Home / Romansa / Pagi yang Enggan Kembali / 1. Pupusnya Cinta Sejati

Share

Pagi yang Enggan Kembali
Pagi yang Enggan Kembali
Author: Erwintiyati

1. Pupusnya Cinta Sejati

Author: Erwintiyati
last update Last Updated: 2022-08-05 11:31:46

"Oke, jari ke ujung rambut. Senyum. Wajah serong kiri," tangan fotografer memberi aba-aba.

Perempuan itu mematung sambil berhitung sampai tiga dalam hati. Lalu berganti gaya mengikuti arahan orang di belakang kamera. Di sela-sela fokusnya, ia sadar jika dirinya sedang menjadi target bahan lamunan. Tapi hal itu tak sedikit pun mengusik profesionalitasnya. Ia tetap tampil elegan dengan pesona berkelasnya. Ia serahkan semua keindahan tubuhnya pada lesatan cahaya yang rakus membidik.

Ruangan yang membentang luas tanpa sekat itu seolah menjadi panggung miliknya seorang. Stiletto merah terang menambah cantik kaki hingga betisnya yang ramping memanjang. Warna kuning langsat merata memoles kulit. Cerah dan mulus di semua titik. Berhenti sampai di lutut, peplum skirt dengan warna senada membungkus bentukan tubuhnya yang menjual. Lalu disambung kemeja batik lasem bermotif liuk-liuk layaknya batang beserta serpihan batu, yang potongan kainnya menyuguhkan kemolekan membetahkan mata. Rambutnya terurai dan menari manja karena tiupan angin buatan. Ia bergaya, tersenyum, memainkan lirikan mata, menghipnotis dengan gerakan jemari, semua terjadi begitu mudahnya. Penuh nyali, penuh kendali.

Sesekali rasa penasaran membujuk seujung lirikan matanya pada laki-laki di atas kursi pojok ruangan. Laki-laki berperawakan ideal tanpa lemak berlebih ataupun tulang tak berdaging itu seolah terkuasai oleh sihir. Nyaris tak ada kedipan mata yang menyela. Gurat-gurat kegagahan terukir seolah tak akan pernah memudar digerayangi usia. Merah alami warna bibirnya menyempurnakan terangnya kulit wajah yang putih bersih.  Wanita mana pun pasti tak kuasa menahan kencangnya degup jantung di bawah tatapan semacam itu.

Sayangnya, fakta itu tak cukup menggoyahkan benteng pertahanan yang Ria bangun belasan tahun. Dia adalah salah satu perempuan yang merasa tidak terganggu dengan keberadaan Danar, seberapa pun menggodanya jutawan muda itu. Tak peduli berapa kali laki-laki itu menunjukkan kesungguhan perasaannya. Bagi Ria, keberadaan istri dan anak Danar sudah menjadi alasan pakem.

“Oke, cukup, Mbak,” kata laki-laki pemegang kamera sambil mengacungkan jempol. Sesi berfoto disudahi.

Danar datang mendekat sambil tersenyum. "Aku selalu merindukan tempat ini, karena ini satu-satunya tempat yang kamu tidak dapat menolak untuk datang." Dua tangannya masing-masing menyusup ke saku samping celana. Langkahnya pelan lalu berputar sekali mengelilingi Ria yang beridri di tempat. Ia berhenti dan menghadapkan badan. Beberapa saat keduanya saling pandang. 

Di dekat dua orang yang mematung itu, fotografer berdeham. Ia terlihat sudah cukup lama menunggu untuk menyela. Ria menundukkan wajahnya, terlihat salah tingkah. Tapi Danar masih dengan posisi yang sama. Laki-laki itu kemudian menunjukkan layar kameranya. Ria mengangguk beberapa kali.

"Sudah. Saya percaya semuanya bagus," sela Danar.  Ria mengangkat wajahnya, sedikit tersipu. Laki--laki itu tersenyum bangga. Bangga karena bisa menyodorkan gombalannya untuk ke seribu sekian kalinya. "Thank you," lanjut Danar mengajak bersalaman. Tangan kirinya masih di dalam saku.

