Tuhan agaknya tak ingin berlama-lama membiarkan sepasang manusia itu hidup berdua saja. Dua bulan setelah keduanya menandatangani buku nikah, Ria berulang-kali menghitung periode haidnya. HIngga dia benar-benar yakin bahwa bulan itu jadwalnya terlewat. Langkah selanjutnya dia membeli alat tes kehamilan, dan benar saja dua garis merah menjadi jawabannya. Arya menjadi orag pertama yang girangnya bukan main. Disusul oleh bapak-ibu juga om dan tante.
"Ini sudah ada kantung hamilnya, ya, Mbak, Mas," kata dokter sambil menunjukkan layar hasil USG. Keduanya mengangguk bahagia. Bulan berganti bulan, mereka rutin berkunjung untuk kontrol kandungan. Vitamin dan susu menjadi asupan wajib, meskipun lebih sering isi perutnya keluar kembali. RIa yang rewel dengan bau-bauan, juga Arya yang pontang-panting demi memenuhi pinta kekasihnya yang tengah berbadan dua itu. Sembilan bulan berlalu dengan melelahkan namun juga bahagia dalam kemanjaan.Ranjang-ranjang beroda berderet berbataskan gorden-gorden panjang yang terjulur nyaris menyentuh lantai. Semua penuh ditempati oleh wanita yang berbaring dalam kepayahan ditemani suami, ada juga yang didampingi sang ibu. Rintihan pilu terdengar. Para petugas berseragam putih bekerja cekatan sambil sabar membimbing pasien di depannya.Ria menuju ranjang paling ujung dekat jendela. Arya menenteng tas besar yang penuh sesak, mengikuti di belakang. Seorang suster memberi instruksi dan menyuruh menunggu, lalu pergi. Orang di sebelah sedang menghadapi situasi genting. Ia menangis terus-terusan, dan sesekali membentak orang yang menemaninya..Suster tadi datang kembali, menyuruh Ria tiduran beralas dan berselimut kain yang dia bawa. “Maaf, Ibu, saya cek bukaan lagi, ya,” katanya sambil memasukkan jemarin ke dalam sarung tangan karet.Merinding Ria mendengarnya. Ini kali ke tiga jari-jari itu akan merasuk jahat jauh ke dalam ruang kecil di antara tulang selangkangannya. Begitu pekerjaan suster dimulai, urat-urat nadi Ria menegang. Matanya terpejam menahan ngilu. Dia cengkeram baju suaminya yang duduk di sebelah. “Masih bukaan tiga,” tutur suster setelah mengeluarkan tangannya kembali.“Kalau begitu, kita lanjut induksi yang ke tiga, ya, Bu. Saya pasangkan kateter foley.” Dua suster bersiap merangkai peralatan. Ria pasrah, mau diapakan dia serahkan dirinya. Dua tangannya terus membelai perut yang semakin sering menonjol lantaran entah ditinju, ditendang, atau disikut oleh janin di dalam.Pukul tujuh, bayi-bayi yang menginap di rumah sakit dimandikan. Tangis bersusulan seiring tubuh-tubuh mungil itu bergantian dibasuh air. Suara mereka membuat angan Ria kemana-mana dan rindu kian bertalu-talu. Duhai, sebentar lagi, lengkingan tangis itu pun akan terdengar begitu sang buah hati keluar dari dalam rahimnya.Rita masih berbaring. Rasa mulas datang dan pergi. Dua puluh empat jam sudah dia menunggu dalam perkembangan yang lambat sejak tiba di rumah sakit. Semalam tak dapat tidur karena perut terasa kacau. Arya juga berkali-kali terbangun tiap tiga jam ketika dokter masuk untuk memeriksa. Hingga subuh tiba, hingga dirinya dipanggil untuk menuju ruang persalinan.Ria turun dari ranjang dibantu suaminya. Darah sudah menyebar kemana-mana. Roknya yang kuyub bau amis ia tutupi dengan sarung. Pelan-pelan dia menuju kamar mandi. Dia mencuri-curi pandang ke kanan-kiri. Dari ranjang ke ranjang, semua sedang berjuang. Berderai-derai air mata, menguar rintihan pilu.Selesai dari kamar mandi, suster sedang berbincang dengan suaminya. Melihat kedatangannya, suster beralih berbicara dengannya. “Bu, setelah kami sampaikan perkembangan ibu ke dokter Indah, Ibu disarankan untuk bedah sesar.”Ria menoleh ke Arya. Andai ada yang mampu menerjemahkan, tatapan mata dirinya kosong. Hatinya hancur. Dia terus memandang laki-laki itu dengan penuh penyesalan dan perasaan bersalah.