Share

9. Ibu Susu

Author: Erwintiyati
last update Huling Na-update: 2024-02-12 00:17:20

Tujuh jam di bus bersama bayi yang baru berusia dua bulan memang cukup menguras jiwa dan raganya. Aggun menjemputnya di terminal, lalu langsung bergerak ke Selatan menuju rumah yang katanya bisa dia tinggali. Rumah tiga lantai itu -yang meskipun cat putihnya terlihat sedikit kusam- sebenarnya jauh dari prediksi Ria. "Kukira tak semewah ini," ujarnya sambil mengamati setiap bagian rumah. Kepalanya mendongak demi melihat ujung atapnya.

“Kamu bisa tinggal di sini sesuka kamu. Gratis. Yang penting kamu rawat. Setidaknya aku nggak perlu ngeluarin uang untuk jasa cleaning service," jelas Anggun.

Ria meringis, lalu mencubit lengan sahabatnya. "Makasih, ya."

Anggun memimpin di depan. Ia memilih kunci di tasnya, sementara Ria masih takjub dengan desain kebun kecil tepat di halaman depan yang meneduhkan mata. Ornamen-ornamen penghias taman juga tampak serasi. Ia terlihat modern, namun tetap menunjukkan jiwa seni yang bersejarah.

"Kau bawa Aru dulu ke dalam. Aku bantu masukin barang," kata Anggun begitu berhasil membuka pintu.

Ria menuju mobil dan dengan gerakan setenang mungkin meraih tubuh mungil yang terlelap di kursi. Ia membawanya ke kamar. Rumah itu terlihat bersih dan rapi meskipun tidak ada yang menghuni. Anggun sudah menyiapkan semuanya dengan begitu baik sampai memastikan semua sudut rumah tak ada yang berdebu. Kemarin empat orang langsung ia terjunkan untuk membereskan. 

Anggun tak berlama-lama menemaninya karena sudah dikejar jadwal foto. Dia janji akan datang jika jadwalnya kosong. Ria menggeser gerbang besi warna emas dengan ukiran bunga matahari yang sisi atasnya runcing seperti ujung pisau. Dia masuk kembali. Urusan selanjutnya adalah bersih-bersih badan lebih dulu. Semua tubuhnya terasa lengket. Panasnya Jakarta masih belum bersahabat. Hingga dia selesai mandi, Arunika masih tidur. 

Senja seperti datang lebih cepat. Ia selesai membongkar dan memindahkan barang-barang dari kopernya kedalam lemari. Bel terdengar berbunyi. Ia turun. Seseorang mengantarkan makanan yang Anggun pesan untuknya. Ia masih berdiri di pintu hingga orang itu pergi dengan motornya.

Ia hanya ingin melihat suasana menjelang petang di luar sana. Tak ada yang istimewa. Ria memutuskan untuk masuk kembali. Bersamaan dengan gerakan tangannya menutup pintu, samar-samar dia mendengar tangisan bayi. Dia langsung berlari menuju kamar. Setibanya di kamar, Aru masih tidur. Jadilah dia bingung. Dia keluar menuju balkon, mencari suara tadi. Dia fokuskan telinga, dan entah dari mana sumbernya, tangisan itu masih ada. Merinding bulu kuduknya. Ia cepat-cepat masuk kembali, duduk di sebelah anaknya dan mulai menyantap makanan yang masih hangat, tentunya dengan pikiran dan perasaan tak menentu. 

***

Anggun datang kerumah pagi-pagi sambil membawa sarapan. Ria baru saja selesai memandikan Aru. Semerbak wangi minyak-minyakan untuk bayi terperangkap dia langit-langit ruangan. Tawa si kecil seperti irama yang mengundang keceriaan. Anggun langsung menimbrung menggodanya.

“Aru kamu kasih susu formula?” tanya Anggun begitu menyaksikan Ria menyuapkan susu.

