Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya.
"Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa.
"Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar.
"Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan.
"Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut.
Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat.
"Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal.
Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan tanpa menghiraukan Davin.
"Kok, mukanya lesu gitu?" tanya Mama Widi saat Davin melangkah ke dapur.Lelsko muda itu membisu. Tangannya yang kekar mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas, lantas menghabiskannya dengan sekali tenggak.
Mama Widi terheran-heran menatap anaknya dengan mata yang membesar, seakan ingin lepas dari kelopak."Kenapa, kok, enggak jawab," ulang Mama Widi kesal.
"Ah, aku sudah bersikap bodoh," seru Davin sambil meremas rambutnya dengan tangan.
"Bertindak bodoh bagaimana?" Cecar wanita penyuka es krim itu.
Davin duduk di kursi dengan raut wajah penuh penyesalan, dan matanya sedikit berkabut. Lelaki itu kembali menyalahkan dirinya sendiri, karena seharusnya dia bisa lebih bersabar.
"Tadi aku bertemu, Rie," ujar Davin sambil menatap ke jendela kaca."Ketemu atau sengaja menemui," sindir Mama Widi menggoda."Sengaja," ujar Davin cemberut, sebal karena karena ketahuan."Terus."
"Aku mencoba membuatnya untuk percaya padaku. Tapi …." Davin tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, hatinya begitu pedih saat mengingat segores luka di mata gadis itu.
Mama Widi mengelus punggung anak lelaki semata wayangnya, wanita itu turut merasakan kesedihannya. Semenjak mereka tinggal terpisah, Davin memang selalu bercerita apapun termasuk soal gadis-gadis yang mengejarnya.
"Ya, sudah. Sabar, gadis itu beda dengan yang lain," ucap Mama Widi menenangkan.
Davin meraih tangan wanita yang telah melahirkannya itu, kemudian meremas dengan lembut dan menaruhnya di pipi. Lelaki berkulit cokelat cerah itu memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut dan penuh cinta dari sang Mama.
****
Sudah dua malam ini Ariela tidak dapat memejamkan mata, gadis itu terus terjaga bahkan hingga fajar menyingsing. Membuat kulit di bawah matanya yang sayu menghitam, kontras sekali dengan kulit wajahnya yang putih bersih.
Malam ketiga gadis itu masih berusaha melawan rasa kantuk yang mendera, berkali-kali ia menguap namun mencoba menepisnya dengan membuka mata lebar-lebar. Tubuh Rie sudah sangat lemas, karena selama lebih dari 40 jam ia hanya terduduk menatap televisi.
Hanya sesekali ia keluar kamar, untuk buang air. Selebihnya gadis itu berdiam di kamar, bahkan untuk makan pun Bundanya yang mengantarkan. Sebenarnya wanita yang telah melahirkannya itu, merasakan ada sesuatu yang telah terjadi namun sang Bunda belum berani bertanya.
Kali ini Rie sudah tidak dapat bertahan lagi, matanya yang sayu perlahan mulai terpejam. Lantas dalam sekejap dirinya sudah larut di alam mimpi.
Di alam bawah sadarnya, gadis itu sedang berlari di sebuah koridor rumah sakit. Langkahnya berbelok ke kiri, lantas menerobos pintu bertuliskan 'ruang anak'.
Dua orang perawat berusaha mencegahnya untuk masuk, namun tenaganya sangat kuat sehingga membuat para perawat itu terpental dan jatuh..Rie terus berlari ia berhenti di sebuah kamar dengan kaca besar, gadis itu mencoba membuka namun sayangnya terkunci. Dengan berderai air mata gadis itu menempelkan wajahnya di kaca, matanya menyapu seluruh ruangan yang dipenuhi dengan bok-bok kecil berisi bayi.
Pandangannya terhenti pada sebuah bok tanpa nama, yang berisi bayi lucu nan menggemaskan memakai bedong berwarna biru. Tiba-tiba saja mata bayi itu terbuka, kemudian dari mulut mungilnya terdengar tangisan yang mengantar hati.
Seketika Rie merasa khawatir dan panik. Gadis itu menggerakkan gagang pintu dengan kasar, sambil berharap pintunya terbuka. Suara tangisan bayi tadi semakin nyaring, membuat Rie semakin cemas karena tidak ada satu orang pun perawat yang menghampiri.
