Bab 4
Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung.
"Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin.
Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis.
"Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie.
Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong.
Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie.
Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarnya, yang tak terlihat oleh lelaki itu.
Matahari mulai naik, membuat laut terlihat berkilau terkena cahayanya. Lampu-lampu resort dan penginapan mulai padam, begitu juga dengan lampu jalan.
Aktifitas di pinggir pantai mulai terlihat, para pedagang membuka kiosnya. Serombongan ibu-ibu yang membawa tikar, mulai menyebar di seluruh penjuru. Sedangkan penjaga pantai berganti shift, dan menempati posisinya masing-masing.
Raut cemas dan khawatir terlihat jelas di wajah Davin, lelaki itu mengedarkan pandangannya. Untunglah letak mereka berdiri jauh dari pintu masuk, jadi belum ada siapa-siapa kecuali mereka berdua.
Pantai ini sengaja di desain dengan satu akses untuk keluar masuk, dan tidak boleh membawa kendaraan. Para pelancong yang datang rombongan dengan menaiki bus, mereka diberikan tempat parkir khusus.
Sedangkan yang membawa kendaraan roda empat, lebih memilih untuk menaruhnya di resort tempat mereka menginap. Yang berbaris memanjang tepat di pintu masuk pantai.
"Rie, mau pulang? Bareng, yuk?" ajak Davin.
"Kamu duluan aja," tolaknya tanpa menoleh menatap lelaki itu.
Serasa ada yang menggores hatinya, saat Ariela mengabaikan lelaki itu. Ia merasa Ariela lebih antusias, untuk berbicara dengan pacar khayalannya dari pada dengannya. Yang jelas-jelas nyata.
Davin mengembuskan napas. Ia berbalik melangkah untuk pulang, cahaya matahari menerpa wajahnya memberi kehangatan. Bagaimana nanti jika ada yang melihat Ariela, dan melihat ia berbicara sendiri. Hati kecil Davin berbicara.
Lelaki itu terdiam sejenak, batinnya bergejolak. Sebetulnya ia juga khawatir, semakin banyak yang melihat keanehan Rie. Semakin menegaskan kalau dia memang gila, dan Davin tidak mau itu terjadi.
Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke tempat Rie berada. Dengan adanya dia di situ, keanehan Rie bisa tersamarkan. Dan orang biarlah orang berpikir kalau gadis itu berbicara dengannya.
Belum juga lelaki itu menyusul, Rie tengah berjalan ke arahnya. Ia menunggu gadis itu sampai di tempatnya.
"Loh, ikutan pulang?" tanya Davin pura-pura polos.
"Iya. Terus kamu ngapain nungguin aku," sahutnya dengan nada ketus.
"Dih, siapa yang nungguin. Ge-er," jawab lelaki itu spontan. Bibir gadis itu mengerucut, wajahnya tampak kesal.
"Kalau gak nunggu, kenapa ada di sini?" timpalnya sambil tersenyum.
Davin salah tingkah, lelaki itu gelagapan. Bingung harus menjawab apa, Ariela masih berdiri di hadapannya. Menanti jawaban dari mulut Davin, tubuhnya bergoyang-goyang dengan tangan yang terpaut di belakang badannya.
Lelaki itu menelan luda, jakunnya turun naik. Ada sesuatu yang mekar di dalam hatinya, ia berusaha menormalkan debaran jantungnya. Yang tiba-tiba saja berdetak sangat cepat."A, aku tadi liat ada kulit kerang. Makanya berhenti," ucapknya berdusta.
Ariela menunduk ke bawah, rambutnya yang panjang menutupi wajahnya. Davin menahan tangannya, yang ingin sekali menyingkirkan mahkota berwarna emas itu. Lalu menyelipkannya di telinga Rie.
"Tidak ada apa-apa," ucapnya tersenyum penuh kemenangan. Pipinya yang putih terlihat memerah, karena tersehat matahari.
"Udah, yuk, pulang!" ajak Davin. Kemudian melangkah berpura-pura meninggalkan gadis itu. Ariela menghentakkan kakinya, lantas berjalan menyusul Davin.
"Ternyata semua cowok sama saja" gumam Ariela. Kakinya menendang pelan butiran pasir.