“Apa pun itu, yang penting terbaik untuk ibu dan bayinya, Sus,” tutur Arya.Suster menjelaskan prosedurnya. Dia pergi sebentar dan datang kembali menyerahkan beberapa lembar berkas yang harus ditandatangani. Ria masih sesenggukan menerima kenyataan. Rasa-rasanya dia menjadi ibu yang sangat lemah. Seorang wanita yang kalah.Arya berkemas, sementara Ria dibantu suster melucuti semua pakaiannya dan hanya mengenakan selembar baju kurung untuk operasi beserta penutup rambut. Kateter dipasang. Lagi-lagi organ vitalnya harus berurusan dengan benda-benda medis. Dia dibimbing duduk di kursi roda, lalu didorong menuju ruang operasi. Suaminya mengurus administrasi setelah meletakkan tas ke kamar inap.Di depan sebuah pintu, di ruang kosong yang jauh dari lalu lalang orang, mereka berhenti. “Ibu tunggu di sini, nanti ada suster yang menjemput,” ucap suster muda yang mengantarnya. Ria mengangguk, bilang terimakasih. Ia ditinggalkan sendirian di sana.Arya mengabari orang rumah, memberi tahu bahwa istrinya harus operasi. Mereka bilang akan datang segera. Hanya belasan menit perjalanan dari rumah. Arya turun menuju garasi, bermaksud menjemput bapak dan ibu sekaligus mencari minuman dingin di luar.Tiba di depan lift, sembari menunggu pintu otomatis terbuka, ia tiba-tiba memikirkan kekasihnya beserta si kecil dalam perut yang sebentar lagi akan berjumpa di dunia. Dia menoleh ke belakang, seolah-olah perempuan yang dicintainya itu ada di sana. Tiba-tiba langkahnya terasa berat untuk digerakkan. Mendadak perasaan ganjil menyergap jiwanya. Desing pintu besi berbunyi. Dua orang petugas rumah sakit keluar dari sana. Di ruang kecil dingin itu, Arya pandangi wajahnya lewat pantulan bayangan di cermin. Rasanya tak nyaman.Lift berhenti, Arya melangkah keluar. Tidak ada orang di sana. Dia menuju parkiran. Keramaian sama seperti hari-hari biasa. Ia menuju ke ATM terlebih dahulu. Ada dua mesin di dalam, yang satu kosong. Dia langsung masuk. Orang di sebelahnya keluar, lalu satu orang lain masuk. Arya reflek saja menoleh sebentar, lalu kembali melanjutkan transaksi.Orang di sebelahnya menengok sekitar. Kartu ATM belum juga orang itu keluarkan, dan tangan masih menyelinap di balik jaket merahnya. Arya menarik uang yang keluar. Dia menyudahi transaksi, kartu ATM menyusul keluar dari mesin. Ia mengambilnya dan memasukkan ke dompet beserta uang tadi.Sebelum pergi, entah mengapa dia melirik sekali lagi orang di sebelahnya. Mata mereka bertemu. Keduanya saling tatap. Dalam hitungan yang begitu cepat, bersamaan dengan kesadaran yang datang terlambat, saat tangan Arya bergerak meraih gagang pintu, orang itu melesat mendekat.Tubuh Arya meluruh ke lantai. Dompet di genggamannya diambil, dan hanya KTP yang dikembalikan ke telapak tangannya. Orang itu menaruh kembali pisau kecil ke balik jaketnya. Ia bergegas setelah sebelumnya menyemprotkan cat ke kamera pengawas dan mengotak-atik pintu ATM agar terkunci. Sebuah keahlian yang sudah mahir dia kerjakan.Lantai putih dinodai oleh cairan merah kehitaman yang mengalir segar. Arya memukul-mukul dinding kaca. Ia sekarat. Kematian dilihatnya sudah begitu dekat. Di dalam sisa-sisa kesadarannya, hanya asma Tuhannya yang dibisikkan. Lalu oksigen perlahan kehilangan tumpangan untuk menuju otak.