Setelah beberapa menit perjalanan, mobil yang dikemudikan Rafka akhirnya memasuki halaman parkir sebuah restoran. Mereka bertiga keluar dari mobil, dan Agatha segera merasa familiar dengan tempat ini. Mata Agatha berkedip cepat saat dia menyadari bahwa restoran ini tidak jauh dari rumah sakit tempat Ivan bekerja. Kecamuk pikiran dan perasaan yang tak terduga menghampirinya. Dalam diam, dia mengelus pergelangan tangannya, merasa getaran perasaan yang tak bisa dijelaskan."Kenapa kamu memilih restoran ini?" tanya Agatha dengan suara hati-hati saat Rafka melangkah di sampingnya.Rafka mengangkat bahu dengan santai, senyumnya yang selalu misterius terukir di wajahnya.. "Aku lapar, dan aku lihat restoran ini. Tempatnya kelihatan bagus," jawabnya sederhana, tanpa keraguan.Agatha memandang sekeliling dengan keraguan yang samar-samar. Dia merasa bahwa pilihan tempat ini mungkin tidak semata-mata kebetulan. Namun, Rafka tetap tenang dan santai, dan tidak ada alasan konkret bagi Agatha untuk m
Perjalanan berlanjut dengan suasana yang semakin canggung, Agatha merasa bahwa hawa tegang semakin menyelimuti ruang di dalam mobil. Agatha, yang menyadari perubahan sikap Rafka, hanya bisa menghela napas dengan perasaan pasrah, merasa takut bahwa kata-kata yang salah bisa membuat situasi semakin rumit.Agatha menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang jauh sambil mencoba meredakan detak jantungnya yang semakin cepat. Dia merasa jalan yang mereka lalui tidak searah dengan sekolah. Ketika mereka semakin menjauh, kekhawatiran dalam dirinya semakin besar. Agatha akhirnya bertanya, “Rafka, kamu mau bawa aku pergi kemana?"Rafka tetap diam, tapi matanya melirik sekilas ke arah Agatha dengan pandangan yang dingin dan serius. Agatha merasa tegang karena reaksi Rafka yang semakin tidak dapat diprediksi. Dia mencoba sekali lagi, "Rafka, kita mau kemana? Mobil aku masih di sekolah."Rafka masih tetap diam, dan Agatha merasa frustrasi dengan sikap pria itu. Dia mencoba mengatasi kebi
Agatha merasa kesal dan marah atas semua kata-kata yang dilemparkan oleh Rafka. Kata-kata Rafka menusuk hati Agatha dengan tajam. Setiap kalimat yang diucapkan pria itu seperti pedang yang menusuk perasaannya. Rasa kesal dan marah meluap di dalam dirinya, karena Rafka seakan dengan sengaja mengganggu ketenangan dan kehidupannya. Bagaimana bisa pria itu begitu berani untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang begitu dalam dan pribadi?Namun, di tengah kekesalan dan amarah itu, Agatha juga merasa adanya benang kebenaran dalam kata-kata Rafka. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pria itu seolah menggetarkan hatinya. Agatha pun tidak bisa menghindari pertanyaan tersebut. Ia merenung dalam diam, merasa seolah terjebak dalam perangkap emosional yang rumit.Agatha hanya terdiam di tempatnya, memandangi pintu rumah yang Rafka masuki. Pria itu meninggalkannya dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk di dalam kepalanya. Dalam keheningan yang mengelilinginya, Agatha mulai mempertanyakan pera
Agatha duduk menunggu dengan kesabaran yang mulai menipis. Matanya mulai berat dan akhirnya tertutup dalam tidur yang mendalam. Ketika ia membuka matanya, Agatha terkejut melihat Rafka telah kembali dan tengah sibuk menelepon seseorang. Ia melirik jam tangannya dengan khawatir, dan raut wajahnya menunjukkan rasa keterkejutan saat menyadari bahwa hari sudah beranjak gelap. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, seakan mencoba untuk mengusir rasa lelah yang menghinggapinya.Agatha memeriksa ponselnya dan mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Ivan. Ia merasa sedikit bersalah karena tidak menjawab panggilan suaminya. Ponselnya masih dalam genggaman, ia merasa kebingungan tentang apa yang harus dia katakan pada Ivan nanti.Dengan langkah yang tegas, Agatha bangkit dari sofa dan melangkah mendekati Rafka. Ia ingin berbicara dengannya dan meminta penjelasannya. Namun, sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun, Rafka mengangkat satu jari dengan lembut, memberi isyarat agar Agatha me
