Share

5. Bersatu

Author: Erwintiyati
last update Last Updated: 2022-10-05 11:27:12

Sebuah pertemuan yang tak terduga. Teman-teman Ria juga kembali ke Jakarta membawa kenangan tak terlupakan. Mereka pulang dua hari kemudian karena memutuskan untuk mengunjungi semua tempat yang Arya rekomendasikan. Anak itu mahir dalam membujuk. Selama tiga hari itu juga akhirnya rombongan mereka mendapat personil baru yang sangat membantu. Bukan hanya paham soal tempat-tempat wisata di Semarang, tapi juga seorang fotografer jempolan. Setidaknya Ria merasa berbangga karena teman-temannya puas. Tak sia-sia mereka datang jauh-jauh.

Saat mobil perak itu bergerak meninggalkan dirinya dan Arya yang berdiri di pinggir jalan, saat itu pula ternyata sebuah cerita baru dimulai. Setiap malam ia membuka file berisi foto-foto di komputernya. Ia amati satu demi satu. Bibirnya tersungging tiada henti seiring jemari di mouse menekan-nekan dan membuat foto di layar berganti-ganti.

Di sudut bumi yang berbeda, laki-laki itu juga mengamati foto-foto di kameranya sambil rebahan di kasur. Bukan saja karena paras perempuan yang dibidiknya sekelas model-model papan atas, melainkan ada hal penting lain yang membuatnya mantap untuk membulatkan sebuah keputusan.

"Mau nggak nikah sama aku? Barangkali belum ada yang meminang."

***

Setelah setengah jam duduk di depan kemudi, laki-laki beruban itu mematikan mesin dan rombongan kecil yang terdiri atas 6 orang keluar dari mobil. Empat laki-laki dewasa sudah berdiri di teras untuk menyambut mereka. Sepasang suami istri pemilik rumah menyusul menghambur mengulurkan tangan, mempersilakan. Barang-barang seseraham diangkut kedalam. Semua turut membantu.

Meja kaca panjang penuh sesak oleh jajanan dalam toples-toples bening. Mereka lanjut saling bertanya kabar dan berkenalan setelah semuanya mendapat tempat duduk. Ruangan itu gaduh oleh ramah tamah manusia-manusia yang baru kali pertama dikumpulkan.

Sementara para sesepuh seru berbincang, Arya dan Baskara sibuk memandangi foto-foto yang terpajang di ruang tamu. Melihat ekspresi adiknya, Arya kian merasa hebat. "Itu semua aku yang fotoin," bisiknya bangga. Baskara menoleh sebentar, lalu kembali mendongak ke dinding.

"Mbak Ria-nya mana, Bu?" sela tamu perempuan yang paling senior di sana begitu mendapat kesempatan. Wanita itu seperti sudah tak sabar ingin melihat calon menantunya. Di dalam diamnya, Arya pun merasakan hal yang sama.

"Ada di dalam lagi siap-siap, Bu," jawab ibu pemilik rumah tak kalah lembut. Semua yang mendengar mengangguk paham. "Silakan, loh, sambil diminum. Seadanya, Bapak-ibu, Mas," lanjutnya mempersilakan semua tamu agar sedikit mengalihkan perhatian.

"Bu," laki-laki di sebelahnya menyikut. "Panggil saja Ria," bisiknya. Paham betul dia betapa tamunya itu ingin segera berjumpa dengan keponakannya.

"Lagi siap-siap, Pak," balasnya.

"Suruh cepat."

Perempuan itu putus asa untuk memahamkan. Dia menurut saja meskipun sedikit dongkol. Tepat saat perempuan yang mendapat perintah tadi berbalik badan, saat itu pula gadis itu muncul. Tubuhnya sedikit membungkuk demi menghormati para tamu yang sebagian besar orang tua. Kedua telapak tangan menangkup, memberi isyarat bersalaman pada semua. Senyumnya merekah tiada henti. Dia duduk di antara om dan tantenya.

Sikut Baskara menyeruduk ke pinggul Arya. "Cantiknya mantap, Mas," bisiknya. Arya balik menyikutnya, menyuruh diam. Suhu yang semula hangat lantaran banyaknya jumlah orang, kini semakin memanas oleh gejolak di dalam sebuah ruang tersembunyi. Bukan saja satu dua ruang, melainkan tiga.

