Rafka melontarkan kata-kata yang menggelegar dalam keheningan, mengguncangkan bumi di bawah kaki Agatha. Hatinya berdetak semakin cepat saat ia mendengar pernyataan Rafka. Kecuali suara berdebar-debar, hening menyelimuti ruangan saat kedua pandangan mereka terkunci. Rafka menyadari, dan Agatha pun tahu, bahwa hasrat yang sebelumnya hanya tersirat kini terungkap dengan jelas di antara mereka.Dalam sekejap, Rafka maju dengan tiba-tiba, menyapu bibir Agatha dengan keputusasaan yang bertenaga. Kecupan itu, sama seperti ciuman terakhir mereka, tetapi berbeda secara mendalam. Tidak ada lagi amarah yang saling menyalahkan yang menyelimutinya. Kali ini, ada kerinduan yang tak terungkap, ada hasrat yang terbakar dalam setiap sentuhan bibir mereka.Agatha merasa seakan-akan dia sedang melompat dari tepi jurang, siap menyambut kematian, tetapi dalam kasus ini, kematian adalah keinginan yang terpendam. Ia merasa ditarik dalam sensasi ini, tidak bisa lagi menahan diri dari hasrat yang selama ini
Rafka menyeringai lalu mengangkat dagu Agatha. Ia menangkap wajah Agatha dengan kasar, membuatnya merasa rentan dan terkepung. Dia merasakan sentuhan yang tajam dan tidak terduga saat Rafka menciumnya dengan marah dan kasar. Walaupun Agatha berusaha mendorong Rafka untuk melepaskan cengkramannya, dia merasa kekuatannya kalah oleh intensitas emosi pria itu. Jari-jari Rafka meremas pipinya dengan keras, memberikan pesan bahwa dia sedang mengambil kendali atas situasi ini. Agatha mencoba untuk melepaskan diri, tetapi cengkaman Rafka semakin kuat dan tak terelakkan. Saat ciuman Rafka semakin dalam dan menuntut, Agatha merasakan dirinya hampir kehilangan kendali atas emosinya. Bibir mereka menyatu dalam keintiman yang tak terduga, dan perasaan yang bercampur aduk merambat dalam diri Agatha. Dia merasakan napas Rafka di bibirnya, mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuhnya. Tangan Rafka turun dan mencengkeram lengan Agatha dengan erat, menciptakan rasa sakit yang menyatu dengan gairah da
Rafka bangkit setelah momen penuh gairah yang mereka alami, dan dengan cekatan, ia mulai memakai pakaiannya. Sementara Agatha masih berbaring di sofa, terengah-engah dan mencoba untuk mengatur nafasnya yang masih terasa berat. Pandangannya tertuju pada Rafka yang sedang memakai pakaian, dan ada campuran perasaan kepuasan dan ketidakpastian di dalam hatinya.Rafka menatap Agatha dengan intensitas, mata mereka bertemu dalam keadaan yang penuh makna. Dengan suara yang tenang, Rafka mengatakan kepada Agatha, "Kita nggak pakai pengaman."Mendengar kata-kata itu, Agatha merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Walaupun saat ini perasaannya masih dihantui oleh kehangatan momen yang baru saja mereka alami, tidak bisa dipungkiri ada rasa cemas yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Pikirannya menjadi kacau, dan ia merasakan keraguan yang tiba-tiba merayap masuk.Sambil meringis karena otot-ototnya terasa nyeri akibat momen sebelumnya, Agatha bangkit dari sofa dengan tubuh yang gemetar. Ia meraih
Malam itu, Agatha duduk di tepi tempat tidur Ayra, menemani putrinya untuk tidur. Kedua matanya yang lelah masih terang benderang, meskipun sudah melewati berbagai perasaan yang berkecamuk sepanjang hari. Sambil memeluk Ayra dengan lembut, Agatha mencoba mengobrol dengan gadis kecil itu sebelum tidur."Ayra, boleh Mama tanyakan sesuatu?" Agatha berkata dengan suara lembut.Ayra mengangguk dengan mata bersinar. "Boleh, Mama."Agatha merasa hatinya bergetar sedikit ketika ia mulai bertanya, "Sejak kapan Ayra tahu kalau Om Rafka adalah Papa Ayra?"Ayra terdiam sesaat, seakan merenungkan jawaban yang akan dia berikan. Lalu, dengan suara yang tenang, ia menjawab, “Ayra tahu waktu Mama dan Papa bicara di rumah sakit. Agatha terkejut mendengarnya. "Kenapa Ayra nggak kasih tahu Mama?"Ayra menarik nafas pelan, lalu ia tersenyum lembut. "Sebenarnya, Ayra sudah tahu waktu Ayra lihat papa Rafka di bandara. Tapi Ayra nggak mau buat Mama sedih."Agatha merasa seakan dunianya berputar cepat. Ayra
