Bab 1
Semilir angin pantai menerbangkan rambut gadis yang tengah berjalan di bibir pantai, wajah cantiknya terlihat pucat. Bibirnya yang tipis bergetar.Gadis itu berhenti, lalu menatap ke arah laut lepas. Di ujung sana tampak matahari separuh tenggelam, sebentar lagi senja akan berganti malam. Gadis itu mengusap matanya yang basah, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu mengenai bahunya.
Refleks gadis itu menoleh, ia terkesiap saat melihat ke belakang. Di sebuah warung es kelapa yang sudah tutup, berdiri seorang lelaki tinggi menjulang.
"Hai," sapa lelaki itu sambil menyunggingkan senyum. Giginya yang putih terlihat rapi.
Gadis itu menoleh ke kiri dan kanan, suasana di sekitarnya sudah sepi. Kini ia merasa takut, sendirian di tepi pantai. Dengan lelaki yang tidak dia kenal. Gadis itu mundur selangkah, kemudian berbalik lalu berlari menjauh.
"Hei, aku cuma mau kenalan," teriak si lelaki sambil berusaha mengejar gadis itu.
Gadis itu terus berlari menuju jalan besar. Beberapa pemilik warung yang tengah membereskan dagangannya, menatap gadis bernama Ariela itu dengan pandangan aneh.
Ariela menoleh ke belakang, lalu berhenti saat mengetahui lelaki tadi tidak mengejar. Ia berdiri sejenak di pinggir jalan, menoleh sekali lagi untuk memastikan.
Gadis itu menyebrang jalan, bertepatan dengan lampu yang menyala. Hari mulai gelap, Ariela berjalan dengan perlahan menuju gang yang berada di samping sebuah resort sederhana."Rie, kamu kenapa keringatan. Kayak orang habis berlari," sapa Bundanya saat melihat anak gadisnya itu membuka pintu.
"Gak papa, Bun," jawabnya singkat. Gadis itu tidak akan mengaku, kalau dia baru saja dikejar seorang lelaki. Bundanya bisa sangat histeris, bila mengetahui hal itu.
"Ya, sudah mandi sana," perintah wanita berusia hampir empat puluhan itu. Ia menatap punggung Ariela yang berjalan membelakanginya, hati kecilnya tidak percaya dengan jawaban anak gadisnya itu.
Ariela bergerak-gerak gelisah, matanya terpejam erat. Selimut yang menutupi tubuhnya terjatuh ke lantai, gadis itu menggapai-gapaikan tangannya seperti orang tenggelam.
Dalam tidurnya gadis itu bermimpi, ia melihat Willy kekasihnya tengah berdiri berdampingan dengan seorang gadis. Mereka bertiga berada di sebuah tepi jurang.
Gadis di samping Willy menatap Rie sinis, tampak jelas di matanya ia mengajak bermusuhan. Bibirnya yang tebal menyinggung senyum miring, gadis itu mendekat ke arah Rie lalu mendorong tubuhnya.
Rie berteriak di dalam tidurnya, membangunkan kedua orang tuanya yang tidur di kamar sebelah. Mereka bergegas menuju kamar Rie.
"Ariela kamu kenapa?" tanya sang Bunda. Wajahnya terlihat panik, sementara Pak Wirya ayah dari Rie hanya berdiri di pinggir ranjang.
"Gak papa, Bun," kilah gadis itu. Keringat membasahi kening dan lehernya, dadanya turun naik.
"Ada apa, Sayang cerita sama Bunda. Kamu selalu aja bilang gak papa," lirih wanita itu.
"Aku hanya mimpi buruk," jelas Rie mengalah. Bundanya itu tidak akan berhenti, sebelum anak gadisnya membei jawaban yang memuaskan.
"Lebih baik kamu ambil minum, Bun," perintah Pak Wirya pada istrinya. Wanita itu bangkit, lalu berjalan menuju dapur.
Pak Wirya mendekat lantas melingkarkan tangannya di bahu anak gadisnya. Ariela membalasnya dengan melingkarkan tangannya di pinggang pria itu, ia merasa sangat nyaman berada dalam dekapan sang ayah.
