Saat ambulans tiba di rumah sakit dengan sigap dan paramedis segera membawa Rafka ke unit gawat darurat. Agatha merasa hatinya terasa berdebar lebih cepat, tangannya gemetar karena kecemasan. Ia melihat Rafka yang terbaring di brankar, wajahnya pucat dan terlihat rapuh. Detak jantung Agatha seolah terasa semakin keras, ia merasa tidak bisa berbuat banyak selain berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka dilarikan ke dalam unit gawat darurat, Agatha menggigit bibirnya dengan cemas. Ia merasa seperti dalam keadaan yang tak pasti, tak bisa mengontrol apa pun yang sedang terjadi di dalam sana. Setiap menit terasa seperti jam, dan Agatha hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk.Tak lama kemudian, langkah kaki berat menghampirinya. Agatha menoleh dan melihat Ivan datang dengan ekspresi cemas di wajahnya. Tanpa kata-kata, Ivan langsung memeluk Agatha dengan erat. Agatha merasa kenyamanan dalam pelukan suaminya, meskipun hatinya masih penuh dengan kecemasan."Bagaimana keadaannya?" tanya
Sesaat setelah mereka keluar dari ruang perawatan intensif, Ivan mendekati Agatha dengan langkah hati-hati. Ekspresinya penuh perhatian saat ia berbicara, "Sayang, sebaiknya kita pulang dan istirahat. Kamu juga harus memikirkan diri kamu sendiri.Agatha menatap Ivan dengan mata penuh tekad. Dia ingin tetap berada di sana, mendampingi Rafka. "Aku mau tetap di sini, Mas.”Ivan menyentuh lembut tangan Agatha, mencoba memberikan dukungan. "Aku tahu perasaan kamu dan mungkin kamu masih kaget sama kecelakaan yang kamu lihat tadi, tapi kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri. Kamu perlu istirahat dan menjaga kesehatanmu. Alvi dan Ayra juga masih butuh kamu, Sayang."Agatha ingin menolak, ingin terus bersama Rafka. Namun, sebelum dia sempat berbicara lebih lanjut, Karina mendekatinya dengan langkah lembut.Karina mendekatinya dengan langkah lembut. Matanya penuh dengan perhatian dan pengertian saat dia berbicara, "Agatha, suami kamu benar. Kamu harus beristirahat dan menjaga dirimu. Kami ak
Di dalam kegelapan malam, Agatha tanpa sadar terlelap di kamar tamu. Tubuhnya lelah dan pikirannya yang kacau akhirnya merenggutnya dalam tidur yang gelap. Namun, dalam alam bawah sadarnya, mimpi mulai memainkan perannya, membawanya ke dunia di mana kenyataan dan imajinasi saling berbaur. Di dalam mimpinya, Agatha menemukan dirinya kembali berada di tempat yang sama saat terakhir kali mereka bertemu dengan Rafka. Suasana hatinya kacau dan campur aduk, tak tahu harus berbicara apa. Dan di tengah kebingungannya, dia melihat Rafka berjalan mendekatinya dengan langkah ragu.Tatapan mata Rafka penuh dengan perasaan campur aduk, mencerminkan kebingungannya yang dalam. Rafka menghentikan langkahnya tepat di depan Agatha, tetapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menatap Agatha dengan raut wajah yang rapuh, penuh dengan kerinduan dan kepedihan.Agatha tidak tahu apa yang harus dia katakan. Raka sudah ada di hadapannya, tetapi sepertinya kata-kata telah menghilang dari pikirann
Setelah malam yang penuh dengan mimpi dan refleksi, hari-hari Agatha terus berjalan dalam ketidakpastian. Rafka masih terbaring tak sadarkan diri di ruang perawatan intensif, dan setiap hari Agatha menghabiskan waktunya di rumah sakit, menunggu berita tentang perkembangan kondisi pria yang dicintainya itu.Setiap kali dia melihat Rafka yang lemah di ranjang rumah sakit, hatinya terasa sakit. Dia teringat akan saat-saat indah yang mereka bagi bersama, tapi juga perasaan bersalah dan penyesalan yang membayangi pikirannya. Dia ingin bisa mengulang waktu, mengubah segala keputusan yang pernah diambilnya. Tapi yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah berdoa dan memberikan dukungan pada Rafka.Setelah Ivan bekerja dan Ayra ke sekolah, Agatha menitipkan Alvi di rumah Raina, Kemudian Agatha kembali ke rumah sakit untuk menemui Rafka. Di lorong rumah sakit yang sepi, langkah Agatha berjalan pelan. Dia merasa berdebar-debar ketika mendekati pintu ruang perawatan intensif. Pintu itu terbuka, dan
