Suara Wina terdengar begitu lirih seolah-olah dia sudah menghabiskan segenap tenaga dan keberaniannya untuk memanggil nama Jihan.Hujan yang deras terus mengguyur tubuh Wina yang kotor.Pada akhirnya, Wina berbaring di atas genangan air sambil menatap langit malam.Wina memperhatikan air hujan yang turun sambil disinari lampu jalanan, lalu mendadak tertawa.Ya ampun, langit saja mentertawakan kebodohannya ....Kenapa dia tidak kapok juga dan tetap memutuskan untuk memberi kesempatan sekali lagi kepada Jihan hanya karena dia masih belum bisa melepaskan Jihan ....Apa pernah mati sekali masih belum bisa menyadarkan Wina?Dia begitu mencintai Jihan sampai-sampai dia tidak pernah ragu untuk kembali ke pelukan pria yang berulang kali menyakitinya.Begitu teringat akan betapa menyakitkannya masa lalu, Wina pun tiba-tiba tertawa terbahak-bahak ....Tawa Wina yang begitu getir, ditambah dengan wajahnya yang sangat pucat, membuat Wina terlihat jauh lebih menyedihkan dibandingkan saat sebelum d
Setelah duduk lama di atas bangku itu, Wina akhirnya mengusap air matanya.Setelah membalas pesan Sam, Wina kembali ke tampilan layar utama dan menyadari bahwa ada beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor yang tidak dikenal kemarin malam. Nomor itu terdaftar sebagai nomor dari Walston.Wina baru sempat melihat sekilas karena layar ponselnya mendadak mati. Wina menekan tombol daya, tetapi ponselnya tidak mau menyala. Baterai ponselnya kehabisan daya.Wina pun tidak ambil pusing dengan nomor asing yang meneleponnya itu, lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Wina bangkit berdiri, menyetop taksi, kemudian pulang ke vila.Wina menyelinap masuk melalui taman belakang dan diam-diam menuju kamar tidur di lantai dua.Pelayan yang sedang mengangkat telepon dari Jihan pun menjawab dengan hormat, "Tuan, Nona Wina masih tidur."Jihan yang tidak berhasil menelepon Wina pun mengernyit. "Biasanya jam segini dia sudah bangun, kenapa sekarang masih tidur?"Pelayan itu pun sontak menjadi p
Setelah keluar dari kawasan kumuh itu, mereka semua pun kembali ke pintu belakang hotel dan memarkir mobil di tempat yang tidak diawasi.Jihan dan Valeria melepas topeng mereka dengan kompak, lalu melemparkannya pada Zeno untuk dihancurkan. Setelah itu, mereka turun dari mobil dan bergegas memasuki hotel.Mereka berdua memasuki lift dengan sistem pengawasan yang sudah dimodifikasi, lalu segera kembali ke kamar masing-masing dengan rute khusus.Saat hendak menutup pintu, Valeria pun berjalan ke hadapan Jihan."Terima kasih sudah mewakili kakakku menyelamatkan markas besar dari orang-orang itu. Aku pasti nggak bisa melakukannya sendiri.""Lalu, terima kasih juga kemarin malam sudah bersedia jadi pacar bohonganku untuk memperkuat alibiku. Aku memang mudah jadi sasaran karena status khususku."Jihan tidak punya waktu untuk meladeni Valeria, jadi dia segera berbalik badan hendak pergi dari pintu masuk utama."Tunggu sebentar, Tuan Malam."Valeria berjalan menghampiri Jihan dengan sepatu hak
Wina menatap telapak tangannya yang terluka selama beberapa detik sebelum akhirnya balas mengangguk kecil kepada Jihan."Ya, nggak apa-apa."Ya, memang tidak jadi masalah. Wina yang sudah merasa sangat lelah dengan hubungan ini sudah tidak peduli lagi apa yang Jihan lakukan kemarin malam.Setelah semalaman duduk di bangku jalanan Walston, sekarang akal sehat Wina sudah kembali ....Memang Wina dan Jihan terlahir dari dunia yang berbeda. Ibarat dalam rantai makanan, yang satu berada di atas dan yang satu lagi berada di bawah.Wina tidak akan bisa memahami puncak rantai makanan itu seperti apa, dia cuma tahu sisi sempitnya.Yaitu bahwa orang-orang kelas atas bisa menghancurkan rasa percayanya kepada Jihan yang baru saja dipupuk.Selama ini, Wina tidak pernah menganggap kesenjangan status itu masalah yang berarti. Dia selalu beranggapan bahwa selama berani mencintai, akhir bahagia akan menantinya.Namun ....Kenyataannya, sewaktu berkencan di restoran Privon, Wina tidak bisa membaca menu