"Sudah tidak apa-apa," ucapnya sambil menepuk-nepuk bahu Ariela, berusaha menguatkan.
"Ini, Sayang minum dulu." Bu Ratih masuk sambil membawa segelas air. Ariela meneguk sedikit isi gelas, lalu menaruhnya di nakas.
"Aku sudah gak papa," bisiknya sambil berusaha tersenyum.
"Are you sure," tanya ayahnya.
Gadis itu hanya mengangguk, lantas melepas pelukannya. Pak Wirya mengecup kening gadis itu sekilas, lalu menarik tangan istrinya keluar kamar.
*****
"Mau ke mana, Rie?" Wanita berusia empat puluhan itu, menatap anak gadisnya yang tengah memakai sepatu.
"Rie! Bunda nanya?" Suaranya naik setengah oktaf.
Gadis itu masih asyik mengikat sepatu, mengindahkan pertanyaan sang bunda. Selesai merapikan tali-tali berwarna pink, Rie bangkit lalu berjalan menuju pintu.
"Mau ke pantai, Bun," jawabnya singkat seraya menutup pintu.
Bunda mengembuskan napas, bingung melihat anak gadisnya yang berubah menjadi tertutup. Selama ini Rie memang agak pendiam, tapi masih bisa diajak bicara.
Gadis itu menyusuri pinggir pantai, dengan langkah pelan sambil menundukkan wajah. Di sebelah barat langit mulai berwarna oranye, senja sebentar lagi tiba.
Gadis berhenti di sebuah kedai es kelapa muda yang sudah tutup, duduk di bangku panjang dari kayu. Di bawah payung besar berwarna merah putih.
Langit perlahan menggelap, Rie menatap pantai yang ada di hadapannya yang kini tampak berwarna hitam. Hanya terdengar suara debur ombak, mengiringi isakan gadis itu.
Lampu Mercu suar menyala, bertepatan dengan sebuah tepukan pelan di bahu gadis itu. Sontak ia menoleh, dan terpana saat melihat dari dekat lelaki yang kemarin memanggilnya.
Badannya kurus tinggi, celana cokelat dan kemeja lengan panjang yang dipakainya. Membuat sosok itu semakin menjulang, dengan rambut lurus belah tengah berwarna tembaga.
"Hai, ngapain malam-malam duduk di sini sendirian?" tanyanya.
Badan Rie terasa kaku, ketika lelaki itu mendekat. Ia ingin sekali berteriak, tapi suaranya seperti tertahan di tenggorokan.
"Gak usah takut, aku hanya ingin kenalan. Namaku Orion." Suaranya terdengar lembut. Kemudian lelaki itu menjulurkan tangannya.
"A … Ariela," ucap Rie terbata. Kemudian menjabat tangan lelaki itu, dengan sedikit gemetar.
"Kamu belum jawab pertanyaanku?" tanyanya lagi.
"Pertanyaan yang mana?" jawab Rie sambil beringsut ke pinggir, saat Orion duduk di sebelahnya.
"Tenang aku gak makan orang, kok," candanya lalu lelaki itu tergelak.
"Ngapain kamu di sini sendirian?" ulang lelaki itu sambil menyugar rambutnya.
"Numpang nangis?" tuduh Orion.
"Enggak," jawab Rie cepat, sambil menyeka mata dengan punggung tangan. Kemudian tersenyum tipis.
"Gak usah pura-pura, aku udah liat tadi. Kenapa kamu nangis?" cecarnya. Gadis itu hanya mengangkat bahu, enggan menjawab pertanyaan Orion.
"Kamu tinggal di mana?" Kali ini Rie yang bertanya, setelah beberapa lama mereka terdiam. Rasa takut yang menyelimuti gadis itu, perlahan mulai menghilang.
"Di hatimu," goda Orion sambil tersenyum lebar. Rie mencebikkan bibir mendengar jawaban lelaki itu.