“Terima kasih, Mas Danar,” Ria meraih tangan di depannya. Cukup lama Danar tak melepas genggaman. Sementara itu, tim juru kamera membereskan perlengkapan. Payung reflektor,  stand background, dan softbox dibiarkan saja, dan lainnya mereka masukkan kedalam tas tahan air. 

“Makan malam?” Belum sempat Ria menjawab, Danar langsung menyambung, "ini perintah, bukan pertanyaan." Genggaman tangannya semakin erat. Cahaya di matanya menatap penuh keyakinan. Ria tertawa kecil. Lalu satu anggukan diberikan.

Dua  tangan yang bersatu itu terlepas, tapi Danar melangkah mendekat. Ria hanya mundur sedikit, dan itu tak cukup membantu. Napas laki-laki itu terasa hangat berembus di tengkuk lehernya. Aroma parfum yang khas menyapa ramah di hidungnya. Dia rasakan juga dua bibir yang selalu tampak lembab itu semakin mendekat ke telinga. "Bilang pada Aru, kamu ada lembur," bisiknya.

Ria reflek bergerak mundur, cukup lebar jarak mereka kali ini. "Oke," sambut Ria cepat, dan susah payah dia sembunyikan napasnya yang berat. Dia tersenyum, menunjukkan kepatuhan pada seorang bos. Jemari lentiknya menyelipkan rambut di pelipis ke belakang telinga. Perlahan dia memutar badan dan menuju ruang ganti.

Sayup-sayup terdengar ponsel Danar berdering. Ria menguping, dan dengan cepat dia dapat menebak bahwa orang yang menelepon adalah istrinya. Suara laki-laki itu perlahan semakin lirih, agaknya dia berjalan ke luar. Dari bidang cermin yang  membentang 2 meter di hadapannya, ia saksikan monster kebencian masih setia bersinggah dalam dirinya. Ia tak pernah marah, justru ia mengasihani orang-orang yang  berdatangan menyuguhkan cinta kepadanya. Mereka semua hanyalah orang-orang bodoh di matanya.

Ria duduk dan mendekatkan wajahnya ke cermin. Perlahan dia amati detail setiap bagian mukanya. Meskipun perawatan menjadi kewajiban yang harus ditunaikan, tapi tetap saja hukum alam akan menjalankan perannya dengan baik. Bingkai mata dan sudut bibir yang mulai malas mengencang. Garis-garis halus yang datang bertamu. Rahang yang makin menonjol dan posisi pipi yang tak sekukuh dulu berdiam di atas. Semua perubahan itu dapat dia saksikan. Sementara orang lain selalu melihat seorang Ria tak berubah dari muda hingga sekarang.

"Kalau saja bukan untuk menghidupi diriku bersama Aru, tentu aku memilih memakai daster di rumah, bersantai-santai," ujarnya seolah sedang berdioalog dengan bayangannya sendiri. "Agar aku tidak pernah bertemu Danar," lanjutnya. Dalam hitungan detik, Ria memejamkan mata, dan bulir bening mengalir di pipinya. Harusnya, sedikit lagi Danar akan sampai. Andai saja laki-laki itu menjawab cepat pertanyaannya kala itu. Tapi ia bersyukur, karena Danarlah ia menemukan keyakinan yang utuh. Cinta sejati tidak pernah ada.

“Mbak Ria,” seorang OB mengetuk pintu. Ria menarik tisu di meja dengan cepat dan menepuk perlahan ke pipinya. "Pak Danar titip pesan, katanya ini pulang sebentar, nanti balik lagi ke kantor," jelasnya begitu Ria muncul di bingkai pintu.

"Oh. Ada urusan apa, ya, Mas, katanya?"

"Wah, kurang tahu, Mbak. Tadi saya dengar istrinya telepon, sih."