Jarak Davin dan Ariela hanya setengah meter, ucapan gadis itu terdengar di telinganya. Membuat langkahnya terhenti seketika, Rie yang berjalan menunduk lantas menabrak tubuh lelaki.
Ada yang bergelenyar di dada lelaki itu, saat mereka bersentuhan. Tubuhnya seketika membeku, gadis itu refleks melangkah mundur.
"Ish, kamu sengaja, ya," serunya. Davin berbalik menghadapnya.
"Maaf, gak sengaja," ucapannya dengan wajah biasa saja. Rie mencebikkan bibirnya, membuat Davin ingin sekali menciumnya.
"Maksud perkataan kamu tadi apa?" tanya lelaki itu. Kali ini mereka berjalan beriringan.
Suara pluit penjaga pantai dan mesin kapal yang dinyalakan, memecah kesunyian pagi. Para pelancong mulai berdatangan, mereka berjemur di pinggir pantai menggunakan kacamata hitam.
Beberapa bocah berlarian, membuat para ibu berteriak histeris. Saat kaki anak-anak itu, tersapu ombak. Mungkin mereka takut buat hatinya terseret ke laut.
"Semua lelaki tukang bohong," tegasnya dengan wajah mengeras. Davin sedikit terkejut melihat perubahannya, ada pancaran dendam di mata gadis cantik itu.
"Tidak semua Ariela. Itu tergantung pribadinya," jelas Davin membela kaumnya.
"Buat aku semua sama, buktinya kamu tadi. Hanya Orion yang berbeda," ucapnya dengan berseri-seri.
Davin tersenyum kecut. Dia dibandingkan dengan sesuatu yang tidak ada, perasaannya sedikit nelangsa. Mereka berjalan pulang dalam diam.
Ketika keluar di pintu utama, Bu Ratih sedang berdiri di gang tepat di tengah dua resort. Itulah pintu masuk ke perumahan yang ditempati oleh Ariela dan Davin. Berada di belakang resort.
Wanita tua ingin menyeberang untuk mencari Ariela, namun dia urungkan karena gadis itu sudah terlihat. Ia sedikit penasaran dengan siapa Ariela berjalan, Bu Ratih menatap dari jauh dengan pandangan curiga.
Ia takut lelaki itu hanya mengambil kesempatan, atau memainkan perasaan putrinya. Pikiran wanita itu terlalu jauh, sampai ia tidak sadar. Kalau anak gadisnya sudah berdiri di hadapannya.
"Bunda ngapain?" tanya Rie dengan pandangan heran. Melihat wanita berdiri sambil melamun di pinggir jalan.
"Tadinya mau nyari kamu, tapi gak jadi," jawabnya sambil tersenyum.
"Ini siapa?" Kali ini pandangan Bu Ratih mengarah ke Davin.
Lelaki itu terlihat gugup, ia tidak menyangka akan bertemu dengan ibunya Rie.
"Saya Davin, Tante," jawabnya sambil menelan ludah.
Bu Ratih menatap Davin dari atas sampai ke bawah. Lelaki itu lumayan tampan, dengan kulit bersih. Badannya tegap, dengan rambut panjang sebahu yang dikuncir.
"Kamu temannya, Rie?" tanya Bunda Rie menyelidik.
"Ayo, Bun, Cepat! Aku udah gerah, nih, mau mandi," seru gadis itu, lalu berjalan mendahului mereka.
Davin membiarkan Bu Ratih melangkah lebih dulu. wanita yang selalu merasa cemas itu, masih melirik dengan ekor mata.
Mereka menyusuri jalan yang berkerikil, di kiri kanan berjejer rumah-rumah penduduk. Sebagian sudah permanen, beberapa masih mempertahankan rumah dari kayu namun dengan sentuhan modern.
Sebagian besar penghuni komplek ini, adalah para pedagang dan pemilik resort. Jalanan perumahan ini hanya cukup dua motor bersisian, jika ada yang mempunyai mobil. Biasanya ditaruh bagian belakang komplek, dekat dengan jalan besar yang menuju pusat kota.
"Kamu belum menjawab pertanyaan saya," ulang Bu Ratih.
"Iya, saya teman Rie," jawabnya singkat. Lelaki itu merasa deg-degan, sekaligus takut.
"Kenal di mana?" cecar Bu Ratih lagi.
