Bab 2
Fajar baru saja menyingsing, aroma asin dari laut terbawa oleh desiran angin. Beberapa orang mulai lalu lalang di depan rumah berwarna putih, mereka menyapa Rie yang tengah terduduk di teras.
Wajahnya yang putih terlihat pucat bagai mayat, bibirnya gemetar dan sedikit membiru. Gadis itu merapatkan outher yang dipakainya, sebetulnya sinar mentari sudah menyembul. Namun suhu udara yang rendah, ditambah angin yang bertiup membuat ia kedinginan.
"Rie," panggil bundanya dari dapur. Wanita paruh baya itu tengah membuat Pai apel, untuk sarapan pagi ini.
"Iya, Bun," jawab gadis itu. Ia bangkit dari duduknya, dengan perasaan malas.
Gadis itu masuk ke dalam dapur, harum madu dan apel mendominasi di dalam ruangan itu. Rie duduk di kursi makan, lalu mengaduk-aduk adonan Pai.
"Jangan Rie," decak sang Bunda sambil meraih bowl, berisi adonan.
"Ngapain Bunda, manggil Rie?" tanyanya.
Wanita yang masih cantik di usianya yang sudah kepala empat itu, menaruh sebuah piring berisi dua buah Pai yang di atasnya bertabur gula halus.
"Cobain ini, kira-kira kurang apa?"
Gadis itu menusuk pai dengan garpu, matanya menatap tidak berselera kue berwarna kecokelatan itu. Ia memasukkan sepotong kecil ke dalam mulut, lalu menelannya tanpa dikunyah.
"Bagaimana?" tanya sang Bunda.
"Enak," jawabnya singkat.
Rie terdiam di kursi makan, matanya terlihat kosong. Tidak ada gairah hidup di sana, hanya kekecewaan dan kesedihan yang tampak.
"Bun, di resort ada tamu dari luar negeri, ya?" tanyanya.
Sang bunda yang sedang merapikan dapur, terkejut mendengar penuturan anak gadisnya. Senyum tipis tersinggung di bibir wanita, tumbuh setitik harapan di hatinya. Bahwa anak gadisnya akan kembali ceria seperti semula.
Selama ini Rie hanya menjawab pertanyaan yang wanita itu dan ayahnya ajukan, namun sekarang ia memulai percakapan. Walaupun sang bunda sedikit bingung, karena Rie menanyakan pengunjung resort.
"Bunda kurang tahu, Sayang," jawabnya sambil tetap mengelap. "Tapi mungkin aja. Tiga hari yang lalu, ayah bilang ada menyewa kamar nomor 4 untuk dua Minggu," sambung Bundanya.
Mata sayu milik Rie tiba-tiba berbinar, ada cahaya di sana. Gadis itu menghabiskan sisa Pai di piring, setelah itu berlari ke kamarnya di lantai dua. Beberapa menit kemudian, ia turun sambil membawa baju ganti.
Bunda terkejut melihatnya, sudah hampir dua bulan Rie tidak pernah mandi pagi. Wanita itu sebetulnya ingin bertanya lebih lanjut, tapi ia urungkan. Ia takut Rie marah karena diselidiki, lalu kembali mengurung diri di kamar.
"Bun, aku keluar sebentar," pamitnya.
Bunda hanya mengangguk, sambil tersenyum. Gadis itu terlihat cantik, dengan dress tanpa lengan dengan motif bunga-bunga kecil. Rambutnya yang berwarna keemasan dibiarkan tergerai.
Langkah gadis itu terasa ringan, wajahnya sudah tidak terlalu pucat. Ia berjalan dengan tergesa-gesa menuju resort milik keluarganya, Rie sangat penasaran siapa tamu itu.
Lima menit kemudian ia sampai di ujung gang. Jalan raya di hadapannya masih lenggang, hanya ada beberapa orang lewat. Mereka adalah pemilik para kedai yang berada di pinggir pantai.
Rie memicingkan matanya, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Hanya terpisah oleh jalan raya, pasir pantai yang putih berkilau tertimpa sinar mentari. Suara debur ombak terdengar berkejaran, gadis itu menarik napas dalam. Menghidu aroma asin.
Gadis itu berbelok ke kanan menuju deretan resort yang berdiri memanjang. Ia berjalan dengan santai, tidak lama ia sampai di sebuah halaman resort, di depannya bada sebuah pos jaga.