"Oh, begitu. Oke." Ia lemparkan senyum pada pemuda di depannya.

"Ini minum dan cemilannya, Mbak. Saya bantu taruh di dalam atau ..."

"Tidak usah, biar saya saja," potong Ria dan mengambil alih nampan dengan hati-hati. Dia bilang terima kasih dan anak muda berseragam putih itu meninggalkannya.

Getar ponsel di tas menderu-deru. Cepat-cepat ia letakkan nampan ke meja dan meraih benda yang masih tak sabaran terus memanggil-manggil.

“Iya, Sayang?” sapanya.

“Bunda lembur lagi?”

“Iya. Maaf, ya,” nadanya terdengar memelas. “Kamu sudah makan belum?”

“Niatnya mau nunggu Bunda pulang.” Terdengar ketus, anak itu ingin tunjukkan rasa kecewanya. Ria bilang maaf sekali lagi dan menyuruh putrinya untuk segera makan. Obrolan mereka selesai, tapi getar berikutnya menyusul begitu gambar latar belakang ponselnya tampak baru dua detik.

"Iya, Mas Danar. Ada apa?”

“Aku pulang sebentar. Nanti balik lagi jemput kamu, ya. Kamu bisa tunggu di kantor, kan?”

"Iya, Mas."

Ria berkemas lebih cepat. Tak banyak yang dia kerjakan. Hanya berganti pakaian. Ia tiba 10 menit lebih awal di ruang kaca sebelum sebuah Lamborghini putih menepi di halaman depan. Danar turun dari kemudi, menyambut bidadari yang berlari-lari kecil kearahnya.

“Kita langsung ke tempat makan?” tanyanya setelah masuk ke dalam mobil kembali, siap menyalakan stater. Perempuan di sebelahnya mengangguk.

***

Related chapters

  • Pagi yang Enggan Kembali   2. Menuju Babak Baru

    Rasa yang hilang. Hari yang tak akan berulang. Mentari yang juga enggan kembali bersulang. Masa-masa yang dirasanya begitu panjang. Berlalu hanya untuk menambah nganga luka yang terus-terusan meradang. Semakin dieja, semakin menyesakkan untuk dikenang. Pernah ia mencoba untuk berdamai dan mempersilakan siapa pun untuk datang. Tapi ia ternyata selalu kalah oleh gumpalan luka yang kekal bersarang. Ia pernah berjuang untuk melawan dendam yang mengekang, tapi ketakutan tiba-tiba ikut bertandang. Sebanyak apa pun dirinya berusaha, lagi-lagi langit tetap memilih petang, membungkam gemintang. Pandangannya jauh ke atas menembus lapisan tanpa ujung batas. Ia kais-kais sisa hatinya yang tak tercabik. Berkelebat riang dan tawa yang sesaat. Terngiang cita-cita bersama yang saat itu rasanya begitu dekat untuk menjadi nyata. Sayangnya cerita berlangsung singkat. Andai saja bukan dia. Andai saja bukan dirinya. Terkadang dia pun berpikir bahwa mungkin Tuhan memang tak ingin melihatnya bahagia. Ia sud

    Last Updated : 2022-08-05
  • Pagi yang Enggan Kembali   3. Ritual Sembilan September

    Malam menuju pukul sembilan. Tak meleset dari janji yang dikatakannya. Ria sudah paham tabiat anak itu. Belum pernah seorang Baskara ingkar. Kecuali untuk satu hal. Ria menyusul dan tertinggal cukup jauh di belakang. Aru sudah berpelukan dengan seorang laki-laki di bingkai pintu. Keduanya saling balas senyum, tapi salah satu tampak bermanja-manja dengan menampakkan wajah kesal. “Om sama Bunda dulu, ya. Aru mau ganti baju," katanya sambil menarik lengan Baskara, menyuruhnya duduk di sofa. "Eh, nggak usah," Baskara hendak mencegah. "Dingin!" tangkis Aru. Dia sudah mengeluyur menaiki tangga. Baskara masih memandang seolah jejak langkah Aru ada di sana. Tertinggal di anak-anak tangga. “Ibu lagi apa, Bas?” Baskara tersadar ia tak sendiri di ruang itu. Dia menutup pintu, lalu duduk. "Nonton tivi, Mbak," jawabnya. Niat hati ingin sekadar menyapa dengan senyum. Akan tetapi dua mata itu bertemu. Tak ada niat. Tak ada rencana. Kejadian singkat tapi getarannya begitu kuat. Ria tak paham

