Bab 3
Davin mendengarkan pembicaraan para penjaga pantai dengan seksama, ia penasaran siapa gerangan gadis yang dijadikan topik.
Menurut pengakuan si penjaga pantai, gadis itu berada di tempat yang sepi di sebelah barat. Dengan langkah tegap, lelaki itu berjalan menyusuri pasir putih.
Sesekali Davin menoleh berusaha mencari gadis itu, setelah berjalan hampir 300 meter. Langkah lelaki itu terhenti, di depan sana seorang gadis cantik tengah duduk di kursi kayu.
Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin, memperlihatkan pipinya yang merona merah bagai tomat. Davin semakin mendekat, gadis itu tampak tidak asing baginya. Untuk memastikan lelaki berjalan semakin dekat.
Ia tertegun saat melihat gadis itu, bibirnya yang tipis tersenyum lebar. Kening Davin berkerut saat gadis itu menggerakkan tangannya, seolah sedang asyik membicarakan sesuatu. Padahal di sebelahnya tidak orang.
Lelaki itu berbalik, rasa penasarannya sudah terjawab. Namun ia masih terusik, wajah gadis tadi terus bermain di matanya. Di dalam hatinya seperti merasa akrab, saat melihat senyumnya.
"Davin, Mana cariin dari tadi," seloroh mamanya sambil berkacak pinggang di depan pintu, saat lelaki itu masuk ke pekarangan.
Tanpa merasa bersalah, ia membalas pelototan ibunya dengan cengiran. Lelaki itu melangkahkan kakinya mendekat, lalu duduk di lantai teras sambil menselojorkan kaki. Mama Davin mendekat, lalu duduk di sampingnya.
"Ma, tadi Davin ketemu cewek cantik, deh," ujarnya dengan mata berbinar.
"Ya, ampun. Jadi ke pantai buat godain cewek," seru wanita sambil mendorong bahu anaknya.
"Enak aja. Aku gak seperti itu," tegas Davin dengan wajah kesal. Mendengar hal itu mamanya hanya mengulum senyum.
"Secantik apa?" goda mamanya.
"Pokoknya cantik. Wajahnya putih, hidungnya mancung, bibirnya tipis. Rambutnya panjang warna emas," ucap Davin menggebu-gebu.
Mamanya mendengarkan sambil berpikir, berusaha menebak sesuatu. Kalau mendengar penuturan Davin, sepertinya ia mengenal gadis itu.
"Coba ceritakan tentang dia lagi," ucap mama Davin antusias.
"Ya, gitu, deh. Pokoknya cantik mirip dia." Tiba-tiba Davin menunjuk Ariela yang tengah melintas, di hadapan rumah lelaki itu.
Wanita itu tersenyum saat Ariela menoleh ke arah mereka, setelah membalas senyuman mama Davin. Gadis itu kembali berjalan menuju rumahnya.
"Loh, memang dia orangnya," gumam Davin. Ia ingat betul pakaian gadis tadi, sama dengan yang dipakai oleh gadis yang baru saja lewat.
Davin berlari mengejar, namun sayangnya lelaki itu terlambat. Saat ia sampai di jalan, gadis itu sudah berbelok hanya terlihat ujung rambutnya kemudian hilang di tikungan.
Kekecewaan tampak jelas di wajah lelaki itu, mamanya yang dari tadi memperhatikan merasa bingung. Kenapa Davin tidak mengenali Ariela, mereka bersahabat waktu bahkan pernah satu kelas saat taman kanak-kanak.
Davin mengempaskan tubuhnya, sambil mendengkus. Mamanya yang prihatin, berusaha menenangkan dengan mengusap punggung anak lelakinya itu.
"Mama kenal dengan gadis tadi?" tanyanya tiba-tiba.
"Kenal," jawab mamanya singkat, sambil tersenyum jahil. "Kenapa minta dikenalin," candanya.