Rafka melontarkan kata-kata yang menggelegar dalam keheningan, mengguncangkan bumi di bawah kaki Agatha. Hatinya berdetak semakin cepat saat ia mendengar pernyataan Rafka. Kecuali suara berdebar-debar, hening menyelimuti ruangan saat kedua pandangan mereka terkunci. Rafka menyadari, dan Agatha pun tahu, bahwa hasrat yang sebelumnya hanya tersirat kini terungkap dengan jelas di antara mereka.Dalam sekejap, Rafka maju dengan tiba-tiba, menyapu bibir Agatha dengan keputusasaan yang bertenaga. Kecupan itu, sama seperti ciuman terakhir mereka, tetapi berbeda secara mendalam. Tidak ada lagi amarah yang saling menyalahkan yang menyelimutinya. Kali ini, ada kerinduan yang tak terungkap, ada hasrat yang terbakar dalam setiap sentuhan bibir mereka.Agatha merasa seakan-akan dia sedang melompat dari tepi jurang, siap menyambut kematian, tetapi dalam kasus ini, kematian adalah keinginan yang terpendam. Ia merasa ditarik dalam sensasi ini, tidak bisa lagi menahan diri dari hasrat yang selama ini
Rafka menyeringai lalu mengangkat dagu Agatha. Ia menangkap wajah Agatha dengan kasar, membuatnya merasa rentan dan terkepung. Dia merasakan sentuhan yang tajam dan tidak terduga saat Rafka menciumnya dengan marah dan kasar. Walaupun Agatha berusaha mendorong Rafka untuk melepaskan cengkramannya, dia merasa kekuatannya kalah oleh intensitas emosi pria itu. Jari-jari Rafka meremas pipinya dengan keras, memberikan pesan bahwa dia sedang mengambil kendali atas situasi ini. Agatha mencoba untuk melepaskan diri, tetapi cengkaman Rafka semakin kuat dan tak terelakkan. Saat ciuman Rafka semakin dalam dan menuntut, Agatha merasakan dirinya hampir kehilangan kendali atas emosinya. Bibir mereka menyatu dalam keintiman yang tak terduga, dan perasaan yang bercampur aduk merambat dalam diri Agatha. Dia merasakan napas Rafka di bibirnya, mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuhnya. Tangan Rafka turun dan mencengkeram lengan Agatha dengan erat, menciptakan rasa sakit yang menyatu dengan gairah da
Rafka bangkit setelah momen penuh gairah yang mereka alami, dan dengan cekatan, ia mulai memakai pakaiannya. Sementara Agatha masih berbaring di sofa, terengah-engah dan mencoba untuk mengatur nafasnya yang masih terasa berat. Pandangannya tertuju pada Rafka yang sedang memakai pakaian, dan ada campuran perasaan kepuasan dan ketidakpastian di dalam hatinya.Rafka menatap Agatha dengan intensitas, mata mereka bertemu dalam keadaan yang penuh makna. Dengan suara yang tenang, Rafka mengatakan kepada Agatha, "Kita nggak pakai pengaman."Mendengar kata-kata itu, Agatha merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Walaupun saat ini perasaannya masih dihantui oleh kehangatan momen yang baru saja mereka alami, tidak bisa dipungkiri ada rasa cemas yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Pikirannya menjadi kacau, dan ia merasakan keraguan yang tiba-tiba merayap masuk.Sambil meringis karena otot-ototnya terasa nyeri akibat momen sebelumnya, Agatha bangkit dari sofa dengan tubuh yang gemetar. Ia meraih
Malam itu, Agatha duduk di tepi tempat tidur Ayra, menemani putrinya untuk tidur. Kedua matanya yang lelah masih terang benderang, meskipun sudah melewati berbagai perasaan yang berkecamuk sepanjang hari. Sambil memeluk Ayra dengan lembut, Agatha mencoba mengobrol dengan gadis kecil itu sebelum tidur."Ayra, boleh Mama tanyakan sesuatu?" Agatha berkata dengan suara lembut.Ayra mengangguk dengan mata bersinar. "Boleh, Mama."Agatha merasa hatinya bergetar sedikit ketika ia mulai bertanya, "Sejak kapan Ayra tahu kalau Om Rafka adalah Papa Ayra?"Ayra terdiam sesaat, seakan merenungkan jawaban yang akan dia berikan. Lalu, dengan suara yang tenang, ia menjawab, “Ayra tahu waktu Mama dan Papa bicara di rumah sakit. Agatha terkejut mendengarnya. "Kenapa Ayra nggak kasih tahu Mama?"Ayra menarik nafas pelan, lalu ia tersenyum lembut. "Sebenarnya, Ayra sudah tahu waktu Ayra lihat papa Rafka di bandara. Tapi Ayra nggak mau buat Mama sedih."Agatha merasa seakan dunianya berputar cepat. Ayra