    Last Updated : 2022-08-05
  • Pagi yang Enggan Kembali   4. Pemuda Baik Hati

    Kala itu di tahun 1998. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian regional Jawa Tengah, tentu kota itu terbilang maju jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Meskipun begitu, ada bagian di dekat kaki gunung Ungaran, yang mana manusia di sana masih hidup bersama limpahan kekayaan alam. Jauh dari polusi industri dan sibuknya ibu kota provinsi. Sebuah mobil berisi rombongan muda-mudi baru saja memasuki kawasan Semarang. Salah satu yang berada di sana memotret gapura besar bertuliskan selamat datang. Untuk orang-orang seperti mereka, kota ini terlihat jauh lebih menenangkan dibanding kota asalnya. Kendaraan berplat Jakarta itu terus melaju hingga akhirnya berbelok menuju jalan setapak yang lebih sepi, memasuki sebuah pedesaan. Satu orang fokus melihat g****e map di ponselnya. Dua yang lain duduk di belakang dan menikmati pemandagan dari balik jendela di sisi masing-masing. Cukup panjang rute yang mereka tempuh tanpa ada rumah di kanan-kirinya. Sekitar 2 kilometer hanya ada beragam j

    Last Updated : 2022-10-05
  • Pagi yang Enggan Kembali   5. Bersatu

    Sebuah pertemuan yang tak terduga. Teman-teman Ria juga kembali ke Jakarta membawa kenangan tak terlupakan. Mereka pulang dua hari kemudian karena memutuskan untuk mengunjungi semua tempat yang Arya rekomendasikan. Anak itu mahir dalam membujuk. Selama tiga hari itu juga akhirnya rombongan mereka mendapat personil baru yang sangat membantu. Bukan hanya paham soal tempat-tempat wisata di Semarang, tapi juga seorang fotografer jempolan. Setidaknya Ria merasa berbangga karena teman-temannya puas. Tak sia-sia mereka datang jauh-jauh. Saat mobil perak itu bergerak meninggalkan dirinya dan Arya yang berdiri di pinggir jalan, saat itu pula ternyata sebuah cerita baru dimulai. Setiap malam ia membuka file berisi foto-foto di komputernya. Ia amati satu demi satu. Bibirnya tersungging tiada henti seiring jemari di mouse menekan-nekan dan membuat foto di layar berganti-ganti. Di sudut bumi yang berbeda, laki-laki itu juga mengamati foto-foto di kameranya sambil rebahan di kasur. Bukan saja kare

    Last Updated : 2022-10-05
  • Pagi yang Enggan Kembali   6. Ruang Bersalin

    Tuhan agaknya tak ingin berlama-lama membiarkan sepasang manusia itu hidup berdua saja. Dua bulan setelah keduanya menandatangani buku nikah, Ria berulang-kali menghitung periode haidnya. HIngga dia benar-benar yakin bahwa bulan itu jadwalnya terlewat. Langkah selanjutnya dia membeli alat tes kehamilan, dan benar saja dua garis merah menjadi jawabannya. Arya menjadi orag pertama yang girangnya bukan main. Disusul oleh bapak-ibu juga om dan tante. "Ini sudah ada kantung hamilnya, ya, Mbak, Mas," kata dokter sambil menunjukkan layar hasil USG. Keduanya mengangguk bahagia. Bulan berganti bulan, mereka rutin berkunjung untuk kontrol kandungan. Vitamin dan susu menjadi asupan wajib, meskipun lebih sering isi perutnya keluar kembali. RIa yang rewel dengan bau-bauan, juga Arya yang pontang-panting demi memenuhi pinta kekasihnya yang tengah berbadan dua itu. Sembilan bulan berlalu dengan melelahkan namun juga bahagia dalam kemanjaan. Ranjang-ranjang beroda berderet berbataskan gorden-gorden