***Dinginnya ruangan berpadu dengan beku dalam jiwanya. Ria duduk tegak dan dokter menyuntikkan obat bius epidural di saraf punggung bagian bawah. Beberapa saat kemudian perasaan asing menjalar di kakinya hingga akhirnya separuh tubuhnya benar-benar hilang rasa. Ia menatap ke langit-langit yang sunyi. Sementara, sekitar lima orang tenaga medis sibuk mengiris kulit perutnya. Kain penutup tubuhnya sekaligus menjadi tirai penghalang agar ia tak menyaksikan apa yang sedang dokter beserta timnya kerjakan di sekitar tubuh bagian bawah. Denting bunyi alat-alat tajam yang saling bersenggolan terdengar menusuk di telinga. Untuk pekerjaan sepenting ini, mereka masih dapat asyik mengobrol, bahkan menggosip. Bagi para tenaga medis, mungkin pekerjaan itu sudah semacam mengupas bawang layaknya bagi ibu rumah tangga biasa. Perlahan Ria mulai bersahabat dengan keadaan. Dia sesekali ikut tersenyum mendengar ibu-ibu itu bercanda. Menuju menit ke 40, salah seorang mendorong isi perutnya ke bawah. Terasa
Empat hari tiga malam, tempat itu dirasanya menjadi hunian yang menciptakan trauma. Petang demi petang berlalu dengan rangkakan yang begitu malas. Jam di dinding seperti lamban bergerak. Berkali-kali ia pejamkan mata, berharap pagi telah menyapa begitu mata terbuka. Tapi hal itu tak pernah berhasil. Bukan saja karena kondisi fisiknya yang usai dioperasi, tapi juga kehancuran seluruh hidup seutuhnya. Ria mengunci diri di kamar bersama bayinya. Dia hanya membuka pintu jika ibu yang mengetuk untuk mengantarkan makan, memandikan si kecil, mengganti popok, atau memberikan susu. Selebihnya segala aktivitas dia lakukan di dalam kamar yang lengkap dengan kamar mandi dalam itu. Tamu yang datang hendak menengok si bayi sekaligus melayat harus ikhlas tidak dapat menemui orang yang dituju. Ibu dan bapak menjelaskan berulangkali pada setiap orang yang datang. Semua memaklumi, meski satu dua manusia masih tetap saja ada yang mencibir usai meninggalkan halaman rumah. Sepekan pertama Ria tak mampu m
Tujuh jam di bus bersama bayi yang baru berusia dua bulan memang cukup menguras jiwa dan raganya. Aggun menjemputnya di terminal, lalu langsung bergerak ke Selatan menuju rumah yang katanya bisa dia tinggali. Rumah tiga lantai itu -yang meskipun cat putihnya terlihat sedikit kusam- sebenarnya jauh dari prediksi Ria. "Kukira tak semewah ini," ujarnya sambil mengamati setiap bagian rumah. Kepalanya mendongak demi melihat ujung atapnya. “Kamu bisa tinggal di sini sesuka kamu. Gratis. Yang penting kamu rawat. Setidaknya aku nggak perlu ngeluarin uang untuk jasa cleaning service," jelas Anggun. Ria meringis, lalu mencubit lengan sahabatnya. "Makasih, ya." Anggun memimpin di depan. Ia memilih kunci di tasnya, sementara Ria masih takjub dengan desain kebun kecil tepat di halaman depan yang meneduhkan mata. Ornamen-ornamen penghias taman juga tampak serasi. Ia terlihat modern, namun tetap menunjukkan jiwa seni yang bersejarah. "Kau bawa Aru dulu ke dalam. Aku bantu masukin barang," kata A
