Wina menatap telapak tangannya yang terluka selama beberapa detik sebelum akhirnya balas mengangguk kecil kepada Jihan."Ya, nggak apa-apa."Ya, memang tidak jadi masalah. Wina yang sudah merasa sangat lelah dengan hubungan ini sudah tidak peduli lagi apa yang Jihan lakukan kemarin malam.Setelah semalaman duduk di bangku jalanan Walston, sekarang akal sehat Wina sudah kembali ....Memang Wina dan Jihan terlahir dari dunia yang berbeda. Ibarat dalam rantai makanan, yang satu berada di atas dan yang satu lagi berada di bawah.Wina tidak akan bisa memahami puncak rantai makanan itu seperti apa, dia cuma tahu sisi sempitnya.Yaitu bahwa orang-orang kelas atas bisa menghancurkan rasa percayanya kepada Jihan yang baru saja dipupuk.Selama ini, Wina tidak pernah menganggap kesenjangan status itu masalah yang berarti. Dia selalu beranggapan bahwa selama berani mencintai, akhir bahagia akan menantinya.Namun ....Kenyataannya, sewaktu berkencan di restoran Privon, Wina tidak bisa membaca menu
Wina balas mengangguk. "Kamu sendiri yang bilang 'kan, hubungan ini akan berakhir begitu barang-barangku ketemu? Karena sekarang sudah ketemu, jadi ayo akhiri."Tubuh Jihan sontak menegang. Rasa sakit yang begitu hebat pun menjalari sekujur tubuh Jihan sampai-sampai matanya tampak memerah dan dadanya terasa sangat sesak.Jihan menggertakkan giginya, urat-uratnya tampak menonjol di dahinya. Meskipun begitu, Jihan memilih untuk menahan emosinya. Dia meraih tangan Wina dengan paksa, lalu mengoleskan obat merah itu ke telapak tangan Wina.Perubahan sikap Jihan yang mendadak ini membuat Wina menatap pria itu dengan waspada. Dia tidak lagi merasa terharu dengan kehangatan yang Jihan berikan kepadanya.Wina menunggu Jihan selesai membalut tangannya, lalu berkata kepada pria itu dengan tenang, "Tuan Jihan, aku sudah membeli tiket pulang ke tanah air, jadi hari ini aku akan angkat kaki dari sini. Terima kasih sudah mengurusku selama ini."Ucapan Wina yang terdengar begitu mantap dan tanpa kerag
Wina sontak menatap Jihan dengan kaget, dia tidak menyangka Jihan akan berkata seperti itu ....Wina pun mengernyit, ekspresinya terlihat tidak percaya. "Jihan, kamu 'kan aslinya nggak sebegitunya mencintaiku, jadi kenapa ....""Wina, kayaknya kamu harus mencungkil hatiku baru tahu bahwa aku memang mencintaimu," sela Jihan.Wina pun teringat bagaimana Jihan mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Wina dan merawat Wina dengan sepenuh hati. Itu semua pasti Jihan lakukan karena cinta.Namun, kenyataannya memang Jihan memperlakukan Wina dengan dingin setelah berhasil mendapatkan Wina. Kejadian tadi malam membuat emosi Wina tersulut.Wina pun tertawa dengan getir di dalam hati. Tidak peduli sehebat apa pun dia, pokoknya dia tidak mungkin bisa sepadan dengan Jihan. Lebih baik tidak usah menjalin keterikatan yang tidak perlu.Wina menepiskan tangan Jihan yang sedang menangkupi wajahnya, lalu mengeluarkan dua buah kartu ATM yang Jihan berikan kepadanya dari dalam tas dan mengembalikannya ke
Bahu Wina terasa sakit. Jihan menggigitnya dengan begitu kuat seolah-olah hendak menandai Wina.Namun, Wina menahan rasa sakit itu. Dia menoleh menatap Jihan yang tampak sudah seperti orang kesetanan. "Jihan, kalau kamu begini, yang ada aku cuma akan membencimu."Jihan sontak menjadi ragu, tetapi dia akhirnya berkata dengan nada tidak peduli, "Bencilah aku kalau begitu. Setidaknya, itu jadi bukti bahwa ada aku dalam hatimu."Sorot tatapan Jihan pun berubah menjadi tajam. Jihan menggigit Wina lagi.Kali ini, Wina sampai berkeringat dingin menahan sakit saking kencangnya gigitan Jihan. Akan tetapi, Jihan mengabaikan rasa sakit yang Wina alami. Pria itu sepertinya sudah tidak bisa berpikir dengan jernih, yang terpenting baginya adalah meninggalkan bekas ciumannya di tubuh Wina.Jihan baru melepaskan Wina setelah sudah puas menggigit, jemarinya yang lentik dan terasa dingin pun menelusuri setiap jengkal kulit Wina yang terekspos."Oke, sekarang saatnya kita bikin anak ...."Jihan pun menga