Merasa kesal dan tidak berdaya, Rie kembali berjalan ke cermin besar. Bayi di dalam bok itu masih meraung dengan wajah memerah, gadis itu menempelkan tangannya di kaca seakan-akan sedang mengelus. Air matanya tumpah ruah, suara tangisan bayi itu perlahan mengecil seiring Rie yang mulai terjaga dari tidurnya.
Rie seketika bangkit dari kasur, dengan peluh yang membasahi seluruh wajah dan juga tubuhnya. Mimpi terasa sangat nyata, membuat jantung Rie berdegup kencang. Gadis itu meraba pinggir kasur dan menekan sakelar, ruangan yang temaram menjadi terang benderang.
Rie memandang sekeliling, dan memindai setiap sudut kamarnya. Tubuhnya seketika membeku saat, suara tangisan bayi terngiang di telinganya, dan juga wajah bayi yang memerah itu terbayang jelas di matanya.
Rie merasakan ketakutan yang amat sangat, gadis itu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Matanya awas dan bersiaga menatap lekat pada pintu, seolah-olah akan ada seseorang yang akan membukanya.
Tidak tahan merasakan suasana yang seakan mencekam, dan juga mendengar tangisan bayi yang terus berulang. Rie berteriak lantang sambil menutup teling dengan kedua tangan, dan juga memejamkan mata berharap wajah bayi lucu itu menghilang dari pandangannya.
"Ariela, ada apa?" tanya Bu Ratih cemas.
Untunglah gadis itu tidak pernah mengunci kamarnya, sehingga kedua orang tuanya bisa langsung masuk untuk memeriksa keadaannya. Sebenarnya Rie tidak mau seperti itu, namun karena kesadarannya sering hilang dan juga demi kebaikannya. Akhirnya Rie menerima dengan terpaksa, ruang pribadinya bisa dimasuki kapan saja.
"Bayi," ucap Rie tanpa membuka mata.
"Bayi apa?" tanya Bu Ratih tidak mengerti.
"Ada bayi menangis, dan aku tidak bisa mendiamkannya," kata Rie sambil berlinang air mata.
Pak Wirya yang sedari tadi hanya berdiri mengerutkan kening, wajah tuanya tampak lelah. Pria berkacamata itu sebenarnya sedikit kesal, istrinya membangunkan karena mendengar Rie teriak. Padahal baru saja pria pemilik resort itu merebahkan tubuhnya untuk beristirahat.
Sebenarnya itu bukan hal baru baginya, terkadang pria itu ingin membiarkannya saja. Karena Rie terlalu sering seperti itu, dan ketika ditanya jawaban anak perempuan itu akan melontarkan kata-kata yang sama. Sehingga Pak Wirya bosan mendengarnya, dan malam ini Rie kembali berteriak setelah beberapa Minggu ini pria tua itu bisa tidur dengan tenang.
"Itu cuma mimpi, Rie," sela Pak Wirya dengan nada tajam.
Bu Ratih seketika melotot ke arah sang suami, wanita itu tidak habis pikir. Di saat anak mereka sedang butuh untuk ditenangkan, Pak Wirya justru bersikap menyebalkan.
Demi mendengar ucapan sinis sang Ayah, Rie menghentikan isakannya namun air matanya masih tetap mengalir. Gadis itu menatap ayahnya lekat, ada benci dan rasa takut terpancar dari matanya.
"Ayah, bisa lebih pelan bicaranya," seru Bu Ratih marah.
"Aku lelah. Baru saja mau tidur tiba-tiba, Rie berteriak," ucao Pak Wirya jengkel.
Pria itu benar-benar mengantuk dan kepalanya sekarang mulai terasa pusing karena terkejut.
"Apa kamu tidak peduli dengan, Rie." Bu Ratih emosi.
"Aku bukan tidak peduli, tapi sering kali dia seperti ini. Berteriak dalam tidurnya, dan ketika ditanya diam saja. Dan sekarang dia bilang ada bayi." Taboa pria itu sadari ucapan Pak Wirya menggoreskan luka di hati anak gadisnya.
