Bu Ratih tertegun mendengar nada serius dari ucapan Davin, seketika hatinya yang gundah gulana sedikit lega. Namun wanita itu tidak mau banyak berharap, agar tidak merasakan kekecewaan yang semakin dalam.
Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir 45 tahun itu, menatap lekat pada Davin. Lelaki itu balasa memandang Bu Ratih dengan serius, tidak ada keraguan di bola matanya yang cokelat.
"Saya permisi, Tante," pamitnya sambil berdiri dari kursi.
Bu Ratih bergeming. Pandangannya masih menerawang, dan tidak mendengar ucapan Davin. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Ratih, lelaki berjalan menjauhi rumah minimalis itu dan berbelok menuju pantai.
Aroma amis dan semilir angin langsung terasa, saat lelaki itu keluar dari gerbang perumahan. Davin merentangkan tangannya, memberi tanda pada pengemudi mobil. Bahwa ia akan menyeberang jalan.
Dari depan pintu masuk, terlihat segerombolan orang berjalan meninggalkan pantai. Davin melirik jam Guees yang melingkar di lengannya, pukul lima lewat sedikit. Saatnya para pelancong itu, kembali menuju resort untuk beristirahat.
Davin menyusuri pinggir pantai yang mulai sepi, dan membiarkan rambut ikalnya dibelai angin. Lelaki itu menoleh ke kiri dan kanan, memperhatikan beberapa orang yang tengah menambatkan perahu yang biasa disewakan.
Davin terus berjalan ke arah matahari tenggelam, sambil terus mencari sesosok gadis yang sangat ingin ditemuinya. Instingnya tidak salah, beberapa puluh meter di depan. Ia melihat serupa noktah, dan senyumnya pun terkembang.
Dengan perasaan membuncah, Davin mempercepat langkah. Tungkainya yang panjang seakan melayang di atas pasir, dan dalam waktu singkat ia sudah berada di samping Ariela.
"Hai," sapanya dengan napas memburu.
Ariela menoleh, wajahnya datar begitu pun matanya. Tidak ada rona kehidupan di sana, hanya ada tatapaan kosong. Gadis itu kembali memalingkan wajahnya, kembali menatap laut lepas di hadapannya.
Ombak datang bergulung, dan pecah di mata kaki mereka. Menciptakan buih-buih serupa sabun di dalam jacuzzi. Gadis itu bergeming, dan mengabaikan sapaan Davin.
"Hai, Rie," ulang Davin seraya menggoyangkan tangan di depan wajahnya.
Lelaki itu tidak mau menyerah, ia akan membuat gadis itu menyadari kehadirannya. Namun tampaknya Davin harus menelan kekecewaan, karena Ariela tidak merespon panggilannya.
Davin menggaruk kepalanya frustasi. Akhirnya ia memilih untuk duduk, lantas memainkan pasir dengan jemarinya. Tiba-tiba saja Ariela mengikutinya, sementara pandangannya tetap lurus ke laut.
"Kamu dari tadi di sini?" Ariela bertanya dengan suara pelan.
Davin seketika menoleh dan terkejut, melihat Ariela duduk di sampingnya bahkan menyapa lebih dulu. Perasaannya yang tadi kacau, kini mulai membaik dan lelaki itu merasakan sesuatu yang hangat di dalam hatinya.
"Iya. Dari tadi kamu aku panggil." Davin menjawab sambil tetap memainkan jari.
"Masa, sih? Kok, aku enggak dengar, ya?" ucapnya heran.
"Karena kamu melamun," sahut Davin.
"Aku enggak melamun, dari tadi aku berbicara dengan Orion."
"Oh." Davin menghela napas, ada rasa nyeri di hatinya saat nama itu disebut.
"Lalu ke mana, Orion?" tanyanya penasaran.
"Sudah pergi, tapi besok dai datang lagi." Ariela menyahut dengan intonasi riang.
Davin kembali mengheal napas, dadanya sangat sesak. Lelaki itu tengah berpikir, setampan dan sebaik mantan kekasih Arieal. Sampai menyebabkan ia trauma, karena ditinggalkan.
