang? Aku tidak keberatan dia menjalin hubungan dengan wanita manapun, tetapi istri orang? Tidak, aku tidak akan pernah setuju. Bram, tolong jelaskan sesuatu padaku, apa yang sebenarnya terjadi?” suaranya terdengar khawatir di seberang sana.Brama menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan hati ibu Max. “Tante, ini cuma gosip yang beredar di media. Kita semua tahu, Max selalu menjaga sikapnya, dia bukan tipe orang yang akan melakukan hal seperti itu.”Nyonya Esmee menghela napas panjang. “Bram, kamu adalah orang terdekatnya di In
“Siapa yang meneleponmu barusan, Bel? Kenapa bawa-bawa namaku?” tanya Dessy yang rupanya sedang berada di apartemen Belinda. Belinda mengedikkan bahunya dengan acuh tak acuh. “Itu, si acar bodohku,” sahut Belinda dengan nada kesal. Dessy terkekeh. Dia tadi menguping pembicaraan mereka. Dia sedikit banyak tahu apa yang baru saja dibicarakan oleh Belinda dengan Noel. Dan dia bangga memiliki teman yang memiliki loyalitas seperti Belinda, yang rela bertengkar dengan pacarnya hanya untuk membelanya. “Jadi, menurutmu gosip tentang Max itu benar?” ujar Dessy sambil menggoyang-goyangkan gelas anggur merahnya. Cahaya lampu apartemen memantulkan warna merah anggur yang berkilauan di gelas kristal, menciptakan bayangan elegan di meja di depannya. Si model cantik itu menatap Belinda, di balik senyumnya yang tipis itu terlihat keingintahuan.Belinda menatap Dessy sejenak sebelum menghela napas. "Aku hanya asal bicara," jawabnya akhirnya, sambil menyandarkan tubuhnya di sofa dan menggelengkan ke
Dokter Joshua duduk dengan tegap di salah satu kursi di baris tengah ruang kuliah yang luas. Di hadapannya, layar proyektor besar menampilkan gambar-gambar tulang dan sendi, sementara suara profesor yang berbicara tentang teknik terbaru dalam bedah ortopedi mengisi ruangan. Di depan ruangan, sang profesor menjelaskan tentang teknik minimal invasif terbaru dalam operasi penggantian sendi lutut. Gambar-gambar animasi di layar memperlihatkan prosedur yang kompleks namun efektif, yang dapat mempercepat pemulihan pasien dan mengurangi risiko komplikasi. Dokter Joshua mencatat setiap langkah dengan cermat, matanya berkedip-kedip saat mencoba memahami teknik yang sedang dijelaskan.“Dengan menggunakan alat ini,” ujar profesor sambil menunjuk gambar instrumen bedah di layar, “kita dapat meminimalkan kerusakan jaringan di sekitar sendi dan memastikan pemasangan prostetik yang lebih presisi.”Dokter Joshua mengangguk pelan, sepenuhnya tenggelam dalam pelajaran. Dia membayangkan dirinya di rua
"Mia, apa kamu merasa mual akhir-akhir ini?" Dokter Joshua bertanya disela-sela pemeriksaannya."Iya, belakangan ini kadang sampai muntah. Sepertinya aku stres, mungkin itu memicu asam lambungku ya, Dok?” Dokter Joshua berpikir sejenak. "Kamu sering merasa ingin buang air kecil lebih sering dari biasanya?"Mia mengerutkan kening, seperti berusaha mengingat-ingat, kemudian ia mengangguk pelan. "Iya, sepertinya begitu.""Ada perubahan nafsu makan atau keinginan makan yang berbeda dari biasanya?" lanjut Dokter Joshua sambil melakukan palpasi.Mia terlihat bingung, tapi kemudian mengangguk lagi. "Ya, mungkin. Aku merasa lebih lapar tapi juga cepat kenyang. Biasanya aku tidak tahan pedas dan asam, tapi belakangan ini aku baru bisa makan kalau ada rasa pedas dan asamnya. Ah, apa mungkin karena sering makan pedas dan asam, makanya lambungku tidak kuat ya, Dok?"Dokter Joshua melanjutkan palpasi pada perut Mia. Meskipun belum ada tanda-tanda fisik yang jelas, kombinasi dari gejala-gejala in
“Mia, jangan berkata seperti itu,” ucap Dokter Joshua, suaranya tegas namun tetap lembut. “Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira. Kamu telah menghadapi banyak hal, dan kamu akan melalui ini juga. Percayalah padaku.”Dokter Joshua membelai wajah Mia dengan lembut, memberikan kehangatan dan dukungan yang ia butuhkan. Dia ingin memberikan segala yang dia bisa untuk memastikan Mia merasa didukung dan dicintai. Dia tidak ingin Mia seperti ibunya yang menghadapi segalanya sendirian dan tanpa dukungan.“Kita akan menemukan cara untuk menghadapi semua ini, Mia," ucap Dokter Joshua dengan penuh keyakinan, berharap kata-katanya bisa memberi Mia sedikit ketenangan di tengah kekhawatirannya yang besar."Bagaimana dengan Max, Dok? Tidak adil rasanya bila aku kembali padanya dalam keadaan hamil anaknya Mas Nathan.” Suara Mia terdengar lirih, matanya menatap Dokter Joshua dengan sorot cemas yang jelas.Dokter Joshua terdiam sejenak, merasakan segenap emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. "Biar
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N