Rie merasa sangat bersalah dan bersedih. Saat mengetahui ternyata sang ayah terganggu, dengan kondisi dirinya yang suka berteriak dalam tidurnya. Kedua pelupuk gadis itu masih mengeluarkan bulir bening.
"Ayah, memang tidak sayang padaku," bisik Rie sambil meremas selimut.
Hati gadis itu terasa tercabik-cabik, saat kilasan peristiwa silam bermain di kepalanya. Kala ia memilih sekolah saat SMP, ketika pria tua itu melarangnya bermain dengan teman-teman, bahkan pada waktu Rie beranjak remaja dan ingin kuliah, dengan terpaksa gadis itu harus mengikuti kemauan sang ayah.
Tidak ada satu pun hal baik tentang Pa Wirya, dibenak gadis berusia delapan belas tahun itu. Semua yang diingatnya hanyalah pemaksaan, dan keotoriteran sang ayah.
Semua hal itu membuat dada Rie terasa sesak, dan membuat kepalanya berdentam-dentam. Sekakan belum cukup, tiba-tiba telinganya menangkap suara tangisan bayi. Sedangkan di depannya, perdebatan kedua orang tuanya masih terus berlangsung. Tidak tahan menghadapi tekanan, akhirnya Rie menutup telinga.
"Cukup, pergi kalian semua dari sini. Dan siapapun tolong, hentikan tangis bayi itu!" Teriak Rie histeris.
Selamat menikmati, jangan lupa sub, rate, dan review. Terima kasih, salam sayang buat semuanya.
Bu Ratih dan Pak Wirya terdiam, lantas saling bertanya lewat pandangan. Bayi? Bayi apa yang dimaksud dengan Ariela. Suasana tengah malam itu sangat hening, tidak ada suara apa pun termasuk hewan malam yang biasa berbunyi.Pasangan suami istri itu menatap Ariela dengan pandangan iba dan sedih. Terutama Bu Ratih, air matanya menganak sungai. Melihat penderitaan anak gadisnya, yang terduduk di kasur sambil merunduk dan menutup telinga. Hatinya yang lembut bagai teriris-iris."Bagaimana, ini, Yah? Apa Rie, kita bawa ke rumah sakit saja." Ujar Bu Ratih cemas."Tidak perlu, Rie hanya bermimpi." Ucap Pak Wirya meyakinkan dirinya sendiri."Aku … rasa itu bukan mimpi. Kalau Rie, mimpi anak itu akan sadar saat dibangunkan, tapi ini …." Bu Ratih tidak dapat meneruskan ucapannya.Ariela mengangkat kepalanya, matanya yang basah menyapu seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Ratih berjalan menghampirinya, dengan p
Davin tidak menghiraukan panggilan mamanya, lelaki itu terus saja berlari. Sampai di depan gerbang komplek, hampir saja ia menabrak Bu Ratih yang berdiri mematung."Tante, mau ke mana?" tanya Davin dengan napas tersengal-sengal.Bu Ratih menoleh dan mundur selangkah, matanya membelalak melihat Davin yang membungkuk dengan rambut awut-awutan. Penampilan lelaki yang mengenakan celana bermuda, kaos tanpa lengan dan bersandal jepit lengkap dengan mata memerah. Persis para turis yang baru pulang dari kedai minuman."Mencari Rie," sahutnya setelah yakin bahwa Davin tidak mabuk.Lelaki itu menegakkan tubuh, kemudian menggelung rambut seperti pesumo. Napasnya berangsur normal, lalu menatap Bu Ratih dengan ekspresi terkejut."Rie, hilang!" serunya."Entah. Tadi Tante Lihat, dia tidak ada di kamarnya." Bu Ratih menjawab dengan wajah diliputi kecemasan.Mata wanita itu memandang pintu masuk ke arah pantai, yang berbentuk seteng
Rie gelagapan saat tubuhnya ditarik ke dalam pusaran. Gadis itu mencoba untuk naik ke atas, dengan cara mengayunkan kaki dan tangannya. Namun, tidak tidak bisa karena tekanan air lebih berat dari tubuhnya.Dada gadis itu mulai terasa sesak, tenggorokannya pun terasa sakit karena menelan air laut. Di saat kritis seperti itu, tiba-tiba saja wajah Orion membayang di matanya sambil tersenyum."Tidak usah takut, tenang saja. Kamu akan aman bersamaku," ucap lelaki itu lembut.Ariela mencoba untuk tersenyum, sehingga mengeluarkan gelembung udara dari mulutnya. Gadis itu melemas, kehabisan tenaga. Tubuh kecil Rie semakin tersedot, namun tekanan air membuat tangannya bergerak naik ke atas."Ayo, hidup bersamaku." Suara Orion bergema di dalam air.Ariela mengangguk, dengan mata hampir terpejam. Gelembung udara keluar semakin banyak dari mulutnya, napas gadis itu mulai megap-megap. Pusaran air berputar pelan, membuat tubuh Rie terombang-ambi
