Jihan menggendong Wina masuk ke panti asuhan, lalu bersama Lilia membaringkan Wina di atas karpet.Lilia langsung meminta seseorang dari panti asuhan untuk membawakan selang. Lilia pun berulang kali membilas asam sulfat yang membasahi punggung Wina dengan air yang banyak.Tubuh Wina refleks gemetar menahan rasa sakit dari lukanya yang dibasuh air.Hati Jihan jadi terasa begitu sakit ....Dia juga jadi merasa bersalah. Jihan pun berlutut di depan Wina lagi.Jarinya menyentuh wajah Wina yang tampak pucat pasi.Kulit Wina terasa begitu dingin.Jantung Jihan sontak seperti berhenti berdetak. Dia jadi teringat betapa panik dan takutnya dia saat tiga tahun lalu kehilangan Wina ....Jihan pun meletakkan jarinya yang gemetar di bawah hidung Wina. Begitu tidak ada embusan napas yang terasa, sekujur tubuh Jihan langsung terasa lemas."Lilia .... Wina, dia ... dia nggak bernapas ...."Begitu mendengar suara Jihan yang gemetar, Lilia langsung berhenti membilas asam sulfat dari punggung Wina. Dia s
Saat Sara, Daris dan yang lainnya tiba di rumah sakit, yang mereka lihat hanyalah sosok Jihan yang seolah tidak bernyawa.Daris pun berjalan menghampiri Jihan. Saat melihat jari-jemari Jihan menghitam, Daris langsung berkata, "Akan kupanggilkan dokter, Pak Jihan."Daris pun langsung memanggil dokter untuk mengobati luka Jihan.Namun, Jihan sama sekali tidak bereaksi. Dia hanya duduk diam di atas lantai dan membiarkan mereka semua melakukan apa pun yang mereka inginkan ....Sara juga tidak memedulikan Jihan. Dia mengatupkan kedua tangannya dengan erat sambil menatap pintu ruang penanganan yang tertutup.Waktu pun berlalu. Akhirnya, pintu ruang penanganan terbuka ....Lilia yang sudah mengenakan pakaian medis pun berjalan keluar dengan peluh membasahi dahinya.Sesosok hitam langsung bergegas melewati Sara dan menghampiri Lilia."Gimana kondisinya?"Tubuh Jihan tampak basah kuyup, poninya juga basah hingga agak meneteskan air.Namun, Jihan sama sekali tidak ambil pusing dengan semua ini.
Selama berada di ruang ICU, dokter harus berulang kali menolong Wina. Ini karena luka bakar pada punggungnya berukuran luas dan berulang kali terinfeksi.Dua minggu kemudian, Wina akhirnya berhasil bertahan. Namun, saat siuman, rasa sakit yang hebat pun membuatnya kehilangan kesadaran lagi.Lilia langsung mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk menyelamatkan nyawa Wina ....Melihat kejadian ini, Jihan yang berdiri menunggu di luar pintu sambil diinfus sontak merasa begitu sakit dan sesak.Lebih baik dia saja yang tersiram asam sulfat itu dan bukannya Wina.Namun, Wina malah melindunginya demi membalas utang budi ....Jihan menatap Wina dari balik kaca dengan matanya yang berkaca-kaca, Wina sudah berulang kali pingsan karena kesakitan. Jihan merasa sangat sedih dan pilu. Seandainya saja dia bisa menggantikan Wina untuk menanggung semua penderitaan ini.Waktu pun berlalu dengan cepat. Lilia menatap hasil EKG dan menghela napas lega saat melihat tidak ada yang aneh dengan detak jantung Win
Setelah selesai, Jihan pun bertanya dengan lembut, "Mau lagi?"Wina menggelengkan kepalanya, lalu menyadari bekas luka bakar pada jari-jemari Jihan.Wina langsung menengadah menatap Jihan. "Tanganmu ...."Jihan refleks menekuk sedikit jemarinya agar Wina tidak bisa melihat lukanya lagi, lalu tangannya yang tidak terluka mengambil handuk bersih dan mengelap bibir Wina.Karena Jihan tidak menjawab, Wina pun tidak bertanya lebih lanjut. Dia menatap sekeliling dengan saksama, lalu bertanya, "Sudah berapa lama aku nggak sadar?"Setelah mengeringkan bibir Wina, Jihan pun menjawab, "Setengah bulan lebih."Wina pikir dia tidak sadarkan diri selama paling beberapa hari, tidak disangka sampai setengah bulan lebih.Di mana Sara dan Ivan? Kenapa yang dia lihat begitu siuman hanyalah Jihan?Wina ingin bertanya kepada Jihan, tetapi dia memperhatikan Jihan yang memegang kedua sisi wajahnya dengan lembut dan mengganti bantal yang Wina gunakan dengan yang baru.Setelah itu, Jihan mengambil perlengkapan
