Lilia mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban.Lilia berpikir Wina pasti sedang tidur dan memikirkan cara untuk membuka pintu. Tiba-tiba, terdengar suara seseorang berseru."Kalian siapa? Kenapa berkumpul di depan rumahku?"Beberapa hari ini, Sara mengirim pesan kepada Wina, tetapi tidak ada balasan dari Wina. Wina juga tidak mengangkat panggilan teleponnya. Karena khawatir, Sara pun datang mengecek apakah Wina sudah kembali.Begitu keluar dari lift, Sara melihat ada belasan pria berpakaian hitam. Sara tidak melihat ada Rian dan Lilia karena tertutup oleh sekelompok orang tersebut. Sara pun mengira mereka adalah perampok, jadi mengambil sapu di ujung koridor yang ditinggalkan petugas kebersihan. Sambil memegang sapu itu, Sara bergegas maju dan berteriak.Dia ingin menakuti sekelompok orang itu, tetapi orang-orang itu malah menatapnya dengan mata yang meremehkan.Sara pun tertegun di tempat.Mendengar suara Sara, Rian memberi isyarat kepada pengawalnya untuk menyingkir.Setelah itu, Sa
Lilia tidak bisa menjawab pertanyaan itu, jadi dia hanya menatap Sara sambil tersenyum kecil dan membuat Sara gemetar.Setelah membiarkan mereka duduk di sofa, Sara pergi mengetuk pintu kamar Wina."Wina, ada yang mencarimu."Wina sudah terbangun ketika mendengar ada suara orang masuk ke rumah.Dia tentu mendengar percakapan di luar, hanya saja dia tidak memiliki tenaga untuk bangun.Ketika Wina mencoba untuk bangun dari kasurnya, Sara sudah masuk ke dalam.Sara buru-buru menghampiri Wina ketika melihat Wina yang kesusahan untuk bangun itu."Wina, ada apa denganmu?"Mendengar ucapan itu, Rian dan Lilia langsung datang.Saat Rian ingin masuk ke dalam, Lilia mendahuluinya dan berkata, "Siapa yang dokter di sini? Minggirlah."Lilia mendorong Rian ke samping dan segera masuk ke kamar Wina. Dia menyentuh dahi Wina, lalu mengeluarkan termometer untuk mengukur suhunya."Kamu kehujanan?"Suhu tubuhnya tidak terlalu tinggi, tetapi bagi Wina suhu seperti itu sudah bisa membunuhnya.Wina kehujana
Rian melirik Wina yang sudah memalingkan wajahnya. Rasa sakit di hatinya sekali lagi menjalar ke seluruh tubuhnya sampai membuatnya gemetar."Apa karena kamu jatuh cinta pada Jihan, jadi kamu begitu kejam padaku ....""Wina, aku sudah mencintaimu selama separuh hidupku. Kenapa kamu melakukan ini padaku?"Kebencian tiba-tiba muncul di mata Rian. Kebencian atas kekejaman Wina. Kebencian karena Wina jatuh cinta pada pria lain.Wina memandang Rian, mengepalkan tangannya, menggertakkan giginya dan berkata, "Ya, aku memang jatuh cinta padanya. Kamu juga tahu bagaimana aku mencintai seseorang. Karena aku sudah mencintainya, aku nggak akan pernah berpaling ke orang lain lagi. Jadi tolong kamu lupakan aku, oke?"Saat mendengar kata-kata itu, darah di tubuhnya seketika menjadi dingin dan tubuhnya tidak bisa berhenti gemetar.Rian menjadi sangat marah dan bergegas ke arah Wina, lalu meraih dagunya dan menciumnya.Ciumannya yang kuat dan mendominasi sama seperti sebelumnya, tetapi Wina tidak membe
Wina mengambil dan memakan jeruk itu, tetapi hanya terasa hambar di mulutnya.Ketika menelannya, Wina hampir muntah karena naiknya asam lambungnya.Namun, karena takut Sara akan khawatir, dia memaksa menelannya.Suasana hati Sara sepertinya sedang buruk, dia tidak menyadari ada yang aneh pada Wina dan hanya menunduk sambil mengupas kulit apel.Setelah selesai, dia memberikan apel itu pada Wina, tetapi kali ini Wina tidak memakannya dan menaruhnya ke meja di samping kasur."Sara, Denis sudah memberitahumu berapa banyak utang keluarganya?""Sudah."Sara mengangguk, dia berhenti sejenak sebelum memberi tahu Wina berapa jumlah utangnya."Empat ratus juta."Keluarganya memiliki hutang sebesar 400 juta, tetapi Denis hanya memberi tahu Sara lewat telepon akan melunasi hutang itu tanpa mendiskusikannya dengan Sara."Dia menggunakan uangnya sendiri, bukan uangku ...."Sara lanjut menjelaskan karena takut Wina akan khawatir. Namun, Wina malah merasa perkataan itu malah terdengar sedikit aneh.Ke