Setelah Rafka pergi, Agatha merasa seperti ada bagian dari dirinya yang tiba-tiba hilang. Tatapan matanya tetap tertuju pada mobil yang semakin menjauh, dan dalam dadanya terasa campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Ada keinginan kuat untuk menghentikan Rafka, untuk meraih kembali momen-momen yang baru saja terjadi, tetapi Agatha tahu bahwa langkah itu hanya akan memperumit segalanya. Agatha sadar betul bahwa jika ia tidak menetapkan batas dengan jelas pada Rafka, maka mungkin ia akan terjebak dalam ikatan yang tak akan pernah terputus.Dengan gerakan pelan, Agatha menyeka sisa-sisa air mata yang mengalir di pipinya. Ia merasa ia harus melangkah maju, menjauh dari kisah yang begitu rumit dan bergejolak dengan Rafka, dan melanjutkan hidupnya. Agatha memutuskan untuk kembali ke rumah, perlahan-lahan menenangkan pikirannya yang masih berputar-putar.Saat melangkah masuk ke rumah, hembusan angin yang tenang menyapu wajahnya, seolah-olah memberinya sedikit ketenangan. Pandangannya beral
Sudah satu bulan berlalu sejak Rafka dan Agatha bertemu untuk terakhir kalinya. Agatha menjalani kehidupannya seakan-akan tidak ada yang berubah, tapi di dalam hatinya, kekosongan semakin terasa. Ia berusaha keras menjaga rutinitas harian, mengurus anak-anaknya, dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dan istri.Namun, di balik senyumnya yang terkadang terpaksa, Agatha merasa sesuatu yang hilang. Waktu-waktu sendirian di rumah, saat malam tiba dan suasana menjadi sunyi, pikirannya seringkali terbawa kepada Rafka. Kenangan, perasaan, dan tindakan mereka bersama membuat hatinya terasa campur aduk. Meskipun ia telah mengambil keputusan untuk menjauh, Rafka tetap berada di sana, dalam pikirannya, dalam hatinya, dalam getaran tubuhnya.Malam ini, suasana agak berbeda. Ivan mengajak Agatha untuk makan malam berdua. Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama seperti ini. Agatha duduk di depan cermin, membenahi dirinya. Ia mencoba memakai senyuman palsu, berharap semuany
Sementara itu, Rafka sibuk dengan pekerjaannya. Ia berusaha keras untuk mengalihkan pikirannya dari Agatha. Setiap waktu luangnya dihabiskan dengan fokus pada proyek-proyek bisnisnya. Ia kembali menjadi sosok yang dingin dan tegas, jarang menunjukkan perasaannya kepada siapapun. Kecuali kepada Ayra.Rafka mengerti bahwa Ayra adalah satu-satunya tumpuan yang masih ia miliki. Gadis kecil itu mengingatkannya akan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Meskipun terkadang hatinya hancur karena berpisah dengan Agatha, Rafka berusaha untuk tidak menunjukkannya. Ia tahu bahwa Ayra membutuhkan dukungan dan kehadirannya.Setiap hari, Rafka menjemput Ayra dari sekolah. Gadis kecil itu selalu menyambutnya dengan senyuman ceria, dan Rafka tak bisa menahan senyumnya melihat putrinya yang begitu menggemaskan. Mereka akan berbicara tentang apa yang Ayra pelajari di sekolah, cerita-cerita lucu dari teman-temannya, dan rencana mereka untuk akhir pekan. Rafka berusaha membuat Ayra merasa nyaman dan ba
Setelah Rafka pergi, Agatha merasa goyah. Ia mencoba mengambil nafas dalam-dalam, berusaha meredakan detak jantung yang masih terasa cepat. Pertemuan tadi telah menggetarkan hatinya, tetapi di tengah kekacauan perasaan, ia merasa ada kekuatan baru yang muncul dalam dirinya. Dalam diam, Agatha memutuskan untuk kembali ke meja di mana Ivan menunggu, mencoba meneruskan malam seperti yang mereka rencanakan sebelumnya.Ketika kembali ke meja makan, Agatha berusaha menahan perasaannya. Ia menyunggingkan senyuman pada Ivan dan mereka melanjutkan makan malam. Meskipun ada perasaan yang masih mengganjal dalam hatinya, Agatha berusaha keras untuk menjalani malam ini dengan baik. Ia merasa penting untuk memberikan perhatian pada suaminya, meskipun ada bayangan lain yang masih menghantuinya.Ketika makan malam selesai, Agatha dan Ivan berdiri untuk pulang. Ia merasa lega bahwa malam itu akhirnya berakhir. Meskipun perasaan rumit masih terus menghantuinya, Agatha memberikan janji pada dirinya send