Lagi mereka terdiam, pandangan mata Orion lurus ke depan. Rie mencuri pandang lewat lirikan mata, pikirannya dipenuhi tanda tanya siapa lelaki ini, ia tidak pernah melihatnya.
Rie besar di kota ini, walaupun jarang keluar tapi ia bisa mengenali penduduk asli di sekitar sini. Apa jangan-jangan lelaki itu salah satu pelancong yang tengah berlibur.
Karena di kotanya tidak ada yang memiliki kulit putih seperti itu, dengan mata sipit berwarna saphire. Rahangnya tirus, dengan hidung mancung dan bibir tipis merah alami. Orion terlihat sangat tampan.
"Aku harus pergi," ucap Orion kemudian bangkit dari bangku. Mengagetkan Rie, yang masih terpesona.
"Ah, iya. Sudah malam, aku juga mau pulang."
"Mau aku antar," tawarnya.
"Gak perlu, aku bisa sendiri," tolak gadis itu.
"Ya, sudah," ujar lelaki itu lalu melambaikan tangan, berjalan menjauhi Rie.
"Besok kita ketemu lagi, ya," seru Orion suaranya yang lembut, tertelan debur ombak kemudian hilang di gelap malam.
****
Esok harinya Rie bangun terlambat, sudah beberapa hari ini ia selalu tidur di atas jam satu dini hari. Perasaan sesak di dadanya membuat gadis itu, susah memejamkan mata.
Berkali-kali ia berusaha melupakan peristiwa itu, tapi tidak bisa. Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu hanya bisa menangis karena sedih berkepanjangan.
Rie bangkit dengan perlahan, sambil memijat pelan pelipisnya yang terasa berdenyut. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin, matanya mulai menghitam. Dan pipinya terlihat semakin tirus.
"Rie, bangun sarapan dulu!" Suara Bunda memanggilnya dari lantai bawah.
Ia segera keluar dari kamar, menuruni anak tangga menuju ruang tengah tempat meja makan berada. Ayah dan bundanya sudah duduk di sana, gadis itu bergegas ke toilet untuk cuci muka dan gosok gigi.
"Mau apa, Sayang?" tanya Bunda ketika Rie sudah duduk di kursi dengan sandaran bulat.
"Nasi goreng aja, Bun." Dengan sigap wanita itu, menaruh nasi ke piring.
"Rie, kamu gak mau kuliah lagi?" Tiba-tiba Ayah bertanya dengan serius.
"Enggak," jawab Rie tegas.
"Kenapa, takut ketemu dengan mantan pacar kamu itu?" tanya ayahnya menyelidik.
"Iya," ujar gadis itu datar.
"Ayolah, Rie. Lupakan saja lelaki gak berguna itu, masa depan kamu lebih penting," desak Pak Wirya pada anak gadisnya.
"Ayah, gak tahu apa yang aku rasakan," geram gadis itu, sambil menggenggam erat garpu di tangannya.
Bunda yang melihat akan ada perang besar antara ayah dan anak, mengambil alih pembicaraan. Sebagai seorang wanita ia mengerti, apa yang dirasakan anaknya. Wanita itu juga marah, karena gadis kesayangannya dicampakkan begitu saja.
"Ayah, biar aja Rie di rumah dulu untuk sementara. Kasih dia waktu buat mengatasi rasa sedihnya," tutur wanita itu.
"Sampai kapan, Bun. Ini sudah hampir satu bulan, dan Rie belum melupakan bocah sialan itu!" ucap Pak Wirya penuh emosi.
Tidak tahan mendengar ucapan ayahnya, Rie bangkit dari kursi kemudian berlari ke kamar. Ia menangis.
Tak lama pintu kamar terbuka, wanita tua itu masuk lalu duduk di pinggir ranjang. Melihat anaknya yang tengah terluka, membuat hatinya sedikit khawatir.
"Rie, sudah jangan nangis," ujarnya sambil mengelus rambut panjangnya. Gadis itu bangkit kemudian memeluk sang bunda.