Bab 1Semilir angin pantai menerbangkan rambut gadis yang tengah berjalan di bibir pantai, wajah cantiknya terlihat pucat. Bibirnya yang tipis bergetar.Gadis itu berhenti, lalu menatap ke arah laut lepas. Di ujung sana tampak matahari separuh tenggelam, sebentar lagi senja akan berganti malam. Gadis itu mengusap matanya yang basah, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu mengenai bahunya.Refleks gadis itu menoleh, ia terkesiap saat melihat ke belakang. Di sebuah warung es kelapa yang sudah tutup, berdiri seorang lelaki tinggi menjulang."Hai," sapa lelaki itu sambil menyunggingkan senyum. Giginya yang putih terlihat rapi.Gadis itu menoleh ke kiri dan kanan, suasana di sekitarnya sudah sepi. Kini ia merasa takut, sendirian di tepi pantai. Dengan lelaki yang tidak dia kenal. Gadis itu mundur selangkah, kemudian berbalik lalu berlari menjauh."Hei, aku cuma mau kenalan," teriak si lelaki sambil berusaha mengejar gadis itu.&nb
Bab 2Fajar baru saja menyingsing, aroma asin dari laut terbawa oleh desiran angin. Beberapa orang mulai lalu lalang di depan rumah berwarna putih, mereka menyapa Rie yang tengah terduduk di teras.Wajahnya yang putih terlihat pucat bagai mayat, bibirnya gemetar dan sedikit membiru. Gadis itu merapatkan outher yang dipakainya, sebetulnya sinar mentari sudah menyembul. Namun suhu udara yang rendah, ditambah angin yang bertiup membuat ia kedinginan."Rie," panggil bundanya dari dapur. Wanita paruh baya itu tengah membuat Pai apel, untuk sarapan pagi ini."Iya, Bun," jawab gadis itu. Ia bangkit dari duduknya, dengan perasaan malas.Gadis itu masuk ke dalam dapur, harum madu dan apel mendominasi di dalam ruangan itu. Rie duduk di kursi makan, lalu mengaduk-aduk adonan Pai."Jangan Rie," decak sang Bunda sambil meraih bowl, berisi adonan."Ngapain Bunda, manggil Rie?" tanyanya.Wanita yang masih c
Bab 3Davin mendengarkan pembicaraan para penjaga pantai dengan seksama, ia penasaran siapa gerangan gadis yang dijadikan topik.Menurut pengakuan si penjaga pantai, gadis itu berada di tempat yang sepi di sebelah barat. Dengan langkah tegap, lelaki itu berjalan menyusuri pasir putih.Sesekali Davin menoleh berusaha mencari gadis itu, setelah berjalan hampir 300 meter. Langkah lelaki itu terhenti, di depan sana seorang gadis cantik tengah duduk di kursi kayu.Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin, memperlihatkan pipinya yang merona merah bagai tomat. Davin semakin mendekat, gadis itu tampak tidak asing baginya. Untuk memastikan lelaki berjalan semakin dekat.Ia tertegun saat melihat gadis itu, bibirnya yang tipis tersenyum lebar. Kening Davin berkerut saat gadis itu menggerakkan tangannya, seolah sedang asyik membicarakan sesuatu. Padahal di sebelahnya tidak orang. Lelaki itu berbalik, rasa penasarannya
Bab 4Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung."Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin.Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis."Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie.Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong.Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie.Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarn
Bab 5Wanita itu tercengang, rona wajahnya mendadak pias. Ia tidak menyangka ada seseorang yang menanyakan, tentang kondisi Ariela yang tidak biasa.Davin merutuki kebodohannya, lelaki itu merasa sangat tidak enak terhadap Bu Ratih. Ini semua gara-gara keinginan tahuannya yang kelewat besar, akhirnya membuat, Bu Ratih tersinggung."Maaf, Tante," ucap lelaki muda berparas tampan itu tidak enak.Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya menatap Davin dengan tatapan hampa. Lalu bergegas menyusul Ariela, yang sudah berjalan meninggalkan ibunya.Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bu Ratih merasa sangat gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apa yang hendak ditanyakan Davin pasti soal Ariela.Sesampainya di rumah wanita itu menunggu sampai Ariela naik ke atas, lantas menuju dapur di sana terdapat telepon yang menempel di dinding. Dengan gerakan cepat, ia menekan nomor tele