    Last Updated : 2022-10-05
  • Pagi yang Enggan Kembali   7. Kelahiran dan Kematian

    Dinginnya ruangan berpadu dengan beku dalam jiwanya. Ria duduk tegak dan dokter menyuntikkan obat bius epidural di saraf punggung bagian bawah. Beberapa saat kemudian perasaan asing menjalar di kakinya hingga akhirnya separuh tubuhnya benar-benar hilang rasa. Ia menatap ke langit-langit yang sunyi. Sementara, sekitar lima orang tenaga medis sibuk mengiris kulit perutnya. Kain penutup tubuhnya sekaligus menjadi tirai penghalang agar ia tak menyaksikan apa yang sedang dokter beserta timnya kerjakan di sekitar tubuh bagian bawah. Denting bunyi alat-alat tajam yang saling bersenggolan terdengar menusuk di telinga. Untuk pekerjaan sepenting ini, mereka masih dapat asyik mengobrol, bahkan menggosip. Bagi para tenaga medis, mungkin pekerjaan itu sudah semacam mengupas bawang layaknya bagi ibu rumah tangga biasa. Perlahan Ria mulai bersahabat dengan keadaan. Dia sesekali ikut tersenyum mendengar ibu-ibu itu bercanda. Menuju menit ke 40, salah seorang mendorong isi perutnya ke bawah. Terasa

    Last Updated : 2022-10-05
  • Pagi yang Enggan Kembali   8. Sembunyi

    Empat hari tiga malam, tempat itu dirasanya menjadi hunian yang menciptakan trauma. Petang demi petang berlalu dengan rangkakan yang begitu malas. Jam di dinding seperti lamban bergerak. Berkali-kali ia pejamkan mata, berharap pagi telah menyapa begitu mata terbuka. Tapi hal itu tak pernah berhasil. Bukan saja karena kondisi fisiknya yang usai dioperasi, tapi juga kehancuran seluruh hidup seutuhnya. Ria mengunci diri di kamar bersama bayinya. Dia hanya membuka pintu jika ibu yang mengetuk untuk mengantarkan makan, memandikan si kecil, mengganti popok, atau memberikan susu. Selebihnya segala aktivitas dia lakukan di dalam kamar yang lengkap dengan kamar mandi dalam itu. Tamu yang datang hendak menengok si bayi sekaligus melayat harus ikhlas tidak dapat menemui orang yang dituju. Ibu dan bapak menjelaskan berulangkali pada setiap orang yang datang. Semua memaklumi, meski satu dua manusia masih tetap saja ada yang mencibir usai meninggalkan halaman rumah. Sepekan pertama Ria tak mampu m

    Last Updated : 2022-11-25
  • Pagi yang Enggan Kembali   9. Ibu Susu

    Tujuh jam di bus bersama bayi yang baru berusia dua bulan memang cukup menguras jiwa dan raganya. Aggun menjemputnya di terminal, lalu langsung bergerak ke Selatan menuju rumah yang katanya bisa dia tinggali. Rumah tiga lantai itu -yang meskipun cat putihnya terlihat sedikit kusam- sebenarnya jauh dari prediksi Ria. "Kukira tak semewah ini," ujarnya sambil mengamati setiap bagian rumah. Kepalanya mendongak demi melihat ujung atapnya. “Kamu bisa tinggal di sini sesuka kamu. Gratis. Yang penting kamu rawat. Setidaknya aku nggak perlu ngeluarin uang untuk jasa cleaning service," jelas Anggun. Ria meringis, lalu mencubit lengan sahabatnya. "Makasih, ya." Anggun memimpin di depan. Ia memilih kunci di tasnya, sementara Ria masih takjub dengan desain kebun kecil tepat di halaman depan yang meneduhkan mata. Ornamen-ornamen penghias taman juga tampak serasi. Ia terlihat modern, namun tetap menunjukkan jiwa seni yang bersejarah. "Kau bawa Aru dulu ke dalam. Aku bantu masukin barang," kata A