"Aku belum bisa melupakannya, Bun," ucapnya dengan linangan air mata.
"Iya, Sayang. Bunda ngerti, dia pacar sekaligus cinta pertama kamu. Pasti sakit rasanya ditinggal begitu saja." Dan suara tangisan Rie, terdengar semakin menyayat hati.
Wanita itu mengingat kejadian, beberapa Minggu yang lalu. Rie yang sedang kuliah di pusat kota, tiba-tiba pulang dengan mata sembap. Sebagai seorang ibu, ia dapat merasakan ada sesuatu yang terjadi.
Ia menemui Rie di kamar, gadis itu bergeming hanya menangis tanpa berhenti. Ia tidak menjawab pertanyaannya, dan juga tidak mau bercerita apa yang menyebabkan ia seperti itu.
Gadis kecilnya itu memang pemalu, ruang lingkupnya pun terbatas. Ditambah ia anak semata wayang, membuat dirinya selalu dimanja.
Ia hanya punya sedikit sahabat, dan berhubungan baik sampai sekarang. Rasa percaya dirinya yang rendah, membuat ia susah membuka diri.
Gadis itu lebih sering berada di dalam rumah, berada dalam rasa nyaman yang diciptakan oleh orang tuanya. Sesekali ia juga keluar, pantai merupakan tempat favoritnya.
Akhirnya sang bunda tahu apa yang terjadi dengan anak gadisnya, bukan dari mulut Rie. Tetapi hasil bertanya dengan Iren, dan hati wanita tua itu hancur berkeping-keping. Saat mendengar penuturan teman satu kamar kost gadis itu.
Bab 2Fajar baru saja menyingsing, aroma asin dari laut terbawa oleh desiran angin. Beberapa orang mulai lalu lalang di depan rumah berwarna putih, mereka menyapa Rie yang tengah terduduk di teras.Wajahnya yang putih terlihat pucat bagai mayat, bibirnya gemetar dan sedikit membiru. Gadis itu merapatkan outher yang dipakainya, sebetulnya sinar mentari sudah menyembul. Namun suhu udara yang rendah, ditambah angin yang bertiup membuat ia kedinginan."Rie," panggil bundanya dari dapur. Wanita paruh baya itu tengah membuat Pai apel, untuk sarapan pagi ini."Iya, Bun," jawab gadis itu. Ia bangkit dari duduknya, dengan perasaan malas.Gadis itu masuk ke dalam dapur, harum madu dan apel mendominasi di dalam ruangan itu. Rie duduk di kursi makan, lalu mengaduk-aduk adonan Pai."Jangan Rie," decak sang Bunda sambil meraih bowl, berisi adonan."Ngapain Bunda, manggil Rie?" tanyanya.Wanita yang masih c
Bab 3Davin mendengarkan pembicaraan para penjaga pantai dengan seksama, ia penasaran siapa gerangan gadis yang dijadikan topik.Menurut pengakuan si penjaga pantai, gadis itu berada di tempat yang sepi di sebelah barat. Dengan langkah tegap, lelaki itu berjalan menyusuri pasir putih.Sesekali Davin menoleh berusaha mencari gadis itu, setelah berjalan hampir 300 meter. Langkah lelaki itu terhenti, di depan sana seorang gadis cantik tengah duduk di kursi kayu.Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin, memperlihatkan pipinya yang merona merah bagai tomat. Davin semakin mendekat, gadis itu tampak tidak asing baginya. Untuk memastikan lelaki berjalan semakin dekat.Ia tertegun saat melihat gadis itu, bibirnya yang tipis tersenyum lebar. Kening Davin berkerut saat gadis itu menggerakkan tangannya, seolah sedang asyik membicarakan sesuatu. Padahal di sebelahnya tidak orang. Lelaki itu berbalik, rasa penasarannya
Bab 4Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung."Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin.Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis."Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie.Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong.Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie.Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarn
Bab 5Wanita itu tercengang, rona wajahnya mendadak pias. Ia tidak menyangka ada seseorang yang menanyakan, tentang kondisi Ariela yang tidak biasa.Davin merutuki kebodohannya, lelaki itu merasa sangat tidak enak terhadap Bu Ratih. Ini semua gara-gara keinginan tahuannya yang kelewat besar, akhirnya membuat, Bu Ratih tersinggung."Maaf, Tante," ucap lelaki muda berparas tampan itu tidak enak.Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya menatap Davin dengan tatapan hampa. Lalu bergegas menyusul Ariela, yang sudah berjalan meninggalkan ibunya.Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bu Ratih merasa sangat gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apa yang hendak ditanyakan Davin pasti soal Ariela.Sesampainya di rumah wanita itu menunggu sampai Ariela naik ke atas, lantas menuju dapur di sana terdapat telepon yang menempel di dinding. Dengan gerakan cepat, ia menekan nomor tele
Bu Ratih tertegun mendengar nada serius dari ucapan Davin, seketika hatinya yang gundah gulana sedikit lega. Namun wanita itu tidak mau banyak berharap, agar tidak merasakan kekecewaan yang semakin dalam. Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir 45 tahun itu, menatap lekat pada Davin. Lelaki itu balasa memandang Bu Ratih dengan serius, tidak ada keraguan di bola matanya yang cokelat. "Saya permisi, Tante," pamitnya sambil berdiri dari kursi. Bu Ratih bergeming. Pandangannya masih menerawang, dan tidak mendengar ucapan Davin. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Ratih, lelaki berjalan menjauhi rumah minimalis itu dan berbelok menuju pantai. Aroma amis dan semilir angin langsung terasa, saat lelaki itu keluar dari gerbang perumahan. Davin merentangkan tangannya, memberi tanda pada pengemudi mobil. Bahwa ia akan menyeberang jalan. Dari depan pintu masuk, terlihat segerombolan orang berjalan meninggalkan pantai. Davin meli
Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya. "Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa. "Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar. "Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan. "Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut. Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat. "Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal. Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan
Bu Ratih dan Pak Wirya terdiam, lantas saling bertanya lewat pandangan. Bayi? Bayi apa yang dimaksud dengan Ariela. Suasana tengah malam itu sangat hening, tidak ada suara apa pun termasuk hewan malam yang biasa berbunyi.Pasangan suami istri itu menatap Ariela dengan pandangan iba dan sedih. Terutama Bu Ratih, air matanya menganak sungai. Melihat penderitaan anak gadisnya, yang terduduk di kasur sambil merunduk dan menutup telinga. Hatinya yang lembut bagai teriris-iris."Bagaimana, ini, Yah? Apa Rie, kita bawa ke rumah sakit saja." Ujar Bu Ratih cemas."Tidak perlu, Rie hanya bermimpi." Ucap Pak Wirya meyakinkan dirinya sendiri."Aku … rasa itu bukan mimpi. Kalau Rie, mimpi anak itu akan sadar saat dibangunkan, tapi ini …." Bu Ratih tidak dapat meneruskan ucapannya.Ariela mengangkat kepalanya, matanya yang basah menyapu seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Ratih berjalan menghampirinya, dengan p
Davin tidak menghiraukan panggilan mamanya, lelaki itu terus saja berlari. Sampai di depan gerbang komplek, hampir saja ia menabrak Bu Ratih yang berdiri mematung."Tante, mau ke mana?" tanya Davin dengan napas tersengal-sengal.Bu Ratih menoleh dan mundur selangkah, matanya membelalak melihat Davin yang membungkuk dengan rambut awut-awutan. Penampilan lelaki yang mengenakan celana bermuda, kaos tanpa lengan dan bersandal jepit lengkap dengan mata memerah. Persis para turis yang baru pulang dari kedai minuman."Mencari Rie," sahutnya setelah yakin bahwa Davin tidak mabuk.Lelaki itu menegakkan tubuh, kemudian menggelung rambut seperti pesumo. Napasnya berangsur normal, lalu menatap Bu Ratih dengan ekspresi terkejut."Rie, hilang!" serunya."Entah. Tadi Tante Lihat, dia tidak ada di kamarnya." Bu Ratih menjawab dengan wajah diliputi kecemasan.Mata wanita itu memandang pintu masuk ke arah pantai, yang berbentuk seteng
