Beranda / Romansa / Pagi yang Enggan Kembali / 3. Ritual Sembilan September

Share

3. Ritual Sembilan September

Penulis: Erwintiyati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Malam menuju pukul sembilan. Tak meleset dari janji yang dikatakannya. Ria sudah paham tabiat anak itu. Belum pernah seorang Baskara ingkar. Kecuali untuk satu hal.

Ria menyusul dan tertinggal cukup jauh di belakang. Aru sudah berpelukan dengan seorang laki-laki di bingkai pintu. Keduanya saling balas senyum, tapi salah satu tampak bermanja-manja dengan menampakkan wajah kesal.

“Om sama Bunda dulu, ya. Aru mau ganti baju," katanya sambil menarik lengan Baskara, menyuruhnya duduk di sofa.

"Eh, nggak usah," Baskara hendak mencegah.

"Dingin!" tangkis Aru. Dia sudah mengeluyur menaiki tangga.

Baskara masih memandang seolah jejak langkah Aru ada di sana. Tertinggal di anak-anak tangga.

“Ibu lagi apa, Bas?”

Baskara tersadar ia tak sendiri di ruang itu. Dia menutup pintu, lalu duduk. "Nonton tivi, Mbak," jawabnya. 

Niat hati ingin sekadar menyapa dengan senyum. Akan tetapi dua mata itu bertemu. Tak ada niat. Tak ada rencana. Kejadian singkat tapi getarannya begitu kuat. Ria tak paham apa yang menyergap dadanya barusan. Obrolan tak berlanjut. Ria buru-buru menenangkan dirinya. Ia menawarkan minum.

Baskara mengangguk. Tak dapat ditutupi, ia terlihat gugup. Ria meninggalkannya seorang diri di ruang tamu. Tempat itu tiba-tiba terasa sedikit menusuk. Mendadak juga isi kepala laki-laki itu menjadi ribut. Sementara itu, terasa ada yang berdetak kencang di dadanya. Dia mengatur napas, berusaha memperbaiki situasi. Hingga akhirnya Aru muncul dengan celana kain panjang dan sweater biru navy. Topi beanie hitam juga membungkus sebagian kepalanya.

"Bunda lagi bikin minum," terang Baskara ketika tangannya hendak ditarik lagi. Aru bergegas menuju dapur.

"Bunda, kita mau makan nasi goreng saja di depan," protesnya sambil terus mempercepat langkah. Mendengar putrinya datang, Ria gelagapan berpura-pura sedang mencari gula. Aru sampai di sisi meja  dan dia berdiri, melihat gelagat bundanya agak aneh. "Bunda cari gula, kan?" Pertanyaannya dijawab dengan anggukan dan seringai. Aru menunjuk toples tak jauh dari tangan Ria. Perempuan itu meringis. Ria terlihat bodoh.

Aru menegaskan sekali lagi agar Ria tidak membuatkan minum. Dia kecup pipi bundanya, lau beralih ke punggung telapak tangan. Gadis itu berpamitan, dan Ria mengekor menuju ruang tamu kembali.

"Mau kemana?" tanya Ria.

"Di gazebo saja, kok, Mbak," jawab Baskara. Mukanya seperti masih ketakutan untuk memandang lagi.

Ria mengangguk, sepakat dengan keputusan adik iparnya itu. “Makasih, ya, sudah bantu menguatkan Aru sejauh ini.” 

Baskara menunduk. Bukan lantaran kalimat itu, tapi ada sesuatu yang tidak dapat dia tahan hingga dia menyerah dan menghadapkan wajah ke tanah. Dirinya pun heran sendiri, mengapa itu terus terjadi tiap kali sepasang mata yang bersinggah abadi dalam aliran darahnya itu hadir di dekatnya. 

"Sudah jadi kewajibanku, Mbak," ujarnya. Ria tersenyum. 

Aru tidak sabaran meminta segera keluar. Baskara menuruti dan berpamitan. Dua manusia terpaut 21 tahun itu terlihat kompak. Lagi-lagi Ria harus mengakui akan ketulusan adik mendiang suaminya. Ia yakin benar bahwa semua ucapan laki-laki itu dulu benar. Tapi Ria juga yakin tak salah mengambil keputusan. Ia bangga pada dirinya yang dapat bertahan menutup hatinya rapat-rapat. Dia ikrarkan kembali bahwa dalam hidup ini tidak ada cinta sejati.