Hari-hari terus berlalu dengan lambat di rumah sakit. Agatha setia mengunjungi Rafka setiap harinya, duduk di samping tempat tidurnya, meskipun pria itu masih belum sadarkan diri. Ruang perawatan itu menjadi tempat di mana Agatha melepaskan segala perasaannya, tempat di mana dia berbicara seperti Rafka bisa mendengarnya.Agatha duduk di samping tempat tidur Rafka, tangannya menggenggam tangan pria itu dengan lembut. Di antara bunyi mesin medis dan cahaya redup, Agatha akan berbicara kepada Rafka. Dia akan berbicara tentang segala hal, mengingatkan pria itu tentang kenangan-kenangan yang mereka bagikan bersama . Dalam percakapan yang hanya satu arah ini, Agatha mencoba merangkul Rafka dengan kata-kata dan cinta, berharap bahwa pesan-pesannya bisa mencapai hati Rafka, bahkan jika pria itu belum bisa membukanya.Air matanya mengalir deras tanpa henti, suara isak tangisnya pecah dalam keheningan ruangan. Dia menyesali segala kata-kata dan tindakan yang terjadi di antara mereka, merasa seo
Karina dengan hati-hati mendekati Rafka, berusaha menciptakan suasana yang lebih nyaman di antara mereka. Dia ingin mengatasi ketegangan yang terasa begitu kentara di ruangan itu. Dengan hati-hati, dia mengambil kursi dan duduk di samping tempat tidur Rafka. Matanya penuh dengan kelembutan dan perhatian saat dia memandang putranya."Bagaimana keadaan kamu, Raf? Bagaimana perasaan kamu sekarang?" tanya Karina dengan nada perhatian.“Sudah lebih baik, Ma. Mama jangan khawatir,” ujar Rafka.“Sebenarnya apa yang terjadi, Ma? Kenapa Rafka bisa ada di sini?” tanya Rafka dengan bingung, sambil berusaha mengingat apa yang telah dia alami.“Kamu mengalami kecelakaan, Raf. Hari ini kamu baru aja sadar.” “Kecelakaan?” Rafka memandang Karina dengan ekspresi tidak percaya. Karina mengangguk dengan pengertian. Dia mencoba merangkul perasaan Rafka, memberikan waktu dan ruang untuk dia mengingat kembali apa yang telah terjadi.“Sudah berapa lama Rafka di sini, Ma?” tanya Rafka lagi, mencoba mencari
Agatha masih terdiam di depan ruangan Rafka, pandangannya kosong seolah tenggelam dalam kerumitan pikirannya. Dia merasakan hiruk-pikuk emosi yang sulit diurai. Tak lama kemudian, langkah kaki lembut mendekatinya, dan Adiva duduk dengan lembut di sampingnya. Dia merasa kekhawatiran Agatha dan berusaha memberikan dukungan."Apa yang lagi kamu pikirkan, Tha?" tanya Adiva dengan lembut, mencoba membuka percakapan.Agatha menoleh kepada Adiva, raut wajahnya mencerminkan kebingungan dan kegelisahan. Agatha menatap Adiva dengan mata penuh pertanyaan, tak lama kemudian dia menghela nafas dan menjawab, "Aku bingung, Div. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan. Bagaimana aku harus menghadapi Rafka dan Ivan nantinya?"Adiva menatap Agatha dengan pandangan penuh pengertian. “Aku pikir yang terpenting sekarang adalah kejujuran, Tha. Kamu harus bicara sama Rafka, kasih tahu dia apa yang telah terjadi selama lima tahun terakhir. Dan terhadap Ivan, kamu juga harus bicara terbuka. kalau cinta dan
Waktu terus berlalu di rumah sakit. Setelah beberapa minggu perawatan intensif, Rafka akhirnya dinyatakan cukup stabil untuk diizinkan pulang. Raut wajahnya yang lelah dan penuh dengan bekas luka semakin membaik, meskipun perjalanan pemulihan masih panjang. Setiap hari, Rafka menjalani berbagai terapi dan latihan fisik untuk membantu mengembalikan kondisinya.Hari yang ditunggu-tunggu tiba, hari kepulangan Rafka. Ketika hari yang dinanti-nanti itu tiba, Agatha dan Ayra telah bersiap di apartemen yang dulu pernah menjadi tempat tinggal Rafka dan Agatha. Dinding-dinding apartemen itu mungkin menyimpan banyak kenangan, baik yang indah maupun yang pahit. Agatha telah memutuskan untuk memainkan peran sebagai istri Rafka dalam upaya untuk membantu pemulihannya.Ayra melihat sekeliling dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Mama, kenapa kita tinggal di sini?"Agatha tersenyum lembut pada Ayra, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Kita tinggal di sini karena Papamu sakit, sayang. Dia butuh