“Iya, Ri. Sumber kehidupan aku kan cuma dari model. Aku belum siap menerima perubahan tubuhku.”

Okay, I see. But... Makanan terbaik buat bayi seusia Aru kan ASI, Ri. Ya, walaupun aku belum punya anak, tapi mama aku itu dokter anak dan selalu mengusung tema pentingnya air susu seorang ibu di seminar-seminarnya. Lagi pula susu formula kan mahal. Uangnya bisa kamu prioritaskan ke yang lain. Apalagi di masa sulitmu sekarang.” 

Ria menyimak nasihat itu. Tapi dia tiba-tiba teringat sesuatu. “Eh, Nggun. Kemarin malam waktu aku ambil orderan makanan, aku dengar ada bayi nangis. Kukira Aru, ternyata dia masih tidur. Sampe aku cek lagi dari teras di atas, masih terdengar, dan aku yakin banget itu bayi nangis," serius sekali Ria bercerita.

Anggun terkekeh. Ria kebingungan. “Itu anak tetangga, Ri. Bu Mita. Anaknya masih bayi, kurang tahu aku usia berapa. Tapi masih bayi banget kok. Dulu aku yang antar dia lahiran ke rumah sakit. Mamaku yang tangani. Mungkin sekitar 6 bulan sepertinya ya sekarang.

Ria ber-oh panjang. Tertawa malu.

Suara dering ponsel dari tas Anggun mengganggu obrolan mereka. Anggun izin menerima panggilan. Sebentar setelah itu, ia izin pamit. "Sering-sering saja main keluar. Kenalan sama Bu Mita. Dia orangnya baik, kok.” tambahnya. Anggun menyampirkan tasnya ke pundak. Dia melambai, dan mencium Aru kecil yang sedang asik gigit-gigit teether sebelum mengucap salam lalu pergi.

Ria menyuapkan kembali susu yang tinggal sedikit. Sengaja dia membuat hanya setengah dari takaran biasanya, itu pun sedikit lebih encer. Hingga gelas susu tadi habis, si kecil menangis. Ria menggendongnya barangkali dapat menghentikan tangisnya. Ternyata tidak berhasil. Dia bawa ke halaman depan dan terus menimangnya. Bu Mita yang Anggun ceritakan sedang menyapu halaman rumah dan melihat kearahnya. Ria mengangguk sambil tersenyum, kemudian masuk kembali.

Sebenarnya dia tahu kalau bayinya masih lapar, tapi dia memilih mengingkari batinnya. Memang tak tega mendengar tangisan itu yang semakin kencang, tapi masih ada hari esok yang harus ditemuinya dan dia harus bertahan selama mungkin.

Kekacauan pikirannya mulai merabai luka-lukanya yang belum terobati. Teringat kembali ia pada laki-laki yang seharusnya menjadi penopang hidupnya. Tapi sekarang dia harus hidup berdua, dan perjuangan kali ini dia lakukan seorang diri. Tangis menjadi bahasa yang paling mudah untuk mengungkapkan. Dia duduk dan memandangi mata kecil yang belum tahu apa-apa itu. Hatinya semakin nanar.

Tiba-tiba pintu diketuk. Dia cepat-cepat megeringkan mata dan pipinya dengan punggung tangan. Sambil menggendong si kecil yang terus menangis, dia membukakan pintu.

“Assalamu’alaikum,” salamnya begitu lembut. Ria menjawab salamnya.  “Maaf, Mbak, saya dengar dari tadi adeknya nangis terus. Bukannya mau ikut campur, saya cuma bermaksud membantu , Mbak,” lanjutnya begitu hati-hati.

 “Iya, Bu,” dia tak mau menjawab panjang lebar.

“Sudah disusui?”

Ria diam. Matanya berkaca kembali. “Sudah saya kasih susu, Bu.”

“Mungkin belum kenyang, coba disusui lagi, Mbak.”