"Rie, kamu kuliah di mana?" Davin menselojorkan kakinya.
Arieal memeluk ke dua kalinya, dan menaruh kepalanya di atas lutut. Wajahnya menghadap ke arah Davin, sinar matanya yang tadi terang kini meredup.
"Di kota, tapi aku sedang cuti," jawabnya tidak bersemangat.
"Ambil jurusan apa?"
"Akademi perhotelan dan pariwisata, Ayah yang meminta dan juga memilihkan universitasnya. Padahal aku ingin di sini saja, dengan jurusan yang aku pilih sendiri," ucapnya Sendu.
Davin mulai paham, dari awal saja gadis itu sudah tertekan. Selama ia menjadi mahasiswa jauh dari mamanya, mengingat sifat Rie yang pendiam dan pemalu. Ada kemungkinan perasaan itu membesar dan bertambah bagaikan bola salju."Sampai kapan kamu cuti?"
Gadis itu hanya mengangkat wajahnya, dan kembali membuang pandangannya ke arah laut. Di sana ombak sedang berkejaran, membuat perahu para nelayan bergoyang.
"Tidak tahu," jawabnya singkat.
Pantai benar-benar hening, tidak ada suara peluit penjaga pantai dan juga teriakan anak-anak. Di bagian barat langit berwarna oranye terang, petang sebentar lagi berakhir dan berganti malam.
"Pulang, yuk," ajak Davin seraya bangkit dari duduknya.
Ariela mendongak, saat melihat tangan Davin berada di sampingnya.
"Ayo, bangun!" perintah lelaki itu.
Dengan ragu Rie, mengangsurkan tangannya yang langsung di genggam mesra oleh Davin. Lelaki itu membantu Rie berdiri, sambil terus menatap lekat wajahnya. Sehingga membuat gadis itu merunduk karena malu.
Mereka berjalan bersisian, membelakangi matahari yang sebentar lagi terbenam. Beberapa kali Davin melirik gadis di sebelahnya, yang menunduk menatap pasir.
"Apa kamu tidak pernah menabrak orang saat jalan?" tanya Davin memecah kebekuan.
"Maksud kamu?" Rie bertanya balik.
Davin menghela napas, berbicara dengan Ariela memerlukan kesabaran ekstra. Karena gadis itu tidak langsung bisa menangkap, apa yang diucapkan. Kecuali dirinya dalam kondisi sadar.
"Kamu itu kalau jalan pasti menunduk, apa enggak takut nabrak sesuatu," jelas Davin sabar.
"Oh, aku enggak nabrak. Soalnya orang-orang menghindar sendiri, begitu aku lewat," jawabnya datar. Namun meninggalkan segores luka di hati Davin.
Ternyata Ariela tidak secuek kelihatannya, sebenarnya ia masih memperhatikan sekeliling. Karena mereka menganggap dia aneh, jadi otomatis gadis itu merasa terkucilkan. Membuat hatinya yang sudah kehilangan kepercayaan diri, terpuruk semakin dalam.
"Bukannya kamu juga menganggap aku aneh?" tanya Ariela, gadis itu menghentikan langkahnya lalu menatap pada Davin.
Bola matanya bergerak-gerak gelisah, gadis itu tampak mencari sesuatu manik cokelat milik Davin. Lelaki itu tahu Ariela sedang memindai dirinya, dengan penuh keyakinan ia membalas tatapan Ariela. Dan berharap gadis itu mempercayainya, karena saat ini itulah yang amat dibutuhkan olehnya.
Tak kuasa ditatap penuh perasaan oleh Davin, gadis itu menundukkan wajah. Lantas berjalan kembali menuju pintu keluar pantai, Davin yang masih terpesona seketika terkejut dan berlari menyusul.
"Ariela, tunggu!" Panggilnya, entah kenapa gadis itu bisa berjalan sangat cepat.
Sampai di pinggir jalan raya, Davin mencekal tangan Ariela. Membuat gadis itu tersentak, sehingga rambutnya bergoyang dan menutupi wajah.