Seolah tak begitu penting, kasus pembunuhan di ATM rumah sakit itu tutup buku. Baskara berkali-kali naik pitam, tapi tetap saja tak ada perkembangan. Bahkan bapak sampai melabrak ke kantor polisi, tetap saja suaranya tak menembus gendang telinga. “Bapak dan keluarga sabar dulu. Kami masih terus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti. Kalau semua bukti sudah akurat, kami baru berani memutuskan, Pak,” begitu kata polisi tiap kali ditemui. “Dugaan sementara, motif pembunuhan ini adalah perampokan karena dompet korban hilang,” tambahnya. Jauh di kota yang berbeda, Ria pun mulai tak peduli lagi. Dia kesal menunggu kabar. Memikirkannya terus-terusan juga menambah lelah. Percuma menegakkan tekad sekuat apa pun untuk bilang pada dunia betapa sakitnya dia. Orang-orang di atas sana kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri. Maka dia memilih untuk fokus membangun jembatan kehidupan baru untuk dirinya bersama anak semata wayangnya. Dia sedang mencoba ikhlas, dan terus akan begitu. I
Kembali di masa sekarang, pada waktu Ria berdiri di balik jendela menyaksikan dua orang yang telah membekaskan arti di dinding hatinya itu mengobrol begitu seru. Ia beralih mendekati kasur setelah hampir satu jam menonton gazibu tempat Aru dan Baskara bercengkerama. Ia berniat untuk tidur. Tapi saat wajah menghadap tepat keatasnya, plafon putih bersih itu seperti mengajak berbincang. Sialnyq, pikiran Ria pun membujuk untuk menanggapi itu. Maka bermunculanlah riuh gemuruh yang satu per satu mengetuk ingatannya. Sebuah percikan listrik seperti menular ke titik-titik lain, merangkai mengantarkan pada sebuah memori. Seperti ada seruan akan adanya hal yang mengganggu dan meminta diselesaikan malam itu juga. Ria mencoba memejamkan matanya, tapi usikan itu kian jelas. Ia mengambil posisi duduk dan mencoba meniliki dirinya. Barangkali ada yang salah seharian ini. Tapi otak tak kunjung menemukan jawaban. Ia sandarkan kepalanya ke headboard. Ia pandangi ruangan luas yang hanya ia tempati seora
Kejadian semalam cukup membekaskan lelah. Ria rasakan sekujur badannya ngilu sekaligus perih. Beberapa kali dia meminta Aru untuk memijat pundaknya, sebelum bekerja kembali membereskan semua kekacauan di kamar. Baskara juga menyusul ikut membantu. Laki-laki itu meminta Ria dan Aru agar beristirahat saja. Ria menurut, dan beralih menuju dapur, sementara Aru enggan beranjak. Dia tetap bersama Baskara, membantu pekerjaan yang ringan.Baskara ber-aduh lirih untuk yang ke dua kali. Telapak kakinya tertusuk pecahan beling di lantai. Aru bergegas mengambilkan penutup luka dan sandal untuknya."Nggak usah," tolaknya saat Aru juga menyerahkan sandal karet dengan kepala kelinci berwarna merah muda di mukanya.Aru mengangkat kakinya tinggi seraya berseru, "Nih, dari tadi aku aman, Om." Wajahnya serius, seperti tengah berhadapan dengan anak yang pembangkang. Baskara meringis dan memakai sandal itu. Pukul tujuh tepat ketika mereka sedang selonjoran di depan televisi sambil menyeduh teh hangat, s
"Oke, jari ke ujung rambut. Senyum. Wajah serong kiri," tangan fotografer memberi aba-aba. Perempuan itu mematung sambil berhitung sampai tiga dalam hati. Lalu berganti gaya mengikuti arahan orang di belakang kamera. Di sela-sela fokusnya, ia sadar jika dirinya sedang menjadi target bahan lamunan. Tapi hal itu tak sedikit pun mengusik profesionalitasnya. Ia tetap tampil elegan dengan pesona berkelasnya. Ia serahkan semua keindahan tubuhnya pada lesatan cahaya yang rakus membidik. Ruangan yang membentang luas tanpa sekat itu seolah menjadi panggung miliknya seorang. Stiletto merah terang menambah cantik kaki hingga betisnya yang ramping memanjang. Warna kuning langsat merata memoles kulit. Cerah dan mulus di semua titik. Berhenti sampai di lutut, peplum skirt dengan warna senada membungkus bentukan tubuhnya yang menjual. Lalu disambung kemeja batik lasem bermotif liuk-liuk layaknya batang beserta serpihan batu, yang potongan kainnya menyuguhkan kemolekan membetahkan mata. Rambutnya te