Acara lamaran berjalan lancar. Tanggal akad pun sudah ditentukan. Dua insan itu memutuskan untuk bersatu. Kabar tersebut sampai di Jakarta 3 bulan setelah perjalanan berkesan mereka di Semarang. Sebuah surat undangan pernikahan kini sudah di tangan masing-masing. Mereka tentu saja mengagendakan untuk datang.

Pesta pernikahan berlangsung sederhana namun meriah oleh keceriaan. Bahagia bercampur haru menyelimuti hati pengantin berbalut gaun putih itu. Arya menggenggam jemarinya. Tatapan matanya penuh pengertian.

"Bapak sama ibu pasti ikut di sini, kok," kata Arya. Ia tak henti memandangi perempuan yang sudah sah menjadi istrimya itu.

Ria tersenyum, matanya berkaca-kaca. Sentuhan jemari Arya mengalirkan ketenangan hingga ke dalam dadanya. Dia sungguh merasa begitu aman. Bahkan dia bersumpah akan melakukan apa pun nanti titah kekasihnya itu.

"Nduk," seseorang memanggil dari belakang. Cukup memecahkan kemesran sepasang pengantin itu. Ria berbalik, dan tubuhnya langsung dipeluk. "Maafkan tante, ya," ujar perempuan itu. "Tante orang jahat," lanjutnya. Kentara tenggorokannya tercekat. Ia ingin menyampaikan banyak, tapi tangisnya membuatnya kesusahan. Di sampingnya, suaminya juga memerah wajahnya.

Ria mencengkeram pelan bahu perempuan yang merupakan satu-satunya adik ibunya. Ia pandang wajah yang mulai menua itu. "Yang lalu biar berlalu, Tante," jawab Ria. "Aku sudah maafkan semua." Dia juga pandangi omnya.

"Mas," kali ini perempuan itu berpaling pada Arya. Ia mendekat. "Tante dulu suruh Ria jadi model sejak kecil. Tante marah kalau lihat dia belajar. Tante sering suruh dia bolos sekolah. Tante selalu minta dia kerja. Uang dia tante yang pegang, tante yang habiskan. Tante memanfaatkaqn anak yatim piatu yang baru berusia 6 tahun itu...." Arya sudah mendekap tubuhnya yang berguncang. Tangisnya kian kencang.

Ria ikut bergabung merangkul. Ia pun sudah berderai air mata. Kenangan masa kecilnya memang bukan hal yang mudah dilupakan. Bagaimana seorang bocah 12 tahun bisa minggat sampai ke Jakarta dengan menyelinap ke bus wisata ibu-ibu PKK. Di dompetnya ada uang satu juta hasil menilap dari tantenya yang sebenrnya itu juga uang hasil kerjanya sendiri. Lalu lewat telepon umum dia menghubungi nomor seseorang yang pernah mengontraknya sebagai bintang model produk milikinya. Ria mendapat pekerjaan, tapi dia menolak ketika diberi tawaran untuk diangkat menjadi anak. DI sana juga dia bertemu dengan teman-teman model yang lain, hingga akhirnya berjuang bersama dan menjadi keluarga baru.

Usia 20 tahun Ria memutuskan kembali ke Semarang. Bagaimanapun, om dan tante adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Pasangan suami istri itu juga tidak mempunyai anak. Pasti mereka kesepian. Lagipula di usianya yang sudah cukup dewasa itu dia yakin sudah memiliki keberanian untuk melawan jika ternyata tantenya masih belum berubah sikap.

Begitu pintu rumah yang diketuknya terbuka, dan butuh beberapa menit untuk membuat perempuan pemilik rumah menyadari siapa tamunya yang datang, perempuan itu tersungkur sujud di kaki. Tangis pun pecah. Keduanya berpelukan melepas rindu sekaligus perasaan campur aduk yang susah untuk dikatakan.

Kejadian itu sudah tertinggal jauh di belakang. Kini dirinya telah sepenuhnya dimiliki oleh seorang laki-laki yang dia yakin akan menyembuhkan semua luka-lukanya di masa lalu. Dia sangat yakin jalan kebahagiaan membentang luas di depan sana.

Dari jarak beberapa langkah, Baskara menyaksikan itu, tapi ia segan mendekat karena khawatir akan merusak atmosfer.