"Maaf," ucap Davin saat gadis itu melotot ke arahnya.
"Kenapa kamu langsung mengambil kesimpulan, tanpa mendengar jawabanku," cetusnya membuat Ariela yang meronta akhirnya terdiam.
Gadis itu menyingkirkan rambut, dengan tangannya yang bebas. Raut wajahnya terlihat marah dan kesal, namun sorot matanya tampak sendu.
"Karena kamu sama saperti mereka," geramnya.
"Coba kamu pikir, selama ini bagaimana sikapku," tanyanya dengan nada serius.
Ariela mengerjapkan mata, lalu menunduk. Gadis itu memang merasakan sejak pertama bertemu, kalau lelaki itu berbeda dengan yang lain. Namun hatinya masih luka sehingga membuat dia memilih untuk tidak terlalu percaya dengannya.
Kecuali dengan Orion, lelaki itu sangat sempurna di hadapannya. Ia tahu apa yang Ariela mau, namun gadis itu tidak sadar. Kalau pacarnya itu hanya khayalan.
"Cobalah percaya padaku, Ariela," ucap Davin memohon. "Sebagai sahabat," lanjutnya dengan tenggorokan tercekat.
Tolong komen, like, dan sub, ya. Selamat membaca.
Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya. "Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa. "Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar. "Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan. "Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut. Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat. "Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal. Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan
Bu Ratih dan Pak Wirya terdiam, lantas saling bertanya lewat pandangan. Bayi? Bayi apa yang dimaksud dengan Ariela. Suasana tengah malam itu sangat hening, tidak ada suara apa pun termasuk hewan malam yang biasa berbunyi.Pasangan suami istri itu menatap Ariela dengan pandangan iba dan sedih. Terutama Bu Ratih, air matanya menganak sungai. Melihat penderitaan anak gadisnya, yang terduduk di kasur sambil merunduk dan menutup telinga. Hatinya yang lembut bagai teriris-iris."Bagaimana, ini, Yah? Apa Rie, kita bawa ke rumah sakit saja." Ujar Bu Ratih cemas."Tidak perlu, Rie hanya bermimpi." Ucap Pak Wirya meyakinkan dirinya sendiri."Aku … rasa itu bukan mimpi. Kalau Rie, mimpi anak itu akan sadar saat dibangunkan, tapi ini …." Bu Ratih tidak dapat meneruskan ucapannya.Ariela mengangkat kepalanya, matanya yang basah menyapu seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Ratih berjalan menghampirinya, dengan p
Davin tidak menghiraukan panggilan mamanya, lelaki itu terus saja berlari. Sampai di depan gerbang komplek, hampir saja ia menabrak Bu Ratih yang berdiri mematung."Tante, mau ke mana?" tanya Davin dengan napas tersengal-sengal.Bu Ratih menoleh dan mundur selangkah, matanya membelalak melihat Davin yang membungkuk dengan rambut awut-awutan. Penampilan lelaki yang mengenakan celana bermuda, kaos tanpa lengan dan bersandal jepit lengkap dengan mata memerah. Persis para turis yang baru pulang dari kedai minuman."Mencari Rie," sahutnya setelah yakin bahwa Davin tidak mabuk.Lelaki itu menegakkan tubuh, kemudian menggelung rambut seperti pesumo. Napasnya berangsur normal, lalu menatap Bu Ratih dengan ekspresi terkejut."Rie, hilang!" serunya."Entah. Tadi Tante Lihat, dia tidak ada di kamarnya." Bu Ratih menjawab dengan wajah diliputi kecemasan.Mata wanita itu memandang pintu masuk ke arah pantai, yang berbentuk seteng