"Ish, Mama. Aku cuma nanya," elak Davin malu seraya berdiri, lalu masuk kedalam.
****
Kota tempat Ariela dan orang tuanya tinggal tidak terlalu luas, sebagian besar dari mereka saling mengenal walaupun orang itu tinggal di pinggiran kota. Pagi yang sejuk dan damai sedikit ternoda oleh isu yang beredar, entah siapa yang pertama mengatakan kalau Ariela mulai gila.
Ketika Bu Ratih sedang berbelanja di pasar, kabar itu sampai di telinganya. Wanita itu pulang dengan membawa kemarahan di dalam hatinya, Pak Wirya yang sedang menonton berita terkejut. Saat mendengar pintu yang ditutup dengan cara dibanting.
"Ada apa, Bun?" tanya pria itu pada istrinya. Saat melihat wajah wanita itu memerah, menahan emosi.
"Anakku tidak gila!" jeritnya sambil berurai air mata. Melihat hal itu Pak Wirya segera bangkit, lalu mendekap wanita itu. Tangisnya pecah di dada sang suami, hatinya teramat sakit mendengar perkataan orang-orang tentang anaknya.
"Anak kita tidak gila, Yah," ulangnya sambil menatap Pak Wirya. Lelaki yang mempunyai sifat pemaksa itu, merasa terenyuh mendengar rintihan istrinya.
Ariela yang sudah terbangun dari tidurnya, duduk dengan tubuh gemetar sambil berlinang air mata. Hati gadis itu serasa diremas-remas mendengar tangisan bundanya.
Sementara di tempat lain, Bu Widi masuk ke dalam rumah dengan wajah jengkel. "Masih pagi tapi sudah nyari dosa," gerutunya sambil mengeluarkan isi sayuran dari dalam kantung.
"Kenapa, Ma?" sahut Davin yang lagi asyik main PlayStation.
"Ini dari semalam belum berhenti main," omelnya. Sambil berkacak pinggang. Davin yang sudah hafal dengan sifat mamanya, hanya mengedikkan bahu lantas membesarkan volume agar Bu Widi tersamarkan.
Suara desingan peluru dan benda tajam yang beradu bergemuruh dari televisi layar datar, terdengar sampai ke dapur dengan konsep terbuka. Ruangan itu memang menyatu hanya terpisah oleh meja makan berwarna hitam dengan meja kaca bulat.
"Davin, kecilin suaranya!" teriak Bu Widi sambil mendekat, kemudian menarik telinga anak lelakinya.
"Aduh," rintihnya pelan sambil mengusap telinga sebelah kiri.
"Sarapan dulu sana, tadi Mama beli roti manis," ujarnya lalu duduk di sofa bed. Pikirannya melayang apa benar yang diucapkan orang-orang kalau Ariela gila, di dalam hati kecilnya ia menampik berita itu.
Bu Widi cukup tahu gadis itu, karena Bu Ratih sering membicarakannya jika mereka bertemu. Beberapa hari sekali ia juga sering melihat gadis lewat, tapi terlihat biasa saja masih menyapa dan tersenyum tidak ada yang aneh. Ia mendengkus.
"Widih, napasnya bisa bikin lalat terbang," goda Davin yang duduk di bawah posisinya membelakangi Bu Widi. Hanya dengan maksud bercanda, Bu Widi menoyor kepala Davin.
"Mama kenapa, sih?" tanyanya serius.
"Tadi pemilik toko roti bilang, kalau Ariela gila. Jelas aja mama marah, kok, dia seenaknya ngatain anak orang," seloroh mama dengan wajah masam.
"Emang Mama kenal sama dia?" tanya Davin lagi, sambil membereskan stik PS.
"Kenal dia anaknya teman mama, teman kamu juga waktu TK," sahut Bu Widi dengan dada yang turun naik.
"Yang mana orangnya?"