Aru dan Baskara berseru riang melihat nasi goreng pesanan mereka sudah jadi. Dua piring berkepul asap itu diantarkan ke sebuah bangunan kayu model rumah panggung. Setiap sembilan September, ini adalah hal wajib yang Baskara lakukan. Apa pun agendanya di luar sana, pasti dia tanggalkan. Tahun ini untuk yang ke tujuh kalinya. Hebatnya, dia selalu mampu mengendalikan situasi untuk mengemas obrolan memilukan itu menjadi sebuah diskusi yang tidak menyakitkan.

Aru yang menggebu ingin tahu banyak merasa itu justru seperti menguak sejarah dan memetik banyak bunga-bunga hikmah di dalamnya. Dia juga tidak kehabisan pertanyaan tiap kali bersama om yang hingga hari ini masih membujang itu. Hari-hari bersamanya selalu menyenangkan, sama seperti malam-malam tahun sebelumnya.

Dari balik gorden kamarnya, Ria mencari-cari. Ia penasaran anak gadisnya sedang apa bersama omnya. Untunglah jendela itu berada di sudut yang tepat. Ia dapat menyaksikan dengan jelas pemandangan di bawah sana.

Aru dan Baskara duduk berhadapan. Sesaat, tidak ada yang memulai obrolan. Mereka asyik menyantap nasi goreng abang-abang langganan komplek. Keduanya sepakat bahwa rasanya memang tak ada banding. 

"Jadi," Baskara memulai obrolan. Mulutnya menelan sisa-sisa nasi. "Ulang tahun cukup dikasih nasi goreng saja?" lanjutnya. Aru terkekeh. Hampir sesendok nasi yang baru masuk ke mulutnya menyembur keluar. Jemarinya cepat mendarat ke paha Baskara dan sebuah cubitan diberikan.

Aru menyeruput minumannya. "Om pernah jatuh cinta?"

Baskara tak menduga akan mendapat pertanyaan itu. Selama ini Aru selalu bertanya soal ayahnya, apalagi di saat ritual sembilan september seperti malam ini. Baskara seolah tak siap memberikan jawaban, apalagi penjelasan.

"Atau, om sama seperti bunda," lanjut Aru. Baskara menoleh. Lama tatapan matanya berhenti di sana. Ia menunggu Aru melanjutkan. "Tidak pernah bicara soal cinta." 

Baskara menelan ludah.

"Om," panggil Aru.

"Ya?" Baskara sigap menjawab.

"Kriteria wanita idaman om seperti apa?"

Hati Baskara kali ini tersambar. Pikirannya hancur. Ia mendadak seperti anak kecil yang sedang belajar bicara. Ia susah payah memunguti kata demi kata untuk dirangkai. Sementara di depannya, perempuan itu sedang sabar menunggu bibirnya bergerak. Ketakutan berkecamuk di dadanya. Ia sungguh khawatir rahasia terbesarnya akan terbongkar malam itu. Terbongkar hanya oleh pertanyaan sederhana dari seorang anak muda yang umurnya saja separuh darinya. Meskipun dia yakin bahwa isi hatinya kelak akan tersampaikan, akan tetapi tidak sekarang.

"Tumben bahas itu," jawab Baskara. Otaknya mencari cara untuk keluar dari topik. 

"Kayaknya aku jatuh cinta, deh."

Baskara melongo. Apalagi Aru berekspresi dengan begitu polosnya. Ia pun menyadari kalau keponakannya ini memang baru mentas dari masa SMA. Di situ dia tahu bahwa gadis itu kali ini sedang ingin menunjukkan sisi dirinya yang lain. Dia butuh telinga untuk mendengarnya. Baskara menarik napas, dan mengembuskannya perlahan. Di sisi lain dia merasa lega karena arah pembicaraan bukan soal dirinya. Oleh karena itu, dia siap.

"Teman kuliah?" 

Aru tersenyum. Malu-malu.

"Eh, nggak tahu, ding. Kan baru sekali ketemu," ujar Aru. Walau begitu sorot matanya tetap saja masih berkata bahwa dia sedang tertarik pada seseorang.