***

Related chapters

  • Pagi yang Enggan Kembali   6. Ruang Bersalin

    Tuhan agaknya tak ingin berlama-lama membiarkan sepasang manusia itu hidup berdua saja. Dua bulan setelah keduanya menandatangani buku nikah, Ria berulang-kali menghitung periode haidnya. HIngga dia benar-benar yakin bahwa bulan itu jadwalnya terlewat. Langkah selanjutnya dia membeli alat tes kehamilan, dan benar saja dua garis merah menjadi jawabannya. Arya menjadi orag pertama yang girangnya bukan main. Disusul oleh bapak-ibu juga om dan tante. "Ini sudah ada kantung hamilnya, ya, Mbak, Mas," kata dokter sambil menunjukkan layar hasil USG. Keduanya mengangguk bahagia. Bulan berganti bulan, mereka rutin berkunjung untuk kontrol kandungan. Vitamin dan susu menjadi asupan wajib, meskipun lebih sering isi perutnya keluar kembali. RIa yang rewel dengan bau-bauan, juga Arya yang pontang-panting demi memenuhi pinta kekasihnya yang tengah berbadan dua itu. Sembilan bulan berlalu dengan melelahkan namun juga bahagia dalam kemanjaan. Ranjang-ranjang beroda berderet berbataskan gorden-gorden

    Last Updated : 2022-10-05
  • Pagi yang Enggan Kembali   7. Kelahiran dan Kematian

    Dinginnya ruangan berpadu dengan beku dalam jiwanya. Ria duduk tegak dan dokter menyuntikkan obat bius epidural di saraf punggung bagian bawah. Beberapa saat kemudian perasaan asing menjalar di kakinya hingga akhirnya separuh tubuhnya benar-benar hilang rasa. Ia menatap ke langit-langit yang sunyi. Sementara, sekitar lima orang tenaga medis sibuk mengiris kulit perutnya. Kain penutup tubuhnya sekaligus menjadi tirai penghalang agar ia tak menyaksikan apa yang sedang dokter beserta timnya kerjakan di sekitar tubuh bagian bawah. Denting bunyi alat-alat tajam yang saling bersenggolan terdengar menusuk di telinga. Untuk pekerjaan sepenting ini, mereka masih dapat asyik mengobrol, bahkan menggosip. Bagi para tenaga medis, mungkin pekerjaan itu sudah semacam mengupas bawang layaknya bagi ibu rumah tangga biasa. Perlahan Ria mulai bersahabat dengan keadaan. Dia sesekali ikut tersenyum mendengar ibu-ibu itu bercanda. Menuju menit ke 40, salah seorang mendorong isi perutnya ke bawah. Terasa

    Last Updated : 2022-10-05
  • Pagi yang Enggan Kembali   8. Sembunyi

    Empat hari tiga malam, tempat itu dirasanya menjadi hunian yang menciptakan trauma. Petang demi petang berlalu dengan rangkakan yang begitu malas. Jam di dinding seperti lamban bergerak. Berkali-kali ia pejamkan mata, berharap pagi telah menyapa begitu mata terbuka. Tapi hal itu tak pernah berhasil. Bukan saja karena kondisi fisiknya yang usai dioperasi, tapi juga kehancuran seluruh hidup seutuhnya. Ria mengunci diri di kamar bersama bayinya. Dia hanya membuka pintu jika ibu yang mengetuk untuk mengantarkan makan, memandikan si kecil, mengganti popok, atau memberikan susu. Selebihnya segala aktivitas dia lakukan di dalam kamar yang lengkap dengan kamar mandi dalam itu. Tamu yang datang hendak menengok si bayi sekaligus melayat harus ikhlas tidak dapat menemui orang yang dituju. Ibu dan bapak menjelaskan berulangkali pada setiap orang yang datang. Semua memaklumi, meski satu dua manusia masih tetap saja ada yang mencibir usai meninggalkan halaman rumah. Sepekan pertama Ria tak mampu m

