Malam itu, Agatha duduk di tepi tempat tidur Ayra, menemani putrinya untuk tidur. Kedua matanya yang lelah masih terang benderang, meskipun sudah melewati berbagai perasaan yang berkecamuk sepanjang hari. Sambil memeluk Ayra dengan lembut, Agatha mencoba mengobrol dengan gadis kecil itu sebelum tidur."Ayra, boleh Mama tanyakan sesuatu?" Agatha berkata dengan suara lembut.Ayra mengangguk dengan mata bersinar. "Boleh, Mama."Agatha merasa hatinya bergetar sedikit ketika ia mulai bertanya, "Sejak kapan Ayra tahu kalau Om Rafka adalah Papa Ayra?"Ayra terdiam sesaat, seakan merenungkan jawaban yang akan dia berikan. Lalu, dengan suara yang tenang, ia menjawab, “Ayra tahu waktu Mama dan Papa bicara di rumah sakit. Agatha terkejut mendengarnya. "Kenapa Ayra nggak kasih tahu Mama?"Ayra menarik nafas pelan, lalu ia tersenyum lembut. "Sebenarnya, Ayra sudah tahu waktu Ayra lihat papa Rafka di bandara. Tapi Ayra nggak mau buat Mama sedih."Agatha merasa seakan dunianya berputar cepat. Ayra
Setelah Rafka pergi, Agatha merasa seperti ada bagian dari dirinya yang tiba-tiba hilang. Tatapan matanya tetap tertuju pada mobil yang semakin menjauh, dan dalam dadanya terasa campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Ada keinginan kuat untuk menghentikan Rafka, untuk meraih kembali momen-momen yang baru saja terjadi, tetapi Agatha tahu bahwa langkah itu hanya akan memperumit segalanya. Agatha sadar betul bahwa jika ia tidak menetapkan batas dengan jelas pada Rafka, maka mungkin ia akan terjebak dalam ikatan yang tak akan pernah terputus.Dengan gerakan pelan, Agatha menyeka sisa-sisa air mata yang mengalir di pipinya. Ia merasa ia harus melangkah maju, menjauh dari kisah yang begitu rumit dan bergejolak dengan Rafka, dan melanjutkan hidupnya. Agatha memutuskan untuk kembali ke rumah, perlahan-lahan menenangkan pikirannya yang masih berputar-putar.Saat melangkah masuk ke rumah, hembusan angin yang tenang menyapu wajahnya, seolah-olah memberinya sedikit ketenangan. Pandangannya beral
Sudah satu bulan berlalu sejak Rafka dan Agatha bertemu untuk terakhir kalinya. Agatha menjalani kehidupannya seakan-akan tidak ada yang berubah, tapi di dalam hatinya, kekosongan semakin terasa. Ia berusaha keras menjaga rutinitas harian, mengurus anak-anaknya, dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dan istri.Namun, di balik senyumnya yang terkadang terpaksa, Agatha merasa sesuatu yang hilang. Waktu-waktu sendirian di rumah, saat malam tiba dan suasana menjadi sunyi, pikirannya seringkali terbawa kepada Rafka. Kenangan, perasaan, dan tindakan mereka bersama membuat hatinya terasa campur aduk. Meskipun ia telah mengambil keputusan untuk menjauh, Rafka tetap berada di sana, dalam pikirannya, dalam hatinya, dalam getaran tubuhnya.Malam ini, suasana agak berbeda. Ivan mengajak Agatha untuk makan malam berdua. Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama seperti ini. Agatha duduk di depan cermin, membenahi dirinya. Ia mencoba memakai senyuman palsu, berharap semuany
Sementara itu, Rafka sibuk dengan pekerjaannya. Ia berusaha keras untuk mengalihkan pikirannya dari Agatha. Setiap waktu luangnya dihabiskan dengan fokus pada proyek-proyek bisnisnya. Ia kembali menjadi sosok yang dingin dan tegas, jarang menunjukkan perasaannya kepada siapapun. Kecuali kepada Ayra.Rafka mengerti bahwa Ayra adalah satu-satunya tumpuan yang masih ia miliki. Gadis kecil itu mengingatkannya akan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Meskipun terkadang hatinya hancur karena berpisah dengan Agatha, Rafka berusaha untuk tidak menunjukkannya. Ia tahu bahwa Ayra membutuhkan dukungan dan kehadirannya.Setiap hari, Rafka menjemput Ayra dari sekolah. Gadis kecil itu selalu menyambutnya dengan senyuman ceria, dan Rafka tak bisa menahan senyumnya melihat putrinya yang begitu menggemaskan. Mereka akan berbicara tentang apa yang Ayra pelajari di sekolah, cerita-cerita lucu dari teman-temannya, dan rencana mereka untuk akhir pekan. Rafka berusaha membuat Ayra merasa nyaman dan ba
