Penjelasan Vian itu membuat sekujur tubuh Wina terasa dingin, begitu pula dengan tangan dan kakinya. Binar harapan terakhir dalam hatinya akhirnya padam seketika."Ternyata semuanya bohongan ...."Orang yang mengabarkan bahwa dirinya selamat, janji untuk menunggu satu bulan, permintaan untuk menunggu dua bulan lagi, hingga Ivan yang muncul di bulan ketiga. Ternyata semua itu sudah direncanakan ....Jihan benar-benar hebat. Dia memanfaatkan hati Wina yang lembut dan sikapnya yang patuh agar Wina tidak menimbulkan masalah dan menurut padanya seperti boneka ....Begitu melihat senyuman Wina yang terkesan getir dan menghina itu, Vian pun makin merasa bersalah."Ini semua salahku, Nyonya Wina. Aku minta maaf kepadanya dan kepadamu."Lama sekali Wina hanya duduk di sofa, tubuhnya bahkan sampai menggigil kedinginan sebelum akal sehatnya akhirnya kembali.Wina mendekap tangannya dengan erat, lalu perlahan menggerakkan matanya yang terasa pedih dan menatap Vian yang sedari tadi berlutut penuh p
"Untuk menemukan dalang dibalik semua ini. Hanya itu satu-satunya cara untuk menghancurkan Medan Hitam."Hanya dengan menghancurkan Medan Hitam barulah anggota Organisasi Shallon akan aman untuk selamanya. Tujuan Medan Hitam adalah membunuh setiap anggota Organisasi Shallon, termasuk Jihan. Itu sebabnya mereka mau tidak mau turun tangan menyelidiki."Terus, sudah ketemu?"Vian menggelengkan kepalanya, sorot tatapannya terlihat sangat bersalah. Seandainya saja dia membuat pilihan yang tepat, mungkin sekarang mereka masih memiliki kesempatan."Aku awalnya terpikir untuk tetap di sana dan terus melakukan tantangan misi lain sampai aku bertemu dengan dalang Medan Hitam, tapi setelah Jihan memintaku keluar, aku memutuskan untuk pergi."Vian tahu Jihan ingin dia kembali untuk memberitahukan pesannya kepada Wina agar Wina bisa melanjutkan hidupnya. Itu sebabnya Vian memilih untuk menjadi pengantar pesan daripada menjemput ajalnya. Vian tahu sudah tidak ada harapan, tetapi itu adalah permintaa
Setelah mereka pergi, Wina duduk di atas sofa dengan sorot tatapan yang terlihat kosong dan putus asa."Tolong biarkan aku sendiri dulu sebentar, Vian."Suara Wina yang terdengar kesepian, begitu dingin dan putus asa itu pun terdengar menggema di ruang tamu yang sepi.Vian menatap wajah Wina yang agak bengkak dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya tidak mengatakan apa pun.Suara langkah Vian yang berat berangsur-angsur berjalan pergi sehingga akhirnya hanya Wina seorang yang tetap berada di ruangan besar itu.Wina tampak begitu kesepian, aura keberadaannya bahkan nyaris tidak ada. Deru napasnya juga terdengar pelan ....Wina duduk bersandar di atas sofa selama beberapa saat, lalu menengadah menatap matahari terbenam di luar jendela sana dengan pandangan yang mengabur ....Matahari masih bersinar dan dunia masih berputar, hanya Jihan miliknya yang menghilang.Tidak ada yang bisa memahami perasaan Wina saat ini, dia juga tidak bisa memaksakan perasaannya kepada siapa pun.Wi
Alta mengangguk setuju dan menyuruh Gisel untuk menunggu Jihan pulang di rumah dengan patuh. "Aku pasti akan menunggu dengan patuh sampai Paman kembali," janji Gisel. "Paman juga sudah berjanji kepadaku akan menemaniku tumbuh dewasa, lalu menikahkanku."Anak-anak itu mudah dibujuk karena cara pikir mereka sederhana, tetapi Alta tidak dapat membohongi dirinya sendiri. Dia pun menengadah menatap matahari terbenam di puncak gunung. Sama seperti matahari itu, Alta berharap Tuan Malam akan bangkit kembali seperti fajar.Saat Alta sedang menemani Gisel sambil menunggu orang-orang di dalam rumah keluar, tiba-tiba sebuah mobil melaju di luar pintu. Bunyi klakson menyadarkan Paman Rudi yang sedang menjaga pintu sambil melamun.Tubuhnya yang sudah tua perlahan bangkit berdiri dan menatap orang yang duduk di dalam mobil. Setelah melihat dengan saksama, Paman Rudi menekan tombol buka dengan gemetar.Hari ini adalah hari yang istimewa. Wina memang meliburkan para pelayan, tetapi Paman Rudi sudah di