Ria menggelengkan kepala. Kali ini dia benar-benar menangis. Bu Mita jadi bingung dan takut dirinya salah berujar. “Saya tidak menyusuinya, Bu. Tapi susunya juga sudah mau habis. Saya… “ kalimatnya terputus. Dia merasa tak perlu menceritakan keadaannya. Tapi naluri perempuan terus mendesaknya untuk bicara.

“Saya baru datang dari kampung, di sini cuma numpang di rumah Anggun. Belum ada kerjaan, suami saya baru saja meninggal,” kalimat itu terlontar begitu saja. Kini dia sudah tergugu, beradu dengan tangis bayinya.

“Boleh saya menyusuinya?” Bu Mita ternyata sudah basah pipinya. Dia merentangkan pelukan, menunggu  bayi mungil itu diserahkan kepadanya. 

Ria memandang ragu-ragu. Tapi bayi itu terus meronta. Pikirannya sudah tak jernih lagi. Dia kehilangan kendali untuk memikirkan. Keadaan mendesaknya hingga tak mampu berkutik. Perlahan dia serahkan bayinya pada perempuan yang kelihatannya lima atau enam tahun lebih tua darinya.

“Boleh saya susui di dalam?”

Ria menggeser posisinya, memberikan jalan masuk. Bu Mita duduk dan mulai memberikan ASI. Seketika tangis itu mereda, meski terlihat si bayi belum pandai mengisap putingnya karena dari lahir belum pernah menjuampai benda semacam itu. 

Ria menarik napas dalam dan mengembuskannya. Bu Mita tersenyum. 

***

Kaugnay na kabanata

  • Pagi yang Enggan Kembali   10. Pulang

    Seolah tak begitu penting, kasus pembunuhan di ATM rumah sakit itu tutup buku. Baskara berkali-kali naik pitam, tapi tetap saja tak ada perkembangan. Bahkan bapak sampai melabrak ke kantor polisi, tetap saja suaranya tak menembus gendang telinga. “Bapak dan keluarga sabar dulu. Kami masih terus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti. Kalau semua bukti sudah akurat, kami baru berani memutuskan, Pak,” begitu kata polisi tiap kali ditemui. “Dugaan sementara, motif pembunuhan ini adalah perampokan karena dompet korban hilang,” tambahnya. Jauh di kota yang berbeda, Ria pun mulai tak peduli lagi. Dia kesal menunggu kabar. Memikirkannya terus-terusan juga menambah lelah. Percuma menegakkan tekad sekuat apa pun untuk bilang pada dunia betapa sakitnya dia. Orang-orang di atas sana kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri. Maka dia memilih untuk fokus membangun jembatan kehidupan baru untuk dirinya bersama anak semata wayangnya. Dia sedang mencoba ikhlas, dan terus akan begitu. I

    Huling Na-update : 2024-02-12
  • Pagi yang Enggan Kembali   11. Memori yang Abadi

    Kembali di masa sekarang, pada waktu Ria berdiri di balik jendela menyaksikan dua orang yang telah membekaskan arti di dinding hatinya itu mengobrol begitu seru. Ia beralih mendekati kasur setelah hampir satu jam menonton gazibu tempat Aru dan Baskara bercengkerama. Ia berniat untuk tidur. Tapi saat wajah menghadap tepat keatasnya, plafon putih bersih itu seperti mengajak berbincang. Sialnyq, pikiran Ria pun membujuk untuk menanggapi itu. Maka bermunculanlah riuh gemuruh yang satu per satu mengetuk ingatannya. Sebuah percikan listrik seperti menular ke titik-titik lain, merangkai mengantarkan pada sebuah memori. Seperti ada seruan akan adanya hal yang mengganggu dan meminta diselesaikan malam itu juga. Ria mencoba memejamkan matanya, tapi usikan itu kian jelas. Ia mengambil posisi duduk dan mencoba meniliki dirinya. Barangkali ada yang salah seharian ini. Tapi otak tak kunjung menemukan jawaban. Ia sandarkan kepalanya ke headboard. Ia pandangi ruangan luas yang hanya ia tempati seora