    Last Updated : 2024-02-12

Latest chapter

  • Pagi yang Enggan Kembali   12. Tidak Boleh Jatuh Cinta

    Kejadian semalam cukup membekaskan lelah. Ria rasakan sekujur badannya ngilu sekaligus perih. Beberapa kali dia meminta Aru untuk memijat pundaknya, sebelum bekerja kembali membereskan semua kekacauan di kamar. Baskara juga menyusul ikut membantu. Laki-laki itu meminta Ria dan Aru agar beristirahat saja. Ria menurut, dan beralih menuju dapur, sementara Aru enggan beranjak. Dia tetap bersama Baskara, membantu pekerjaan yang ringan.Baskara ber-aduh lirih untuk yang ke dua kali. Telapak kakinya tertusuk pecahan beling di lantai. Aru bergegas mengambilkan penutup luka dan sandal untuknya."Nggak usah," tolaknya saat Aru juga menyerahkan sandal karet dengan kepala kelinci berwarna merah muda di mukanya.Aru mengangkat kakinya tinggi seraya berseru, "Nih, dari tadi aku aman, Om." Wajahnya serius, seperti tengah berhadapan dengan anak yang pembangkang. Baskara meringis dan memakai sandal itu. Pukul tujuh tepat ketika mereka sedang selonjoran di depan televisi sambil menyeduh teh hangat, s

  • Pagi yang Enggan Kembali   11. Memori yang Abadi

    Kembali di masa sekarang, pada waktu Ria berdiri di balik jendela menyaksikan dua orang yang telah membekaskan arti di dinding hatinya itu mengobrol begitu seru. Ia beralih mendekati kasur setelah hampir satu jam menonton gazibu tempat Aru dan Baskara bercengkerama. Ia berniat untuk tidur. Tapi saat wajah menghadap tepat keatasnya, plafon putih bersih itu seperti mengajak berbincang. Sialnyq, pikiran Ria pun membujuk untuk menanggapi itu. Maka bermunculanlah riuh gemuruh yang satu per satu mengetuk ingatannya. Sebuah percikan listrik seperti menular ke titik-titik lain, merangkai mengantarkan pada sebuah memori. Seperti ada seruan akan adanya hal yang mengganggu dan meminta diselesaikan malam itu juga. Ria mencoba memejamkan matanya, tapi usikan itu kian jelas. Ia mengambil posisi duduk dan mencoba meniliki dirinya. Barangkali ada yang salah seharian ini. Tapi otak tak kunjung menemukan jawaban. Ia sandarkan kepalanya ke headboard. Ia pandangi ruangan luas yang hanya ia tempati seora

  • Pagi yang Enggan Kembali   10. Pulang

    Seolah tak begitu penting, kasus pembunuhan di ATM rumah sakit itu tutup buku. Baskara berkali-kali naik pitam, tapi tetap saja tak ada perkembangan. Bahkan bapak sampai melabrak ke kantor polisi, tetap saja suaranya tak menembus gendang telinga. “Bapak dan keluarga sabar dulu. Kami masih terus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti. Kalau semua bukti sudah akurat, kami baru berani memutuskan, Pak,” begitu kata polisi tiap kali ditemui. “Dugaan sementara, motif pembunuhan ini adalah perampokan karena dompet korban hilang,” tambahnya. Jauh di kota yang berbeda, Ria pun mulai tak peduli lagi. Dia kesal menunggu kabar. Memikirkannya terus-terusan juga menambah lelah. Percuma menegakkan tekad sekuat apa pun untuk bilang pada dunia betapa sakitnya dia. Orang-orang di atas sana kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri. Maka dia memilih untuk fokus membangun jembatan kehidupan baru untuk dirinya bersama anak semata wayangnya. Dia sedang mencoba ikhlas, dan terus akan begitu. I