Resort ini tampak berbeda dari yang lainnya, penginapan milik Pak Wirya berkonsep villa. Ada beberapa kamar dengan jarak cukup jauh, di depannya ada teras kecil dengan sepasang meja dan kursi kayu.
"Ariela." Seseorang memanggil namanya. Gadis itu menoleh lalu tersenyum kecil, Wynne penanggung jawab resort sedang berdiri tidak jauh darinya. .
"Tumben pagi-pagi ke sini?" sapanya ramah. Wynne mendekatinya, dress panjang yang dipakainya berkibar tertiup angin.
"Ehm, ada yang aku ingin tahu," jawabnya malu-malu. Wajahnya sedikit merona merah.
"Ayo, kita duduk," ajak gadis itu lalu menarik tangan Rie. Umur mereka hanya terpaut delapan tahun, dulu sebelum Rie kuliah di kota. Ia sering menemani Wynne di resort, mereka duduk di teras villa nomor tiga.
Mata Rie melirik ke arah kamar nomor 4, yang berada di sampingnya. Kamar itu tampak sepi, lampu terasnya masih menyala. Mungkin para penghuninya masih tidur.
"Kata Ayah, ada yeng memesan kamar itu buat dua Minggu," ucap Rie sambil menunjuk ke sebelah.
"Iya, kenapa?"
"Apa penghuninya dari luar negeri?" cecarnya lagi. Wynne mengerutkan kening, berusaha menebak kemana arah pertanyaan anak dari bosnya itu.
Tiba-tiba lampu teras padam, pintu kamar nomor empat terbuka. Rie dan Wynne serentak menoleh, seroang pria paruh baya bertelanjang dada keluar dari sana.
Pria itu meregangkan kedua tangannya ke atas, lalu menggerakkannya ke kiri dan kanan. Ia terkejut saat melihat ada dua orang gadis, yang tengah memperhatikannya.
"Pagi Wynne," sapanya lantas mengangguk kecil pada Rie.
"Itu dia yang menyewa," bisik Wynne.
"Sendiri," tanya Rie lagi.
"Iya." Wajah Rie yang tadi cerah, kini berubah menjadi murung. Gadis itu merasa kecewa, karena ia pikir Orion yang ada di sana.
"Aku pulang dulu," pamitnya pada Wynne lalu bangkit dari duduknya.
Gadis itu pulang dengan langkah gontai, setelah sampai di rumah Rie segera masuk kamar. Lalu tidak keluar lagi.
****
Pukul lima sore Bundanya mengetuk pintu kamar Rie. Wanita itu cemas karena anak gadisnya tidak keluar untuk makan siang.
"Rie, buka Sayang," bujuknya.
Sementara di dalam kamar Rie tengah asyik menonton televisi, gadis itu mendengar panggilan ibunya. Namun ia malas untuk membukanya, pasti wanita itu akan bertanya ia kenapa.
Gadis menghela napas panjang, gedoran di pintu bertambah kencang. Akhirnya dengan malas ia bangkit, berjalan menuju pintu lalu memutar kuncinya.
Pintu terdorong membuka dari luar, membuat Rie mundur agar tidak mengenai wajahnya.
"Kamu kenapa, Sayang," tanya Bundanya dengan mata berkaca.
"Aku tidak apa-apa, Bun. Hanya malas makan," jawabnya singkat.
"Gak ada yang nyakitin kamu, kan?" desaknya lagi. Rie menggeleng, ia duduk di pinggir kasur lantas memakai sepatunya.
"Mau ke mana Rie, ini udah sore!" ucap Bunda.
Gadis berlalu begitu saja, membuka pintu kemudian meninggalkan Bu Ratih sendirian di dalam kamarnya. Wanita tua itu mendengkus kesal, ia merasa sangat letih menghadapi anak gadisnya.Rie berjalan dengan menundukkan kepala, dada gadis itu terasa sesak karena menahan emosi. Sampai di ujung gang, ia menoleh ke kiri dan kanan. Lantas menyeberang jalan menuju bibir pantai.
Hari sudah hampir senja, namun suasana di pinggir pantai masih ramai. Gadis itu baru teringat kalau sekarang akhir pekan, ia menghela napas. Biasanya pinggir pantai akan ramai pengunjung sampai menjelang malam.
Gadis itu merasa tidak nyaman berada dalam keramaian, ia memutuskan untuk berjalan agak jauh. Rie berjalan ke arah barat, rambutnya yang dikuncir bergoyang tertiuo angin.
