Meskipun pintu hanya terbuka sekilas, tetapi aroma darah yang kental sudah langsung perlahan mencuat dan menyebar ke seisi ruangan.Mencium aroma itu, Wina menjadi ketakutan sampai kakinya lemas, tetapi dia tetap memaksakan diri, mendorong dokter itu dan menerobos masuk.Daris dan Zeno sedang membersihkan noda darah di lantai, dan begitu melihat Wina masuk dengan tergesa-gesa, keduanya langsung menghentikan pergerakan mereka."Nona ... Nona Wina?"'Ternyata dia belum pergi?'Dengan mata berair, Wina melewati genangan darah di lantai dan beralih menatap pria yang tertidur di atas ranjang.Punggungnya tampak tegap dan kokoh, sudah dibersihkan dan diberi obat, tetapi tidak dibalut, luka-luka yang menganga dan terpampang jelas.Seprai yang dijadikan alas masih belum sempat diganti, wujudnya penuh akan darah segar, bahkan sampai merembes meneteskan cairan yang bergulir ke atas lantai.Pria yang biasanya terlihat dingin dan angkuh, seketika terlihat begitu lemah, membuat Wina merasa sangat p
Wina yang awalnya merasa sangat sedih pun sontak kebingungan."Kenapa kamu masih mikirin soal itu di saat lagi terluka begini?"Begitu melihat ekspresi Wina yang menangis dengan bingung, Jihan yang awalnya tidak begitu memikirkannya pun langsung dikuasai hawa nafsu.Hmm .... Jihan jadi teringat waktu itu. Saat dia menindih Wina di atas karpet dan membuat wanita itu menangis memohon belas kasihan ....Jihan menelan ludahnya, tubuhnya mulai memberikan reaksi fisiologis. Meskipun begitu, dia hanya bisa berangan-angan. "Kalau bukan karena aku terluka, kamu pasti nggak akan bisa keluar rumah selama beberapa hari."Jihan tidak memiliki alasan khusus, dia hanya ingin menikmati Wina siang dan malam. Dia ingin memuaskan jiwa dan raga Wina.Wina tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa, jadi dia hanya diam menatap Jihan selama beberapa detik sebelum akhirnya mengubah topik pembicaraan, "Kamu haus? Mau minum?"Jihan pun menenangkan dirinya dan menggeleng kecil. "Wina, nanti biar Daris saja
Wina berjaga semalaman, dia terus memantau kondisi Jihan.Rasa lelahnya baru muncul saat sinar matahari pagi menembus jendela kamar.Jihan juga perlahan terbangun. Dia membuka matanya yang masih setengah mengantuk, lalu menatap Wina yang sedang bersandar di kepala tempat tidur. Kepala Wina terangguk-angguk menahan kantuk.Sinar matahari yang hangat pun mengenai tubuh Jihan dengan suasana yang terasa begitu tenteram.Hanya dengan melihat Wina seperti ini saja sudah bisa mengurangi rasa sakit di tubuh Jihan setelah efek obat pereda nyerinya habis.Seulas senyuman kecil pun tersungging di bibir Jihan yang pucat, membuat sudut matanya tampak menyipit.Tiba-tiba, Wina yang sedang tertidur dengan lelap itu membuka matanya dan refleks menyentuh dahi Jihan. Sepertinya Wina terlalu mengkhawatirkan kondisi Jihan.Namun, begitu menatap mata Jihan, Wina mendadak tidak bisa memalingkan wajahnya. Rasanya seperti ada magnet dalam mata Jihan yang menarik Wina.Ketampanan Jihan benar-benar tidak bisa d
"Gimana kondisi Pak Jihan?"Lilia awalnya ingin memeriksa kondisi Jihan, tetapi pria itu menolak diperiksa oleh dokter wanita dan hanya memperbolehkan dokter pria.Jihan melarang siapa pun menyentuhnya karena fobia terhadap kuman yang dia miliki. Satu-satunya orang yang bisa menyentuhnya adalah Wina. Yah, tidak masalah juga hati Jihan tertambat pada satu orang seperti ini."Lukanya cukup parah, tapi untungnya nggak sampai merusak organ dalamnya. Dokter bilang dia cukup minum obat supaya bisa pulih.""Terus, acara nikah kalian gimana?"Sara pun bertanya sambil mengernyit. Senin minggu depan sudah Hari Kasih Sayang, tetapi mana mungkin Jihan bisa menikah dengan Wina dalam kondisi yang terluka parah?"Yah, terpaksa diundur. Nanti akan kudiskusikan tanggal lain dengannya. Sekarang dia cuma bisa istirahat di tempat tidur."Walaupun Wina ingin sekali tetap mengadakan acara pernikahannya sesuai jadwal, dia tidak mungkin memaksakan kehendak dan mengabaikan kondisi kesehatan Jihan, 'kan?Sara p