    Huling Na-update : 2024-02-16
  • Pagi yang Enggan Kembali   12. Tidak Boleh Jatuh Cinta

    Kejadian semalam cukup membekaskan lelah. Ria rasakan sekujur badannya ngilu sekaligus perih. Beberapa kali dia meminta Aru untuk memijat pundaknya, sebelum bekerja kembali membereskan semua kekacauan di kamar. Baskara juga menyusul ikut membantu. Laki-laki itu meminta Ria dan Aru agar beristirahat saja. Ria menurut, dan beralih menuju dapur, sementara Aru enggan beranjak. Dia tetap bersama Baskara, membantu pekerjaan yang ringan.Baskara ber-aduh lirih untuk yang ke dua kali. Telapak kakinya tertusuk pecahan beling di lantai. Aru bergegas mengambilkan penutup luka dan sandal untuknya."Nggak usah," tolaknya saat Aru juga menyerahkan sandal karet dengan kepala kelinci berwarna merah muda di mukanya.Aru mengangkat kakinya tinggi seraya berseru, "Nih, dari tadi aku aman, Om." Wajahnya serius, seperti tengah berhadapan dengan anak yang pembangkang. Baskara meringis dan memakai sandal itu. Pukul tujuh tepat ketika mereka sedang selonjoran di depan televisi sambil menyeduh teh hangat, s

    Huling Na-update : 2024-02-26
  • Pagi yang Enggan Kembali   1. Pupusnya Cinta Sejati

    "Oke, jari ke ujung rambut. Senyum. Wajah serong kiri," tangan fotografer memberi aba-aba. Perempuan itu mematung sambil berhitung sampai tiga dalam hati. Lalu berganti gaya mengikuti arahan orang di belakang kamera. Di sela-sela fokusnya, ia sadar jika dirinya sedang menjadi target bahan lamunan. Tapi hal itu tak sedikit pun mengusik profesionalitasnya. Ia tetap tampil elegan dengan pesona berkelasnya. Ia serahkan semua keindahan tubuhnya pada lesatan cahaya yang rakus membidik. Ruangan yang membentang luas tanpa sekat itu seolah menjadi panggung miliknya seorang. Stiletto merah terang menambah cantik kaki hingga betisnya yang ramping memanjang. Warna kuning langsat merata memoles kulit. Cerah dan mulus di semua titik. Berhenti sampai di lutut, peplum skirt dengan warna senada membungkus bentukan tubuhnya yang menjual. Lalu disambung kemeja batik lasem bermotif liuk-liuk layaknya batang beserta serpihan batu, yang potongan kainnya menyuguhkan kemolekan membetahkan mata. Rambutnya te

    Huling Na-update : 2022-08-05
  • Pagi yang Enggan Kembali   2. Menuju Babak Baru

    Rasa yang hilang. Hari yang tak akan berulang. Mentari yang juga enggan kembali bersulang. Masa-masa yang dirasanya begitu panjang. Berlalu hanya untuk menambah nganga luka yang terus-terusan meradang. Semakin dieja, semakin menyesakkan untuk dikenang. Pernah ia mencoba untuk berdamai dan mempersilakan siapa pun untuk datang. Tapi ia ternyata selalu kalah oleh gumpalan luka yang kekal bersarang. Ia pernah berjuang untuk melawan dendam yang mengekang, tapi ketakutan tiba-tiba ikut bertandang. Sebanyak apa pun dirinya berusaha, lagi-lagi langit tetap memilih petang, membungkam gemintang. Pandangannya jauh ke atas menembus lapisan tanpa ujung batas. Ia kais-kais sisa hatinya yang tak tercabik. Berkelebat riang dan tawa yang sesaat. Terngiang cita-cita bersama yang saat itu rasanya begitu dekat untuk menjadi nyata. Sayangnya cerita berlangsung singkat. Andai saja bukan dia. Andai saja bukan dirinya. Terkadang dia pun berpikir bahwa mungkin Tuhan memang tak ingin melihatnya bahagia. Ia sud