Tidak berapa lama Rie berhenti, ia memperhatikan sekeliling. Setelah memastikan tidak ada orang, gadis itu duduk sambil memeluk ke dua kaki.Tiba-tiba sesosok lelaki datang dari arah belakang, tanpa bertanya ia langsung duduk di sebelahnya. Rie tersentak kaget, lalu tersenyum saat mengetahui kalau Orion yang datang.
"Hai, Ariela," sapanya riang.
"Rie. Panggil aku Rie," pintanya sambil memandang Orion.
"Okey," lelaki itu tersenyum. Mereka terdiam beberapa saat.
"Rie.
"Orion." Panggil mereka bersamaan, yang disambung dengan gelak tawa oleh Orion. Rie hanya tersenyum sangat lebar.
"Kamu cantik saat tersenyum," pujinya.
Rie yang tengah memainkan pasir dengan ujung jari. Mendadak salah tingkah, jantung gadis itu berdebar cepat. Karena merasakan sensasi hangat di dalam hatinya.
"Orionz boleh aku bertanya?" ucap Rie dengan gugup. Lelaki itu mengangguk, kakinya yang panjang ia selonjorkan.
"Kamu tinggal di sini, atau hanya sedang liburan?" tanya gadis itu penasaran.
"Menurut kamu?" tanyanya balik.
"Aku kenal hampir seluruh penduduk di sini. Tapi tidak pernah melihat kamu, apa selama ini kamu di kota dan baru pulang," jelas Rie dengan wajah bingung.
Orion tertawa mendengar penuturannya. Ia memandang gadis dengan penuh perasaan, Rie bisa merasakan ada sesuatu yang tumbuh di hatinya.
"Di mana pun, aku tinggal tidak jadi masalah. Selama kamu menginginkan aku, aku akan terus berada di sini," bisiknya.
Tiba-tiba seorang penjaga pantai melintas di hadapan mereka. Ia mengenali Rie sebagai anak dari salah seorang pemilik resort, pria berusia empat puluhan itu menatap Rie dengan penuh tanda tanya.
Sedang apa gadis itu sendirian di pojok pantai, dan ia seperti tengah berbincang-bincang. Tapi tidak ada orang di sampingnya, pria tua itu akhirnya memutuskan untuk menyapa gadis itu.
"Non, ngapain di sini sendirian? Sebentar lagi gelap, dan daerah sini tidak terkena cahaya lampu," ucap pria itu khawatir.
"Aku gak sendirian. Ini ada temanku," jawabnya sambil menunjuk ke arah kanan. Penjaga pantai itu terkejut, mendengar penuturan gadis itu.
Ia melirik ke samping gadis itu dengan rasa was-was. Tidak ada siapa-siapa di sana, perasaan takut menyusup ke hati si penjaga pantai. Saat melihat gadis itu menoleh ke arah yang ditunjuknya, lalu tersenyum manis. Kemudian berceloteh seolah ada seseorang di sana.
"Jangan-jangan anak itu gila," bisik si penjaga pantai. Pria itu kembali menoleh, bahunya bergidik saat melihat Ariela masih berbicara sendiri sambil menggerakkan tangan.
Si penjaga pantai kembali ke posnya, di sana ada beberapa orang sedang melihat ke pantai menggunakan teropong. Pria tadi menceritakan tentang Ariela pada teman-temannya, tanpa mereka ketahui bahwa seorang pemuda bernama Davin tengah menguping.