"Barangkali. Baru ketemu, eh ternyata jadi teman hidup. Kayak bunda sama ayahmu." Baskara menekuk lutut dan menguncinya dengan merengkuh ke dada. Ia menatap langit-langit. Aru bergerak cepat menggeser posisi duduknya. Dua tangannya sudah bertangkup di lutut Baskara. Gadis itu tersenyum memohon.

Ria masih berdiri mengamati dari jendela.

***

Bab terkait

  • Pagi yang Enggan Kembali   4. Pemuda Baik Hati

    Kala itu di tahun 1998. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian regional Jawa Tengah, tentu kota itu terbilang maju jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Meskipun begitu, ada bagian di dekat kaki gunung Ungaran, yang mana manusia di sana masih hidup bersama limpahan kekayaan alam. Jauh dari polusi industri dan sibuknya ibu kota provinsi. Sebuah mobil berisi rombongan muda-mudi baru saja memasuki kawasan Semarang. Salah satu yang berada di sana memotret gapura besar bertuliskan selamat datang. Untuk orang-orang seperti mereka, kota ini terlihat jauh lebih menenangkan dibanding kota asalnya. Kendaraan berplat Jakarta itu terus melaju hingga akhirnya berbelok menuju jalan setapak yang lebih sepi, memasuki sebuah pedesaan. Satu orang fokus melihat g****e map di ponselnya. Dua yang lain duduk di belakang dan menikmati pemandagan dari balik jendela di sisi masing-masing. Cukup panjang rute yang mereka tempuh tanpa ada rumah di kanan-kirinya. Sekitar 2 kilometer hanya ada beragam j

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Pagi yang Enggan Kembali   5. Bersatu

    Sebuah pertemuan yang tak terduga. Teman-teman Ria juga kembali ke Jakarta membawa kenangan tak terlupakan. Mereka pulang dua hari kemudian karena memutuskan untuk mengunjungi semua tempat yang Arya rekomendasikan. Anak itu mahir dalam membujuk. Selama tiga hari itu juga akhirnya rombongan mereka mendapat personil baru yang sangat membantu. Bukan hanya paham soal tempat-tempat wisata di Semarang, tapi juga seorang fotografer jempolan. Setidaknya Ria merasa berbangga karena teman-temannya puas. Tak sia-sia mereka datang jauh-jauh. Saat mobil perak itu bergerak meninggalkan dirinya dan Arya yang berdiri di pinggir jalan, saat itu pula ternyata sebuah cerita baru dimulai. Setiap malam ia membuka file berisi foto-foto di komputernya. Ia amati satu demi satu. Bibirnya tersungging tiada henti seiring jemari di mouse menekan-nekan dan membuat foto di layar berganti-ganti. Di sudut bumi yang berbeda, laki-laki itu juga mengamati foto-foto di kameranya sambil rebahan di kasur. Bukan saja kare

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Pagi yang Enggan Kembali   6. Ruang Bersalin

    Tuhan agaknya tak ingin berlama-lama membiarkan sepasang manusia itu hidup berdua saja. Dua bulan setelah keduanya menandatangani buku nikah, Ria berulang-kali menghitung periode haidnya. HIngga dia benar-benar yakin bahwa bulan itu jadwalnya terlewat. Langkah selanjutnya dia membeli alat tes kehamilan, dan benar saja dua garis merah menjadi jawabannya. Arya menjadi orag pertama yang girangnya bukan main. Disusul oleh bapak-ibu juga om dan tante. "Ini sudah ada kantung hamilnya, ya, Mbak, Mas," kata dokter sambil menunjukkan layar hasil USG. Keduanya mengangguk bahagia. Bulan berganti bulan, mereka rutin berkunjung untuk kontrol kandungan. Vitamin dan susu menjadi asupan wajib, meskipun lebih sering isi perutnya keluar kembali. RIa yang rewel dengan bau-bauan, juga Arya yang pontang-panting demi memenuhi pinta kekasihnya yang tengah berbadan dua itu. Sembilan bulan berlalu dengan melelahkan namun juga bahagia dalam kemanjaan. Ranjang-ranjang beroda berderet berbataskan gorden-gorden

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Pagi yang Enggan Kembali   7. Kelahiran dan Kematian