Rasa yang hilang. Hari yang tak akan berulang. Mentari yang juga enggan kembali bersulang. Masa-masa yang dirasanya begitu panjang. Berlalu hanya untuk menambah nganga luka yang terus-terusan meradang. Semakin dieja, semakin menyesakkan untuk dikenang. Pernah ia mencoba untuk berdamai dan mempersilakan siapa pun untuk datang. Tapi ia ternyata selalu kalah oleh gumpalan luka yang kekal bersarang. Ia pernah berjuang untuk melawan dendam yang mengekang, tapi ketakutan tiba-tiba ikut bertandang. Sebanyak apa pun dirinya berusaha, lagi-lagi langit tetap memilih petang, membungkam gemintang. Pandangannya jauh ke atas menembus lapisan tanpa ujung batas. Ia kais-kais sisa hatinya yang tak tercabik. Berkelebat riang dan tawa yang sesaat. Terngiang cita-cita bersama yang saat itu rasanya begitu dekat untuk menjadi nyata. Sayangnya cerita berlangsung singkat. Andai saja bukan dia. Andai saja bukan dirinya. Terkadang dia pun berpikir bahwa mungkin Tuhan memang tak ingin melihatnya bahagia. Ia sud
Kejadian semalam cukup membekaskan lelah. Ria rasakan sekujur badannya ngilu sekaligus perih. Beberapa kali dia meminta Aru untuk memijat pundaknya, sebelum bekerja kembali membereskan semua kekacauan di kamar. Baskara juga menyusul ikut membantu. Laki-laki itu meminta Ria dan Aru agar beristirahat saja. Ria menurut, dan beralih menuju dapur, sementara Aru enggan beranjak. Dia tetap bersama Baskara, membantu pekerjaan yang ringan.Baskara ber-aduh lirih untuk yang ke dua kali. Telapak kakinya tertusuk pecahan beling di lantai. Aru bergegas mengambilkan penutup luka dan sandal untuknya."Nggak usah," tolaknya saat Aru juga menyerahkan sandal karet dengan kepala kelinci berwarna merah muda di mukanya.Aru mengangkat kakinya tinggi seraya berseru, "Nih, dari tadi aku aman, Om." Wajahnya serius, seperti tengah berhadapan dengan anak yang pembangkang. Baskara meringis dan memakai sandal itu. Pukul tujuh tepat ketika mereka sedang selonjoran di depan televisi sambil menyeduh teh hangat, s
Kembali di masa sekarang, pada waktu Ria berdiri di balik jendela menyaksikan dua orang yang telah membekaskan arti di dinding hatinya itu mengobrol begitu seru. Ia beralih mendekati kasur setelah hampir satu jam menonton gazibu tempat Aru dan Baskara bercengkerama. Ia berniat untuk tidur. Tapi saat wajah menghadap tepat keatasnya, plafon putih bersih itu seperti mengajak berbincang. Sialnyq, pikiran Ria pun membujuk untuk menanggapi itu. Maka bermunculanlah riuh gemuruh yang satu per satu mengetuk ingatannya. Sebuah percikan listrik seperti menular ke titik-titik lain, merangkai mengantarkan pada sebuah memori. Seperti ada seruan akan adanya hal yang mengganggu dan meminta diselesaikan malam itu juga. Ria mencoba memejamkan matanya, tapi usikan itu kian jelas. Ia mengambil posisi duduk dan mencoba meniliki dirinya. Barangkali ada yang salah seharian ini. Tapi otak tak kunjung menemukan jawaban. Ia sandarkan kepalanya ke headboard. Ia pandangi ruangan luas yang hanya ia tempati seora