Rie gelagapan saat tubuhnya ditarik ke dalam pusaran. Gadis itu mencoba untuk naik ke atas, dengan cara mengayunkan kaki dan tangannya. Namun, tidak tidak bisa karena tekanan air lebih berat dari tubuhnya.Dada gadis itu mulai terasa sesak, tenggorokannya pun terasa sakit karena menelan air laut. Di saat kritis seperti itu, tiba-tiba saja wajah Orion membayang di matanya sambil tersenyum."Tidak usah takut, tenang saja. Kamu akan aman bersamaku," ucap lelaki itu lembut.Ariela mencoba untuk tersenyum, sehingga mengeluarkan gelembung udara dari mulutnya. Gadis itu melemas, kehabisan tenaga. Tubuh kecil Rie semakin tersedot, namun tekanan air membuat tangannya bergerak naik ke atas."Ayo, hidup bersamaku." Suara Orion bergema di dalam air.Ariela mengangguk, dengan mata hampir terpejam. Gelembung udara keluar semakin banyak dari mulutnya, napas gadis itu mulai megap-megap. Pusaran air berputar pelan, membuat tubuh Rie terombang-ambi
Davin tidak menghiraukan panggilan mamanya, lelaki itu terus saja berlari. Sampai di depan gerbang komplek, hampir saja ia menabrak Bu Ratih yang berdiri mematung."Tante, mau ke mana?" tanya Davin dengan napas tersengal-sengal.Bu Ratih menoleh dan mundur selangkah, matanya membelalak melihat Davin yang membungkuk dengan rambut awut-awutan. Penampilan lelaki yang mengenakan celana bermuda, kaos tanpa lengan dan bersandal jepit lengkap dengan mata memerah. Persis para turis yang baru pulang dari kedai minuman."Mencari Rie," sahutnya setelah yakin bahwa Davin tidak mabuk.Lelaki itu menegakkan tubuh, kemudian menggelung rambut seperti pesumo. Napasnya berangsur normal, lalu menatap Bu Ratih dengan ekspresi terkejut."Rie, hilang!" serunya."Entah. Tadi Tante Lihat, dia tidak ada di kamarnya." Bu Ratih menjawab dengan wajah diliputi kecemasan.Mata wanita itu memandang pintu masuk ke arah pantai, yang berbentuk seteng
Bu Ratih dan Pak Wirya terdiam, lantas saling bertanya lewat pandangan. Bayi? Bayi apa yang dimaksud dengan Ariela. Suasana tengah malam itu sangat hening, tidak ada suara apa pun termasuk hewan malam yang biasa berbunyi.Pasangan suami istri itu menatap Ariela dengan pandangan iba dan sedih. Terutama Bu Ratih, air matanya menganak sungai. Melihat penderitaan anak gadisnya, yang terduduk di kasur sambil merunduk dan menutup telinga. Hatinya yang lembut bagai teriris-iris."Bagaimana, ini, Yah? Apa Rie, kita bawa ke rumah sakit saja." Ujar Bu Ratih cemas."Tidak perlu, Rie hanya bermimpi." Ucap Pak Wirya meyakinkan dirinya sendiri."Aku … rasa itu bukan mimpi. Kalau Rie, mimpi anak itu akan sadar saat dibangunkan, tapi ini …." Bu Ratih tidak dapat meneruskan ucapannya.Ariela mengangkat kepalanya, matanya yang basah menyapu seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Ratih berjalan menghampirinya, dengan p
Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya. "Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa. "Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar. "Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan. "Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut. Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat. "Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal. Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan
Bu Ratih tertegun mendengar nada serius dari ucapan Davin, seketika hatinya yang gundah gulana sedikit lega. Namun wanita itu tidak mau banyak berharap, agar tidak merasakan kekecewaan yang semakin dalam. Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir 45 tahun itu, menatap lekat pada Davin. Lelaki itu balasa memandang Bu Ratih dengan serius, tidak ada keraguan di bola matanya yang cokelat. "Saya permisi, Tante," pamitnya sambil berdiri dari kursi. Bu Ratih bergeming. Pandangannya masih menerawang, dan tidak mendengar ucapan Davin. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Ratih, lelaki berjalan menjauhi rumah minimalis itu dan berbelok menuju pantai. Aroma amis dan semilir angin langsung terasa, saat lelaki itu keluar dari gerbang perumahan. Davin merentangkan tangannya, memberi tanda pada pengemudi mobil. Bahwa ia akan menyeberang jalan. Dari depan pintu masuk, terlihat segerombolan orang berjalan meninggalkan pantai. Davin meli
Bab 5Wanita itu tercengang, rona wajahnya mendadak pias. Ia tidak menyangka ada seseorang yang menanyakan, tentang kondisi Ariela yang tidak biasa.Davin merutuki kebodohannya, lelaki itu merasa sangat tidak enak terhadap Bu Ratih. Ini semua gara-gara keinginan tahuannya yang kelewat besar, akhirnya membuat, Bu Ratih tersinggung."Maaf, Tante," ucap lelaki muda berparas tampan itu tidak enak.Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya menatap Davin dengan tatapan hampa. Lalu bergegas menyusul Ariela, yang sudah berjalan meninggalkan ibunya.Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bu Ratih merasa sangat gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apa yang hendak ditanyakan Davin pasti soal Ariela.Sesampainya di rumah wanita itu menunggu sampai Ariela naik ke atas, lantas menuju dapur di sana terdapat telepon yang menempel di dinding. Dengan gerakan cepat, ia menekan nomor tele
Bab 4Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung."Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin.Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis."Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie.Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong.Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie.Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarn
Bab 3Davin mendengarkan pembicaraan para penjaga pantai dengan seksama, ia penasaran siapa gerangan gadis yang dijadikan topik.Menurut pengakuan si penjaga pantai, gadis itu berada di tempat yang sepi di sebelah barat. Dengan langkah tegap, lelaki itu berjalan menyusuri pasir putih.Sesekali Davin menoleh berusaha mencari gadis itu, setelah berjalan hampir 300 meter. Langkah lelaki itu terhenti, di depan sana seorang gadis cantik tengah duduk di kursi kayu.Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin, memperlihatkan pipinya yang merona merah bagai tomat. Davin semakin mendekat, gadis itu tampak tidak asing baginya. Untuk memastikan lelaki berjalan semakin dekat.Ia tertegun saat melihat gadis itu, bibirnya yang tipis tersenyum lebar. Kening Davin berkerut saat gadis itu menggerakkan tangannya, seolah sedang asyik membicarakan sesuatu. Padahal di sebelahnya tidak orang. Lelaki itu berbalik, rasa penasarannya
Bab 2Fajar baru saja menyingsing, aroma asin dari laut terbawa oleh desiran angin. Beberapa orang mulai lalu lalang di depan rumah berwarna putih, mereka menyapa Rie yang tengah terduduk di teras.Wajahnya yang putih terlihat pucat bagai mayat, bibirnya gemetar dan sedikit membiru. Gadis itu merapatkan outher yang dipakainya, sebetulnya sinar mentari sudah menyembul. Namun suhu udara yang rendah, ditambah angin yang bertiup membuat ia kedinginan."Rie," panggil bundanya dari dapur. Wanita paruh baya itu tengah membuat Pai apel, untuk sarapan pagi ini."Iya, Bun," jawab gadis itu. Ia bangkit dari duduknya, dengan perasaan malas.Gadis itu masuk ke dalam dapur, harum madu dan apel mendominasi di dalam ruangan itu. Rie duduk di kursi makan, lalu mengaduk-aduk adonan Pai."Jangan Rie," decak sang Bunda sambil meraih bowl, berisi adonan."Ngapain Bunda, manggil Rie?" tanyanya.Wanita yang masih c