    Dinginnya ruangan berpadu dengan beku dalam jiwanya. Ria duduk tegak dan dokter menyuntikkan obat bius epidural di saraf punggung bagian bawah. Beberapa saat kemudian perasaan asing menjalar di kakinya hingga akhirnya separuh tubuhnya benar-benar hilang rasa. Ia menatap ke langit-langit yang sunyi. Sementara, sekitar lima orang tenaga medis sibuk mengiris kulit perutnya. Kain penutup tubuhnya sekaligus menjadi tirai penghalang agar ia tak menyaksikan apa yang sedang dokter beserta timnya kerjakan di sekitar tubuh bagian bawah. Denting bunyi alat-alat tajam yang saling bersenggolan terdengar menusuk di telinga. Untuk pekerjaan sepenting ini, mereka masih dapat asyik mengobrol, bahkan menggosip. Bagi para tenaga medis, mungkin pekerjaan itu sudah semacam mengupas bawang layaknya bagi ibu rumah tangga biasa. Perlahan Ria mulai bersahabat dengan keadaan. Dia sesekali ikut tersenyum mendengar ibu-ibu itu bercanda. Menuju menit ke 40, salah seorang mendorong isi perutnya ke bawah. Terasa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Pagi yang Enggan Kembali   8. Sembunyi

    Empat hari tiga malam, tempat itu dirasanya menjadi hunian yang menciptakan trauma. Petang demi petang berlalu dengan rangkakan yang begitu malas. Jam di dinding seperti lamban bergerak. Berkali-kali ia pejamkan mata, berharap pagi telah menyapa begitu mata terbuka. Tapi hal itu tak pernah berhasil. Bukan saja karena kondisi fisiknya yang usai dioperasi, tapi juga kehancuran seluruh hidup seutuhnya. Ria mengunci diri di kamar bersama bayinya. Dia hanya membuka pintu jika ibu yang mengetuk untuk mengantarkan makan, memandikan si kecil, mengganti popok, atau memberikan susu. Selebihnya segala aktivitas dia lakukan di dalam kamar yang lengkap dengan kamar mandi dalam itu. Tamu yang datang hendak menengok si bayi sekaligus melayat harus ikhlas tidak dapat menemui orang yang dituju. Ibu dan bapak menjelaskan berulangkali pada setiap orang yang datang. Semua memaklumi, meski satu dua manusia masih tetap saja ada yang mencibir usai meninggalkan halaman rumah. Sepekan pertama Ria tak mampu m

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Pagi yang Enggan Kembali   9. Ibu Susu

    Tujuh jam di bus bersama bayi yang baru berusia dua bulan memang cukup menguras jiwa dan raganya. Aggun menjemputnya di terminal, lalu langsung bergerak ke Selatan menuju rumah yang katanya bisa dia tinggali. Rumah tiga lantai itu -yang meskipun cat putihnya terlihat sedikit kusam- sebenarnya jauh dari prediksi Ria. "Kukira tak semewah ini," ujarnya sambil mengamati setiap bagian rumah. Kepalanya mendongak demi melihat ujung atapnya. “Kamu bisa tinggal di sini sesuka kamu. Gratis. Yang penting kamu rawat. Setidaknya aku nggak perlu ngeluarin uang untuk jasa cleaning service," jelas Anggun. Ria meringis, lalu mencubit lengan sahabatnya. "Makasih, ya." Anggun memimpin di depan. Ia memilih kunci di tasnya, sementara Ria masih takjub dengan desain kebun kecil tepat di halaman depan yang meneduhkan mata. Ornamen-ornamen penghias taman juga tampak serasi. Ia terlihat modern, namun tetap menunjukkan jiwa seni yang bersejarah. "Kau bawa Aru dulu ke dalam. Aku bantu masukin barang," kata A

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Pagi yang Enggan Kembali   10. Pulang

    Seolah tak begitu penting, kasus pembunuhan di ATM rumah sakit itu tutup buku. Baskara berkali-kali naik pitam, tapi tetap saja tak ada perkembangan. Bahkan bapak sampai melabrak ke kantor polisi, tetap saja suaranya tak menembus gendang telinga. “Bapak dan keluarga sabar dulu. Kami masih terus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti. Kalau semua bukti sudah akurat, kami baru berani memutuskan, Pak,” begitu kata polisi tiap kali ditemui. “Dugaan sementara, motif pembunuhan ini adalah perampokan karena dompet korban hilang,” tambahnya. Jauh di kota yang berbeda, Ria pun mulai tak peduli lagi. Dia kesal menunggu kabar. Memikirkannya terus-terusan juga menambah lelah. Percuma menegakkan tekad sekuat apa pun untuk bilang pada dunia betapa sakitnya dia. Orang-orang di atas sana kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri. Maka dia memilih untuk fokus membangun jembatan kehidupan baru untuk dirinya bersama anak semata wayangnya. Dia sedang mencoba ikhlas, dan terus akan begitu. I