Seolah tak begitu penting, kasus pembunuhan di ATM rumah sakit itu tutup buku. Baskara berkali-kali naik pitam, tapi tetap saja tak ada perkembangan. Bahkan bapak sampai melabrak ke kantor polisi, tetap saja suaranya tak menembus gendang telinga. “Bapak dan keluarga sabar dulu. Kami masih terus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti. Kalau semua bukti sudah akurat, kami baru berani memutuskan, Pak,” begitu kata polisi tiap kali ditemui. “Dugaan sementara, motif pembunuhan ini adalah perampokan karena dompet korban hilang,” tambahnya. Jauh di kota yang berbeda, Ria pun mulai tak peduli lagi. Dia kesal menunggu kabar. Memikirkannya terus-terusan juga menambah lelah. Percuma menegakkan tekad sekuat apa pun untuk bilang pada dunia betapa sakitnya dia. Orang-orang di atas sana kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri. Maka dia memilih untuk fokus membangun jembatan kehidupan baru untuk dirinya bersama anak semata wayangnya. Dia sedang mencoba ikhlas, dan terus akan begitu. I
Tujuh jam di bus bersama bayi yang baru berusia dua bulan memang cukup menguras jiwa dan raganya. Aggun menjemputnya di terminal, lalu langsung bergerak ke Selatan menuju rumah yang katanya bisa dia tinggali. Rumah tiga lantai itu -yang meskipun cat putihnya terlihat sedikit kusam- sebenarnya jauh dari prediksi Ria. "Kukira tak semewah ini," ujarnya sambil mengamati setiap bagian rumah. Kepalanya mendongak demi melihat ujung atapnya. “Kamu bisa tinggal di sini sesuka kamu. Gratis. Yang penting kamu rawat. Setidaknya aku nggak perlu ngeluarin uang untuk jasa cleaning service," jelas Anggun. Ria meringis, lalu mencubit lengan sahabatnya. "Makasih, ya." Anggun memimpin di depan. Ia memilih kunci di tasnya, sementara Ria masih takjub dengan desain kebun kecil tepat di halaman depan yang meneduhkan mata. Ornamen-ornamen penghias taman juga tampak serasi. Ia terlihat modern, namun tetap menunjukkan jiwa seni yang bersejarah. "Kau bawa Aru dulu ke dalam. Aku bantu masukin barang," kata A
Empat hari tiga malam, tempat itu dirasanya menjadi hunian yang menciptakan trauma. Petang demi petang berlalu dengan rangkakan yang begitu malas. Jam di dinding seperti lamban bergerak. Berkali-kali ia pejamkan mata, berharap pagi telah menyapa begitu mata terbuka. Tapi hal itu tak pernah berhasil. Bukan saja karena kondisi fisiknya yang usai dioperasi, tapi juga kehancuran seluruh hidup seutuhnya. Ria mengunci diri di kamar bersama bayinya. Dia hanya membuka pintu jika ibu yang mengetuk untuk mengantarkan makan, memandikan si kecil, mengganti popok, atau memberikan susu. Selebihnya segala aktivitas dia lakukan di dalam kamar yang lengkap dengan kamar mandi dalam itu. Tamu yang datang hendak menengok si bayi sekaligus melayat harus ikhlas tidak dapat menemui orang yang dituju. Ibu dan bapak menjelaskan berulangkali pada setiap orang yang datang. Semua memaklumi, meski satu dua manusia masih tetap saja ada yang mencibir usai meninggalkan halaman rumah. Sepekan pertama Ria tak mampu m
Dinginnya ruangan berpadu dengan beku dalam jiwanya. Ria duduk tegak dan dokter menyuntikkan obat bius epidural di saraf punggung bagian bawah. Beberapa saat kemudian perasaan asing menjalar di kakinya hingga akhirnya separuh tubuhnya benar-benar hilang rasa. Ia menatap ke langit-langit yang sunyi. Sementara, sekitar lima orang tenaga medis sibuk mengiris kulit perutnya. Kain penutup tubuhnya sekaligus menjadi tirai penghalang agar ia tak menyaksikan apa yang sedang dokter beserta timnya kerjakan di sekitar tubuh bagian bawah. Denting bunyi alat-alat tajam yang saling bersenggolan terdengar menusuk di telinga. Untuk pekerjaan sepenting ini, mereka masih dapat asyik mengobrol, bahkan menggosip. Bagi para tenaga medis, mungkin pekerjaan itu sudah semacam mengupas bawang layaknya bagi ibu rumah tangga biasa. Perlahan Ria mulai bersahabat dengan keadaan. Dia sesekali ikut tersenyum mendengar ibu-ibu itu bercanda. Menuju menit ke 40, salah seorang mendorong isi perutnya ke bawah. Terasa