"Itu yang kemarin sore, kamu kejar pas dia lewat depan rumah," katanya ringan lalu beranjak dari sofa.
Tubuh Davin bergeming. Jadi gadis itu Ariela, pantas ia merasa tidak asing. Sebetulnya lelaki itu ingin menceritakan apa yang dilihatnya di pantai, tapi tidak tega saat teringat wajah mamanya sangat sedih
Ia berjalan ke pintu depan, lalu berdiri di pekarangan yang berbatu. Davin meregangkan tubuhnya yang terasa pegal, sebab duduk terlalu lama bermain game.
Pucuk dicinta ulam tiba, gadis itu melintas dengan wajah murung. Dengan tergesa Davin mencari alas kaki, tidak ada hanya ada sepasang sandal jepit dengan bunga ditengahnya. Takut Ariela semakin menjauh, ia segera memakainya kemudian mengikuti gadis itu.
Hari masih sangat pagi, fajar baru saja merekah. Ariela berjalan menunduk, beberapa orang yang melihatnya seperti jijik lalu menjauh.
Gadis itu berjalan ke bibir pantai, membiarkan kakinya yang kurus tercium oleh air laut. Rambutnya kali ini digelung, membentuk seperti donat. Davin terus mengikuti sambil menjaga jarak.
Ariela seperti mendengar ada yang memanggil namanya, gadis itu menggerakkan kepala mencari asal suara. Di depan sana terlindung oleh pohon kelapa, Orion melambaikan tangannya sambil tersenyum.
Rie segera berlari menghampiri. Wajahnya yang tadi murung kini merona bahagia, ia mengatur napas saat berhadapan dengan lelaki itu. Gadis itu sangat bahagia bertemu dengannya, mereka bertatapan dengan penuh perasaan.
"Kamu kenapa," tanya Orion sambil mengusap setitik air mata, yang tersisa di ujung mata.
"Aku sedih mendengar Bunda nangis," lirihnya lalu duduk di pasir.
"Kenapa Bunda menangis," ucapnya lagi. Rie merasakan ada yang tumbuh semakin tinggi di hatinya. Ia sangat menyukai Orion, terlebih lelaki itu perhatian dengan Bundanya bbeda sekali dengan Willy.
Mengingat nama itu, ada yang tersayat di dalam hati Rie. Matanya yang bening, tiba-tiba berkabut. Ia menangis tersedu-sedu. Orion merentangkan tangannya, lalu memeluk. Dan tanpa ragu gadis itu membalas pelukannya.
Davin berjalan cepat saat melihat Ariela berlari, ia berhenti sekitar sepuluh meter. Ia memperhatikan gadis itu dari jauh, wajahnya cepat sekali berganti ekspresi. Dari murung, ke bahagia, dan sekarang ia menangis. Suara isakannya yang tertiup angin, sampai ke telinga Davin.Posisi Rie yang menyamping, sekarang membelakangi Davin. Lelaki itu memanfaatkan kesempatan, ia berjalan mendekat rasa penasaran kembali menguasai.
"Ada yang tidak normal, dengan Ariela," gumam Davin dalam hati. Saat tiba-tiba melihat tangan Rie melengkung, seperti tengah memeluk seseorang.
Lelaki memberanikan diri untuk mendekat. Ia berdeham sekali, sontak gadis itu menoleh. Ada rasa tidak suka terpancar di matanya, ia merasa terganggu.
"Rie," sapa Davin sambil tersenyum. Lelaki itu sangat terpesona, ketika melihat gadis itu dari dekat. Wajahnya pucat namun masih terlihat sangat cantik, ada yang bergetar di dalam hati Davin.
Lelaki itu berusaha menenangkan debaran jantungnya, yang bergerak sangat cepat. Gadis itu melepas tangannya dengan ekspresi malu. Davin memperhatikan dengan saksama, tanpa membuatnya curiga.