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Pagi yang Enggan Kembali   11. Memori yang Abadi

    Kembali di masa sekarang, pada waktu Ria berdiri di balik jendela menyaksikan dua orang yang telah membekaskan arti di dinding hatinya itu mengobrol begitu seru. Ia beralih mendekati kasur setelah hampir satu jam menonton gazibu tempat Aru dan Baskara bercengkerama. Ia berniat untuk tidur. Tapi saat wajah menghadap tepat keatasnya, plafon putih bersih itu seperti mengajak berbincang. Sialnyq, pikiran Ria pun membujuk untuk menanggapi itu. Maka bermunculanlah riuh gemuruh yang satu per satu mengetuk ingatannya. Sebuah percikan listrik seperti menular ke titik-titik lain, merangkai mengantarkan pada sebuah memori. Seperti ada seruan akan adanya hal yang mengganggu dan meminta diselesaikan malam itu juga. Ria mencoba memejamkan matanya, tapi usikan itu kian jelas. Ia mengambil posisi duduk dan mencoba meniliki dirinya. Barangkali ada yang salah seharian ini. Tapi otak tak kunjung menemukan jawaban. Ia sandarkan kepalanya ke headboard. Ia pandangi ruangan luas yang hanya ia tempati seora

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Pagi yang Enggan Kembali   12. Tidak Boleh Jatuh Cinta

    Kejadian semalam cukup membekaskan lelah. Ria rasakan sekujur badannya ngilu sekaligus perih. Beberapa kali dia meminta Aru untuk memijat pundaknya, sebelum bekerja kembali membereskan semua kekacauan di kamar. Baskara juga menyusul ikut membantu. Laki-laki itu meminta Ria dan Aru agar beristirahat saja. Ria menurut, dan beralih menuju dapur, sementara Aru enggan beranjak. Dia tetap bersama Baskara, membantu pekerjaan yang ringan.Baskara ber-aduh lirih untuk yang ke dua kali. Telapak kakinya tertusuk pecahan beling di lantai. Aru bergegas mengambilkan penutup luka dan sandal untuknya."Nggak usah," tolaknya saat Aru juga menyerahkan sandal karet dengan kepala kelinci berwarna merah muda di mukanya.Aru mengangkat kakinya tinggi seraya berseru, "Nih, dari tadi aku aman, Om." Wajahnya serius, seperti tengah berhadapan dengan anak yang pembangkang. Baskara meringis dan memakai sandal itu. Pukul tujuh tepat ketika mereka sedang selonjoran di depan televisi sambil menyeduh teh hangat, s

  • Pagi yang Enggan Kembali   11. Memori yang Abadi

    Kembali di masa sekarang, pada waktu Ria berdiri di balik jendela menyaksikan dua orang yang telah membekaskan arti di dinding hatinya itu mengobrol begitu seru. Ia beralih mendekati kasur setelah hampir satu jam menonton gazibu tempat Aru dan Baskara bercengkerama. Ia berniat untuk tidur. Tapi saat wajah menghadap tepat keatasnya, plafon putih bersih itu seperti mengajak berbincang. Sialnyq, pikiran Ria pun membujuk untuk menanggapi itu. Maka bermunculanlah riuh gemuruh yang satu per satu mengetuk ingatannya. Sebuah percikan listrik seperti menular ke titik-titik lain, merangkai mengantarkan pada sebuah memori. Seperti ada seruan akan adanya hal yang mengganggu dan meminta diselesaikan malam itu juga. Ria mencoba memejamkan matanya, tapi usikan itu kian jelas. Ia mengambil posisi duduk dan mencoba meniliki dirinya. Barangkali ada yang salah seharian ini. Tapi otak tak kunjung menemukan jawaban. Ia sandarkan kepalanya ke headboard. Ia pandangi ruangan luas yang hanya ia tempati seora