Wina balas mengangguk. "Kamu sendiri yang bilang 'kan, hubungan ini akan berakhir begitu barang-barangku ketemu? Karena sekarang sudah ketemu, jadi ayo akhiri."Tubuh Jihan sontak menegang. Rasa sakit yang begitu hebat pun menjalari sekujur tubuh Jihan sampai-sampai matanya tampak memerah dan dadanya terasa sangat sesak.Jihan menggertakkan giginya, urat-uratnya tampak menonjol di dahinya. Meskipun begitu, Jihan memilih untuk menahan emosinya. Dia meraih tangan Wina dengan paksa, lalu mengoleskan obat merah itu ke telapak tangan Wina.Perubahan sikap Jihan yang mendadak ini membuat Wina menatap pria itu dengan waspada. Dia tidak lagi merasa terharu dengan kehangatan yang Jihan berikan kepadanya.Wina menunggu Jihan selesai membalut tangannya, lalu berkata kepada pria itu dengan tenang, "Tuan Jihan, aku sudah membeli tiket pulang ke tanah air, jadi hari ini aku akan angkat kaki dari sini. Terima kasih sudah mengurusku selama ini."Ucapan Wina yang terdengar begitu mantap dan tanpa kerag
Wina sontak menatap Jihan dengan kaget, dia tidak menyangka Jihan akan berkata seperti itu ....Wina pun mengernyit, ekspresinya terlihat tidak percaya. "Jihan, kamu 'kan aslinya nggak sebegitunya mencintaiku, jadi kenapa ....""Wina, kayaknya kamu harus mencungkil hatiku baru tahu bahwa aku memang mencintaimu," sela Jihan.Wina pun teringat bagaimana Jihan mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Wina dan merawat Wina dengan sepenuh hati. Itu semua pasti Jihan lakukan karena cinta.Namun, kenyataannya memang Jihan memperlakukan Wina dengan dingin setelah berhasil mendapatkan Wina. Kejadian tadi malam membuat emosi Wina tersulut.Wina pun tertawa dengan getir di dalam hati. Tidak peduli sehebat apa pun dia, pokoknya dia tidak mungkin bisa sepadan dengan Jihan. Lebih baik tidak usah menjalin keterikatan yang tidak perlu.Wina menepiskan tangan Jihan yang sedang menangkupi wajahnya, lalu mengeluarkan dua buah kartu ATM yang Jihan berikan kepadanya dari dalam tas dan mengembalikannya ke
Bahu Wina terasa sakit. Jihan menggigitnya dengan begitu kuat seolah-olah hendak menandai Wina.Namun, Wina menahan rasa sakit itu. Dia menoleh menatap Jihan yang tampak sudah seperti orang kesetanan. "Jihan, kalau kamu begini, yang ada aku cuma akan membencimu."Jihan sontak menjadi ragu, tetapi dia akhirnya berkata dengan nada tidak peduli, "Bencilah aku kalau begitu. Setidaknya, itu jadi bukti bahwa ada aku dalam hatimu."Sorot tatapan Jihan pun berubah menjadi tajam. Jihan menggigit Wina lagi.Kali ini, Wina sampai berkeringat dingin menahan sakit saking kencangnya gigitan Jihan. Akan tetapi, Jihan mengabaikan rasa sakit yang Wina alami. Pria itu sepertinya sudah tidak bisa berpikir dengan jernih, yang terpenting baginya adalah meninggalkan bekas ciumannya di tubuh Wina.Jihan baru melepaskan Wina setelah sudah puas menggigit, jemarinya yang lentik dan terasa dingin pun menelusuri setiap jengkal kulit Wina yang terekspos."Oke, sekarang saatnya kita bikin anak ...."Jihan pun menga
Jihan menindih Wina ke atas kasur dan kembali menyerangnya, membuat Wina yang sudah sakit kepala kini menjadi gemetar.Sikap Jihan yang begitu dingin ini membuat sorot tatapan Wina menjadi makin kecewa. "Jadi, kamu baru mau melepaskanku kalau sudah puas bersenang-senangnya?""Aku nggak akan pernah merasa cukup denganmu, jadi berhentilah berpikir untuk pergi," jawab Jihan sambil membelai kulit Wina secara perlahan.Sentuhan Jihan yang dingin tak berperasaan itu membuat Wina ingin menghindar karena takut, tetapi dia tidak bisa bergerak karena Jihan menindihnya.Wina pun mengepalkan tangannya dan menatap Jihan sambil bertanya, "Kamu pikir aku nggak akan pergi kalau sudah hamil anakmu?""Kalau kita punya anak, kamu pasti akan selamanya bersamaku, Wina," jawab Jihan sambil tersenyum dengan keji.Ekspresi Jihan terlihat seperti sedang membayangkan hidup bahagia bersama Wina dan anak mereka.Wina menatap Jihan selama beberapa saat, lalu akhirnya berkata dengan dingin, "Aku akan tetap pergi se