Bab 3Davin mendengarkan pembicaraan para penjaga pantai dengan seksama, ia penasaran siapa gerangan gadis yang dijadikan topik.Menurut pengakuan si penjaga pantai, gadis itu berada di tempat yang sepi di sebelah barat. Dengan langkah tegap, lelaki itu berjalan menyusuri pasir putih.Sesekali Davin menoleh berusaha mencari gadis itu, setelah berjalan hampir 300 meter. Langkah lelaki itu terhenti, di depan sana seorang gadis cantik tengah duduk di kursi kayu.Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin, memperlihatkan pipinya yang merona merah bagai tomat. Davin semakin mendekat, gadis itu tampak tidak asing baginya. Untuk memastikan lelaki berjalan semakin dekat.Ia tertegun saat melihat gadis itu, bibirnya yang tipis tersenyum lebar. Kening Davin berkerut saat gadis itu menggerakkan tangannya, seolah sedang asyik membicarakan sesuatu. Padahal di sebelahnya tidak orang. Lelaki itu berbalik, rasa penasarannya
Bab 4Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung."Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin.Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis."Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie.Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong.Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie.Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarn
Bab 5Wanita itu tercengang, rona wajahnya mendadak pias. Ia tidak menyangka ada seseorang yang menanyakan, tentang kondisi Ariela yang tidak biasa.Davin merutuki kebodohannya, lelaki itu merasa sangat tidak enak terhadap Bu Ratih. Ini semua gara-gara keinginan tahuannya yang kelewat besar, akhirnya membuat, Bu Ratih tersinggung."Maaf, Tante," ucap lelaki muda berparas tampan itu tidak enak.Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya menatap Davin dengan tatapan hampa. Lalu bergegas menyusul Ariela, yang sudah berjalan meninggalkan ibunya.Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bu Ratih merasa sangat gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apa yang hendak ditanyakan Davin pasti soal Ariela.Sesampainya di rumah wanita itu menunggu sampai Ariela naik ke atas, lantas menuju dapur di sana terdapat telepon yang menempel di dinding. Dengan gerakan cepat, ia menekan nomor tele
Bu Ratih tertegun mendengar nada serius dari ucapan Davin, seketika hatinya yang gundah gulana sedikit lega. Namun wanita itu tidak mau banyak berharap, agar tidak merasakan kekecewaan yang semakin dalam. Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir 45 tahun itu, menatap lekat pada Davin. Lelaki itu balasa memandang Bu Ratih dengan serius, tidak ada keraguan di bola matanya yang cokelat. "Saya permisi, Tante," pamitnya sambil berdiri dari kursi. Bu Ratih bergeming. Pandangannya masih menerawang, dan tidak mendengar ucapan Davin. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Ratih, lelaki berjalan menjauhi rumah minimalis itu dan berbelok menuju pantai. Aroma amis dan semilir angin langsung terasa, saat lelaki itu keluar dari gerbang perumahan. Davin merentangkan tangannya, memberi tanda pada pengemudi mobil. Bahwa ia akan menyeberang jalan. Dari depan pintu masuk, terlihat segerombolan orang berjalan meninggalkan pantai. Davin meli
Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya. "Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa. "Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar. "Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan. "Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut. Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat. "Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal. Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan
Bu Ratih dan Pak Wirya terdiam, lantas saling bertanya lewat pandangan. Bayi? Bayi apa yang dimaksud dengan Ariela. Suasana tengah malam itu sangat hening, tidak ada suara apa pun termasuk hewan malam yang biasa berbunyi.Pasangan suami istri itu menatap Ariela dengan pandangan iba dan sedih. Terutama Bu Ratih, air matanya menganak sungai. Melihat penderitaan anak gadisnya, yang terduduk di kasur sambil merunduk dan menutup telinga. Hatinya yang lembut bagai teriris-iris."Bagaimana, ini, Yah? Apa Rie, kita bawa ke rumah sakit saja." Ujar Bu Ratih cemas."Tidak perlu, Rie hanya bermimpi." Ucap Pak Wirya meyakinkan dirinya sendiri."Aku … rasa itu bukan mimpi. Kalau Rie, mimpi anak itu akan sadar saat dibangunkan, tapi ini …." Bu Ratih tidak dapat meneruskan ucapannya.Ariela mengangkat kepalanya, matanya yang basah menyapu seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Ratih berjalan menghampirinya, dengan p