    Last Updated : 2022-11-25
  • Pagi yang Enggan Kembali   9. Ibu Susu

    Tujuh jam di bus bersama bayi yang baru berusia dua bulan memang cukup menguras jiwa dan raganya. Aggun menjemputnya di terminal, lalu langsung bergerak ke Selatan menuju rumah yang katanya bisa dia tinggali. Rumah tiga lantai itu -yang meskipun cat putihnya terlihat sedikit kusam- sebenarnya jauh dari prediksi Ria. "Kukira tak semewah ini," ujarnya sambil mengamati setiap bagian rumah. Kepalanya mendongak demi melihat ujung atapnya. “Kamu bisa tinggal di sini sesuka kamu. Gratis. Yang penting kamu rawat. Setidaknya aku nggak perlu ngeluarin uang untuk jasa cleaning service," jelas Anggun. Ria meringis, lalu mencubit lengan sahabatnya. "Makasih, ya." Anggun memimpin di depan. Ia memilih kunci di tasnya, sementara Ria masih takjub dengan desain kebun kecil tepat di halaman depan yang meneduhkan mata. Ornamen-ornamen penghias taman juga tampak serasi. Ia terlihat modern, namun tetap menunjukkan jiwa seni yang bersejarah. "Kau bawa Aru dulu ke dalam. Aku bantu masukin barang," kata A

    Last Updated : 2024-02-12
  • Pagi yang Enggan Kembali   10. Pulang

    Seolah tak begitu penting, kasus pembunuhan di ATM rumah sakit itu tutup buku. Baskara berkali-kali naik pitam, tapi tetap saja tak ada perkembangan. Bahkan bapak sampai melabrak ke kantor polisi, tetap saja suaranya tak menembus gendang telinga. “Bapak dan keluarga sabar dulu. Kami masih terus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti. Kalau semua bukti sudah akurat, kami baru berani memutuskan, Pak,” begitu kata polisi tiap kali ditemui. “Dugaan sementara, motif pembunuhan ini adalah perampokan karena dompet korban hilang,” tambahnya. Jauh di kota yang berbeda, Ria pun mulai tak peduli lagi. Dia kesal menunggu kabar. Memikirkannya terus-terusan juga menambah lelah. Percuma menegakkan tekad sekuat apa pun untuk bilang pada dunia betapa sakitnya dia. Orang-orang di atas sana kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri. Maka dia memilih untuk fokus membangun jembatan kehidupan baru untuk dirinya bersama anak semata wayangnya. Dia sedang mencoba ikhlas, dan terus akan begitu. I

    Last Updated : 2024-02-12
  • Pagi yang Enggan Kembali   11. Memori yang Abadi

    Kembali di masa sekarang, pada waktu Ria berdiri di balik jendela menyaksikan dua orang yang telah membekaskan arti di dinding hatinya itu mengobrol begitu seru. Ia beralih mendekati kasur setelah hampir satu jam menonton gazibu tempat Aru dan Baskara bercengkerama. Ia berniat untuk tidur. Tapi saat wajah menghadap tepat keatasnya, plafon putih bersih itu seperti mengajak berbincang. Sialnyq, pikiran Ria pun membujuk untuk menanggapi itu. Maka bermunculanlah riuh gemuruh yang satu per satu mengetuk ingatannya. Sebuah percikan listrik seperti menular ke titik-titik lain, merangkai mengantarkan pada sebuah memori. Seperti ada seruan akan adanya hal yang mengganggu dan meminta diselesaikan malam itu juga. Ria mencoba memejamkan matanya, tapi usikan itu kian jelas. Ia mengambil posisi duduk dan mencoba meniliki dirinya. Barangkali ada yang salah seharian ini. Tapi otak tak kunjung menemukan jawaban. Ia sandarkan kepalanya ke headboard. Ia pandangi ruangan luas yang hanya ia tempati seora

    Last Updated : 2024-02-16
  • Pagi yang Enggan Kembali   12. Tidak Boleh Jatuh Cinta

    Kejadian semalam cukup membekaskan lelah. Ria rasakan sekujur badannya ngilu sekaligus perih. Beberapa kali dia meminta Aru untuk memijat pundaknya, sebelum bekerja kembali membereskan semua kekacauan di kamar. Baskara juga menyusul ikut membantu. Laki-laki itu meminta Ria dan Aru agar beristirahat saja. Ria menurut, dan beralih menuju dapur, sementara Aru enggan beranjak. Dia tetap bersama Baskara, membantu pekerjaan yang ringan.Baskara ber-aduh lirih untuk yang ke dua kali. Telapak kakinya tertusuk pecahan beling di lantai. Aru bergegas mengambilkan penutup luka dan sandal untuknya."Nggak usah," tolaknya saat Aru juga menyerahkan sandal karet dengan kepala kelinci berwarna merah muda di mukanya.Aru mengangkat kakinya tinggi seraya berseru, "Nih, dari tadi aku aman, Om." Wajahnya serius, seperti tengah berhadapan dengan anak yang pembangkang. Baskara meringis dan memakai sandal itu. Pukul tujuh tepat ketika mereka sedang selonjoran di depan televisi sambil menyeduh teh hangat, s