Wina menghela napas panjang dan Sara malah tersenyum dan menghiburnya, "Jangan khawatir, aku pasti bisa mengumpulkan uang itu lagi dengan menjual beberapa botol anggur."Mustahil Wina tidak mengkhawatirkannya. Dia tahu Sara menabung selama bertahun-tahun untuk membeli rumah.Semua itu penghasilan dari tips dari minum bersama pelanggan. Dia mengumpulkannya sedikit demi sedikit.Meskipun sejak menjadi manajer, Sara tidak perlu lagi menemani minum para pelanggan itu, dia masih harus bergadang dan bekerja keras agar bisa mengumpulkan lagi sejumlah uang itu.Wina takut Sara akan kelelahan jika bekerja seperti itu, tetapi Sara malah terlihat sangat santai."Yang perlu kamu khawatirkan saat ini adalah hubunganmu dengan Ivan dan Jihan, bukan aku.""Aku sudah nggak ada hubungan dengan mereka, sekarang hanya ada kamu yang di sisiku, jadi aku pasti mengkhawatirkanmu.""Jangan khawatir, aku punya tangan dan kaki. Jika terjadi sesuatu di masa depan, aku pasti bisa bangkit kembali."Sara tidak takut
Rian dan Sara mengobrol sebentar. Ketika membicarakan tentang Wina, ekspresi Rian perlahan menjadi muram."Selama lima tahun, Wina dan Jihan tidak termasuk pacaran, hubungan mereka hanya sebatas kontrak.""Tapi Wina memang jatuh cinta pada Jihan. Kalau dia nggak jatuh hati pada Jihan, mungkin dia akan sulit untuk melupakanmu."Sara tidak menyembunyikan apa pun dari Rian. Dia mengatakan yang sebenarnya dengan harapan Rian akan keluar dari masa lalu secepat mungkin.'Ternyata semua perubahan ini karena aku. Aku melupakannya, lalu dia jatuh cinta pada Jihan.'Rian tidak bisa menjelaskan perasaannya saat ini. Seperti ada lubang di hatinya yang semakin membesar dan menelannya sedikit demi sedikit."Sekali terlewatkan, kamu nggak akan bisa mendapatkannya lagi. Lebih baik kamu segera lupakan dia ...."Setelah mengatakan itu, Sara membuka pintu dan keluar dari mobil.Rian bersandar ke kursi mobil dan menutup mata merahnya.Salah satu pengawal menerima telepon dari seseorang yang berada di Kota
Lilia membawa kantong kertas kelas atas berisikan mantel ke vila.Saat Lilia masuk ke ruang kerja, terlihat pria yang tersinar sisa cahaya matahari terbenam dari jendela.Pria itu berdiri tegap dengan punggung yang terlihat kesepian. Lilia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Yang terlihat hanya dua jari pria itu sedang mengapit sebatang rokok.Asap tipis menempel di sekujur tubuh pria itu, membuatnya tampak misterius, tetapi juga terlihat seperti menahan suatu perasaan.Lilia melirik ke tumpukan puntung rokok di tempat sampah, lalu sedikit mengernyit.Seingat Lilia, Jihan tidak merokok. 'Sejak kapan Jihan jadi kecanduan merokok?'Lilia tahu ini bukan urusannya, jadi segera mengetuk pintu."Masuk."Jihan mengatakan itu tanpa menoleh, seolah dia tidak tertarik pada apa pun.Lilia menghampirinya dengan membawa kantong kertas, "Pak Jihan, Nona Wina memintaku untuk mengembalikan ini pada Anda."Saat Lilia menyerahkan kantong itu, Jihan baru berbalik dan melirik kantong tersebut."Buan
Sebelum meninggalkan Kota Aster, Rian mengirim pesan ke Wina."Aku akan kembali ke Kora Ostia, nggak akan mengganggumu lagi. Jaga dirimu baik-baik."Hanya pesan singkat, tetapi terlihat dia masih menghormati Wina.Mata Wina berkaca-kaca saat membaca pesan itu. 'Ivan masih seperti dulu, dia nggak akan pernah mempersulitku.'Wina ingin membalas sesuatu, tetapi teringat dia sudah menyakiti Rian dengan kejam. Jika dia masih membalas pesan ini akan terlihat dia hanya pura-pura perhatian.Setelah menekan perasaan sedihnya, Wina meletakkan ponselnya dan pergi mandi, lalu keluar rumah.Wina sudah memutuskan hubungan dengan Jihan dan Rian, mereka tidak akan mencari dirinya lagi, jadi dia bisa pergi dengan tenang.Namun, sebelum itu dia harus pergi ke kantor untuk menyelesaikan pengunduran dirinya. Setelah itu, harus mencari waktu yang pas untuk memberi tahu Sara tentang penyakitnya.Sesampai di Grup Nizari, dia langsung mendatangi ruang kantor Winata. Winata yang baru kembali, sedang duduk di s
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je