    Huling Na-update : 2022-08-05
  • Pagi yang Enggan Kembali   3. Ritual Sembilan September

    Malam menuju pukul sembilan. Tak meleset dari janji yang dikatakannya. Ria sudah paham tabiat anak itu. Belum pernah seorang Baskara ingkar. Kecuali untuk satu hal. Ria menyusul dan tertinggal cukup jauh di belakang. Aru sudah berpelukan dengan seorang laki-laki di bingkai pintu. Keduanya saling balas senyum, tapi salah satu tampak bermanja-manja dengan menampakkan wajah kesal. “Om sama Bunda dulu, ya. Aru mau ganti baju," katanya sambil menarik lengan Baskara, menyuruhnya duduk di sofa. "Eh, nggak usah," Baskara hendak mencegah. "Dingin!" tangkis Aru. Dia sudah mengeluyur menaiki tangga. Baskara masih memandang seolah jejak langkah Aru ada di sana. Tertinggal di anak-anak tangga. “Ibu lagi apa, Bas?” Baskara tersadar ia tak sendiri di ruang itu. Dia menutup pintu, lalu duduk. "Nonton tivi, Mbak," jawabnya. Niat hati ingin sekadar menyapa dengan senyum. Akan tetapi dua mata itu bertemu. Tak ada niat. Tak ada rencana. Kejadian singkat tapi getarannya begitu kuat. Ria tak paham

    Huling Na-update : 2022-08-05
  • Pagi yang Enggan Kembali   4. Pemuda Baik Hati

    Kala itu di tahun 1998. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian regional Jawa Tengah, tentu kota itu terbilang maju jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Meskipun begitu, ada bagian di dekat kaki gunung Ungaran, yang mana manusia di sana masih hidup bersama limpahan kekayaan alam. Jauh dari polusi industri dan sibuknya ibu kota provinsi. Sebuah mobil berisi rombongan muda-mudi baru saja memasuki kawasan Semarang. Salah satu yang berada di sana memotret gapura besar bertuliskan selamat datang. Untuk orang-orang seperti mereka, kota ini terlihat jauh lebih menenangkan dibanding kota asalnya. Kendaraan berplat Jakarta itu terus melaju hingga akhirnya berbelok menuju jalan setapak yang lebih sepi, memasuki sebuah pedesaan. Satu orang fokus melihat g****e map di ponselnya. Dua yang lain duduk di belakang dan menikmati pemandagan dari balik jendela di sisi masing-masing. Cukup panjang rute yang mereka tempuh tanpa ada rumah di kanan-kirinya. Sekitar 2 kilometer hanya ada beragam j

    Huling Na-update : 2022-10-05
  • Pagi yang Enggan Kembali   5. Bersatu

    Sebuah pertemuan yang tak terduga. Teman-teman Ria juga kembali ke Jakarta membawa kenangan tak terlupakan. Mereka pulang dua hari kemudian karena memutuskan untuk mengunjungi semua tempat yang Arya rekomendasikan. Anak itu mahir dalam membujuk. Selama tiga hari itu juga akhirnya rombongan mereka mendapat personil baru yang sangat membantu. Bukan hanya paham soal tempat-tempat wisata di Semarang, tapi juga seorang fotografer jempolan. Setidaknya Ria merasa berbangga karena teman-temannya puas. Tak sia-sia mereka datang jauh-jauh. Saat mobil perak itu bergerak meninggalkan dirinya dan Arya yang berdiri di pinggir jalan, saat itu pula ternyata sebuah cerita baru dimulai. Setiap malam ia membuka file berisi foto-foto di komputernya. Ia amati satu demi satu. Bibirnya tersungging tiada henti seiring jemari di mouse menekan-nekan dan membuat foto di layar berganti-ganti. Di sudut bumi yang berbeda, laki-laki itu juga mengamati foto-foto di kameranya sambil rebahan di kasur. Bukan saja kare