    Last Updated : 2024-02-26
  • Pagi yang Enggan Kembali   1. Pupusnya Cinta Sejati

    "Oke, jari ke ujung rambut. Senyum. Wajah serong kiri," tangan fotografer memberi aba-aba. Perempuan itu mematung sambil berhitung sampai tiga dalam hati. Lalu berganti gaya mengikuti arahan orang di belakang kamera. Di sela-sela fokusnya, ia sadar jika dirinya sedang menjadi target bahan lamunan. Tapi hal itu tak sedikit pun mengusik profesionalitasnya. Ia tetap tampil elegan dengan pesona berkelasnya. Ia serahkan semua keindahan tubuhnya pada lesatan cahaya yang rakus membidik. Ruangan yang membentang luas tanpa sekat itu seolah menjadi panggung miliknya seorang. Stiletto merah terang menambah cantik kaki hingga betisnya yang ramping memanjang. Warna kuning langsat merata memoles kulit. Cerah dan mulus di semua titik. Berhenti sampai di lutut, peplum skirt dengan warna senada membungkus bentukan tubuhnya yang menjual. Lalu disambung kemeja batik lasem bermotif liuk-liuk layaknya batang beserta serpihan batu, yang potongan kainnya menyuguhkan kemolekan membetahkan mata. Rambutnya te

    Last Updated : 2022-08-05

Latest chapter

  • Pagi yang Enggan Kembali   12. Tidak Boleh Jatuh Cinta

    Kejadian semalam cukup membekaskan lelah. Ria rasakan sekujur badannya ngilu sekaligus perih. Beberapa kali dia meminta Aru untuk memijat pundaknya, sebelum bekerja kembali membereskan semua kekacauan di kamar. Baskara juga menyusul ikut membantu. Laki-laki itu meminta Ria dan Aru agar beristirahat saja. Ria menurut, dan beralih menuju dapur, sementara Aru enggan beranjak. Dia tetap bersama Baskara, membantu pekerjaan yang ringan.Baskara ber-aduh lirih untuk yang ke dua kali. Telapak kakinya tertusuk pecahan beling di lantai. Aru bergegas mengambilkan penutup luka dan sandal untuknya."Nggak usah," tolaknya saat Aru juga menyerahkan sandal karet dengan kepala kelinci berwarna merah muda di mukanya.Aru mengangkat kakinya tinggi seraya berseru, "Nih, dari tadi aku aman, Om." Wajahnya serius, seperti tengah berhadapan dengan anak yang pembangkang. Baskara meringis dan memakai sandal itu. Pukul tujuh tepat ketika mereka sedang selonjoran di depan televisi sambil menyeduh teh hangat, s

  • Pagi yang Enggan Kembali   11. Memori yang Abadi

    Kembali di masa sekarang, pada waktu Ria berdiri di balik jendela menyaksikan dua orang yang telah membekaskan arti di dinding hatinya itu mengobrol begitu seru. Ia beralih mendekati kasur setelah hampir satu jam menonton gazibu tempat Aru dan Baskara bercengkerama. Ia berniat untuk tidur. Tapi saat wajah menghadap tepat keatasnya, plafon putih bersih itu seperti mengajak berbincang. Sialnyq, pikiran Ria pun membujuk untuk menanggapi itu. Maka bermunculanlah riuh gemuruh yang satu per satu mengetuk ingatannya. Sebuah percikan listrik seperti menular ke titik-titik lain, merangkai mengantarkan pada sebuah memori. Seperti ada seruan akan adanya hal yang mengganggu dan meminta diselesaikan malam itu juga. Ria mencoba memejamkan matanya, tapi usikan itu kian jelas. Ia mengambil posisi duduk dan mencoba meniliki dirinya. Barangkali ada yang salah seharian ini. Tapi otak tak kunjung menemukan jawaban. Ia sandarkan kepalanya ke headboard. Ia pandangi ruangan luas yang hanya ia tempati seora