Jihan menindih Wina ke atas kasur dan kembali menyerangnya, membuat Wina yang sudah sakit kepala kini menjadi gemetar.Sikap Jihan yang begitu dingin ini membuat sorot tatapan Wina menjadi makin kecewa. "Jadi, kamu baru mau melepaskanku kalau sudah puas bersenang-senangnya?""Aku nggak akan pernah merasa cukup denganmu, jadi berhentilah berpikir untuk pergi," jawab Jihan sambil membelai kulit Wina secara perlahan.Sentuhan Jihan yang dingin tak berperasaan itu membuat Wina ingin menghindar karena takut, tetapi dia tidak bisa bergerak karena Jihan menindihnya.Wina pun mengepalkan tangannya dan menatap Jihan sambil bertanya, "Kamu pikir aku nggak akan pergi kalau sudah hamil anakmu?""Kalau kita punya anak, kamu pasti akan selamanya bersamaku, Wina," jawab Jihan sambil tersenyum dengan keji.Ekspresi Jihan terlihat seperti sedang membayangkan hidup bahagia bersama Wina dan anak mereka.Wina menatap Jihan selama beberapa saat, lalu akhirnya berkata dengan dingin, "Aku akan tetap pergi se
Tidak lama kemudian, mobil pun tiba di rumah sakit. Jihan bergegas masuk ke UGD sambil tetap menggendong Wina.Setelah menerima telepon dari saluran khusus, kepala rumah sakit pun bergegas turun dan langsung mendorong Wina yang terbaring tidak sadarkan diri ke ruang penanganan darurat.Jihan sekali lagi duduk di lantai yang dingin sambil memandangi pintu yang tertutup. Dia benar-benar terlihat seperti seseorang yang kehilangan jiwanya.Begitu si kepala rumah sakit berjalan keluar, Jihan baru menengadah menatap dokter itu."Tenang saja, Tuan Jihan, kondisi pasien tidak begitu serius. Pasien hanya mendadak tidak sadarkan diri karena kekurangan gizi dan kecapean."Hati Jihan yang semula mati rasa pun mulai bangkit sedikit ...."Kondisi bagian tubuh Wina yang lain ..." tanya Jihan sambil menatap si kepala rumah sakit."Tidak ada masalah, jadi tenang saja," jawab si kepala rumah sakit dengan nada menenangkan.Jihan mencengkeram lututnya. Dia sudah tahu jawabannya, tetapi menolak putus asa d
Wina melirik Jihan, lalu bertanya dengan tenang, "Jihan, apa kamu baru mau melepaskanku setelah aku melahirkan seorang anak?"Tubuh Jihan sontak menegang, tetapi dia hanya menundukkan kepalanya. Jihan tidak berani menatap Wina ....Wina mengabaikan respons Jihan dan melanjutkan, "Aku nggak keberatan melahirkan anakmu, tapi tolong lepaskan aku setelah anakmu lahir."Wajah Jihan seketika menjadi pucat, sekujur tubuhnya terasa dingin ....Jihan pun perlahan menengadah, lalu menatap Wina yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Ekspresi Wina yang terlihat sangat datar sontak membuat dada Jihan terasa begitu sesak.Jihan menatap Wina selama beberapa saat, lalu jemarinya yang gemetar dan terasa dingin mengusap pipi Wina yang selalu membuat Jihan makin jatuh cinta setiap kali Wina tersenyum."Nggak usah, Wina .... Aku ... aku akan melepaskanmu."Jihan mengucapkan ketiga kata terakhir itu dengan sangat lambat dan pelan seolah-olah dia menggunakan segenap tenaganya.Sorot tatapan Jihan terli
Jihan memandang Wina dalam diam selama beberapa saat, lalu melepaskan genggamannya dengan lembut, menyelimuti tubuh Wina, bangkit berdiri dan keluar dari bangsal.Jihan pulang ke vila dan pergi ke dapur untuk memasak semangkuk bubur. Dia memasak dengan begitu hati-hati seolah-olah ini adalah kali terakhir dia bisa memasak untuk Wina.Setelah buburnya matang, Jihan menuangkannya ke dalam wadah. Jihan juga menyiapkan beberapa lauk kesukaan Wina dengan penuh perhatian, lalu membawa semua makanan itu kembali ke rumah sakit.Wina yang merasa lelah pun tidur sebentar selagi Jihan pulang ke vila. Begitu melihat Jihan masuk kembali ke kamarnya sambil membawa begitu banyak makanan, tenggorokan Wina sontak terasa tercekat.Jihan meletakkan satu per satu kotak bekal di atas lemari sebelah kasur, lalu mengeluarkan sebuah mangkuk kecil dan mengisinya dengan bubur.Setelah itu, Jihan duduk di tepi kasur sambil menatap Wina yang juga sedang memandangnya dengan tenang. "Wina, kamu pasti lapar karena s