Davin tidak menghiraukan panggilan mamanya, lelaki itu terus saja berlari. Sampai di depan gerbang komplek, hampir saja ia menabrak Bu Ratih yang berdiri mematung."Tante, mau ke mana?" tanya Davin dengan napas tersengal-sengal.Bu Ratih menoleh dan mundur selangkah, matanya membelalak melihat Davin yang membungkuk dengan rambut awut-awutan. Penampilan lelaki yang mengenakan celana bermuda, kaos tanpa lengan dan bersandal jepit lengkap dengan mata memerah. Persis para turis yang baru pulang dari kedai minuman."Mencari Rie," sahutnya setelah yakin bahwa Davin tidak mabuk.Lelaki itu menegakkan tubuh, kemudian menggelung rambut seperti pesumo. Napasnya berangsur normal, lalu menatap Bu Ratih dengan ekspresi terkejut."Rie, hilang!" serunya."Entah. Tadi Tante Lihat, dia tidak ada di kamarnya." Bu Ratih menjawab dengan wajah diliputi kecemasan.Mata wanita itu memandang pintu masuk ke arah pantai, yang berbentuk seteng
Rie gelagapan saat tubuhnya ditarik ke dalam pusaran. Gadis itu mencoba untuk naik ke atas, dengan cara mengayunkan kaki dan tangannya. Namun, tidak tidak bisa karena tekanan air lebih berat dari tubuhnya.Dada gadis itu mulai terasa sesak, tenggorokannya pun terasa sakit karena menelan air laut. Di saat kritis seperti itu, tiba-tiba saja wajah Orion membayang di matanya sambil tersenyum."Tidak usah takut, tenang saja. Kamu akan aman bersamaku," ucap lelaki itu lembut.Ariela mencoba untuk tersenyum, sehingga mengeluarkan gelembung udara dari mulutnya. Gadis itu melemas, kehabisan tenaga. Tubuh kecil Rie semakin tersedot, namun tekanan air membuat tangannya bergerak naik ke atas."Ayo, hidup bersamaku." Suara Orion bergema di dalam air.Ariela mengangguk, dengan mata hampir terpejam. Gelembung udara keluar semakin banyak dari mulutnya, napas gadis itu mulai megap-megap. Pusaran air berputar pelan, membuat tubuh Rie terombang-ambi
Rie gelagapan saat tubuhnya ditarik ke dalam pusaran. Gadis itu mencoba untuk naik ke atas, dengan cara mengayunkan kaki dan tangannya. Namun, tidak tidak bisa karena tekanan air lebih berat dari tubuhnya.Dada gadis itu mulai terasa sesak, tenggorokannya pun terasa sakit karena menelan air laut. Di saat kritis seperti itu, tiba-tiba saja wajah Orion membayang di matanya sambil tersenyum."Tidak usah takut, tenang saja. Kamu akan aman bersamaku," ucap lelaki itu lembut.Ariela mencoba untuk tersenyum, sehingga mengeluarkan gelembung udara dari mulutnya. Gadis itu melemas, kehabisan tenaga. Tubuh kecil Rie semakin tersedot, namun tekanan air membuat tangannya bergerak naik ke atas."Ayo, hidup bersamaku." Suara Orion bergema di dalam air.Ariela mengangguk, dengan mata hampir terpejam. Gelembung udara keluar semakin banyak dari mulutnya, napas gadis itu mulai megap-megap. Pusaran air berputar pelan, membuat tubuh Rie terombang-ambi
Davin tidak menghiraukan panggilan mamanya, lelaki itu terus saja berlari. Sampai di depan gerbang komplek, hampir saja ia menabrak Bu Ratih yang berdiri mematung."Tante, mau ke mana?" tanya Davin dengan napas tersengal-sengal.Bu Ratih menoleh dan mundur selangkah, matanya membelalak melihat Davin yang membungkuk dengan rambut awut-awutan. Penampilan lelaki yang mengenakan celana bermuda, kaos tanpa lengan dan bersandal jepit lengkap dengan mata memerah. Persis para turis yang baru pulang dari kedai minuman."Mencari Rie," sahutnya setelah yakin bahwa Davin tidak mabuk.Lelaki itu menegakkan tubuh, kemudian menggelung rambut seperti pesumo. Napasnya berangsur normal, lalu menatap Bu Ratih dengan ekspresi terkejut."Rie, hilang!" serunya."Entah. Tadi Tante Lihat, dia tidak ada di kamarnya." Bu Ratih menjawab dengan wajah diliputi kecemasan.Mata wanita itu memandang pintu masuk ke arah pantai, yang berbentuk seteng
Bu Ratih dan Pak Wirya terdiam, lantas saling bertanya lewat pandangan. Bayi? Bayi apa yang dimaksud dengan Ariela. Suasana tengah malam itu sangat hening, tidak ada suara apa pun termasuk hewan malam yang biasa berbunyi.Pasangan suami istri itu menatap Ariela dengan pandangan iba dan sedih. Terutama Bu Ratih, air matanya menganak sungai. Melihat penderitaan anak gadisnya, yang terduduk di kasur sambil merunduk dan menutup telinga. Hatinya yang lembut bagai teriris-iris."Bagaimana, ini, Yah? Apa Rie, kita bawa ke rumah sakit saja." Ujar Bu Ratih cemas."Tidak perlu, Rie hanya bermimpi." Ucap Pak Wirya meyakinkan dirinya sendiri."Aku … rasa itu bukan mimpi. Kalau Rie, mimpi anak itu akan sadar saat dibangunkan, tapi ini …." Bu Ratih tidak dapat meneruskan ucapannya.Ariela mengangkat kepalanya, matanya yang basah menyapu seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Ratih berjalan menghampirinya, dengan p
Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya. "Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa. "Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar. "Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan. "Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut. Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat. "Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal. Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan
Bu Ratih tertegun mendengar nada serius dari ucapan Davin, seketika hatinya yang gundah gulana sedikit lega. Namun wanita itu tidak mau banyak berharap, agar tidak merasakan kekecewaan yang semakin dalam. Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir 45 tahun itu, menatap lekat pada Davin. Lelaki itu balasa memandang Bu Ratih dengan serius, tidak ada keraguan di bola matanya yang cokelat. "Saya permisi, Tante," pamitnya sambil berdiri dari kursi. Bu Ratih bergeming. Pandangannya masih menerawang, dan tidak mendengar ucapan Davin. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Ratih, lelaki berjalan menjauhi rumah minimalis itu dan berbelok menuju pantai. Aroma amis dan semilir angin langsung terasa, saat lelaki itu keluar dari gerbang perumahan. Davin merentangkan tangannya, memberi tanda pada pengemudi mobil. Bahwa ia akan menyeberang jalan. Dari depan pintu masuk, terlihat segerombolan orang berjalan meninggalkan pantai. Davin meli
Bab 5Wanita itu tercengang, rona wajahnya mendadak pias. Ia tidak menyangka ada seseorang yang menanyakan, tentang kondisi Ariela yang tidak biasa.Davin merutuki kebodohannya, lelaki itu merasa sangat tidak enak terhadap Bu Ratih. Ini semua gara-gara keinginan tahuannya yang kelewat besar, akhirnya membuat, Bu Ratih tersinggung."Maaf, Tante," ucap lelaki muda berparas tampan itu tidak enak.Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya menatap Davin dengan tatapan hampa. Lalu bergegas menyusul Ariela, yang sudah berjalan meninggalkan ibunya.Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bu Ratih merasa sangat gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apa yang hendak ditanyakan Davin pasti soal Ariela.Sesampainya di rumah wanita itu menunggu sampai Ariela naik ke atas, lantas menuju dapur di sana terdapat telepon yang menempel di dinding. Dengan gerakan cepat, ia menekan nomor tele
Bab 4Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung."Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin.Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis."Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie.Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong.Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie.Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarn
Bab 3Davin mendengarkan pembicaraan para penjaga pantai dengan seksama, ia penasaran siapa gerangan gadis yang dijadikan topik.Menurut pengakuan si penjaga pantai, gadis itu berada di tempat yang sepi di sebelah barat. Dengan langkah tegap, lelaki itu berjalan menyusuri pasir putih.Sesekali Davin menoleh berusaha mencari gadis itu, setelah berjalan hampir 300 meter. Langkah lelaki itu terhenti, di depan sana seorang gadis cantik tengah duduk di kursi kayu.Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin, memperlihatkan pipinya yang merona merah bagai tomat. Davin semakin mendekat, gadis itu tampak tidak asing baginya. Untuk memastikan lelaki berjalan semakin dekat.Ia tertegun saat melihat gadis itu, bibirnya yang tipis tersenyum lebar. Kening Davin berkerut saat gadis itu menggerakkan tangannya, seolah sedang asyik membicarakan sesuatu. Padahal di sebelahnya tidak orang. Lelaki itu berbalik, rasa penasarannya
Bab 2Fajar baru saja menyingsing, aroma asin dari laut terbawa oleh desiran angin. Beberapa orang mulai lalu lalang di depan rumah berwarna putih, mereka menyapa Rie yang tengah terduduk di teras.Wajahnya yang putih terlihat pucat bagai mayat, bibirnya gemetar dan sedikit membiru. Gadis itu merapatkan outher yang dipakainya, sebetulnya sinar mentari sudah menyembul. Namun suhu udara yang rendah, ditambah angin yang bertiup membuat ia kedinginan."Rie," panggil bundanya dari dapur. Wanita paruh baya itu tengah membuat Pai apel, untuk sarapan pagi ini."Iya, Bun," jawab gadis itu. Ia bangkit dari duduknya, dengan perasaan malas.Gadis itu masuk ke dalam dapur, harum madu dan apel mendominasi di dalam ruangan itu. Rie duduk di kursi makan, lalu mengaduk-aduk adonan Pai."Jangan Rie," decak sang Bunda sambil meraih bowl, berisi adonan."Ngapain Bunda, manggil Rie?" tanyanya.Wanita yang masih c