  • Pagi yang Enggan Kembali   10. Pulang

    Seolah tak begitu penting, kasus pembunuhan di ATM rumah sakit itu tutup buku. Baskara berkali-kali naik pitam, tapi tetap saja tak ada perkembangan. Bahkan bapak sampai melabrak ke kantor polisi, tetap saja suaranya tak menembus gendang telinga. “Bapak dan keluarga sabar dulu. Kami masih terus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti. Kalau semua bukti sudah akurat, kami baru berani memutuskan, Pak,” begitu kata polisi tiap kali ditemui. “Dugaan sementara, motif pembunuhan ini adalah perampokan karena dompet korban hilang,” tambahnya. Jauh di kota yang berbeda, Ria pun mulai tak peduli lagi. Dia kesal menunggu kabar. Memikirkannya terus-terusan juga menambah lelah. Percuma menegakkan tekad sekuat apa pun untuk bilang pada dunia betapa sakitnya dia. Orang-orang di atas sana kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri. Maka dia memilih untuk fokus membangun jembatan kehidupan baru untuk dirinya bersama anak semata wayangnya. Dia sedang mencoba ikhlas, dan terus akan begitu. I

  • Pagi yang Enggan Kembali   9. Ibu Susu

    Tujuh jam di bus bersama bayi yang baru berusia dua bulan memang cukup menguras jiwa dan raganya. Aggun menjemputnya di terminal, lalu langsung bergerak ke Selatan menuju rumah yang katanya bisa dia tinggali. Rumah tiga lantai itu -yang meskipun cat putihnya terlihat sedikit kusam- sebenarnya jauh dari prediksi Ria. "Kukira tak semewah ini," ujarnya sambil mengamati setiap bagian rumah. Kepalanya mendongak demi melihat ujung atapnya. “Kamu bisa tinggal di sini sesuka kamu. Gratis. Yang penting kamu rawat. Setidaknya aku nggak perlu ngeluarin uang untuk jasa cleaning service," jelas Anggun. Ria meringis, lalu mencubit lengan sahabatnya. "Makasih, ya." Anggun memimpin di depan. Ia memilih kunci di tasnya, sementara Ria masih takjub dengan desain kebun kecil tepat di halaman depan yang meneduhkan mata. Ornamen-ornamen penghias taman juga tampak serasi. Ia terlihat modern, namun tetap menunjukkan jiwa seni yang bersejarah. "Kau bawa Aru dulu ke dalam. Aku bantu masukin barang," kata A

  • Pagi yang Enggan Kembali   8. Sembunyi

    Empat hari tiga malam, tempat itu dirasanya menjadi hunian yang menciptakan trauma. Petang demi petang berlalu dengan rangkakan yang begitu malas. Jam di dinding seperti lamban bergerak. Berkali-kali ia pejamkan mata, berharap pagi telah menyapa begitu mata terbuka. Tapi hal itu tak pernah berhasil. Bukan saja karena kondisi fisiknya yang usai dioperasi, tapi juga kehancuran seluruh hidup seutuhnya. Ria mengunci diri di kamar bersama bayinya. Dia hanya membuka pintu jika ibu yang mengetuk untuk mengantarkan makan, memandikan si kecil, mengganti popok, atau memberikan susu. Selebihnya segala aktivitas dia lakukan di dalam kamar yang lengkap dengan kamar mandi dalam itu. Tamu yang datang hendak menengok si bayi sekaligus melayat harus ikhlas tidak dapat menemui orang yang dituju. Ibu dan bapak menjelaskan berulangkali pada setiap orang yang datang. Semua memaklumi, meski satu dua manusia masih tetap saja ada yang mencibir usai meninggalkan halaman rumah. Sepekan pertama Ria tak mampu m

  • Pagi yang Enggan Kembali   7. Kelahiran dan Kematian

    Dinginnya ruangan berpadu dengan beku dalam jiwanya. Ria duduk tegak dan dokter menyuntikkan obat bius epidural di saraf punggung bagian bawah. Beberapa saat kemudian perasaan asing menjalar di kakinya hingga akhirnya separuh tubuhnya benar-benar hilang rasa. Ia menatap ke langit-langit yang sunyi. Sementara, sekitar lima orang tenaga medis sibuk mengiris kulit perutnya. Kain penutup tubuhnya sekaligus menjadi tirai penghalang agar ia tak menyaksikan apa yang sedang dokter beserta timnya kerjakan di sekitar tubuh bagian bawah. Denting bunyi alat-alat tajam yang saling bersenggolan terdengar menusuk di telinga. Untuk pekerjaan sepenting ini, mereka masih dapat asyik mengobrol, bahkan menggosip. Bagi para tenaga medis, mungkin pekerjaan itu sudah semacam mengupas bawang layaknya bagi ibu rumah tangga biasa. Perlahan Ria mulai bersahabat dengan keadaan. Dia sesekali ikut tersenyum mendengar ibu-ibu itu bercanda. Menuju menit ke 40, salah seorang mendorong isi perutnya ke bawah. Terasa