Rafka menatapnya dengan mata penuh air mata. Tangannya yang besar dan kuat menggenggam tangan Agatha dengan lembut. "Aku mencintai kamu. Aku selalu mencintai kamu, dan aku akan terus mencintai kamu, Tha."Agatha merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun dalam kondisi yang rapuh, cinta mereka tetap mengalir begitu kuat di antara mereka. Agatha menatap mata Rafka dengan pandangan lembut, bibirnya terangkat dalam senyuman yang penuh makna. "Aku juga mencintai kamu, Rafka."Tangan mereka saling berpegangan erat, menyampaikan dukungan, cinta, dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Agatha merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Rafka, seolah-olah itu adalah tali yang mengikat hati mereka.Agatha merasakan rasa sakit yang semakin memburuk. Dia tahu bahwa waktu mereka sangatlah terbatas. Dengan suara yang lemah, ia berbicara lagi, kali ini dengan serius, "Rafka, kamu harus kuat."Rafka menatap Agatha dengan rasa takut yang tidak tersembunyi. "Apa yang kamu bic
Beberapa hari berlalu, kondisi Agatha tetap kritis. Rafka terus menghabiskan waktu di rumah sakit, bergantian menjaga bayi perempuannya dan mengunjungi Agatha. Dia merasa seolah hidupnya berada dalam titik balik yang kritis. Perasaannya bercampur antara rasa harapan dan kegelisahan yang tak terbayangkan.Selama berhari-hari ini, Rafka terus menjaga putrinya dengan penuh kecintaan dan tekad. Dia bersama keluarganya dan keluarga Agatha bergantian menjaga Agatha, berdoa dan berharap agar wanita itu segera pulih dan bisa bersama mereka lagi.Ruang perawatan Agatha juga menjadi tempat di mana para keluarga mereka bergantian menjaga. Karina dan Ravindra, yang penuh kehangatan, seringkali mengambil giliran menjaga Agatha ketika Rafka perlu beristirahat sejenak. Adiva juga ada di sana, membantu dengan segala hal yang dibutuhkan. Meskipun situasinya tidak mudah, atmosfer di dalam ruangan itu penuh dengan kasih sayang dan semangat perjuangan.Ketika hari beranjak malam, Rafka masih terjaga, mem
Rafka berusaha untuk tenang dan kuat di hadapan Ayra. Gadis kecil itu masih belum paham betapa seriusnya situasi ini, dan Rafka ingin melindungi perasaannya. Dia menundukkan badan untuk berada pada tingkat mata Ayra ketika gadis kecil itu menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Papa, apa yang terjadi sama Mama?" tanyanya dengan nada khawatir.Rafka membungkukkan tubuhnya untuk berada sejajar dengan Ayra. Dia menyeka air mata yang hampir jatuh dari mata kecil Ayra dengan lembut, mencoba memberikan senyum lembut. "Ayra, Mama sedang sakit dan sedang dirawat oleh dokter. Papa dan semua orang sedang berusaha yang terbaik untuk membantu Mama."Ayra menggigit bibirnya, terlihat cemas. "Mama akan baik-baik saja, kan, Papa?" tanyanya dengan penuh harapan.Rafka mengecup kening Ayra lembut. "Kita berdoa bersama-sama, sayang. Mama sangat kuat dan Mama juga ingin cepat kembali bersama kita."Tak lama kemudian, semua keluarga berdatangan ke rumah sakit. Karina dan Ravindra datang dengan wajah pe
Agatha terus menjalani rawat inap di rumah sakit, dipantau dengan ketat oleh para dokter dan perawat. Setiap detik waktu terasa berharga bagi Rafka dan semua orang yang peduli dengan Agatha. Rafka duduk di samping tempat tidur Agatha, matanya tidak pernah lepas dari wanita yang sedang berjuang ini. Dia merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam, kekhawatiran yang tak terkendali.Agatha terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya terlihat letih. Pendarahan yang dialaminya telah membuat kondisinya semakin memburuk. Meskipun Agatha mencoba menjaga semangatnya, tetapi tubuhnya semakin tak mampu mempertahankan. Rafka merasa frustasi karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Agatha. Dia ingin sekali bisa menghapus semua rasa sakit yang Agatha rasakan, namun dia tahu dia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka menggenggam tangan Agatha dengan erat, merasakan getaran kelemahan dalam genggaman itu. Dia merasa hatinya teriris melihat Agatha yang
Di dalam ruang perawatan yang hening, mata Agatha perlahan terbuka dan tatapannya memandang wajah lelah Rafka. Luka lebam di pipi pria itu memperoleh perhatiannya, dan segera Agatha mengeluarkan pertanyaan khawatir dari bibirnya. "Wajah kamu kenapa?"Namun, jawaban yang ia terima bukanlah tentang luka lebam itu. Rafka hanya menatapnya dengan ekspresi yang rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Agatha bisa merasakan kecemasan yang menghantui Rafka, dan ia tahu bahwa saat ini mereka harus menghadapi kenyataan bersama."Bagaimana kondisimu?" tanya Rafka, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran. Agatha terpancar kekaguman dalam tatapannya saat melihat perasaan Rafka yang terangkum dalam raut wajahnya.Agatha mencoba tersenyum lemah, meskipun rasa sakit dan kebingungannya masih menghantui. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.Namun, perhatian Rafka beralih dari kesehatannya sendiri dan dengan penuh kekhawatiran ia