Tuhan agaknya tak ingin berlama-lama membiarkan sepasang manusia itu hidup berdua saja. Dua bulan setelah keduanya menandatangani buku nikah, Ria berulang-kali menghitung periode haidnya. HIngga dia benar-benar yakin bahwa bulan itu jadwalnya terlewat. Langkah selanjutnya dia membeli alat tes kehamilan, dan benar saja dua garis merah menjadi jawabannya. Arya menjadi orag pertama yang girangnya bukan main. Disusul oleh bapak-ibu juga om dan tante. "Ini sudah ada kantung hamilnya, ya, Mbak, Mas," kata dokter sambil menunjukkan layar hasil USG. Keduanya mengangguk bahagia. Bulan berganti bulan, mereka rutin berkunjung untuk kontrol kandungan. Vitamin dan susu menjadi asupan wajib, meskipun lebih sering isi perutnya keluar kembali. RIa yang rewel dengan bau-bauan, juga Arya yang pontang-panting demi memenuhi pinta kekasihnya yang tengah berbadan dua itu. Sembilan bulan berlalu dengan melelahkan namun juga bahagia dalam kemanjaan. Ranjang-ranjang beroda berderet berbataskan gorden-gorden
Sebuah pertemuan yang tak terduga. Teman-teman Ria juga kembali ke Jakarta membawa kenangan tak terlupakan. Mereka pulang dua hari kemudian karena memutuskan untuk mengunjungi semua tempat yang Arya rekomendasikan. Anak itu mahir dalam membujuk. Selama tiga hari itu juga akhirnya rombongan mereka mendapat personil baru yang sangat membantu. Bukan hanya paham soal tempat-tempat wisata di Semarang, tapi juga seorang fotografer jempolan. Setidaknya Ria merasa berbangga karena teman-temannya puas. Tak sia-sia mereka datang jauh-jauh. Saat mobil perak itu bergerak meninggalkan dirinya dan Arya yang berdiri di pinggir jalan, saat itu pula ternyata sebuah cerita baru dimulai. Setiap malam ia membuka file berisi foto-foto di komputernya. Ia amati satu demi satu. Bibirnya tersungging tiada henti seiring jemari di mouse menekan-nekan dan membuat foto di layar berganti-ganti. Di sudut bumi yang berbeda, laki-laki itu juga mengamati foto-foto di kameranya sambil rebahan di kasur. Bukan saja kare
Kala itu di tahun 1998. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian regional Jawa Tengah, tentu kota itu terbilang maju jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Meskipun begitu, ada bagian di dekat kaki gunung Ungaran, yang mana manusia di sana masih hidup bersama limpahan kekayaan alam. Jauh dari polusi industri dan sibuknya ibu kota provinsi. Sebuah mobil berisi rombongan muda-mudi baru saja memasuki kawasan Semarang. Salah satu yang berada di sana memotret gapura besar bertuliskan selamat datang. Untuk orang-orang seperti mereka, kota ini terlihat jauh lebih menenangkan dibanding kota asalnya. Kendaraan berplat Jakarta itu terus melaju hingga akhirnya berbelok menuju jalan setapak yang lebih sepi, memasuki sebuah pedesaan. Satu orang fokus melihat g****e map di ponselnya. Dua yang lain duduk di belakang dan menikmati pemandagan dari balik jendela di sisi masing-masing. Cukup panjang rute yang mereka tempuh tanpa ada rumah di kanan-kirinya. Sekitar 2 kilometer hanya ada beragam j