    Huling Na-update : 2022-10-05

Pinakabagong kabanata

  • Pagi yang Enggan Kembali   12. Tidak Boleh Jatuh Cinta

    Kejadian semalam cukup membekaskan lelah. Ria rasakan sekujur badannya ngilu sekaligus perih. Beberapa kali dia meminta Aru untuk memijat pundaknya, sebelum bekerja kembali membereskan semua kekacauan di kamar. Baskara juga menyusul ikut membantu. Laki-laki itu meminta Ria dan Aru agar beristirahat saja. Ria menurut, dan beralih menuju dapur, sementara Aru enggan beranjak. Dia tetap bersama Baskara, membantu pekerjaan yang ringan.Baskara ber-aduh lirih untuk yang ke dua kali. Telapak kakinya tertusuk pecahan beling di lantai. Aru bergegas mengambilkan penutup luka dan sandal untuknya."Nggak usah," tolaknya saat Aru juga menyerahkan sandal karet dengan kepala kelinci berwarna merah muda di mukanya.Aru mengangkat kakinya tinggi seraya berseru, "Nih, dari tadi aku aman, Om." Wajahnya serius, seperti tengah berhadapan dengan anak yang pembangkang. Baskara meringis dan memakai sandal itu. Pukul tujuh tepat ketika mereka sedang selonjoran di depan televisi sambil menyeduh teh hangat, s

  • Pagi yang Enggan Kembali   11. Memori yang Abadi

    Kembali di masa sekarang, pada waktu Ria berdiri di balik jendela menyaksikan dua orang yang telah membekaskan arti di dinding hatinya itu mengobrol begitu seru. Ia beralih mendekati kasur setelah hampir satu jam menonton gazibu tempat Aru dan Baskara bercengkerama. Ia berniat untuk tidur. Tapi saat wajah menghadap tepat keatasnya, plafon putih bersih itu seperti mengajak berbincang. Sialnyq, pikiran Ria pun membujuk untuk menanggapi itu. Maka bermunculanlah riuh gemuruh yang satu per satu mengetuk ingatannya. Sebuah percikan listrik seperti menular ke titik-titik lain, merangkai mengantarkan pada sebuah memori. Seperti ada seruan akan adanya hal yang mengganggu dan meminta diselesaikan malam itu juga. Ria mencoba memejamkan matanya, tapi usikan itu kian jelas. Ia mengambil posisi duduk dan mencoba meniliki dirinya. Barangkali ada yang salah seharian ini. Tapi otak tak kunjung menemukan jawaban. Ia sandarkan kepalanya ke headboard. Ia pandangi ruangan luas yang hanya ia tempati seora

  • Pagi yang Enggan Kembali   10. Pulang

    Seolah tak begitu penting, kasus pembunuhan di ATM rumah sakit itu tutup buku. Baskara berkali-kali naik pitam, tapi tetap saja tak ada perkembangan. Bahkan bapak sampai melabrak ke kantor polisi, tetap saja suaranya tak menembus gendang telinga. “Bapak dan keluarga sabar dulu. Kami masih terus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti. Kalau semua bukti sudah akurat, kami baru berani memutuskan, Pak,” begitu kata polisi tiap kali ditemui. “Dugaan sementara, motif pembunuhan ini adalah perampokan karena dompet korban hilang,” tambahnya. Jauh di kota yang berbeda, Ria pun mulai tak peduli lagi. Dia kesal menunggu kabar. Memikirkannya terus-terusan juga menambah lelah. Percuma menegakkan tekad sekuat apa pun untuk bilang pada dunia betapa sakitnya dia. Orang-orang di atas sana kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri. Maka dia memilih untuk fokus membangun jembatan kehidupan baru untuk dirinya bersama anak semata wayangnya. Dia sedang mencoba ikhlas, dan terus akan begitu. I