Jihan membuka pintu kamar rawat. Dia menatap Ivan yang duduk di atas kursi roda, lalu berjalan pergi.Ivan tidak bisa mendengar dengan jelas pembicaraan Jihan dengan Wina di dalam sana. Dia pikir Jihan berjalan pergi karena ada urusan mendadak, jadi dia juga tidak begitu ambil pusing.Ivan memandang Wina yang terbaring di atas ranjang rumah sakit, lalu menggerakkan kursi rodanya memasuki kamar rawat ....Wina sedang melamun menatap ke luar jendela dengan kepala yang dimiringkan. Dia baru tersadar dari lamunannya saat ada seseorang yang menghalangi pandangannya."Ivan ...."Wina pun tersenyum kecil. "Kamu datang ...."Ivan balas mengangguk singkat. Saat melihat perban yang menutupi punggung Wina, ekspresi Ivan pun terlihat pilu."Kamu pasti kesakitan ya, Wina ...."Wina sebenarnya ingin menjawab tidak sambil tersenyum, tetapi begitu bergerak sedikit, rasa sakit yang memilukan langsung menghujamnya sampai-sampai keringat dingin muncul.Ivan refleks hendak menyentuh bahu Wina, tetapi tang
Ivan menatap Wina yang hanya terdiam, sorot matanya menyorotkan senyuman lega."Wina, aku sudah pernah melihat seperti apa sosokmu saat benar-benar mencintai seseorang.""Kamu begitu pemberani dan rela mengorbankan segalanya, bahkan nyawamu, demi orang yang kamu cintai ....""Jadi, aku tahu kamu melindungi Jihan bukan sebatas kamu ingin balas budi, tapi lebih karena kamu mencintainya ...."Ivan menatap wanita yang dia cintai selama separuh hidupnya ini, sorot matanya perlahan-lahan tampak getir ...."Cara kamu mencintainya sekarang sama seperti saat kamu mencintaiku waktu itu. Tapi, aku sudah kehilangan dirimu dan nggak mungkin bisa mendapatkanmu lagi ...."Hati Wina sontak terasa pedih. Matanya pun menjadi berkaca-kaca. "Maaf, Ivan .... Justru akulah yang lebih dulu mengkhianatimu ...."Ivan menggelengkan kepalanya, dia sama sekali tidak menyalahkan Wina. "Akulah yang membuatmu marah sampai kecelakaan mobil itu terjadi. Itu semua gara-gara aku."Sebenarnya, kecelakaan mobil delapan ta
Ivan pun memberikan kontrak itu kepada Wina sambil tersenyum datar.Wina yang berbaring di atas ranjang rumah sakit pun menoleh menatap Ivan dalam diam. Rasanya, dia seperti kembali ke masa lalu.Wina seolah bisa melihat Ivan yang duduk di baris paling belakang di kelas sambil bersandar di meja dengan satu tangan. Ivan balas menatapnya melalui jendela.Sosok Ivan saat itu sama seperti sekarang, tampak berwibawa, elegan, bermartabat dan acuh tak acuh.Ivan dan Wina pun berpandangan seolah-olah sedang saling mengucapkan selamat tinggal kepada sosok mereka di masa lalu.Beberapa saat kemudian, Ivan akhirnya memalingkan pandangannya menatap jam tangan. Saat menengadah menatap Wina lagi, dia terlihat seperti sudah memantapkan hati."Wina, aku akan kembali ke Kota Ostia jam 16.15."Sebenarnya, Wina masih merasa bersalah. Namun, saat melihat sorot tatapan Ivan yang terkesan lega, Wina menyimpan kembali apa yang hendak dia katakan.Wina pun menatap Ivan dengan lembut, sama seperti tatapannya s
Belasan mobil mewah pun diparkir di depan pintu gedung Grup Lionel.Jihan turun dari mobil dengan ekspresi dingin, kaki jenjangnya melangkah menuju ruang CEO.Begitu melihat Jihan buru-buru berjalan pergi, Daris beserta sekelompok pengawal pun segera mengikuti Jihan.Sambil berjalan, Jihan memerintahkan Daris dengan suara dingin, "Siapkan pesawat pribadi ke Walston."Daris mengiakan perintah Jihan, lalu bertanya, "Berapa lama Pak Jihan akan tinggal di Walston kali ini?""Satu tahun," jawab Jihan dengan nada datar.Daris sontak tertegun menatap Jihan. "Kenapa lama sekali, Pak Jihan?"Jihan tidak memberikan jawaban, sorot matanya benar-benar terlihat acuh tak acuh.Daris pun langsung mengerti dan tidak bertanya apa-apa lagi."Baiklah, malam ini aku akan menyiapkan semua keperluan Pak Jihan."Jihan balas mengangguk singkat, lalu berjalan memasuki lift khusus CEO.Di dalam ruang CEO, Jefri sedang duduk di sana sambil memainkan ponselnya. Begitu melihat Jihan berjalan masuk, Jefri langsung