"Kamu siapa?" tanyanya dengan suara datar dan dingin. Kentara sekali kalau ia tidak senang, dengan kehadiran Davin.
"Aku Davin, teman TK kamu," sahutnya penuh percaya diri. Rie berpikir sejenak, kemudian menyunggingkan seulas senyum tipis.
"Oh." Hanya satu jawaban singkat yang keluar dari bibir gadis itu, membuat lelaki itu sangat gemas. Ia menenangkan hatinya, Rie tipe perempuan yang sangat halus. Jadi lelaki itu menambah kesabarannya.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Davin mengorek informasi.
"Sedang mengobrol," sahutnya sambil mengusap mata. Davin bisa melihat netra bening itu sedikit memerah.
"Sama siapa, boleh aku tahu?"
Rie mendecak, matanya menatap kesal pada lelaki berambut ikal itu. Ia menoleh ke samping, lalu tersenyum manis. Dan tiba-tiba.
"Perkenalkan ini pacarku Orion," ucapnya dengan penuh kelembutan.
Bab 4Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung."Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin.Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis."Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie.Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong.Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie.Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarn
Bab 5Wanita itu tercengang, rona wajahnya mendadak pias. Ia tidak menyangka ada seseorang yang menanyakan, tentang kondisi Ariela yang tidak biasa.Davin merutuki kebodohannya, lelaki itu merasa sangat tidak enak terhadap Bu Ratih. Ini semua gara-gara keinginan tahuannya yang kelewat besar, akhirnya membuat, Bu Ratih tersinggung."Maaf, Tante," ucap lelaki muda berparas tampan itu tidak enak.Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya menatap Davin dengan tatapan hampa. Lalu bergegas menyusul Ariela, yang sudah berjalan meninggalkan ibunya.Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bu Ratih merasa sangat gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apa yang hendak ditanyakan Davin pasti soal Ariela.Sesampainya di rumah wanita itu menunggu sampai Ariela naik ke atas, lantas menuju dapur di sana terdapat telepon yang menempel di dinding. Dengan gerakan cepat, ia menekan nomor tele
Bu Ratih tertegun mendengar nada serius dari ucapan Davin, seketika hatinya yang gundah gulana sedikit lega. Namun wanita itu tidak mau banyak berharap, agar tidak merasakan kekecewaan yang semakin dalam. Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir 45 tahun itu, menatap lekat pada Davin. Lelaki itu balasa memandang Bu Ratih dengan serius, tidak ada keraguan di bola matanya yang cokelat. "Saya permisi, Tante," pamitnya sambil berdiri dari kursi. Bu Ratih bergeming. Pandangannya masih menerawang, dan tidak mendengar ucapan Davin. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Ratih, lelaki berjalan menjauhi rumah minimalis itu dan berbelok menuju pantai. Aroma amis dan semilir angin langsung terasa, saat lelaki itu keluar dari gerbang perumahan. Davin merentangkan tangannya, memberi tanda pada pengemudi mobil. Bahwa ia akan menyeberang jalan. Dari depan pintu masuk, terlihat segerombolan orang berjalan meninggalkan pantai. Davin meli
Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya. "Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa. "Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar. "Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan. "Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut. Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat. "Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal. Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan
Bu Ratih dan Pak Wirya terdiam, lantas saling bertanya lewat pandangan. Bayi? Bayi apa yang dimaksud dengan Ariela. Suasana tengah malam itu sangat hening, tidak ada suara apa pun termasuk hewan malam yang biasa berbunyi.Pasangan suami istri itu menatap Ariela dengan pandangan iba dan sedih. Terutama Bu Ratih, air matanya menganak sungai. Melihat penderitaan anak gadisnya, yang terduduk di kasur sambil merunduk dan menutup telinga. Hatinya yang lembut bagai teriris-iris."Bagaimana, ini, Yah? Apa Rie, kita bawa ke rumah sakit saja." Ujar Bu Ratih cemas."Tidak perlu, Rie hanya bermimpi." Ucap Pak Wirya meyakinkan dirinya sendiri."Aku … rasa itu bukan mimpi. Kalau Rie, mimpi anak itu akan sadar saat dibangunkan, tapi ini …." Bu Ratih tidak dapat meneruskan ucapannya.Ariela mengangkat kepalanya, matanya yang basah menyapu seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Ratih berjalan menghampirinya, dengan p
Davin tidak menghiraukan panggilan mamanya, lelaki itu terus saja berlari. Sampai di depan gerbang komplek, hampir saja ia menabrak Bu Ratih yang berdiri mematung."Tante, mau ke mana?" tanya Davin dengan napas tersengal-sengal.Bu Ratih menoleh dan mundur selangkah, matanya membelalak melihat Davin yang membungkuk dengan rambut awut-awutan. Penampilan lelaki yang mengenakan celana bermuda, kaos tanpa lengan dan bersandal jepit lengkap dengan mata memerah. Persis para turis yang baru pulang dari kedai minuman."Mencari Rie," sahutnya setelah yakin bahwa Davin tidak mabuk.Lelaki itu menegakkan tubuh, kemudian menggelung rambut seperti pesumo. Napasnya berangsur normal, lalu menatap Bu Ratih dengan ekspresi terkejut."Rie, hilang!" serunya."Entah. Tadi Tante Lihat, dia tidak ada di kamarnya." Bu Ratih menjawab dengan wajah diliputi kecemasan.Mata wanita itu memandang pintu masuk ke arah pantai, yang berbentuk seteng
Rie gelagapan saat tubuhnya ditarik ke dalam pusaran. Gadis itu mencoba untuk naik ke atas, dengan cara mengayunkan kaki dan tangannya. Namun, tidak tidak bisa karena tekanan air lebih berat dari tubuhnya.Dada gadis itu mulai terasa sesak, tenggorokannya pun terasa sakit karena menelan air laut. Di saat kritis seperti itu, tiba-tiba saja wajah Orion membayang di matanya sambil tersenyum."Tidak usah takut, tenang saja. Kamu akan aman bersamaku," ucap lelaki itu lembut.Ariela mencoba untuk tersenyum, sehingga mengeluarkan gelembung udara dari mulutnya. Gadis itu melemas, kehabisan tenaga. Tubuh kecil Rie semakin tersedot, namun tekanan air membuat tangannya bergerak naik ke atas."Ayo, hidup bersamaku." Suara Orion bergema di dalam air.Ariela mengangguk, dengan mata hampir terpejam. Gelembung udara keluar semakin banyak dari mulutnya, napas gadis itu mulai megap-megap. Pusaran air berputar pelan, membuat tubuh Rie terombang-ambi
Bab 1Semilir angin pantai menerbangkan rambut gadis yang tengah berjalan di bibir pantai, wajah cantiknya terlihat pucat. Bibirnya yang tipis bergetar.Gadis itu berhenti, lalu menatap ke arah laut lepas. Di ujung sana tampak matahari separuh tenggelam, sebentar lagi senja akan berganti malam. Gadis itu mengusap matanya yang basah, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu mengenai bahunya.Refleks gadis itu menoleh, ia terkesiap saat melihat ke belakang. Di sebuah warung es kelapa yang sudah tutup, berdiri seorang lelaki tinggi menjulang."Hai," sapa lelaki itu sambil menyunggingkan senyum. Giginya yang putih terlihat rapi.Gadis itu menoleh ke kiri dan kanan, suasana di sekitarnya sudah sepi. Kini ia merasa takut, sendirian di tepi pantai. Dengan lelaki yang tidak dia kenal. Gadis itu mundur selangkah, kemudian berbalik lalu berlari menjauh."Hei, aku cuma mau kenalan," teriak si lelaki sambil berusaha mengejar gadis itu.&nb