Davin mengusap kepalanya dengan kedua tangan, apa yang dia pikirkan benar. Bu Ratih sedang menggali informasi tentang lelaki itu.
"Di TK, waktu itu saya sekelas sama Ariela," jawabnya.
Mereka sampai di depan rumah Davin. Lelaki itu menghentikan langkah lalu pamit pada Bu Ratih dan juga Ariela.
"Saya duluan, Tante. Ariela," ucapnya sambil mendongakkan wajah, melihat gadis itu.
"Kamu tinggal di sini?" tanya Bu Ratih tidak percaya.
"Iya, Tante," jawabnya.
Wajah Bu Ratih berubah menjadi ramah dan bersahabat, ia memberikan senyumnya pada Davin. Di dalamnya hatinya wanita itu sangat bersyukur, ada seseorang dari masa kecil putrinya.
Setidaknya gadis itu tidak akan kesepian, dan siapa tahu ia bisa melupakan Wiily. Lalu hidup normal seperti gadis lainnya.
"Salam buat mamamu," ucap Bu Ratih lalu berjalan ke arah Ariela, yang menunggu di tengah jalan.
"Eh, Tante tunggu sebentar," cegah Davin.
Lelaki itu sebetulnya takut Bu Ratih tersinggung, namun ia tidak bisa mengabaikan rasa penasarannya. Ia sungguh peduli dengan keadaan gadis itu, dan bertekad akan mencari tahu.
"Iya."
"Maaf, sebetulnya apa yang terjadi dengan Ariela?"
Bab 5Wanita itu tercengang, rona wajahnya mendadak pias. Ia tidak menyangka ada seseorang yang menanyakan, tentang kondisi Ariela yang tidak biasa.Davin merutuki kebodohannya, lelaki itu merasa sangat tidak enak terhadap Bu Ratih. Ini semua gara-gara keinginan tahuannya yang kelewat besar, akhirnya membuat, Bu Ratih tersinggung."Maaf, Tante," ucap lelaki muda berparas tampan itu tidak enak.Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya menatap Davin dengan tatapan hampa. Lalu bergegas menyusul Ariela, yang sudah berjalan meninggalkan ibunya.Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bu Ratih merasa sangat gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apa yang hendak ditanyakan Davin pasti soal Ariela.Sesampainya di rumah wanita itu menunggu sampai Ariela naik ke atas, lantas menuju dapur di sana terdapat telepon yang menempel di dinding. Dengan gerakan cepat, ia menekan nomor tele
Bu Ratih tertegun mendengar nada serius dari ucapan Davin, seketika hatinya yang gundah gulana sedikit lega. Namun wanita itu tidak mau banyak berharap, agar tidak merasakan kekecewaan yang semakin dalam. Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir 45 tahun itu, menatap lekat pada Davin. Lelaki itu balasa memandang Bu Ratih dengan serius, tidak ada keraguan di bola matanya yang cokelat. "Saya permisi, Tante," pamitnya sambil berdiri dari kursi. Bu Ratih bergeming. Pandangannya masih menerawang, dan tidak mendengar ucapan Davin. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Ratih, lelaki berjalan menjauhi rumah minimalis itu dan berbelok menuju pantai. Aroma amis dan semilir angin langsung terasa, saat lelaki itu keluar dari gerbang perumahan. Davin merentangkan tangannya, memberi tanda pada pengemudi mobil. Bahwa ia akan menyeberang jalan. Dari depan pintu masuk, terlihat segerombolan orang berjalan meninggalkan pantai. Davin meli
Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya. "Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa. "Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar. "Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan. "Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut. Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat. "Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal. Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan
Bu Ratih dan Pak Wirya terdiam, lantas saling bertanya lewat pandangan. Bayi? Bayi apa yang dimaksud dengan Ariela. Suasana tengah malam itu sangat hening, tidak ada suara apa pun termasuk hewan malam yang biasa berbunyi.Pasangan suami istri itu menatap Ariela dengan pandangan iba dan sedih. Terutama Bu Ratih, air matanya menganak sungai. Melihat penderitaan anak gadisnya, yang terduduk di kasur sambil merunduk dan menutup telinga. Hatinya yang lembut bagai teriris-iris."Bagaimana, ini, Yah? Apa Rie, kita bawa ke rumah sakit saja." Ujar Bu Ratih cemas."Tidak perlu, Rie hanya bermimpi." Ucap Pak Wirya meyakinkan dirinya sendiri."Aku … rasa itu bukan mimpi. Kalau Rie, mimpi anak itu akan sadar saat dibangunkan, tapi ini …." Bu Ratih tidak dapat meneruskan ucapannya.Ariela mengangkat kepalanya, matanya yang basah menyapu seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Ratih berjalan menghampirinya, dengan p
Davin tidak menghiraukan panggilan mamanya, lelaki itu terus saja berlari. Sampai di depan gerbang komplek, hampir saja ia menabrak Bu Ratih yang berdiri mematung."Tante, mau ke mana?" tanya Davin dengan napas tersengal-sengal.Bu Ratih menoleh dan mundur selangkah, matanya membelalak melihat Davin yang membungkuk dengan rambut awut-awutan. Penampilan lelaki yang mengenakan celana bermuda, kaos tanpa lengan dan bersandal jepit lengkap dengan mata memerah. Persis para turis yang baru pulang dari kedai minuman."Mencari Rie," sahutnya setelah yakin bahwa Davin tidak mabuk.Lelaki itu menegakkan tubuh, kemudian menggelung rambut seperti pesumo. Napasnya berangsur normal, lalu menatap Bu Ratih dengan ekspresi terkejut."Rie, hilang!" serunya."Entah. Tadi Tante Lihat, dia tidak ada di kamarnya." Bu Ratih menjawab dengan wajah diliputi kecemasan.Mata wanita itu memandang pintu masuk ke arah pantai, yang berbentuk seteng
Rie gelagapan saat tubuhnya ditarik ke dalam pusaran. Gadis itu mencoba untuk naik ke atas, dengan cara mengayunkan kaki dan tangannya. Namun, tidak tidak bisa karena tekanan air lebih berat dari tubuhnya.Dada gadis itu mulai terasa sesak, tenggorokannya pun terasa sakit karena menelan air laut. Di saat kritis seperti itu, tiba-tiba saja wajah Orion membayang di matanya sambil tersenyum."Tidak usah takut, tenang saja. Kamu akan aman bersamaku," ucap lelaki itu lembut.Ariela mencoba untuk tersenyum, sehingga mengeluarkan gelembung udara dari mulutnya. Gadis itu melemas, kehabisan tenaga. Tubuh kecil Rie semakin tersedot, namun tekanan air membuat tangannya bergerak naik ke atas."Ayo, hidup bersamaku." Suara Orion bergema di dalam air.Ariela mengangguk, dengan mata hampir terpejam. Gelembung udara keluar semakin banyak dari mulutnya, napas gadis itu mulai megap-megap. Pusaran air berputar pelan, membuat tubuh Rie terombang-ambi
Bab 1Semilir angin pantai menerbangkan rambut gadis yang tengah berjalan di bibir pantai, wajah cantiknya terlihat pucat. Bibirnya yang tipis bergetar.Gadis itu berhenti, lalu menatap ke arah laut lepas. Di ujung sana tampak matahari separuh tenggelam, sebentar lagi senja akan berganti malam. Gadis itu mengusap matanya yang basah, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu mengenai bahunya.Refleks gadis itu menoleh, ia terkesiap saat melihat ke belakang. Di sebuah warung es kelapa yang sudah tutup, berdiri seorang lelaki tinggi menjulang."Hai," sapa lelaki itu sambil menyunggingkan senyum. Giginya yang putih terlihat rapi.Gadis itu menoleh ke kiri dan kanan, suasana di sekitarnya sudah sepi. Kini ia merasa takut, sendirian di tepi pantai. Dengan lelaki yang tidak dia kenal. Gadis itu mundur selangkah, kemudian berbalik lalu berlari menjauh."Hei, aku cuma mau kenalan," teriak si lelaki sambil berusaha mengejar gadis itu.&nb
Bab 2Fajar baru saja menyingsing, aroma asin dari laut terbawa oleh desiran angin. Beberapa orang mulai lalu lalang di depan rumah berwarna putih, mereka menyapa Rie yang tengah terduduk di teras.Wajahnya yang putih terlihat pucat bagai mayat, bibirnya gemetar dan sedikit membiru. Gadis itu merapatkan outher yang dipakainya, sebetulnya sinar mentari sudah menyembul. Namun suhu udara yang rendah, ditambah angin yang bertiup membuat ia kedinginan."Rie," panggil bundanya dari dapur. Wanita paruh baya itu tengah membuat Pai apel, untuk sarapan pagi ini."Iya, Bun," jawab gadis itu. Ia bangkit dari duduknya, dengan perasaan malas.Gadis itu masuk ke dalam dapur, harum madu dan apel mendominasi di dalam ruangan itu. Rie duduk di kursi makan, lalu mengaduk-aduk adonan Pai."Jangan Rie," decak sang Bunda sambil meraih bowl, berisi adonan."Ngapain Bunda, manggil Rie?" tanyanya.Wanita yang masih c