Rie gelagapan saat tubuhnya ditarik ke dalam pusaran. Gadis itu mencoba untuk naik ke atas, dengan cara mengayunkan kaki dan tangannya. Namun, tidak tidak bisa karena tekanan air lebih berat dari tubuhnya.Dada gadis itu mulai terasa sesak, tenggorokannya pun terasa sakit karena menelan air laut. Di saat kritis seperti itu, tiba-tiba saja wajah Orion membayang di matanya sambil tersenyum."Tidak usah takut, tenang saja. Kamu akan aman bersamaku," ucap lelaki itu lembut.Ariela mencoba untuk tersenyum, sehingga mengeluarkan gelembung udara dari mulutnya. Gadis itu melemas, kehabisan tenaga. Tubuh kecil Rie semakin tersedot, namun tekanan air membuat tangannya bergerak naik ke atas."Ayo, hidup bersamaku." Suara Orion bergema di dalam air.Ariela mengangguk, dengan mata hampir terpejam. Gelembung udara keluar semakin banyak dari mulutnya, napas gadis itu mulai megap-megap. Pusaran air berputar pelan, membuat tubuh Rie terombang-ambi
Davin tidak menghiraukan panggilan mamanya, lelaki itu terus saja berlari. Sampai di depan gerbang komplek, hampir saja ia menabrak Bu Ratih yang berdiri mematung."Tante, mau ke mana?" tanya Davin dengan napas tersengal-sengal.Bu Ratih menoleh dan mundur selangkah, matanya membelalak melihat Davin yang membungkuk dengan rambut awut-awutan. Penampilan lelaki yang mengenakan celana bermuda, kaos tanpa lengan dan bersandal jepit lengkap dengan mata memerah. Persis para turis yang baru pulang dari kedai minuman."Mencari Rie," sahutnya setelah yakin bahwa Davin tidak mabuk.Lelaki itu menegakkan tubuh, kemudian menggelung rambut seperti pesumo. Napasnya berangsur normal, lalu menatap Bu Ratih dengan ekspresi terkejut."Rie, hilang!" serunya."Entah. Tadi Tante Lihat, dia tidak ada di kamarnya." Bu Ratih menjawab dengan wajah diliputi kecemasan.Mata wanita itu memandang pintu masuk ke arah pantai, yang berbentuk seteng
Bu Ratih dan Pak Wirya terdiam, lantas saling bertanya lewat pandangan. Bayi? Bayi apa yang dimaksud dengan Ariela. Suasana tengah malam itu sangat hening, tidak ada suara apa pun termasuk hewan malam yang biasa berbunyi.Pasangan suami istri itu menatap Ariela dengan pandangan iba dan sedih. Terutama Bu Ratih, air matanya menganak sungai. Melihat penderitaan anak gadisnya, yang terduduk di kasur sambil merunduk dan menutup telinga. Hatinya yang lembut bagai teriris-iris."Bagaimana, ini, Yah? Apa Rie, kita bawa ke rumah sakit saja." Ujar Bu Ratih cemas."Tidak perlu, Rie hanya bermimpi." Ucap Pak Wirya meyakinkan dirinya sendiri."Aku … rasa itu bukan mimpi. Kalau Rie, mimpi anak itu akan sadar saat dibangunkan, tapi ini …." Bu Ratih tidak dapat meneruskan ucapannya.Ariela mengangkat kepalanya, matanya yang basah menyapu seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Ratih berjalan menghampirinya, dengan p
Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya. "Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa. "Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar. "Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan. "Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut. Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat. "Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal. Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan
Bu Ratih tertegun mendengar nada serius dari ucapan Davin, seketika hatinya yang gundah gulana sedikit lega. Namun wanita itu tidak mau banyak berharap, agar tidak merasakan kekecewaan yang semakin dalam. Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir 45 tahun itu, menatap lekat pada Davin. Lelaki itu balasa memandang Bu Ratih dengan serius, tidak ada keraguan di bola matanya yang cokelat. "Saya permisi, Tante," pamitnya sambil berdiri dari kursi. Bu Ratih bergeming. Pandangannya masih menerawang, dan tidak mendengar ucapan Davin. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Ratih, lelaki berjalan menjauhi rumah minimalis itu dan berbelok menuju pantai. Aroma amis dan semilir angin langsung terasa, saat lelaki itu keluar dari gerbang perumahan. Davin merentangkan tangannya, memberi tanda pada pengemudi mobil. Bahwa ia akan menyeberang jalan. Dari depan pintu masuk, terlihat segerombolan orang berjalan meninggalkan pantai. Davin meli
Bab 5Wanita itu tercengang, rona wajahnya mendadak pias. Ia tidak menyangka ada seseorang yang menanyakan, tentang kondisi Ariela yang tidak biasa.Davin merutuki kebodohannya, lelaki itu merasa sangat tidak enak terhadap Bu Ratih. Ini semua gara-gara keinginan tahuannya yang kelewat besar, akhirnya membuat, Bu Ratih tersinggung."Maaf, Tante," ucap lelaki muda berparas tampan itu tidak enak.Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya menatap Davin dengan tatapan hampa. Lalu bergegas menyusul Ariela, yang sudah berjalan meninggalkan ibunya.Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bu Ratih merasa sangat gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apa yang hendak ditanyakan Davin pasti soal Ariela.Sesampainya di rumah wanita itu menunggu sampai Ariela naik ke atas, lantas menuju dapur di sana terdapat telepon yang menempel di dinding. Dengan gerakan cepat, ia menekan nomor tele
Bab 4Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung."Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin.Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis."Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie.Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong.Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie.Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarn
Bab 3Davin mendengarkan pembicaraan para penjaga pantai dengan seksama, ia penasaran siapa gerangan gadis yang dijadikan topik.Menurut pengakuan si penjaga pantai, gadis itu berada di tempat yang sepi di sebelah barat. Dengan langkah tegap, lelaki itu berjalan menyusuri pasir putih.Sesekali Davin menoleh berusaha mencari gadis itu, setelah berjalan hampir 300 meter. Langkah lelaki itu terhenti, di depan sana seorang gadis cantik tengah duduk di kursi kayu.Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin, memperlihatkan pipinya yang merona merah bagai tomat. Davin semakin mendekat, gadis itu tampak tidak asing baginya. Untuk memastikan lelaki berjalan semakin dekat.Ia tertegun saat melihat gadis itu, bibirnya yang tipis tersenyum lebar. Kening Davin berkerut saat gadis itu menggerakkan tangannya, seolah sedang asyik membicarakan sesuatu. Padahal di sebelahnya tidak orang. Lelaki itu berbalik, rasa penasarannya
Bab 2Fajar baru saja menyingsing, aroma asin dari laut terbawa oleh desiran angin. Beberapa orang mulai lalu lalang di depan rumah berwarna putih, mereka menyapa Rie yang tengah terduduk di teras.Wajahnya yang putih terlihat pucat bagai mayat, bibirnya gemetar dan sedikit membiru. Gadis itu merapatkan outher yang dipakainya, sebetulnya sinar mentari sudah menyembul. Namun suhu udara yang rendah, ditambah angin yang bertiup membuat ia kedinginan."Rie," panggil bundanya dari dapur. Wanita paruh baya itu tengah membuat Pai apel, untuk sarapan pagi ini."Iya, Bun," jawab gadis itu. Ia bangkit dari duduknya, dengan perasaan malas.Gadis itu masuk ke dalam dapur, harum madu dan apel mendominasi di dalam ruangan itu. Rie duduk di kursi makan, lalu mengaduk-aduk adonan Pai."Jangan Rie," decak sang Bunda sambil meraih bowl, berisi adonan."Ngapain Bunda, manggil Rie?" tanyanya.Wanita yang masih c