Wina tidak menolak tawaran Sara untuk tinggal menemaninya. Wina tahu bahwa orang-orang di sekitarnya akan diam-diam menemaninya dan memberinya rasa nyaman di tengah situasi seperti ini.Wina tidak menangis atau merajuk, dia hanya diam membiarkan Sara merawatnya dan sesekali menemani Gisel mengerjakan PR. Segalanya berjalan seperti biasa tanpa ada yang berbeda.Bahkan Paman Rudi dan Alta mengira Wina sudah perlahan-lahan bisa bangkit dari rasa sedihnya. Tentu saja mereka ikut merasa bahagia. Setelah kehilangan tuan mereka, satu-satunya sosok yang tetap bisa menguatkan mereka saat ini adalah nyonya mereka.Wina membuat semua orang menurunkan penjagaan mereka, lalu membawa guci abu Zeno ke rumah sakit.Sejak mengetahui kematian Zeno, Cessa jatuh sakit dan harus mengandalkan infus untuk bertahan hidup.Begitu melihat Wina muncul sambil membawa guci abu itu, Cessa yang sudah berhenti menangis kembali menitikkan air matanya.Namun, kali ini dia tidak buru-buru menampar atau menyalahkan Wina
Masalahnya, begitu akal sehat seseorang kembali, mereka cenderung bisa menerima hal-hal yang semula tidak bisa mereka terima.Jitu sebabnya saat Cessa melihat tulang-belulang yang berserakan itu, dia menyadari bahwa Zeno memang benar-benar sudah tiada ....Lama sekali Cessa hanya menatap tulang-belulang yang berserakan itu, lalu perlahan mendorong Jodie yang juga tertegun menjauh. Sambil bertumpu pada tepi ranjang rumah sakit, Cessa perlahan berjongkok merentangkan kakinya dan meletakkannya di atas lantai yang dingin.Cessa menyentuh tulang-tulang itu dengan jari-jarinya yang kurus, rasanya dia bisa melihat pemandangan menyedihkan Zeno yang ditelan ular. Bahkan sekilas bayangan itu saja sudah cukup untuk membuat Cessa gemetar ketakutan ....Cessa mengambil sebuah tulang dengan gemetar dan memeluknya. Dia tiba-tiba tidak mampu berbicara seolah-olah dia adalah patung.Sepertinya Cessa lebih putus asa mengetahui bahwa Zeno meninggal dengan tragis dibandingkan saat tahu bahwa Zeno sudah ti
Wina berjalan keluar dari rumah sakit sambil membawa laporan itu. Dia memperhatikan lalu lintas yang ramai dan mendadak tidak tahu harus ke mana.Setelah berdiri termangu selama beberapa saat, Wina akhirnya bersandar ke dinding dan duduk perlahan di tangga. Pikirannya yang terasa kosong dipenuhi dengan gambaran Jihan yang menggendongnya, menciumnya dan mengutarakan rasa cintanya.Wina membayangkan akan seperti apa ekspresi Jihan seandainya Jihan ada di sini dan tahu mengenai kehamilannya? Apa wajah Jihan yang sedingin es itu akan tampak bahagia? Atau apa mungkin Jihan akan menggendongnya seperti calon ayah kebanyakan di luar sana saking bahagianya?Wina tidak bisa membayangkan ekspresi Jihan. Yang jelas, Wina sangat merindukan Jihan. Rindu yang tidak manis, melainkan begitu pilu. Rasa rindu karena kehilangan orang yang dia cintai selamanya.Wina memandangi kerumunan orang yang berjalan seorang diri. Dia berharap Jihan yang ketampanannya tidak tertandingi oleh siapa pun itu akan mendada
"Aku nggak apa-apa, aku cuma susah tidur. Aku minta dokter meresepkan obat lebih banyak," jawab Wina dengan tenang sambil menggelengkan kepalanya.Alta pun hendak mengambil obat itu dari tangan Wina, tetapi Wina menghindar. "Aku bisa sendiri kok, ini bukan masalah besar."Alta tidak bertanya lagi, dia hanya menatap ke arah daun emas yang semula Wina pegang. Jaraknya terlalu jauh tadi, jadi Alta tidak melihat ukiran di belakang daun emas itu ataupun catatan yang ada di dalam kotak. Yang Alta tahu, ada seorang laki-laki yang meminta si anak perempuan untuk memberikan sehelai daun emas kepada Wina.Wina tidak mengatakan apa-apa soal itu dan Alta juga tidak enak bertanya, jadi Alta berpura-pura tidak tahu. Bagaimanapun juga, tugasnya adalah melindungi Wina. Masalah pribadi Wina lainnya berada di luar kendalinya.Saat Wina berbalik membawa obatnya, dia melihat Jodie yang tingginya sama dengan Jihan berdiri di pintu lobi rumah sakit dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Jodie sedang menung