Setelah Rafka pergi, Agatha merasa goyah. Ia mencoba mengambil nafas dalam-dalam, berusaha meredakan detak jantung yang masih terasa cepat. Pertemuan tadi telah menggetarkan hatinya, tetapi di tengah kekacauan perasaan, ia merasa ada kekuatan baru yang muncul dalam dirinya. Dalam diam, Agatha memutuskan untuk kembali ke meja di mana Ivan menunggu, mencoba meneruskan malam seperti yang mereka rencanakan sebelumnya.Ketika kembali ke meja makan, Agatha berusaha menahan perasaannya. Ia menyunggingkan senyuman pada Ivan dan mereka melanjutkan makan malam. Meskipun ada perasaan yang masih mengganjal dalam hatinya, Agatha berusaha keras untuk menjalani malam ini dengan baik. Ia merasa penting untuk memberikan perhatian pada suaminya, meskipun ada bayangan lain yang masih menghantuinya.Ketika makan malam selesai, Agatha dan Ivan berdiri untuk pulang. Ia merasa lega bahwa malam itu akhirnya berakhir. Meskipun perasaan rumit masih terus menghantuinya, Agatha memberikan janji pada dirinya send
Saat ambulans tiba di rumah sakit dengan sigap dan paramedis segera membawa Rafka ke unit gawat darurat. Agatha merasa hatinya terasa berdebar lebih cepat, tangannya gemetar karena kecemasan. Ia melihat Rafka yang terbaring di brankar, wajahnya pucat dan terlihat rapuh. Detak jantung Agatha seolah terasa semakin keras, ia merasa tidak bisa berbuat banyak selain berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka dilarikan ke dalam unit gawat darurat, Agatha menggigit bibirnya dengan cemas. Ia merasa seperti dalam keadaan yang tak pasti, tak bisa mengontrol apa pun yang sedang terjadi di dalam sana. Setiap menit terasa seperti jam, dan Agatha hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk.Tak lama kemudian, langkah kaki berat menghampirinya. Agatha menoleh dan melihat Ivan datang dengan ekspresi cemas di wajahnya. Tanpa kata-kata, Ivan langsung memeluk Agatha dengan erat. Agatha merasa kenyamanan dalam pelukan suaminya, meskipun hatinya masih penuh dengan kecemasan."Bagaimana keadaannya?" tanya
Sesaat setelah mereka keluar dari ruang perawatan intensif, Ivan mendekati Agatha dengan langkah hati-hati. Ekspresinya penuh perhatian saat ia berbicara, "Sayang, sebaiknya kita pulang dan istirahat. Kamu juga harus memikirkan diri kamu sendiri.Agatha menatap Ivan dengan mata penuh tekad. Dia ingin tetap berada di sana, mendampingi Rafka. "Aku mau tetap di sini, Mas.”Ivan menyentuh lembut tangan Agatha, mencoba memberikan dukungan. "Aku tahu perasaan kamu dan mungkin kamu masih kaget sama kecelakaan yang kamu lihat tadi, tapi kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri. Kamu perlu istirahat dan menjaga kesehatanmu. Alvi dan Ayra juga masih butuh kamu, Sayang."Agatha ingin menolak, ingin terus bersama Rafka. Namun, sebelum dia sempat berbicara lebih lanjut, Karina mendekatinya dengan langkah lembut.Karina mendekatinya dengan langkah lembut. Matanya penuh dengan perhatian dan pengertian saat dia berbicara, "Agatha, suami kamu benar. Kamu harus beristirahat dan menjaga dirimu. Kami ak
Di dalam kegelapan malam, Agatha tanpa sadar terlelap di kamar tamu. Tubuhnya lelah dan pikirannya yang kacau akhirnya merenggutnya dalam tidur yang gelap. Namun, dalam alam bawah sadarnya, mimpi mulai memainkan perannya, membawanya ke dunia di mana kenyataan dan imajinasi saling berbaur. Di dalam mimpinya, Agatha menemukan dirinya kembali berada di tempat yang sama saat terakhir kali mereka bertemu dengan Rafka. Suasana hatinya kacau dan campur aduk, tak tahu harus berbicara apa. Dan di tengah kebingungannya, dia melihat Rafka berjalan mendekatinya dengan langkah ragu.Tatapan mata Rafka penuh dengan perasaan campur aduk, mencerminkan kebingungannya yang dalam. Rafka menghentikan langkahnya tepat di depan Agatha, tetapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menatap Agatha dengan raut wajah yang rapuh, penuh dengan kerinduan dan kepedihan.Agatha tidak tahu apa yang harus dia katakan. Raka sudah ada di hadapannya, tetapi sepertinya kata-kata telah menghilang dari pikirann