  • Pagi yang Enggan Kembali   9. Ibu Susu

    Tujuh jam di bus bersama bayi yang baru berusia dua bulan memang cukup menguras jiwa dan raganya. Aggun menjemputnya di terminal, lalu langsung bergerak ke Selatan menuju rumah yang katanya bisa dia tinggali. Rumah tiga lantai itu -yang meskipun cat putihnya terlihat sedikit kusam- sebenarnya jauh dari prediksi Ria. "Kukira tak semewah ini," ujarnya sambil mengamati setiap bagian rumah. Kepalanya mendongak demi melihat ujung atapnya. “Kamu bisa tinggal di sini sesuka kamu. Gratis. Yang penting kamu rawat. Setidaknya aku nggak perlu ngeluarin uang untuk jasa cleaning service," jelas Anggun. Ria meringis, lalu mencubit lengan sahabatnya. "Makasih, ya." Anggun memimpin di depan. Ia memilih kunci di tasnya, sementara Ria masih takjub dengan desain kebun kecil tepat di halaman depan yang meneduhkan mata. Ornamen-ornamen penghias taman juga tampak serasi. Ia terlihat modern, namun tetap menunjukkan jiwa seni yang bersejarah. "Kau bawa Aru dulu ke dalam. Aku bantu masukin barang," kata A

  • Pagi yang Enggan Kembali   8. Sembunyi

    Empat hari tiga malam, tempat itu dirasanya menjadi hunian yang menciptakan trauma. Petang demi petang berlalu dengan rangkakan yang begitu malas. Jam di dinding seperti lamban bergerak. Berkali-kali ia pejamkan mata, berharap pagi telah menyapa begitu mata terbuka. Tapi hal itu tak pernah berhasil. Bukan saja karena kondisi fisiknya yang usai dioperasi, tapi juga kehancuran seluruh hidup seutuhnya. Ria mengunci diri di kamar bersama bayinya. Dia hanya membuka pintu jika ibu yang mengetuk untuk mengantarkan makan, memandikan si kecil, mengganti popok, atau memberikan susu. Selebihnya segala aktivitas dia lakukan di dalam kamar yang lengkap dengan kamar mandi dalam itu. Tamu yang datang hendak menengok si bayi sekaligus melayat harus ikhlas tidak dapat menemui orang yang dituju. Ibu dan bapak menjelaskan berulangkali pada setiap orang yang datang. Semua memaklumi, meski satu dua manusia masih tetap saja ada yang mencibir usai meninggalkan halaman rumah. Sepekan pertama Ria tak mampu m

  • Pagi yang Enggan Kembali   7. Kelahiran dan Kematian

    Dinginnya ruangan berpadu dengan beku dalam jiwanya. Ria duduk tegak dan dokter menyuntikkan obat bius epidural di saraf punggung bagian bawah. Beberapa saat kemudian perasaan asing menjalar di kakinya hingga akhirnya separuh tubuhnya benar-benar hilang rasa. Ia menatap ke langit-langit yang sunyi. Sementara, sekitar lima orang tenaga medis sibuk mengiris kulit perutnya. Kain penutup tubuhnya sekaligus menjadi tirai penghalang agar ia tak menyaksikan apa yang sedang dokter beserta timnya kerjakan di sekitar tubuh bagian bawah. Denting bunyi alat-alat tajam yang saling bersenggolan terdengar menusuk di telinga. Untuk pekerjaan sepenting ini, mereka masih dapat asyik mengobrol, bahkan menggosip. Bagi para tenaga medis, mungkin pekerjaan itu sudah semacam mengupas bawang layaknya bagi ibu rumah tangga biasa. Perlahan Ria mulai bersahabat dengan keadaan. Dia sesekali ikut tersenyum mendengar ibu-ibu itu bercanda. Menuju menit ke 40, salah seorang mendorong isi perutnya ke bawah. Terasa