Rie gelagapan saat tubuhnya ditarik ke dalam pusaran. Gadis itu mencoba untuk naik ke atas, dengan cara mengayunkan kaki dan tangannya. Namun, tidak tidak bisa karena tekanan air lebih berat dari tubuhnya.Dada gadis itu mulai terasa sesak, tenggorokannya pun terasa sakit karena menelan air laut. Di saat kritis seperti itu, tiba-tiba saja wajah Orion membayang di matanya sambil tersenyum."Tidak usah takut, tenang saja. Kamu akan aman bersamaku," ucap lelaki itu lembut.Ariela mencoba untuk tersenyum, sehingga mengeluarkan gelembung udara dari mulutnya. Gadis itu melemas, kehabisan tenaga. Tubuh kecil Rie semakin tersedot, namun tekanan air membuat tangannya bergerak naik ke atas."Ayo, hidup bersamaku." Suara Orion bergema di dalam air.Ariela mengangguk, dengan mata hampir terpejam. Gelembung udara keluar semakin banyak dari mulutnya, napas gadis itu mulai megap-megap. Pusaran air berputar pelan, membuat tubuh Rie terombang-ambi
Bab 1Semilir angin pantai menerbangkan rambut gadis yang tengah berjalan di bibir pantai, wajah cantiknya terlihat pucat. Bibirnya yang tipis bergetar.Gadis itu berhenti, lalu menatap ke arah laut lepas. Di ujung sana tampak matahari separuh tenggelam, sebentar lagi senja akan berganti malam. Gadis itu mengusap matanya yang basah, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu mengenai bahunya.Refleks gadis itu menoleh, ia terkesiap saat melihat ke belakang. Di sebuah warung es kelapa yang sudah tutup, berdiri seorang lelaki tinggi menjulang."Hai," sapa lelaki itu sambil menyunggingkan senyum. Giginya yang putih terlihat rapi.Gadis itu menoleh ke kiri dan kanan, suasana di sekitarnya sudah sepi. Kini ia merasa takut, sendirian di tepi pantai. Dengan lelaki yang tidak dia kenal. Gadis itu mundur selangkah, kemudian berbalik lalu berlari menjauh."Hei, aku cuma mau kenalan," teriak si lelaki sambil berusaha mengejar gadis itu.&nb
Bab 2Fajar baru saja menyingsing, aroma asin dari laut terbawa oleh desiran angin. Beberapa orang mulai lalu lalang di depan rumah berwarna putih, mereka menyapa Rie yang tengah terduduk di teras.Wajahnya yang putih terlihat pucat bagai mayat, bibirnya gemetar dan sedikit membiru. Gadis itu merapatkan outher yang dipakainya, sebetulnya sinar mentari sudah menyembul. Namun suhu udara yang rendah, ditambah angin yang bertiup membuat ia kedinginan."Rie," panggil bundanya dari dapur. Wanita paruh baya itu tengah membuat Pai apel, untuk sarapan pagi ini."Iya, Bun," jawab gadis itu. Ia bangkit dari duduknya, dengan perasaan malas.Gadis itu masuk ke dalam dapur, harum madu dan apel mendominasi di dalam ruangan itu. Rie duduk di kursi makan, lalu mengaduk-aduk adonan Pai."Jangan Rie," decak sang Bunda sambil meraih bowl, berisi adonan."Ngapain Bunda, manggil Rie?" tanyanya.Wanita yang masih c
Bab 3Davin mendengarkan pembicaraan para penjaga pantai dengan seksama, ia penasaran siapa gerangan gadis yang dijadikan topik.Menurut pengakuan si penjaga pantai, gadis itu berada di tempat yang sepi di sebelah barat. Dengan langkah tegap, lelaki itu berjalan menyusuri pasir putih.Sesekali Davin menoleh berusaha mencari gadis itu, setelah berjalan hampir 300 meter. Langkah lelaki itu terhenti, di depan sana seorang gadis cantik tengah duduk di kursi kayu.Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin, memperlihatkan pipinya yang merona merah bagai tomat. Davin semakin mendekat, gadis itu tampak tidak asing baginya. Untuk memastikan lelaki berjalan semakin dekat.Ia tertegun saat melihat gadis itu, bibirnya yang tipis tersenyum lebar. Kening Davin berkerut saat gadis itu menggerakkan tangannya, seolah sedang asyik membicarakan sesuatu. Padahal di sebelahnya tidak orang. Lelaki itu berbalik, rasa penasarannya
Bab 4Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung."Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin.Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis."Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie.Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong.Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie.Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarn
Rie gelagapan saat tubuhnya ditarik ke dalam pusaran. Gadis itu mencoba untuk naik ke atas, dengan cara mengayunkan kaki dan tangannya. Namun, tidak tidak bisa karena tekanan air lebih berat dari tubuhnya.Dada gadis itu mulai terasa sesak, tenggorokannya pun terasa sakit karena menelan air laut. Di saat kritis seperti itu, tiba-tiba saja wajah Orion membayang di matanya sambil tersenyum."Tidak usah takut, tenang saja. Kamu akan aman bersamaku," ucap lelaki itu lembut.Ariela mencoba untuk tersenyum, sehingga mengeluarkan gelembung udara dari mulutnya. Gadis itu melemas, kehabisan tenaga. Tubuh kecil Rie semakin tersedot, namun tekanan air membuat tangannya bergerak naik ke atas."Ayo, hidup bersamaku." Suara Orion bergema di dalam air.Ariela mengangguk, dengan mata hampir terpejam. Gelembung udara keluar semakin banyak dari mulutnya, napas gadis itu mulai megap-megap. Pusaran air berputar pelan, membuat tubuh Rie terombang-ambi
Davin tidak menghiraukan panggilan mamanya, lelaki itu terus saja berlari. Sampai di depan gerbang komplek, hampir saja ia menabrak Bu Ratih yang berdiri mematung."Tante, mau ke mana?" tanya Davin dengan napas tersengal-sengal.Bu Ratih menoleh dan mundur selangkah, matanya membelalak melihat Davin yang membungkuk dengan rambut awut-awutan. Penampilan lelaki yang mengenakan celana bermuda, kaos tanpa lengan dan bersandal jepit lengkap dengan mata memerah. Persis para turis yang baru pulang dari kedai minuman."Mencari Rie," sahutnya setelah yakin bahwa Davin tidak mabuk.Lelaki itu menegakkan tubuh, kemudian menggelung rambut seperti pesumo. Napasnya berangsur normal, lalu menatap Bu Ratih dengan ekspresi terkejut."Rie, hilang!" serunya."Entah. Tadi Tante Lihat, dia tidak ada di kamarnya." Bu Ratih menjawab dengan wajah diliputi kecemasan.Mata wanita itu memandang pintu masuk ke arah pantai, yang berbentuk seteng
Bu Ratih dan Pak Wirya terdiam, lantas saling bertanya lewat pandangan. Bayi? Bayi apa yang dimaksud dengan Ariela. Suasana tengah malam itu sangat hening, tidak ada suara apa pun termasuk hewan malam yang biasa berbunyi.Pasangan suami istri itu menatap Ariela dengan pandangan iba dan sedih. Terutama Bu Ratih, air matanya menganak sungai. Melihat penderitaan anak gadisnya, yang terduduk di kasur sambil merunduk dan menutup telinga. Hatinya yang lembut bagai teriris-iris."Bagaimana, ini, Yah? Apa Rie, kita bawa ke rumah sakit saja." Ujar Bu Ratih cemas."Tidak perlu, Rie hanya bermimpi." Ucap Pak Wirya meyakinkan dirinya sendiri."Aku … rasa itu bukan mimpi. Kalau Rie, mimpi anak itu akan sadar saat dibangunkan, tapi ini …." Bu Ratih tidak dapat meneruskan ucapannya.Ariela mengangkat kepalanya, matanya yang basah menyapu seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Ratih berjalan menghampirinya, dengan p
Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya. "Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa. "Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar. "Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan. "Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut. Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat. "Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal. Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan
Bu Ratih tertegun mendengar nada serius dari ucapan Davin, seketika hatinya yang gundah gulana sedikit lega. Namun wanita itu tidak mau banyak berharap, agar tidak merasakan kekecewaan yang semakin dalam. Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir 45 tahun itu, menatap lekat pada Davin. Lelaki itu balasa memandang Bu Ratih dengan serius, tidak ada keraguan di bola matanya yang cokelat. "Saya permisi, Tante," pamitnya sambil berdiri dari kursi. Bu Ratih bergeming. Pandangannya masih menerawang, dan tidak mendengar ucapan Davin. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Ratih, lelaki berjalan menjauhi rumah minimalis itu dan berbelok menuju pantai. Aroma amis dan semilir angin langsung terasa, saat lelaki itu keluar dari gerbang perumahan. Davin merentangkan tangannya, memberi tanda pada pengemudi mobil. Bahwa ia akan menyeberang jalan. Dari depan pintu masuk, terlihat segerombolan orang berjalan meninggalkan pantai. Davin meli
Bab 5Wanita itu tercengang, rona wajahnya mendadak pias. Ia tidak menyangka ada seseorang yang menanyakan, tentang kondisi Ariela yang tidak biasa.Davin merutuki kebodohannya, lelaki itu merasa sangat tidak enak terhadap Bu Ratih. Ini semua gara-gara keinginan tahuannya yang kelewat besar, akhirnya membuat, Bu Ratih tersinggung."Maaf, Tante," ucap lelaki muda berparas tampan itu tidak enak.Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya menatap Davin dengan tatapan hampa. Lalu bergegas menyusul Ariela, yang sudah berjalan meninggalkan ibunya.Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bu Ratih merasa sangat gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apa yang hendak ditanyakan Davin pasti soal Ariela.Sesampainya di rumah wanita itu menunggu sampai Ariela naik ke atas, lantas menuju dapur di sana terdapat telepon yang menempel di dinding. Dengan gerakan cepat, ia menekan nomor tele
Bab 4Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung."Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin.Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis."Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie.Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong.Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie.Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarn
Bab 3Davin mendengarkan pembicaraan para penjaga pantai dengan seksama, ia penasaran siapa gerangan gadis yang dijadikan topik.Menurut pengakuan si penjaga pantai, gadis itu berada di tempat yang sepi di sebelah barat. Dengan langkah tegap, lelaki itu berjalan menyusuri pasir putih.Sesekali Davin menoleh berusaha mencari gadis itu, setelah berjalan hampir 300 meter. Langkah lelaki itu terhenti, di depan sana seorang gadis cantik tengah duduk di kursi kayu.Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin, memperlihatkan pipinya yang merona merah bagai tomat. Davin semakin mendekat, gadis itu tampak tidak asing baginya. Untuk memastikan lelaki berjalan semakin dekat.Ia tertegun saat melihat gadis itu, bibirnya yang tipis tersenyum lebar. Kening Davin berkerut saat gadis itu menggerakkan tangannya, seolah sedang asyik membicarakan sesuatu. Padahal di sebelahnya tidak orang. Lelaki itu berbalik, rasa penasarannya
Bab 2Fajar baru saja menyingsing, aroma asin dari laut terbawa oleh desiran angin. Beberapa orang mulai lalu lalang di depan rumah berwarna putih, mereka menyapa Rie yang tengah terduduk di teras.Wajahnya yang putih terlihat pucat bagai mayat, bibirnya gemetar dan sedikit membiru. Gadis itu merapatkan outher yang dipakainya, sebetulnya sinar mentari sudah menyembul. Namun suhu udara yang rendah, ditambah angin yang bertiup membuat ia kedinginan."Rie," panggil bundanya dari dapur. Wanita paruh baya itu tengah membuat Pai apel, untuk sarapan pagi ini."Iya, Bun," jawab gadis itu. Ia bangkit dari duduknya, dengan perasaan malas.Gadis itu masuk ke dalam dapur, harum madu dan apel mendominasi di dalam ruangan itu. Rie duduk di kursi makan, lalu mengaduk-aduk adonan Pai."Jangan Rie," decak sang Bunda sambil meraih bowl, berisi adonan."Ngapain Bunda, manggil Rie?" tanyanya.Wanita yang masih c