  • Pagi yang Enggan Kembali   6. Ruang Bersalin

    Tuhan agaknya tak ingin berlama-lama membiarkan sepasang manusia itu hidup berdua saja. Dua bulan setelah keduanya menandatangani buku nikah, Ria berulang-kali menghitung periode haidnya. HIngga dia benar-benar yakin bahwa bulan itu jadwalnya terlewat. Langkah selanjutnya dia membeli alat tes kehamilan, dan benar saja dua garis merah menjadi jawabannya. Arya menjadi orag pertama yang girangnya bukan main. Disusul oleh bapak-ibu juga om dan tante. "Ini sudah ada kantung hamilnya, ya, Mbak, Mas," kata dokter sambil menunjukkan layar hasil USG. Keduanya mengangguk bahagia. Bulan berganti bulan, mereka rutin berkunjung untuk kontrol kandungan. Vitamin dan susu menjadi asupan wajib, meskipun lebih sering isi perutnya keluar kembali. RIa yang rewel dengan bau-bauan, juga Arya yang pontang-panting demi memenuhi pinta kekasihnya yang tengah berbadan dua itu. Sembilan bulan berlalu dengan melelahkan namun juga bahagia dalam kemanjaan. Ranjang-ranjang beroda berderet berbataskan gorden-gorden

  • Pagi yang Enggan Kembali   5. Bersatu

    Sebuah pertemuan yang tak terduga. Teman-teman Ria juga kembali ke Jakarta membawa kenangan tak terlupakan. Mereka pulang dua hari kemudian karena memutuskan untuk mengunjungi semua tempat yang Arya rekomendasikan. Anak itu mahir dalam membujuk. Selama tiga hari itu juga akhirnya rombongan mereka mendapat personil baru yang sangat membantu. Bukan hanya paham soal tempat-tempat wisata di Semarang, tapi juga seorang fotografer jempolan. Setidaknya Ria merasa berbangga karena teman-temannya puas. Tak sia-sia mereka datang jauh-jauh. Saat mobil perak itu bergerak meninggalkan dirinya dan Arya yang berdiri di pinggir jalan, saat itu pula ternyata sebuah cerita baru dimulai. Setiap malam ia membuka file berisi foto-foto di komputernya. Ia amati satu demi satu. Bibirnya tersungging tiada henti seiring jemari di mouse menekan-nekan dan membuat foto di layar berganti-ganti. Di sudut bumi yang berbeda, laki-laki itu juga mengamati foto-foto di kameranya sambil rebahan di kasur. Bukan saja kare

  • Pagi yang Enggan Kembali   4. Pemuda Baik Hati

    Kala itu di tahun 1998. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian regional Jawa Tengah, tentu kota itu terbilang maju jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Meskipun begitu, ada bagian di dekat kaki gunung Ungaran, yang mana manusia di sana masih hidup bersama limpahan kekayaan alam. Jauh dari polusi industri dan sibuknya ibu kota provinsi. Sebuah mobil berisi rombongan muda-mudi baru saja memasuki kawasan Semarang. Salah satu yang berada di sana memotret gapura besar bertuliskan selamat datang. Untuk orang-orang seperti mereka, kota ini terlihat jauh lebih menenangkan dibanding kota asalnya. Kendaraan berplat Jakarta itu terus melaju hingga akhirnya berbelok menuju jalan setapak yang lebih sepi, memasuki sebuah pedesaan. Satu orang fokus melihat g****e map di ponselnya. Dua yang lain duduk di belakang dan menikmati pemandagan dari balik jendela di sisi masing-masing. Cukup panjang rute yang mereka tempuh tanpa ada rumah di kanan-kirinya. Sekitar 2 kilometer hanya ada beragam j

DMCA.com Protection Status