Dalam keheningan ruang perawatan, setelah berbicara dengan Agatha, Ivan merasa seolah dia tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak tertahankan. Dia berusaha memproses semua yang telah terjadi, memahami pilihan-pilihan yang sulit yang telah dibuat oleh Agatha, dan merasa terhempas oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada wanita itu dan bayi yang dikandungnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terganggu oleh sosok yang mendekat dari kejauhan. Rafka, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, berjalan menuju Ivan dengan langkah tergesa-gesa. Ivan bisa merasakan adanya ketegangan di udara saat Rafka semakin mendekat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang berat.Tak lama setelah Rafka berada di depan Ivan, pria itu seolah melepaskan semua ketegangan yang ada dalam dirinya. Ia langsung mencengkeram kerah baju Ivan dengan kasar, menggeramkan pertanyaan yang memancar dari dalam hatinya. "Apa yang kamu lakukan kali ini?"Ivan menatap tajam Rafka, mencoba membaca perasaan yang ada di
Ivan berdiri di samping tempat tidur Agatha, pandangannya tetap terfokus pada wanita yang terbaring di sana. Hatinya terasa berkecamuk, sulit untuk mengurai perasaan yang datang menghujam. Ia melihat Agatha, seorang wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sekarang tengah mengalami hal yang begitu serius. Dia merasa bingung, marah, dan khawatir dalam waktu yang bersamaan.Dokter yang berbicara dengannya tampak serius dan penuh perhatian. Ivan mencoba untuk tetap tenang dan mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Dokter menjelaskan bahwa masalah yang Agatha alami adalah plasenta previa, di mana plasenta berada di dekat atau menutupi rahim bagian bawah. Kondisi ini bisa berisiko tinggi, terutama ketika mendekati waktu persalinan.Ivan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar bahwa kondisi ini berbahaya bagi Agatha dan bayinya. Dia merasa tidak ingin kehilangan Agatha, terlebih lagi dengan keadaan yang semakin rumit setelah semua yang terjadi. Namu
Setelah meninggalkan rumah Karina dan Ravindra, Agatha merasa perasaannya masih dalam keadaan campur aduk. Namun, dia tahu bahwa ada satu hal lagi yang harus dia lakukan. Dia pergi ke rumah Ivan untuk menemui Adiva dan Alvi. Sesampainya di sana, dia melihat Adiva dan Alvi sedang bermain dengan penuh kebahagiaan.Agatha tersenyum melihat pemandangan itu. Alvi, bayi yang dulunya begitu tenang berada dipelukannya, kini sudah tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Dia sudah mulai berjalan dan berbicara, dan Agatha bisa melihat betapa Adiva merawatnya dengan penuh cinta.Agatha merasa bahagia melihat keakraban antara Adiva dan Alvi. Melihat Alvi tumbuh sehat dan bahagia membuat hatinya hangat."Adiva," panggil Agatha dengan suara lembut. Adiva menoleh dan tersenyum melihat Agatha. Mereka bertatap mata, dan Agatha bisa merasakan campuran antara rasa bersalah dan rasa terima kasih di dalam hatinya.Alvi melihat Agatha, dan meskipun dia masih kecil, wajahnya sudah penuh dengan keceriaan. "
Beberapa minggu kemudian, setelah Rafka berangkat bekerja dan Ayra pergi ke sekolah, Agatha memutuskan untuk mengunjungi rumah ibunya. Sudah lama sejak terakhir kali dia menghabiskan waktu dengan Riana, dan Agatha merasa butuh pelukan dan nasihat ibunya. Begitu Agatha memasuki rumah, aroma kue hangat langsung menyambutnya. Ibu Agatha, Riana, dengan senyum hangatnya, sudah menanti di ruang tamu.Sesampainya di rumah, Agatha disambut dengan senyuman hangat oleh Riana. Wanita itu terlihat begitu bahagia melihat putrinya. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, dikelilingi oleh bunga-bunga dan foto-foto keluarga di dinding.Agatha menghabiskan waktu berjam-jam bersama ibunya. Agatha mulai bercerita tentang kesehariannya, tentang bagaimana dia mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Rafka dan Ayra. Dia bercerita tentang momen-momen kebersamaan yang berhasil mereka ciptakan, meskipun rasa bersalah masih menghantuinya. Agatha juga menceritakan tentang kehamilannya yang semakin membesar,