Rie gelagapan saat tubuhnya ditarik ke dalam pusaran. Gadis itu mencoba untuk naik ke atas, dengan cara mengayunkan kaki dan tangannya. Namun, tidak tidak bisa karena tekanan air lebih berat dari tubuhnya.Dada gadis itu mulai terasa sesak, tenggorokannya pun terasa sakit karena menelan air laut. Di saat kritis seperti itu, tiba-tiba saja wajah Orion membayang di matanya sambil tersenyum."Tidak usah takut, tenang saja. Kamu akan aman bersamaku," ucap lelaki itu lembut.Ariela mencoba untuk tersenyum, sehingga mengeluarkan gelembung udara dari mulutnya. Gadis itu melemas, kehabisan tenaga. Tubuh kecil Rie semakin tersedot, namun tekanan air membuat tangannya bergerak naik ke atas."Ayo, hidup bersamaku." Suara Orion bergema di dalam air.Ariela mengangguk, dengan mata hampir terpejam. Gelembung udara keluar semakin banyak dari mulutnya, napas gadis itu mulai megap-megap. Pusaran air berputar pelan, membuat tubuh Rie terombang-ambi
Davin tidak menghiraukan panggilan mamanya, lelaki itu terus saja berlari. Sampai di depan gerbang komplek, hampir saja ia menabrak Bu Ratih yang berdiri mematung."Tante, mau ke mana?" tanya Davin dengan napas tersengal-sengal.Bu Ratih menoleh dan mundur selangkah, matanya membelalak melihat Davin yang membungkuk dengan rambut awut-awutan. Penampilan lelaki yang mengenakan celana bermuda, kaos tanpa lengan dan bersandal jepit lengkap dengan mata memerah. Persis para turis yang baru pulang dari kedai minuman."Mencari Rie," sahutnya setelah yakin bahwa Davin tidak mabuk.Lelaki itu menegakkan tubuh, kemudian menggelung rambut seperti pesumo. Napasnya berangsur normal, lalu menatap Bu Ratih dengan ekspresi terkejut."Rie, hilang!" serunya."Entah. Tadi Tante Lihat, dia tidak ada di kamarnya." Bu Ratih menjawab dengan wajah diliputi kecemasan.Mata wanita itu memandang pintu masuk ke arah pantai, yang berbentuk seteng
Bu Ratih dan Pak Wirya terdiam, lantas saling bertanya lewat pandangan. Bayi? Bayi apa yang dimaksud dengan Ariela. Suasana tengah malam itu sangat hening, tidak ada suara apa pun termasuk hewan malam yang biasa berbunyi.Pasangan suami istri itu menatap Ariela dengan pandangan iba dan sedih. Terutama Bu Ratih, air matanya menganak sungai. Melihat penderitaan anak gadisnya, yang terduduk di kasur sambil merunduk dan menutup telinga. Hatinya yang lembut bagai teriris-iris."Bagaimana, ini, Yah? Apa Rie, kita bawa ke rumah sakit saja." Ujar Bu Ratih cemas."Tidak perlu, Rie hanya bermimpi." Ucap Pak Wirya meyakinkan dirinya sendiri."Aku … rasa itu bukan mimpi. Kalau Rie, mimpi anak itu akan sadar saat dibangunkan, tapi ini …." Bu Ratih tidak dapat meneruskan ucapannya.Ariela mengangkat kepalanya, matanya yang basah menyapu seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Ratih berjalan menghampirinya, dengan p
Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya. "Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa. "Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar. "Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan. "Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut. Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat. "Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal. Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan
Bu Ratih tertegun mendengar nada serius dari ucapan Davin, seketika hatinya yang gundah gulana sedikit lega. Namun wanita itu tidak mau banyak berharap, agar tidak merasakan kekecewaan yang semakin dalam. Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir 45 tahun itu, menatap lekat pada Davin. Lelaki itu balasa memandang Bu Ratih dengan serius, tidak ada keraguan di bola matanya yang cokelat. "Saya permisi, Tante," pamitnya sambil berdiri dari kursi. Bu Ratih bergeming. Pandangannya masih menerawang, dan tidak mendengar ucapan Davin. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Ratih, lelaki berjalan menjauhi rumah minimalis itu dan berbelok menuju pantai. Aroma amis dan semilir angin langsung terasa, saat lelaki itu keluar dari gerbang perumahan. Davin merentangkan tangannya, memberi tanda pada pengemudi mobil. Bahwa ia akan menyeberang jalan. Dari depan pintu masuk, terlihat segerombolan orang berjalan meninggalkan pantai. Davin meli
Bab 5Wanita itu tercengang, rona wajahnya mendadak pias. Ia tidak menyangka ada seseorang yang menanyakan, tentang kondisi Ariela yang tidak biasa.Davin merutuki kebodohannya, lelaki itu merasa sangat tidak enak terhadap Bu Ratih. Ini semua gara-gara keinginan tahuannya yang kelewat besar, akhirnya membuat, Bu Ratih tersinggung."Maaf, Tante," ucap lelaki muda berparas tampan itu tidak enak.Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya menatap Davin dengan tatapan hampa. Lalu bergegas menyusul Ariela, yang sudah berjalan meninggalkan ibunya.Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bu Ratih merasa sangat gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apa yang hendak ditanyakan Davin pasti soal Ariela.Sesampainya di rumah wanita itu menunggu sampai Ariela naik ke atas, lantas menuju dapur di sana terdapat telepon yang menempel di dinding. Dengan gerakan cepat, ia menekan nomor tele
Bab 4Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung."Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin.Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis."Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie.Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong.Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie.Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarn
Bab 3Davin mendengarkan pembicaraan para penjaga pantai dengan seksama, ia penasaran siapa gerangan gadis yang dijadikan topik.Menurut pengakuan si penjaga pantai, gadis itu berada di tempat yang sepi di sebelah barat. Dengan langkah tegap, lelaki itu berjalan menyusuri pasir putih.Sesekali Davin menoleh berusaha mencari gadis itu, setelah berjalan hampir 300 meter. Langkah lelaki itu terhenti, di depan sana seorang gadis cantik tengah duduk di kursi kayu.Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin, memperlihatkan pipinya yang merona merah bagai tomat. Davin semakin mendekat, gadis itu tampak tidak asing baginya. Untuk memastikan lelaki berjalan semakin dekat.Ia tertegun saat melihat gadis itu, bibirnya yang tipis tersenyum lebar. Kening Davin berkerut saat gadis itu menggerakkan tangannya, seolah sedang asyik membicarakan sesuatu. Padahal di sebelahnya tidak orang. Lelaki itu berbalik, rasa penasarannya
Bab 2Fajar baru saja menyingsing, aroma asin dari laut terbawa oleh desiran angin. Beberapa orang mulai lalu lalang di depan rumah berwarna putih, mereka menyapa Rie yang tengah terduduk di teras.Wajahnya yang putih terlihat pucat bagai mayat, bibirnya gemetar dan sedikit membiru. Gadis itu merapatkan outher yang dipakainya, sebetulnya sinar mentari sudah menyembul. Namun suhu udara yang rendah, ditambah angin yang bertiup membuat ia kedinginan."Rie," panggil bundanya dari dapur. Wanita paruh baya itu tengah membuat Pai apel, untuk sarapan pagi ini."Iya, Bun," jawab gadis itu. Ia bangkit dari duduknya, dengan perasaan malas.Gadis itu masuk ke dalam dapur, harum madu dan apel mendominasi di dalam ruangan itu. Rie duduk di kursi makan, lalu mengaduk-aduk adonan Pai."Jangan Rie," decak sang Bunda sambil meraih bowl, berisi adonan."Ngapain Bunda, manggil Rie?" tanyanya.Wanita yang masih c