Rie gelagapan saat tubuhnya ditarik ke dalam pusaran. Gadis itu mencoba untuk naik ke atas, dengan cara mengayunkan kaki dan tangannya. Namun, tidak tidak bisa karena tekanan air lebih berat dari tubuhnya.Dada gadis itu mulai terasa sesak, tenggorokannya pun terasa sakit karena menelan air laut. Di saat kritis seperti itu, tiba-tiba saja wajah Orion membayang di matanya sambil tersenyum."Tidak usah takut, tenang saja. Kamu akan aman bersamaku," ucap lelaki itu lembut.Ariela mencoba untuk tersenyum, sehingga mengeluarkan gelembung udara dari mulutnya. Gadis itu melemas, kehabisan tenaga. Tubuh kecil Rie semakin tersedot, namun tekanan air membuat tangannya bergerak naik ke atas."Ayo, hidup bersamaku." Suara Orion bergema di dalam air.Ariela mengangguk, dengan mata hampir terpejam. Gelembung udara keluar semakin banyak dari mulutnya, napas gadis itu mulai megap-megap. Pusaran air berputar pelan, membuat tubuh Rie terombang-ambi
Davin tidak menghiraukan panggilan mamanya, lelaki itu terus saja berlari. Sampai di depan gerbang komplek, hampir saja ia menabrak Bu Ratih yang berdiri mematung."Tante, mau ke mana?" tanya Davin dengan napas tersengal-sengal.Bu Ratih menoleh dan mundur selangkah, matanya membelalak melihat Davin yang membungkuk dengan rambut awut-awutan. Penampilan lelaki yang mengenakan celana bermuda, kaos tanpa lengan dan bersandal jepit lengkap dengan mata memerah. Persis para turis yang baru pulang dari kedai minuman."Mencari Rie," sahutnya setelah yakin bahwa Davin tidak mabuk.Lelaki itu menegakkan tubuh, kemudian menggelung rambut seperti pesumo. Napasnya berangsur normal, lalu menatap Bu Ratih dengan ekspresi terkejut."Rie, hilang!" serunya."Entah. Tadi Tante Lihat, dia tidak ada di kamarnya." Bu Ratih menjawab dengan wajah diliputi kecemasan.Mata wanita itu memandang pintu masuk ke arah pantai, yang berbentuk seteng
Bu Ratih dan Pak Wirya terdiam, lantas saling bertanya lewat pandangan. Bayi? Bayi apa yang dimaksud dengan Ariela. Suasana tengah malam itu sangat hening, tidak ada suara apa pun termasuk hewan malam yang biasa berbunyi.Pasangan suami istri itu menatap Ariela dengan pandangan iba dan sedih. Terutama Bu Ratih, air matanya menganak sungai. Melihat penderitaan anak gadisnya, yang terduduk di kasur sambil merunduk dan menutup telinga. Hatinya yang lembut bagai teriris-iris."Bagaimana, ini, Yah? Apa Rie, kita bawa ke rumah sakit saja." Ujar Bu Ratih cemas."Tidak perlu, Rie hanya bermimpi." Ucap Pak Wirya meyakinkan dirinya sendiri."Aku … rasa itu bukan mimpi. Kalau Rie, mimpi anak itu akan sadar saat dibangunkan, tapi ini …." Bu Ratih tidak dapat meneruskan ucapannya.Ariela mengangkat kepalanya, matanya yang basah menyapu seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Ratih berjalan menghampirinya, dengan p
Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya. "Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa. "Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar. "Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan. "Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut. Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat. "Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal. Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan
Bu Ratih tertegun mendengar nada serius dari ucapan Davin, seketika hatinya yang gundah gulana sedikit lega. Namun wanita itu tidak mau banyak berharap, agar tidak merasakan kekecewaan yang semakin dalam. Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir 45 tahun itu, menatap lekat pada Davin. Lelaki itu balasa memandang Bu Ratih dengan serius, tidak ada keraguan di bola matanya yang cokelat. "Saya permisi, Tante," pamitnya sambil berdiri dari kursi. Bu Ratih bergeming. Pandangannya masih menerawang, dan tidak mendengar ucapan Davin. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Ratih, lelaki berjalan menjauhi rumah minimalis itu dan berbelok menuju pantai. Aroma amis dan semilir angin langsung terasa, saat lelaki itu keluar dari gerbang perumahan. Davin merentangkan tangannya, memberi tanda pada pengemudi mobil. Bahwa ia akan menyeberang jalan. Dari depan pintu masuk, terlihat segerombolan orang berjalan meninggalkan pantai. Davin meli
Bab 5Wanita itu tercengang, rona wajahnya mendadak pias. Ia tidak menyangka ada seseorang yang menanyakan, tentang kondisi Ariela yang tidak biasa.Davin merutuki kebodohannya, lelaki itu merasa sangat tidak enak terhadap Bu Ratih. Ini semua gara-gara keinginan tahuannya yang kelewat besar, akhirnya membuat, Bu Ratih tersinggung."Maaf, Tante," ucap lelaki muda berparas tampan itu tidak enak.Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya menatap Davin dengan tatapan hampa. Lalu bergegas menyusul Ariela, yang sudah berjalan meninggalkan ibunya.Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bu Ratih merasa sangat gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apa yang hendak ditanyakan Davin pasti soal Ariela.Sesampainya di rumah wanita itu menunggu sampai Ariela naik ke atas, lantas menuju dapur di sana terdapat telepon yang menempel di dinding. Dengan gerakan cepat, ia menekan nomor tele
Bab 4Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung."Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin.Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis."Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie.Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong.Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie.Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarn
Bab 3Davin mendengarkan pembicaraan para penjaga pantai dengan seksama, ia penasaran siapa gerangan gadis yang dijadikan topik.Menurut pengakuan si penjaga pantai, gadis itu berada di tempat yang sepi di sebelah barat. Dengan langkah tegap, lelaki itu berjalan menyusuri pasir putih.Sesekali Davin menoleh berusaha mencari gadis itu, setelah berjalan hampir 300 meter. Langkah lelaki itu terhenti, di depan sana seorang gadis cantik tengah duduk di kursi kayu.Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin, memperlihatkan pipinya yang merona merah bagai tomat. Davin semakin mendekat, gadis itu tampak tidak asing baginya. Untuk memastikan lelaki berjalan semakin dekat.Ia tertegun saat melihat gadis itu, bibirnya yang tipis tersenyum lebar. Kening Davin berkerut saat gadis itu menggerakkan tangannya, seolah sedang asyik membicarakan sesuatu. Padahal di sebelahnya tidak orang. Lelaki itu berbalik, rasa penasarannya
Bab 2Fajar baru saja menyingsing, aroma asin dari laut terbawa oleh desiran angin. Beberapa orang mulai lalu lalang di depan rumah berwarna putih, mereka menyapa Rie yang tengah terduduk di teras.Wajahnya yang putih terlihat pucat bagai mayat, bibirnya gemetar dan sedikit membiru. Gadis itu merapatkan outher yang dipakainya, sebetulnya sinar mentari sudah menyembul. Namun suhu udara yang rendah, ditambah angin yang bertiup membuat ia kedinginan."Rie," panggil bundanya dari dapur. Wanita paruh baya itu tengah membuat Pai apel, untuk sarapan pagi ini."Iya, Bun," jawab gadis itu. Ia bangkit dari duduknya, dengan perasaan malas.Gadis itu masuk ke dalam dapur, harum madu dan apel mendominasi di dalam ruangan itu. Rie duduk di kursi makan, lalu mengaduk-aduk adonan Pai."Jangan Rie," decak sang Bunda sambil meraih bowl, berisi adonan."Ngapain Bunda, manggil Rie?" tanyanya.Wanita yang masih c