  • Pagi yang Enggan Kembali   6. Ruang Bersalin

    Tuhan agaknya tak ingin berlama-lama membiarkan sepasang manusia itu hidup berdua saja. Dua bulan setelah keduanya menandatangani buku nikah, Ria berulang-kali menghitung periode haidnya. HIngga dia benar-benar yakin bahwa bulan itu jadwalnya terlewat. Langkah selanjutnya dia membeli alat tes kehamilan, dan benar saja dua garis merah menjadi jawabannya. Arya menjadi orag pertama yang girangnya bukan main. Disusul oleh bapak-ibu juga om dan tante. "Ini sudah ada kantung hamilnya, ya, Mbak, Mas," kata dokter sambil menunjukkan layar hasil USG. Keduanya mengangguk bahagia. Bulan berganti bulan, mereka rutin berkunjung untuk kontrol kandungan. Vitamin dan susu menjadi asupan wajib, meskipun lebih sering isi perutnya keluar kembali. RIa yang rewel dengan bau-bauan, juga Arya yang pontang-panting demi memenuhi pinta kekasihnya yang tengah berbadan dua itu. Sembilan bulan berlalu dengan melelahkan namun juga bahagia dalam kemanjaan. Ranjang-ranjang beroda berderet berbataskan gorden-gorden

  • Pagi yang Enggan Kembali   5. Bersatu

    Sebuah pertemuan yang tak terduga. Teman-teman Ria juga kembali ke Jakarta membawa kenangan tak terlupakan. Mereka pulang dua hari kemudian karena memutuskan untuk mengunjungi semua tempat yang Arya rekomendasikan. Anak itu mahir dalam membujuk. Selama tiga hari itu juga akhirnya rombongan mereka mendapat personil baru yang sangat membantu. Bukan hanya paham soal tempat-tempat wisata di Semarang, tapi juga seorang fotografer jempolan. Setidaknya Ria merasa berbangga karena teman-temannya puas. Tak sia-sia mereka datang jauh-jauh. Saat mobil perak itu bergerak meninggalkan dirinya dan Arya yang berdiri di pinggir jalan, saat itu pula ternyata sebuah cerita baru dimulai. Setiap malam ia membuka file berisi foto-foto di komputernya. Ia amati satu demi satu. Bibirnya tersungging tiada henti seiring jemari di mouse menekan-nekan dan membuat foto di layar berganti-ganti. Di sudut bumi yang berbeda, laki-laki itu juga mengamati foto-foto di kameranya sambil rebahan di kasur. Bukan saja kare

  • Pagi yang Enggan Kembali   4. Pemuda Baik Hati

    Kala itu di tahun 1998. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian regional Jawa Tengah, tentu kota itu terbilang maju jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Meskipun begitu, ada bagian di dekat kaki gunung Ungaran, yang mana manusia di sana masih hidup bersama limpahan kekayaan alam. Jauh dari polusi industri dan sibuknya ibu kota provinsi. Sebuah mobil berisi rombongan muda-mudi baru saja memasuki kawasan Semarang. Salah satu yang berada di sana memotret gapura besar bertuliskan selamat datang. Untuk orang-orang seperti mereka, kota ini terlihat jauh lebih menenangkan dibanding kota asalnya. Kendaraan berplat Jakarta itu terus melaju hingga akhirnya berbelok menuju jalan setapak yang lebih sepi, memasuki sebuah pedesaan. Satu orang fokus melihat g****e map di ponselnya. Dua yang lain duduk di belakang dan menikmati pemandagan dari balik jendela di sisi masing-masing. Cukup panjang rute yang mereka tempuh tanpa ada rumah di kanan-kirinya. Sekitar 2 kilometer hanya ada beragam j

DMCA.com Protection Status