  • Pagi yang Enggan Kembali   10. Pulang

    Seolah tak begitu penting, kasus pembunuhan di ATM rumah sakit itu tutup buku. Baskara berkali-kali naik pitam, tapi tetap saja tak ada perkembangan. Bahkan bapak sampai melabrak ke kantor polisi, tetap saja suaranya tak menembus gendang telinga. “Bapak dan keluarga sabar dulu. Kami masih terus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti. Kalau semua bukti sudah akurat, kami baru berani memutuskan, Pak,” begitu kata polisi tiap kali ditemui. “Dugaan sementara, motif pembunuhan ini adalah perampokan karena dompet korban hilang,” tambahnya. Jauh di kota yang berbeda, Ria pun mulai tak peduli lagi. Dia kesal menunggu kabar. Memikirkannya terus-terusan juga menambah lelah. Percuma menegakkan tekad sekuat apa pun untuk bilang pada dunia betapa sakitnya dia. Orang-orang di atas sana kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri. Maka dia memilih untuk fokus membangun jembatan kehidupan baru untuk dirinya bersama anak semata wayangnya. Dia sedang mencoba ikhlas, dan terus akan begitu. I

  • Pagi yang Enggan Kembali   9. Ibu Susu

    Tujuh jam di bus bersama bayi yang baru berusia dua bulan memang cukup menguras jiwa dan raganya. Aggun menjemputnya di terminal, lalu langsung bergerak ke Selatan menuju rumah yang katanya bisa dia tinggali. Rumah tiga lantai itu -yang meskipun cat putihnya terlihat sedikit kusam- sebenarnya jauh dari prediksi Ria. "Kukira tak semewah ini," ujarnya sambil mengamati setiap bagian rumah. Kepalanya mendongak demi melihat ujung atapnya. “Kamu bisa tinggal di sini sesuka kamu. Gratis. Yang penting kamu rawat. Setidaknya aku nggak perlu ngeluarin uang untuk jasa cleaning service," jelas Anggun. Ria meringis, lalu mencubit lengan sahabatnya. "Makasih, ya." Anggun memimpin di depan. Ia memilih kunci di tasnya, sementara Ria masih takjub dengan desain kebun kecil tepat di halaman depan yang meneduhkan mata. Ornamen-ornamen penghias taman juga tampak serasi. Ia terlihat modern, namun tetap menunjukkan jiwa seni yang bersejarah. "Kau bawa Aru dulu ke dalam. Aku bantu masukin barang," kata A

  • Pagi yang Enggan Kembali   8. Sembunyi

    Empat hari tiga malam, tempat itu dirasanya menjadi hunian yang menciptakan trauma. Petang demi petang berlalu dengan rangkakan yang begitu malas. Jam di dinding seperti lamban bergerak. Berkali-kali ia pejamkan mata, berharap pagi telah menyapa begitu mata terbuka. Tapi hal itu tak pernah berhasil. Bukan saja karena kondisi fisiknya yang usai dioperasi, tapi juga kehancuran seluruh hidup seutuhnya. Ria mengunci diri di kamar bersama bayinya. Dia hanya membuka pintu jika ibu yang mengetuk untuk mengantarkan makan, memandikan si kecil, mengganti popok, atau memberikan susu. Selebihnya segala aktivitas dia lakukan di dalam kamar yang lengkap dengan kamar mandi dalam itu. Tamu yang datang hendak menengok si bayi sekaligus melayat harus ikhlas tidak dapat menemui orang yang dituju. Ibu dan bapak menjelaskan berulangkali pada setiap orang yang datang. Semua memaklumi, meski satu dua manusia masih tetap saja ada yang mencibir usai meninggalkan halaman rumah. Sepekan pertama Ria tak mampu m

  • Pagi yang Enggan Kembali   7. Kelahiran dan Kematian

    Dinginnya ruangan berpadu dengan beku dalam jiwanya. Ria duduk tegak dan dokter menyuntikkan obat bius epidural di saraf punggung bagian bawah. Beberapa saat kemudian perasaan asing menjalar di kakinya hingga akhirnya separuh tubuhnya benar-benar hilang rasa. Ia menatap ke langit-langit yang sunyi. Sementara, sekitar lima orang tenaga medis sibuk mengiris kulit perutnya. Kain penutup tubuhnya sekaligus menjadi tirai penghalang agar ia tak menyaksikan apa yang sedang dokter beserta timnya kerjakan di sekitar tubuh bagian bawah. Denting bunyi alat-alat tajam yang saling bersenggolan terdengar menusuk di telinga. Untuk pekerjaan sepenting ini, mereka masih dapat asyik mengobrol, bahkan menggosip. Bagi para tenaga medis, mungkin pekerjaan itu sudah semacam mengupas bawang layaknya bagi ibu rumah tangga biasa. Perlahan Ria mulai bersahabat dengan keadaan. Dia sesekali ikut tersenyum mendengar ibu-ibu itu bercanda. Menuju menit ke 40, salah seorang mendorong isi perutnya ke bawah. Terasa