"Kebetulan Reo mengambil jurusan psikologi anak dan pintar banget dalam bidang itu. Pas banget nih waktunya, nanti akan kuminta dia ke sini," kata Lilia."Reo memang hebat banget. Kalian itu pasangan yang serasi tahu. Kapan akta pernikahan kalian akan diambil?" sahut Sara."Setelah acara pernikahan Pak Jihan dan Wina selesai," jawab Lilia. "Aku nggak mungkin melangkahi bosku dalam masalah kayak gini, 'kan?"Sara pun tertawa dengan geli. Setelah itu, dia bertanya dengan kaget seolah baru menyadari bahwa Wina masih berdiri di sampingnya, "Loh, Wina? Kok masih di sini?"Wina terdiam lagi.Pada akhirnya, Wina memerintahkan para pengawal untuk menjaga Sara dan yang lainnya, lalu pulang ke rumah Keluarga Lionel bersama Daris.Jihan sudah bangun. Sekelompok orang yang bertopeng berdiri di dalam kamar Jihan, Zeno berdiri paling depan.Sebelum Wina membuka pintu dan masuk, suara dingin Jihan yang khas itu terdengar dari dalam,"Zeno, serahkan bukti bahwa Robert-lah yang menabrak Alan mati denga
Pada dasarnya, Jihan memang selalu bertindak semaunya dan tidak bisa dihalangi oleh siapa-siapa.Wina pun membuka pakaian rumah Jihan yang longgar dan kasual, lalu memperhatikan perban yang menutupi sekujur punggung Jihan.Demi mengurus masalah Robert, Jihan sampai berganti baju dan turun dari kasur.Walaupun lukanya belum sembuh, pria itu tetap bersikeras mau menikah sesuai dengan rencana awal. Mana mungkin Wina tega membiarkannya begini?"Kamu istirahat dulu, ya? Nanti kita bicarakan lagi soal acara pernikahan kita."Wina menurunkan pakaian Jihan dengan lembut, lalu menggandeng lengan Jihan hendak memapah pria itu kembali ke atas kasur. Namun, Jihan mencengkeram pergelangan tangan Wina."Wina, kamu sudah nggak mau menikah lagi, ya?"Jihan menunduk menatap Wina dengan mata yang tampak memerah. Dia sudah lama mendambakan pernikahannya dengan Wina, tetapi Wina malah mengatakan "nanti dibicarakan lagi" dengan begitu santainya."Aku cuma takut lukamu ....""Sekalipun aku sudah mati, aku a
Walaupun Sara memiliki aset lebih dari ratusan miliar dengan pendapatan tahunan sebesar puluhan miliar lebih, tetap saja dia merasa getir mengeluarkan 200 juta begitu saja.Bukannya dia tidak rela, tetapi dia merasa seperti tertipu! Kenapa bisa-bisanya dia bertaruh seperti itu dengan Lilia?Dasar kekanak-kanakan!Pikirannya terlalu sempit!Sara duduk di sofa sambil memukuli bantalnya, lalu mengutuki kebodohannya sendiri sambil menggertakkan gigi. Gisel sontak tertawa dengan geli ....Lilia tertegun sesaat menatap tawa Gisel, lalu berkata, "Sara, lihat, Gisel ketawa."Sara juga melihat tawa Gisel, jadi dia mencubit wajah mungil Gisel dengan gemas. "Sudahlah. Melihatmu tertawa membuatku merasa sepadan ngeluarin uang segitu."Lilia pun menekuk lututnya dan menyandarkan siku di atasnya, lalu menumpukan dagunya pada satu tangan sambil menatap Gisel.Melihat Gisel yang kembali menunduk bermain balok setelah tertawa itu membuat Lilia mendadak merasa penuh dengan perasaan mendamba."Sara, past
Sara meletakkan ponselnya dengan perasaan yang sudah tidak lagi berkecamuk, lalu duduk di atas karpet dan bertanya kepada Lilia, "Bukannya waktu itu kamu bilang mau mengenalkanku dengan kenalan doktermu? Kapan aku bisa bertemu dengannya?""Bukannya setelah kencan buta waktu itu kamu bilang nggak akan mau kencan buta lagi?" tanya Lilia sambil menatap Sara dengan kaget.Waktu itu, Manajer Kerry memberi tahu Sara bahwa dia ingin mengenalkan pasangan kencan buta untuk Sara. Siapa sangka pasangan itu ternyata Manajer Kerry sendiri.Sara duduk di dalam kafe sambil menatap Manajer Kerry yang menyatakan cinta kepadanya dengan gemetar. Sara merasa geli sekaligus kesal.Dia tidak menyangka bahwa selama ini ternyata Manajer Kerry memendam rasa kepadanya. Sebenarnya, Manajer Kerry adalah pasangan yang sepadan untuknya. Mereka sama-sama sedang mencari pasangan hidup untuk kedua kalinya.Masalahnya, Sara tidak merasa tertarik atau memiliki perasaan apa pun kepada Manajer Kerry. Dia hanya menganggap