  • Pagi yang Enggan Kembali   9. Ibu Susu

    Tujuh jam di bus bersama bayi yang baru berusia dua bulan memang cukup menguras jiwa dan raganya. Aggun menjemputnya di terminal, lalu langsung bergerak ke Selatan menuju rumah yang katanya bisa dia tinggali. Rumah tiga lantai itu -yang meskipun cat putihnya terlihat sedikit kusam- sebenarnya jauh dari prediksi Ria. "Kukira tak semewah ini," ujarnya sambil mengamati setiap bagian rumah. Kepalanya mendongak demi melihat ujung atapnya. “Kamu bisa tinggal di sini sesuka kamu. Gratis. Yang penting kamu rawat. Setidaknya aku nggak perlu ngeluarin uang untuk jasa cleaning service," jelas Anggun. Ria meringis, lalu mencubit lengan sahabatnya. "Makasih, ya." Anggun memimpin di depan. Ia memilih kunci di tasnya, sementara Ria masih takjub dengan desain kebun kecil tepat di halaman depan yang meneduhkan mata. Ornamen-ornamen penghias taman juga tampak serasi. Ia terlihat modern, namun tetap menunjukkan jiwa seni yang bersejarah. "Kau bawa Aru dulu ke dalam. Aku bantu masukin barang," kata A

  • Pagi yang Enggan Kembali   8. Sembunyi

    Empat hari tiga malam, tempat itu dirasanya menjadi hunian yang menciptakan trauma. Petang demi petang berlalu dengan rangkakan yang begitu malas. Jam di dinding seperti lamban bergerak. Berkali-kali ia pejamkan mata, berharap pagi telah menyapa begitu mata terbuka. Tapi hal itu tak pernah berhasil. Bukan saja karena kondisi fisiknya yang usai dioperasi, tapi juga kehancuran seluruh hidup seutuhnya. Ria mengunci diri di kamar bersama bayinya. Dia hanya membuka pintu jika ibu yang mengetuk untuk mengantarkan makan, memandikan si kecil, mengganti popok, atau memberikan susu. Selebihnya segala aktivitas dia lakukan di dalam kamar yang lengkap dengan kamar mandi dalam itu. Tamu yang datang hendak menengok si bayi sekaligus melayat harus ikhlas tidak dapat menemui orang yang dituju. Ibu dan bapak menjelaskan berulangkali pada setiap orang yang datang. Semua memaklumi, meski satu dua manusia masih tetap saja ada yang mencibir usai meninggalkan halaman rumah. Sepekan pertama Ria tak mampu m

  • Pagi yang Enggan Kembali   7. Kelahiran dan Kematian

    Dinginnya ruangan berpadu dengan beku dalam jiwanya. Ria duduk tegak dan dokter menyuntikkan obat bius epidural di saraf punggung bagian bawah. Beberapa saat kemudian perasaan asing menjalar di kakinya hingga akhirnya separuh tubuhnya benar-benar hilang rasa. Ia menatap ke langit-langit yang sunyi. Sementara, sekitar lima orang tenaga medis sibuk mengiris kulit perutnya. Kain penutup tubuhnya sekaligus menjadi tirai penghalang agar ia tak menyaksikan apa yang sedang dokter beserta timnya kerjakan di sekitar tubuh bagian bawah. Denting bunyi alat-alat tajam yang saling bersenggolan terdengar menusuk di telinga. Untuk pekerjaan sepenting ini, mereka masih dapat asyik mengobrol, bahkan menggosip. Bagi para tenaga medis, mungkin pekerjaan itu sudah semacam mengupas bawang layaknya bagi ibu rumah tangga biasa. Perlahan Ria mulai bersahabat dengan keadaan. Dia sesekali ikut tersenyum mendengar ibu-ibu itu bercanda. Menuju menit ke 40, salah seorang mendorong isi perutnya ke bawah. Terasa