  • Pagi yang Enggan Kembali   6. Ruang Bersalin

    Tuhan agaknya tak ingin berlama-lama membiarkan sepasang manusia itu hidup berdua saja. Dua bulan setelah keduanya menandatangani buku nikah, Ria berulang-kali menghitung periode haidnya. HIngga dia benar-benar yakin bahwa bulan itu jadwalnya terlewat. Langkah selanjutnya dia membeli alat tes kehamilan, dan benar saja dua garis merah menjadi jawabannya. Arya menjadi orag pertama yang girangnya bukan main. Disusul oleh bapak-ibu juga om dan tante. "Ini sudah ada kantung hamilnya, ya, Mbak, Mas," kata dokter sambil menunjukkan layar hasil USG. Keduanya mengangguk bahagia. Bulan berganti bulan, mereka rutin berkunjung untuk kontrol kandungan. Vitamin dan susu menjadi asupan wajib, meskipun lebih sering isi perutnya keluar kembali. RIa yang rewel dengan bau-bauan, juga Arya yang pontang-panting demi memenuhi pinta kekasihnya yang tengah berbadan dua itu. Sembilan bulan berlalu dengan melelahkan namun juga bahagia dalam kemanjaan. Ranjang-ranjang beroda berderet berbataskan gorden-gorden

  • Pagi yang Enggan Kembali   5. Bersatu

    Sebuah pertemuan yang tak terduga. Teman-teman Ria juga kembali ke Jakarta membawa kenangan tak terlupakan. Mereka pulang dua hari kemudian karena memutuskan untuk mengunjungi semua tempat yang Arya rekomendasikan. Anak itu mahir dalam membujuk. Selama tiga hari itu juga akhirnya rombongan mereka mendapat personil baru yang sangat membantu. Bukan hanya paham soal tempat-tempat wisata di Semarang, tapi juga seorang fotografer jempolan. Setidaknya Ria merasa berbangga karena teman-temannya puas. Tak sia-sia mereka datang jauh-jauh. Saat mobil perak itu bergerak meninggalkan dirinya dan Arya yang berdiri di pinggir jalan, saat itu pula ternyata sebuah cerita baru dimulai. Setiap malam ia membuka file berisi foto-foto di komputernya. Ia amati satu demi satu. Bibirnya tersungging tiada henti seiring jemari di mouse menekan-nekan dan membuat foto di layar berganti-ganti. Di sudut bumi yang berbeda, laki-laki itu juga mengamati foto-foto di kameranya sambil rebahan di kasur. Bukan saja kare

  • Pagi yang Enggan Kembali   4. Pemuda Baik Hati

    Kala itu di tahun 1998. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian regional Jawa Tengah, tentu kota itu terbilang maju jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Meskipun begitu, ada bagian di dekat kaki gunung Ungaran, yang mana manusia di sana masih hidup bersama limpahan kekayaan alam. Jauh dari polusi industri dan sibuknya ibu kota provinsi. Sebuah mobil berisi rombongan muda-mudi baru saja memasuki kawasan Semarang. Salah satu yang berada di sana memotret gapura besar bertuliskan selamat datang. Untuk orang-orang seperti mereka, kota ini terlihat jauh lebih menenangkan dibanding kota asalnya. Kendaraan berplat Jakarta itu terus melaju hingga akhirnya berbelok menuju jalan setapak yang lebih sepi, memasuki sebuah pedesaan. Satu orang fokus melihat g****e map di ponselnya. Dua yang lain duduk di belakang dan menikmati pemandagan dari balik jendela di sisi masing-masing. Cukup panjang rute yang mereka tempuh tanpa ada rumah di kanan-kirinya. Sekitar 2 kilometer hanya ada beragam j

DMCA.com Protection Status