  • Pagi yang Enggan Kembali   6. Ruang Bersalin

    Tuhan agaknya tak ingin berlama-lama membiarkan sepasang manusia itu hidup berdua saja. Dua bulan setelah keduanya menandatangani buku nikah, Ria berulang-kali menghitung periode haidnya. HIngga dia benar-benar yakin bahwa bulan itu jadwalnya terlewat. Langkah selanjutnya dia membeli alat tes kehamilan, dan benar saja dua garis merah menjadi jawabannya. Arya menjadi orag pertama yang girangnya bukan main. Disusul oleh bapak-ibu juga om dan tante. "Ini sudah ada kantung hamilnya, ya, Mbak, Mas," kata dokter sambil menunjukkan layar hasil USG. Keduanya mengangguk bahagia. Bulan berganti bulan, mereka rutin berkunjung untuk kontrol kandungan. Vitamin dan susu menjadi asupan wajib, meskipun lebih sering isi perutnya keluar kembali. RIa yang rewel dengan bau-bauan, juga Arya yang pontang-panting demi memenuhi pinta kekasihnya yang tengah berbadan dua itu. Sembilan bulan berlalu dengan melelahkan namun juga bahagia dalam kemanjaan. Ranjang-ranjang beroda berderet berbataskan gorden-gorden

  • Pagi yang Enggan Kembali   5. Bersatu

    Sebuah pertemuan yang tak terduga. Teman-teman Ria juga kembali ke Jakarta membawa kenangan tak terlupakan. Mereka pulang dua hari kemudian karena memutuskan untuk mengunjungi semua tempat yang Arya rekomendasikan. Anak itu mahir dalam membujuk. Selama tiga hari itu juga akhirnya rombongan mereka mendapat personil baru yang sangat membantu. Bukan hanya paham soal tempat-tempat wisata di Semarang, tapi juga seorang fotografer jempolan. Setidaknya Ria merasa berbangga karena teman-temannya puas. Tak sia-sia mereka datang jauh-jauh. Saat mobil perak itu bergerak meninggalkan dirinya dan Arya yang berdiri di pinggir jalan, saat itu pula ternyata sebuah cerita baru dimulai. Setiap malam ia membuka file berisi foto-foto di komputernya. Ia amati satu demi satu. Bibirnya tersungging tiada henti seiring jemari di mouse menekan-nekan dan membuat foto di layar berganti-ganti. Di sudut bumi yang berbeda, laki-laki itu juga mengamati foto-foto di kameranya sambil rebahan di kasur. Bukan saja kare

  • Pagi yang Enggan Kembali   4. Pemuda Baik Hati

    Kala itu di tahun 1998. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian regional Jawa Tengah, tentu kota itu terbilang maju jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Meskipun begitu, ada bagian di dekat kaki gunung Ungaran, yang mana manusia di sana masih hidup bersama limpahan kekayaan alam. Jauh dari polusi industri dan sibuknya ibu kota provinsi. Sebuah mobil berisi rombongan muda-mudi baru saja memasuki kawasan Semarang. Salah satu yang berada di sana memotret gapura besar bertuliskan selamat datang. Untuk orang-orang seperti mereka, kota ini terlihat jauh lebih menenangkan dibanding kota asalnya. Kendaraan berplat Jakarta itu terus melaju hingga akhirnya berbelok menuju jalan setapak yang lebih sepi, memasuki sebuah pedesaan. Satu orang fokus melihat g****e map di ponselnya. Dua yang lain duduk di belakang dan menikmati pemandagan dari balik jendela di sisi masing-masing. Cukup panjang rute yang mereka tempuh tanpa ada rumah di kanan-kirinya. Sekitar 2 kilometer hanya ada beragam j

DMCA.com Protection Status